Friday, April 30, 2010

Cermin Maneka Seno Gumira

Cermin Maneka

Cerpen Seno Gumira Ajidarma

DI depan cermin Maneka tertegun. Ia tidak melihat dirinya sendiri.


Kalaulah harus ada satu hari yang harus menjadi lain di antara hari-hari
lain, ia tidak mengharapkan kelainan itu berlangsung begini rupa. Setiap malam ia memang berdoa agar hidupnya berubah keesokan harinya. Ia berdoa agar hari-harinya tidak lagi begitu membosankan dan begitu menyebalkan justru karena tidak pernah ada persoalan. Segalanya
begitu mudah bagi Maneka, begitu lancar dan begitu beres sehingga tiada lagi perkara yang bisa menjadi masalah baginya. Ternyata, hidup tanpa persoalan juga bukan sesuatu yang menyenangkan. Maka, begitulah, setiap hari ia berdoa agar hidupnya berubah. Dan pagi ini, bangun tidur, hidup tidak berlangsung seperti biasanya. Di depan cermin, ia tidak melihat dirinya sendiri.

Maneka bukan hanya tidak melihat dirinya sendiri. Ia juga tidak melihat kamarnya yang serba kelabu. Temboknya berwarna kelabu, lantai, seprei, langit-langit juga kelabu. Ada kelambu, yang tidak perlu, karena kamarnya ber-AC, warnanya putih lembut, hanya menjadi hiasan ranjangnya. Namun, sisanya serba kelabu. Ada sebuah lukisan besar di dinding, sebuah lukisan hujan gerimis dengan seorang perempuan berjalan menjauh membawa payung. Lukisan itu juga serba kelabu. Kalau ada warna kuning, itulah cahaya lampu di tepi ranjang dan kamar mandi. Bila Maneka menatap lukisan tersebut sebelum tidur, ia selalu ingin bangun sebagai perempuan dalam lukisan itu. “Aku ingin bangun pada suatu pagi di mana aku berjalan menempuh hujan gerimis sambil membawa payung melalui jalan berkelok-kelok di tepi jurang menuju entah ke mana,” ujarnya di dalam hati. Tetapi bukan saja hidupnya tidak berubah, bahkan bermimpi pun ia tidak pernah. Maneka adalah manusia yang tidak pernah mengalami mimpi. Maneka merasa sangat bosan. Hidupnya seperti sebuah garis lurus yang tidak menarik sama sekali. Ia inginkan gerimis, ia inginkan hujan, ia inginkan sebuah perjalanan. Maneka menginginkan perubahan.

Di dalam cermin itu ia melihat hutan. Tentu ini hutan bukan? Pikirnya. Dilihatnya cahaya matahari menembus celah dedaunan dan batang-batang pohon raksasa. Ia melihat sebuah hutan dalam dongeng dengan burung-burung berkicau, kericik air, dan jeritan monyet di kejauhan. Sesekali terdengar kibasan sayap burung-burung besar, menyibak di antara suara-suara serangga yang sebentar diam sebentar berbunyi. Ini sebuah hutan yang bagus, hijau, dan berbau basah. Maneka menghirup bau humus, ia mengulurkan tangannya. Wah, cerminnya tidak berkaca. Cermin tempatnya berhias yang bulat tinggal sebuah bingkai menuju ke dunia yang lain. Masih dengan baju tidurnya yang tipis dan lembut, Maneka melangkah memasuki cermin itu, dan berlari di atas rumput basah menuju ke aliran sungai.

Maneka melompat-lompat riang. Hidupnya sudah berubah. Ada persoalan besar yang harus dipecahkannya kini. Mengapa cerminnya bisa menjadi ajaib seperti itu? Tentu saja hal itu tidak bisa dijawabnya sekarang. Dan tidak harus sekarang. Ia tidak ingin hidupnya segera menjadi membosankan kembali. Ia ingin menikmati dahulu dunia di balik cermin itu, sebuah hutan lebat yang dahsyat dan menyenangkan, sebuah dunia tanpa manusia yang tersimpan dan tersembunyi untuk dirinya sendiri. Ia melihat bunga-bunga yang tidak pernah dilihatnya, bahkan di toko bunga yang paling mahal sekalipun. Bunga-bunga hutan yang tumbuh liar tanpa sentuhan tangan manusia selalu lebih memesona daripada bunga di taman kota manapun. Maneka merendam kakinya yang mungil itu di sungai yang jernih dengan bebatuan yang terlihat jelas di dasarnya. Cahaya matahari membuat segalanya terlihat demi Maneka. Mata Maneka yang takjub bagaikan ingin menelan dunia ke dalam dirinya. Ia tidak pernah mengira bahwa daun yang tertimpa cahaya di sebaliknya memperlihatkan pesona hijau yang berbeda. Kerangka daun menjadi garis-garis hitam, ia tidak seperti melihat daun, melainkan sesuatu yang lain. Mata Maneka berkejap-kejap memandang semesta dedaunan yang melingkupinya.

Ia menoleh ke arah dari mana ia datang. Bisakah ia kembali ke kamarnya melalui cermin itu? Maneka terkesiap, dan berlari sekencang-kencangnya. Disibaknya semak-semak setengah gugup dan melaju ke arah bingkai yang tadi dimasukinya. Ternyata ia sudah jauh berjalan. Dengan terengah-engah Maneka berlari mendaki. Burung-burung beterbangan dari semak karena terkejut. Kini Maneka tak peduli. Ia berlari dan berlari, sampai akhirnya melihat tempat di mana ia tadi masuk. Ia melompat kembali ke kamarnya. Angin bertiup, dan sejumlah daun kering ikut beterbangan masuk ke sana. Maneka menoleh, ia melihat dirinya di cermin, di dalam kamar yang serba kelabu, masih terengah-engah dan baju tidurnya robek di sana-sini.

Terdengar ketukan di pintu.

“Maneka! Maneka! Sudah jam segini kok belum bangun?”

Ibunya tidak menunggu. Ia membuka pintu. Dilihatnya Maneka sedang memandang cermin dengan terengah-engah.

“Maneka! Kami dari mana? Lihat kakimu! Kotor!”

Maneka melihat kakinya, penuh dengan tanah yang basah. Lantai kamarnya penuh jejaknya yang kotor. Daun-daun kering bertebaran di atas tempat tidur.

Jendela masih tertutup. Ibunya tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun, ia senang melihat mata Maneka yang cemerlang seperti bintang.

Setelah ibunya pergi, Maneka menyanyi:

cerminku, cerminku
kenapa kamu bisa begitu

***

SEJAK peristiwa itu Maneka selalu berangkat tidur dengan perasaan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Ia masih selalu tidur tanpa bermimpi. Tetapi ketika bangun, matanya segera melirik ke arah cermin, dan ia tahu betapa dunia sudah berubah di seberang sana. Ia akan mengalami mimpi-mimpi yang nyata. Masih dari tempat tidurnya ia tahu bagaimana segalanya menjadi lain, karena cermin itu tidak pernah lagi memantulkan kamarnya yang serba kelabu. Apabila ia terbangun, ia melihat tepi sebuah dunia yang lain di mana ia bisa mengembara sepuas-puasnya. Seluruh dunia terdapat di balik cermin itu.

Pernah suatu ketika ia bahkan terbangun karena mendengar suara panggilan.

“Maneka! Maneka!”

Ia menuju ke cermin itu, terlihat dermaga yang menuju ke sebuah kapal.

“Ayo! Jadi ikut tidak?”

Ia melihat sebuah kapal pesiar dengan orang-orang berpesta di atasnya. Maneka tidak beranjak. Ia tidak suka berada di tengah orang banyak. Ia lebih suka sendiri. Maka ia tidak melangkahkan kakinya. Ia menggeleng. Perempuan yang tadi memanggilnya pun pergi. Dilihatnya perempuan yang juga masih mengenakan baju tidur itu menaiki tangga kapal, dan kapal itu pun membunyikan peluitnya. Maneka terus melihat kapal yang putih itu, sampai menghilang ke balik cakrawala.

Dunia begitu luas di balik cermin itu. Dalam waktu singkat Maneka merasa dirinya begitu kaya karena mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Ibunya masih selalu merasa bingung dengan keajaiban di dalam kamar Maneka. Kamar yang serba kelabu itu semakin sering menyisakan jejak-jejak dari dunia di seberang cermin. Bukan sekadar tanah dan daun-daun kering, tapi juga bunga-bunga, kayu bakar, mutiara, baju zirah, kitab sihir, tikus putih, sup kacang merah, topi, tombak, prangko, ban mobil, komik, mahkota, kain batik, disket, kamera, cermin kecil, tas, sapu lidi, bros, liontin, kulit kerang, teropong bintang, kaus oblong I Love New York, batu-batu pantai, pistol, pil koplo, dan akhirnya juga kondom.

Tiga benda terakhir itu membuat ibunya panik, namun tetap berusaha bijak.

“Maneka, Ibu menganggap kamu sudah dewasa, jadi Ibu sepenuhnya percaya kamu tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tolong hati-hatilah setiap kali engkau melangkah dalam hidupmu. Ibu tidak ingin kehilangan kamu.”

Maneka meyakinkan ibunya bahwa ia baik-baik saja, dan ibunya memilih untuk percaya. Tentu
saja. Apalah yang harus dikhawatirkan dari seorang dara yang tidak tergantung kepada apa pun dalam menentukan langkahnya?

Pagi ini Maneka kembali bangun dan kembali melirik, hidup sudah tidak membosankan lagi bagi Maneka karena setiap hari betul-betul dialaminya peristiwa baru. Ketika ia melirik, dilihatnya semburat cahaya senja yang kemerah-merahan dari langit di luar sana yang membias ke dalam kamarnya. Kamarnya tidak lagi kelabu pagi itu, melainkan kemerah-merahan karena cahaya senja dari matahari yang sedang turun perlahan-lahan ke balik cakrawala di seberang sana. Angin meniupkan bau laut. Cuping hidung Maneka bergerak. Ia melompat bangun dan menengok cermin itu, dan tertatap olehnya sebuah pemandangan yang penuh pesona. Tiada yang bisa lebih memesona selain senja merah keemas-emasan di tepi sebuah pantai yang membuat langit semburat jingga seperti seolah-olah terbakar sehingga air laut yang memantulkannya bagai genangan cat air yang kejingga-jinggaan dan keemas-emasan dan berkilau-kilauan.

Maneka beranjak dan melompat tanpa berpikir lagi. Baginya pemandangan senja adalah segala-galanya dalam hidup ini karena adalah senja yang memberi keyakinan kepadanya betapa hidup memang tidak akan pernah sama. Senja selalu menyadarkan Maneka, betapa perubahan adalah keberlangsungan setiap detik dan mesti betapa indah dan betapa penuh pesona senja itu, namun, akan selalu berakhir. Itulah sebabnya ia selalu memburu senja, seperti memburu cinta, betapapun tiada akan pernah abadinya cinta itu.

Ia berlari sepanjang pasir menuju ke pantai. Senja memang gemilang, tetapi dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat-mayat bergelimpangan sepanjang pantai yang berkilauan, sesekali terdorong karena hempasan ombak. Maneka terpana, ratusan, bahkan ribuan mayat terserak sepanjang pantai itu bagaikan akhir dari sebuah pertempuran yang mahadahsyat. Pantai begitu indah, namun melapetaka hanya menyampaikan duka. Maneka melangkah di antara ribuan mayat yang tergolek dan bertumpuk bagaikan susunan sebuah monumen. Sesekali dilihatnya darah mengalir di pasir yang basah. Ombak berdebur dan menghempas seperti biasanya ombak berdebur dan menghempas, tapi kali ini Maneka tidak sempat merenung. Ia memeriksa mayat itu satu persatu dengan harapan setidaknya masih bisa menemukan satu atau dua atau beberapa orang yang masih hidup, namun semuanya sudah mati.

Maneka berlari dari mayat yang satu ke mayat yang lain. Kali ini dunia di balik cermin itu bukan lagi sesuatu yang membuatnya meloncat-loncat bahagia. Air mata Maneka berderai melihat wajah-wajah yang menderita dalam kematiannya. Wajah-wajah yang penuh dengan cerita tak terbahasakan, namun menularkan langsung pengalaman duka mereka yang dalam. Mayat yang tertelungkup dengan panah di punggungnya, mayat yang terkapar dengan tombak di perutnya, dan mayat terduduk dengan belati di dadanya. Bagaimanakah pengalaman bisa begitu menyakitkan? Dunia Maneka yang indah, meriah, dan bahagia dalam kesendiriannya, rontok dan hancur lebur berkeping-keping tanpa sisa dalam dunia orang banyak. Cinta dan senja yang dirindukannya menjelma kepahitan tak tertahankan.

“Maneka! Maneka!” Ia mendengar suara, namun tak dipedulikannya.

Di tepi pantai itu, pohon-pohon nyiur berderet dalam siluet yang bagus, bagaikan pemandangan dari sebuah brosur pariwisata. Langit hanya merah dan Maneka menjadi sosok hitam yang berjalan di antara mayat-mayat bergelimpangan. Burung-burung camar mengakhiri jeritannya dan menghilang. Maneka termenung dalam kegelapan yang menjelang. Mayat-mayat itu adalah mayat orang-orang yang terbunuh. Mayat-mayat itu masih hangat, darah masih mengalir, beberapa di antaranya bahkan baru menghembuskan napas penghabisan ketika Maneka mendekatinya. Hanya beberapa saat sebelum Maneka melangkah dari cermin itu dan berlari menuju ke pantai. Apakah yang telah terjadi? Maneka berharap kejadian yang dialaminya kali ini benar-benar hanya sebuah mimpi buruk.

Maneka melangkah meninggalkan pantai. Debur ombak menjadi suara di kejauhan. Di atas bukit pasir ia tertegun, ke manakah ia harus kembali? Tidak ada kehidupan di tempat ini, hanya mayat-mayat, pasir, dan debur ombak. Ia tak bisa menemukan tempat dari mana ia tadi datang.

***

DI kamarnya yang serba kelabu, ibunya membuka pintu. Kamar itu kosong. Ibunya melangkah masuk. Dibukanya kamar mandi. Juga kosong. Dari cermin yang bulat dan besar, ibunya melihat lukisan yang selalu dipandang Maneka. Lukisan seorang perempuan yang melangkah dalam hujan gerimis, menempuh jalan berkelok-kelok di tepi jurang sambil membawa payung. Lukisan itu mengingatkannya kepada sesuatu.

“Aku ingin pergi jauh Ibu,” kata Maneka selalu di masa kecilnya, “pergi jauh ke sebuah dunia yang belum kukenal.”

Ibunya keluar kamar. Ia memanggil.

“Maneka!”

Cermin Maneka tetap seperti dulu, diam dan membisu, membayangkan kembali kamar yang kelabu.

Pondok Aren, Minggu Legi, 17 September 2000.
Sumber: Kompas, Minggu 8 Oktober 2000

Download cerpen ini KLIK di sini

Wednesday, April 28, 2010

Musikalisasi Puisi: Hatiku Selembar Daun

HATIKU SELEMBAR DAUN

Sapardi Djoko Damono

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput

nanti dulu, biarkan aku sejenak

berbaring di sini:

ada yang masih ingin kupandang

yang selama ini senantiasa luput

sesaat adalah abadi, sebelum kausapu

tamanmu setiap pagi



Download musikalisasi puisi ini MP3


Contoh Drama Pendek Puntung CM Pudjadi

A.Y.O. !

Drama Pendek Puntung CM Pudjadi

(naskah ini pernah dimuat di Harian BERNAS Yogya tahun 90-an)



DRAMA dimulai saat seorang laki-laki terkapar mengerang-erang di atas panggung. Nampaknya ia baru saja dianiaya. Mukanya bersimbah darah yang meleleh dari hidungnya.

Seseorang mendatangi kemudian nampak panik dan berteriak-teriak meminta tolong. Ia meraih sebuah kenthongan atau entah apa yang kemudian ia bunyikan dengan irama gaduh.

Datang serombongan orang yang kemudian ikut-ikutan panik dan kacau. Lantas lebih kacau lagi ketika orang-orang yang datang kemudian itu ikut-ikutan memukul-mukul benda apa saja asal menimbulkan bunyi.

Kemudian datang seorang lagi yang agaknya keheranan melihat sekumpulan orang panik tanpa berbuat sesuatu kecuali memukul-mukul. Ia berusaha melerai orang-orang, menenangkan.

Seseorang

Tenang dulu, Saudara. Tenang dulu…. Ini ada apa? Mengapa tiba-tiba kalian menjadi panik dan gaduh tidak karuan? Ada apa?

Suara kenthongan dan kegaduhan yang lain berhenti.


Seseorang
Coba dijelas kan dulu pada saya ada persoalan apa? Kok tiba-tiba saja menjadi begini.

Yang lain
Iya. ada apa?

Yang lain
Lho, ada apa?


Si orang yang datang pertama kali tentu saja perlu menjelaskan.


Orang yang I
Ini begini. Orang yang terkapar ini adalah warga kita. Tadi saya melihat ia bertengkar dengan seorang prajurit pengawal raja. Lantas tiba-tiba plok! dan bak-buk-bak-buk! Kemudian ia terkapar.

Yang lain
Jadi orong ini dipukuli dengan semena-mena dan tanpa peri kemanusiaan oleh seorang prajurit pengawal raja?

Orang I
Ya.

Yang lain
Tanpa perlawanan'?

Orang I
Tanpa perlawanan.

Yang lain
Kamudian ditinggal pergi?

Orang I
Kemudian ditinggal pergi

Yang lain
Biadab!

Yang lain
Tidak berperikemanusiaan!

Yang lain
Sewenang-wenang!

Yang lain
Main hakim sendiri!

Yang lain
Tidak bertanggung jawab!

Yang lain
Kurangajar!

Lantas suasana kembali menjadi gaduh. Seseorang tampil kembali menjadi penenang.

Seseorang
Tenang dulu saudara-saudara. Kita harus bisa berpikir dengan jernih! (Suasana menjadi tenang kembali). Nah, apakah yang akan kita lakuka, mari kita rembug secara baik-baik.

Seseorang tampil mengobarkan semangat.

Pemberi semangat
Saudara-saudara, kita telah melihat sebuah tindakan sewenang-wenang di depan mata kita. Kita telah melihat pelangaaran kemanusiaan. Kita melihat main hakim dan tindakan dari orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Apakah kita akan biarkan terus kejadian seperti ini akan terjadi setiap saat?!

Orang-orang
Tidaaaaakkk!

Pemberi semangat
Ini bukan kejadian yang pertama kalinya, Saudara. Dan kejadian ini tidak akan berhenti apabila kita tidak bertindak. Apakah Saudara bersedia untuk menghentikan sebuah tindakan kesewenang-wenangan ini dan menjadi patriot, perintis tegaknya sebuah keadilan di bumi ini?

Orang-orang
Bersediaaaa!!!

Pemberi semangat
Lantas apakah kita harus menunggu sampal kita sendiri menjadi korban pembantaian oleh oknum kurang ajar dan tak bertanggungjawab itu?

Orang-orang
Tidaaak!

Yang lain
Kita harus melakukan sesuatu.

Yang lain
Kita harus tegakkan keadilan di bumi pertiwi ini.

Yang lain
Ini bukan kejadian yang pertama. Dulu ada juga warga kita yang diperlakukan seperti ini

Yang lain
Dan kejadian ini akan terus terulang.

Yang lain
Dulu orang kampung sebelah malah sampai sekarat

Yang lain
Kita harus menghentikan kebiadaban tni

Yang lain
Ini tidak bisa kita biarkan.

Yang lain
Kita harus menghentikan kesewenang-wenangan ini. Kita harus melakukan sesuatu.

Yang lain
Ya! Kita harus melakukan sesuatu.

Yang lain
Tapi 'sesuatu' itu apa?

Yang lain
Ya entah pokoknya yang bisa menghentikan tindakan sewenang-wenang ini.

Yang lain
Kita harus meminta pertanggungjawaban oknum yang menganiaya warga kita ini.

Yang lain
Kita tuntut beramai-ramai.

Yang lain
Berbondong-bondong kita datangi komandan si oknum, kita laporkan tindakannya yang kurang ajar.

Yang lain
Kalau perlu kita datangt sambil membawa poster-poster dan slogan- slogan.

Yang lain
Sambil kita teriakkan yel-yel

Yang lain
Kalau perlu kita hubungi pers!

Yang lain
Mari kita lakukan !

Yang lain
Ayo !

Yang lain
Ayo !


Yang lain
Ayo ! Ayo !

Seseorang
Sebentar! Kalau kita mau menghadap komandannya dan melaporkan tindakan oknum tadi, kita betul-betul harus tahu permasalahannya, kronologis peristiwanya, apakah Saudara mengerti dengan jelas urut-urutan kejadiannya?

Semuanya bengong.

Yang lain
Lho, tadi yangmelihat pertama siapa?

Yang lain
Iya, yang mengetahui urutan kejadiannya siapa?

Yang lain
Siapa?

Yang lain
Kalau tidak salah kamu toh yang melihat dan menjadi saksi kebiadaban oknum prajurit kurangajar tadi?

Orang I
Saya cuma lihat sedikit

Yang lain
Itu sudah cukup. Untuk seterusnya kita sudah bisa membayangkan kejadiannya.

Yang lain
Tidak bisa dong, kita harus jelas dan pasti dengan kejadiannya agar laporan kita bisa dipertangungjawabkan.

Yang lain
Lha, tadi urutan kejadian yang Saudara lihat bagaimana?

Orang I
Saya sedangberdiri di sana, kemudian saya mendengar ada pertengkaran antara korban ini dengan seorang oknum prajurit kerajaan. Kemudian plok dan lantas bak-buk-bak-buk. Kemudian orang ini terkapar di sini mengerang-erang.

Yang lain
Jadi bertengkar lantas plok-bak-buk-bak-buk?

Orang 1
Lantas nyekakar dan mengerang-erang!

Yang lain
Biadab!

Yang lain
Kurang ajar!
Yang lain
Tidak berperikemanusiaan!
Yang lain
Barbar dan kurangajar!

Pemberi semangat
Diam! Kalau kita sekedar mengumpat-umpat. persoalannya tidak bakalan selesai. Begini, kita harus melakukan sesuatu!

Yang lain
Lantas bagaimana tindakan kita?

Pemberi semangat
Kita sudah mendengar ceritanya. Kita sudah melihat korbannya, maka sekarang saatnya kita bertindak!

Yang lain
Bertindak bagaimana?

Pemberi semangat
Pokoknya bertindak!

Yang lain
Bertindak bagaimana?

Pemberi semangat
Melakukan sesuatu !

Semua
Ayoooo!

Seseorang
Sesuatu yang bagaimana?

Pemberi semangat
Pokoknya menghentikan tindakan sewenang-wenang dan menegakkan keadilan di muka bumi!

Semua
Ayooo!

Seseorang
Bagaimana caranya?

Pemberi semangat
Kita datangi komandan pasukan si oknum. Kita beri laporan. Kita tuntut!

Semua
Ayooo!

Seseorang
Lantas?

Pemberi semangat
Kita tuntut si prajurit edan itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Semua
Ayooo!

Seseorang
Setelah itu?

Pemberi semangat
Kita suruh si prajurit mengakui kesalahannya, agar ia menjadi jera, kemudian tidak melakukan perbuatan ini lagi dan keadilan kita tegakkan!

Semua
Ayooo!

Seseorang
Apakah semudah itu?

Pemberi semangat
Akan kita coba! Saudara-saudara, apakah saudara rela kesewenang-wenangan mendera kita tiap hari?

Semua
Tidaaaakk!

Pemberi semangat
Apakah akan kita biarkan satu per satu warga kita akan mengalami kejadian seperti korban kali ini?

Semua
Tidaaakk!

Pemberi semangat
Lantas kenapa Saudara tetap di sini. Apa yang kalian tunggu???

Yang lain
Ayo kita lakukan sekarang!

Yang lain
Sekarang!

Yang lain
Ayo!

Yang lain
Ayo!

Yang lain
Ayo! Ayo!

Yang lain
Ayo, Saudara saja nanti yang nienjadi juru bicara kita, cucuking ajurit kelompok ini.

Si pemberi semangat justru celingak-celinguk.

Yang lain
Ayo! Kenapa jadi lembek!

Pemberi semangat
(Kendor) Lho. untuk menjadi cucuking ajurit toh tidak mesti saya. . .

Yang lain
Lantas siapa?

Yang lain
Tidak ada yang lainnya.

Yang lain
Kita semua sudah melihat bagaimana pandainya Saudara berbicara dan berpidato membangkitkan semangat kami. Maka tak ada colon lain kecuali Saudara.

Pemberi semangat
Jangan saya, bagaimana kalau saya tunjuk saja. Saudara...

Yang lain
Wah., jangan, saya… saya tak biasa berbicara, apalagi di depan umum dan melaporkan suatu kejadian penting.

Pemberi semangat
Apa Saudara?


Yang lain
Wah, saya sok kecetit lidah kalau berbicara di depan pejabat Jangan jangan laporan saya malah terbalik.

Pemberi semangat
Bagaimana kalau Saudara saja.

Yang lain
Enak saja menunjuk saya. Saya ini dari tadi kan cuma ikut-ikutan saja, masak ditunjuk jadi pimpinan.

Pemberi semangat
Lantas siapa?

Semua
Ya Saudara!

Pemberi semangat
(Ciut nyalinya) Jangan saya. . . Saya sebaiknya berada di belakang.

Yang lain
Saudara harus mau!
Yang lain
Ya. Harus!

Pemberi semangat
(ciut nyali namun tiba-tiba mendapat ilham)
Ah, jangan saya. Saya lebih tepat menolong korban ini saja. Merawatnya.
Lho, korban ini keadaannya sangat parah, butuh segera pertolongan. Nah, saya menyediakan diri untuk merawatnya...

Pemberi semangat lantas mencoba merawat korban.

Yang lain
E. e, benar juga, merawat korban yang terluka seperti ini juga membutuhkan suatu pengorbanan tertentu. Sebaiknya saya bantu saudara itu...

Yang lain
Kemanusiaan memang harus ditegakkan. Kita tolong dia.

Yang lain
Betul sekali, mari saya bantu.

Yang lain
Mau diangkut ke mana? Mari saya bantu.

Yang lain
Yuk dibantu yuk...

Seseorang
Lho, bagaimana dengan keadilan yang mau kita tegakkan

Pemberi semangat
Silahkan diperjuangkan Mas, saya lebih cocok memperjuangkan kemanusiaan. Tugas kemanusian saya pikir juga tugas yang mulia.

Mereka beramai-ramai menggotong korban.



Tinggal di panggung cuma satu orang. Si orang I, saksi yang melihat kejadian pertama kali. Beberapa saat kemudian terdengar suara pertengkaran dari sudut panggung. Lantas terdengar suara : Plok! Bak-buk-bak-buk!

Lantas seseorang yang berlumuran darah terhuyung masuk panggung kemudian terkapar jatuh. Si orang I segera membunyikan kentongan. Ribut dan secara perlahan layar di tutup***


Download naskah drama ini KLIK DI SINI
Naskah drama lain? Klik di sini

Tuesday, April 27, 2010

Sinopsis Novel Zahra

ZAHRA


(Novel karya Aoh Kartahadimadja)

Novel ini adalah salah satu karya Aoh Kartahadimadja yang mengisahkan perjuangan seorang arsitek pengairan dalam membuat saluran irigasi di desanya. Saluran irigasi itu dibangun dengan mengeringkan rawa. Betapa keras perjuangan lelaki yang bernama Koswara ini.

Dalam membangun saluran irigasi itu, Koswara dibantu oleh mantan kekasihnya yang telah bekerja sebagai inspektur sosial. Wanita itu Sitti Zahra. Dengan demikian, judul novel ini diambil dari nama wanita ini.

Kosawara adalah seorang arsitek pengairan di daerah Banjar, Jawa Barat. Sebelum melaksanakan projeknya, mengeringkan rawa Lakbok sebagai tempat pengairan sawah-sawah di sekitarnya, ia membuat selamatan dengan menanam kepala kerbau. Usaha mulian ini dilakukan agar sawah-sawah milik warga desa mendapat pengairan yang cukup dan hasil panen akan meningkat. Itulah cita-citanya sejak kecil.

Karena projek itu, Koswara sering mengabaikan rumah tangga dan keluarganya. Ia jarang memperhatikan Rini, istrinya. Bukan hanya itu saja, seluruh harta bendanya, termasuk perhiasan istrinya habis dijualnya untuk membiayai projek ambisius itu. Tidak hanya itu saja. Persoalan yang sama juga menimpa rumah tangga Karyadi, bawahan Koswara.

Hingga suatu ketika, Koswara menerima surat dari Dapartemen Sosial yang memberitahukan bahwa projek Koswara akan diperksa oleh inspektur sosial. Tentu saja Koswara merasa sangat senang karena projeknya diperhatikan oleh pemerintah melalui Dinas Sosial. Lebih dari itu, kebahagian Karena Inspektur Sosial yang akan berkunjung itu adalah Sitti Zahra, mantan kekasihnya, yang sungguh memahami obsesinya sejak kecil.

Maka pada hari kedatangan inspektur sosial itu, Koswara menjemputnya di Stasiun. Demikianlah, hari-hari Koswara kini kembali bergairah. Ada mantan kekasih yang sungguh sangat memahami obsesinya, ada dukungan moral, dan ada kesempatan mengenang kembali masa-masa indah ketika ia dan Zahra menjalin cinta dulu. Koswara dan Zahra sering jalan bersama. Koswara juga menceritakan keadaan rumah tangganya kepada Zahra. Juga tentang istrinya, Rini, yang kurang menyemangatinya dalam membangun projek ambisius itu.

Hubungan Koswara dengan Zahra akhirnya tercium oleh Rin, isteri Koswara. Tertutup oleh cemburu buta, Zahra dilabrak oleh Rini. Zahra yang dewasa, lebih berpendidikan akhirnya dapat menenagkan Rini. Zahra menjelaskan bahwa hubungan Koswara dengan Zahra hanyalah sebatas hubungan kerja, hubungan sahabat, tidak lebih. Masa indah mereka dulu hanyalah sebuah kenangan, karena mereka masing-masing sudah berkeluarga. Zahra bahkan berhasil meyakinkan Rini bahwa niat suaminya dengan projek itu adalah pekerjaan mulia yang akan sangat berguna bagi bangsa dan negara. Maka Zahra berharap, Rina sebagai istri mendukung Koswara, suaminya. Koswara dengan projek besarnya butuh pendampingan dan support seorang istri.

Nasihat panjang lebar Zahra ternyata meluluhkan hati dan perasaan Rini. Rini mulai berubah sikap. Ia menjadi sangat perhatian kepada Koswara suaminya. Ia juga memberikan semangat agar suaminya tetap teguh menjalankan projeknya itu karena projek itu sungguh akan membantu penduduk dan sungguh bermanfaat bagi bangsa dan negara. Rini sangat berterima kasih kepada Zahra yang telah mengingatkannya bagaimana harus bersikap sebagai seorang istri yang sebenar-benarnya.***


Download sinopsis ini? Klik di sini
Baca sinopsis novel lain? Klik di sini

MANGIR: Drama Pramudya Ananta Tuur

Mangir
Pramudya Ananta Tuur

Dramatic Personae

Wanabaya, Ki Ageng Mangir, pemuda, + 23 tahun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah.

Baru Klinting, tetua Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, organisator.

Pambayun, Putri, putri pertama Panembahan Senapati dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram, berpikiran masak.

Suriwang, pandai tombak, + 50 tahun, pengikut fanatik Baru Klinting.

Kimong, telik Mataram, + 30 tahun.

Tumenggung Mandaraka, pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan telik Mataram.

Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun.

Pangeran Purbaya, anak pertama Panembahan Senapati, + 20 tahun.

Tumenggung Jagaraga, anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun.

Tumenggung Pringgalaya, anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun.

Panembahan Senapati. Raja Pertama Mataram, + 45 tahun.

Demang Pajang, + 42 tahun.

Demang Patalan, + 35 tahun.

Demang Pandak, + 46 tahun.

Demang Jodog, + 55 tahun

Pencerita (troubadour).

Pencerita (Troubadour) bercerita dengan iringan gendang kecil sebelum layar diangkat

Siapa belum pernah dengar Cerita lama tentang Perdikan Mangir Sebelah barat daya Mataram?
Dengar, dengar, dengar: aku punya cerita.
Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan Wibawa ada dalam dadanya Bijaksana ada pada lidahnya rakyat Mangir hanya tahu bersuka dan bekerja
Tinggal sejengkal lidah
Dijadikannya tombak pusaka
Itulah konon tombak pusaka
Si Baru Klinting….

Layar – terbuka pelan-pelan dalam tingkahan gendang pencerita, mengangakan panggung yang gelap gulita.
Pencerita – berjalan mundur memasuki panggung gelap dengan pukulan gendang semakin lemah, kemudian hilang dari panggung.
Setting – Sebuah ruang pendopo di bawah sokosoko guru terukir berwarna (polichromed), dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu.
Di atas meja berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar – belakang adalah dinding rumah- dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong.

BARU KLINTING (duduk di sebuah bangku pada ujung meja, menoleh pada penonton).
Hmm! (Dengan perbukuan jari-jari tangan memukul pojokan meja, dalam keadaan masih menoleh pada penonton). Sini, kau Suriwang!

SURIWANG(memasuki panggung membawa seikat mata tombak tak bertangkai, berhenti; dengan satu tangan berpegang pada sebuah sokoguru).
Inilah Suriwang, pandai tombak terpercaya Baru Klinting. (menghampiri Baru Klinting, meletakkan ikatan tombak di atas meja). Pilih mana saja, Klinting, tak bakal kau dapat mencela.

BARU KLINTING (mencabut sebilah, melempar-tancapkan pada daun meja, mengangkat dagu): Setiap mata bikinan Suriwang sebelas prajurit Mataram tebusan.

SURIWANG
Ai-ai-ai tak bisa lain. Segala apa yang baik untuk Suriwang, lebih baik lagi untuk Klinting, laksana kebajikan menghias wanita jelita, laksana bintang menghias langit-lebih, lebih baik lagi untuk Wanabaya, Ki Ageng Mangir.

BARU KLINTING (memberi isyarat dengan kepala).
Tinggalkan yang tertancap ini. Singkirkan selebihnya di ambin sana.

SURIWANG (mengambil ikatan mata tombak, mendekatkan mulut pada Baru Klinting).
Semua usaha kembang, bumi ditanami jadi. Datanglah hari setelah setahun menanti Pesta awal Sura
Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba tombak, Dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan, semua dating Di dapur Ki Ageng Mangir Tua Habis pisau perajang terpakai.
Datang perawan Mendes mohon pada Ki Ageng:
- Pinjami si Mendes ini pisau sebilah - Hanya tinggal belati pusaka boleh kau menggunakan, tapi jangan kau lupa Dipangku dia jadi bahala. Perawan Mendes terlupa belati pusaka dipangkunya
Ah, ah, bayi mendadak terkandung dalam rahimnya Lahir ke atas bumi berwujud ular sanca
- Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku begini rupa Malu pada perdikannya
Malu pada sanak tetangga, Ki Ageng lari seorang diri, Jauh ke gunung Merapi, Mohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Ki Ageng Mangir Tua bertapa. Dia bertapa!
Datang seekor ular padanya Melingkar mengangkat sembah – Inilah Baru Klinting sendiri.
Datang untuk berbakti Biar menjijikkan begini Adalah putramu sendiri. Ki Ageng mengangkat muka
Kecewa melihat sang putra - Tiada aku berputra seekor ular Kecuali bila berbukti Dengan kepala sampai ekor Dapat lingkari Gunung Merapi. Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir Tua Baru Klinting lingkari Gunung Merapi Tinggal hanya sejengkal Lidah dijelirkan untuk penyambung Ki Ageng memenggalnya dengan keris pusaka. Ular lari menghilang Mengapa tak kau perintahkan balatentara
Mangir menusuk masuk ke benteng Matarammelindas raja dan semua calonnya?

BARU KLINTING (pergi menghindar).

SURIWANG (membawa ikatan mata tombak, bicara pada diri sendiri).
Baru Klinting! Seperti dewa turun ke bumi dari ketiadaan. (menganggukangguk).
Anak desa ahli siasat – dengan Ronggeng Jaya Manggilingan digilingnya balatentara
Mataram, pulang ke desa membawa kemenangan. (pada Baru Klinting). Masih kau biarkan Panembahan Senapati berpongah dengan tahta dan mahkota?

BARU KLINTING (bersilang tangan).
Mataram takkan lagi mampu melangkah ke selatan. Kepungan Mangir sama tajam dengan mata pedang pada lehernya. Pada akhirnya bakal datang dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.

SURIWANG (meletakkan ikatan tombak di atas Iantai, menghampiri Baru Klinting).
Bakal datang dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.

BARU KLINTING
Belum mampu pandangmu menembus hari dekat mendatang? Dia akan datang – hari penghinaan itu. Kan meruap hilang impian Panembahan, jadi raja tunggal menggagahi Pulau Jawa. Bakal telanjang diri dia dalam kekalahan dan kehinaan.

SURIWANG
Ai-ai-ai tak bisa lain, Klinting. Perdikan Mangir sudah lima turunan berdiri. Lapanglah jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita Majapahit.
Demak tak berani raba, Pajang tak pernah jamah. Ai-ai-ai, Panembahan Senapati, anak ingusan kemarin, kini mau coba-coba kuasai Mangir.

BARU KLINTING
Apa pula hendak kau katakan, Suriwang?

SURIWANG
Mataram bernafsu mengangkang di atas Mangir! Ai-ai-ai. Mengangkat diri jadi raja, kirimkan patihnya Singaranu – ke Mangir, Klinting, – menuntut takluk dan upeti, barang gubal dan barang jadi. Perdikan Mangir hendak dicoba! Pulang tangan hampa, balik kembali dengan balatentara. Kau telah bikin panglima Mataram, Takih Susetya, berantakan dengan supit-urangnya. Ai-ai-ai tak bisa lain, tak bisa lain. Klinting, kau benar-benar dewa turun ke bumi – tumpas mereka dengan Ronggeng Jaya Manggilinganmu. Ke mana panglima Mataram itu kini menghilang larikan malunya?

BARU KLINTING
Bikin kau tombak tambahan – delapan ratus mata senilai ini (menuding pada mata tombak tertancap di atas meja).

SURIWANG
Delapan ratus lagi – bukan cuma Mataram, Ki Ageng Mangir Muda.

BARU KLINTING (memperingatkan).
Mangir akan tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan.
Semua orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sama dengan semua.

Baca dan download naskah lengkap?

Contoh Drama Pendek dua Orang: Nyanyian Angsa - Anton P. Chekov

NYANYIAN ANGSA

Anton P.Chekov

Pelaku :
Vasili Svietlovidoff : Seorang komedian berumur 68 tahun
Nikita Ivanitch : Seorang promter (pembisik), orang tua


Skene ini terjadi di atas sebuah teater daerah. Malam hari setelah pementasan. Si sebelah kanan keadaannya tidak teratur dan ada pintu usang tak bercat ke kamar-kamar pakaian. Di sebelah kiri dan latar belakang pentas diseraki oleh bermacam-macam barang usang. Di bagian tengah ada sebuah kursi polos terjungkir.


1. SVIETLOVIDOFF:
(dengan sebuah lilin ditangan, keluar dari kamar pakaian dan tertawa)
ya, ya ini gila sekali! Sungguh ini lelucon yang sangat bagus. Aku jatuh dari kamar pakaian setelah pementasan habis, dan di situ aku dengan tenang ngorok setelah semua orang meninggalkan gedung teater ini. Ah! Aku memang orang tua yang tolol, si tua yang sialan! Kiranya aku telah minum lagi sehingga aku tertidur di dalam sana, tergeletak. Sungguh pintar! Selamatlah kau pemuda gaek! (memanggil) Yeghorka! Petruskha! Di mana engkau setan, Petruska? Kedua bajingan itu tentulah sudah tidur, dan meskipun gempa tak akan bisa membangunkan mereka sekarang!

Yekhorka (mengambil kursi polos, lalu duduk setelah meletakkan lilin di atas lantai) tak ada suara! Hanya gema yang menyahutku.

Aku beri Yegorkha dan Petruskha persen setiap hari dan mereka telah hembus dan mungkin sekali telah mengunci gedung teater ini. (menggoyang-goyangkan kepalanya). Aku mabuk.

Ugh, pementasan malam ini sungguh menggembirakan, dan alngkah gilanya jika dipikir. Berapa banyak bir dan anggur yang telah kutuang ke dalam tenggorokan untuk menghormati peristiwa ini. Luar biasa! Rasanya tubuhku ikut tenggelam seluruhnya dan kurasa ada dua puluh macam lidah didalam mulutku. Sungguh gila! Tolol sekali! Si jahanam yang malang dan gaek ini telah mabuk lagi dan tidak tahu apa sebenarnya yang dia Tuhankan! Ugh kepalaku remuk, seluruh tubuhku menggeletar dan aku m,erasa dingin serta gelap bagaikan dalam kolong bawah tanah. Bahkan jika aku tidk lupa hancurnya kesehatanku, seharusnyalah aku ingat umurku. Betul-betul si gaek yang tolol aku ini. Yah! Umurku yang telah tua, tak ada gunanya lagi. dan aku yang berlaku dengan tolol, pongah, dan pura-pura muda padahal hidupku sekarang telah usai. Kuciumi juga tanganku yang telah enampuluh depalan tahun berlalu dan tak mungkin kulihat kembali. Aku kosongkan botol itu. Hanya tinggal beberapa tetes lagi di dasar, itupun cuma kerak-kerak. Ya, ya demikianlah halnya, Vasili, pemuda gaek. Waktu telah tiba bagimu untuk meltih peranan sebagai orang mati, suka atau tidak. Kematian kini sedang diperjalanan menujumu (melotot ke atas).

Aneh sekali, meskipun aku telah berada di pentas 40 tahun selama ini, baru kali pertama inilah aku menyaksikan gedung teater ini malam hari, setelah lampu-lampu dipadamkan. Untuk kali pertama! (berjalan bangkit ke arah lampu kaki) alangkah gelapnya di sini. Aku tak dapat melihat apa-apa. Oh ya, aku dapat melihat lubang sipembisik dan mejanya, terbaring di dalam liang yang gelap, hitam tak berdasar, macam kuburan dimana maut mungkin sedang bersembunyi. Brrrrr …….. betapa dinginnya ini. Angin berhembus dari tetater kosong ini seperti keluar dari terowongan batu. Ini tempat hantu! Tengkukku jadi begidik (menggigil). Yegorkha! Petruskha! Dimana kalian berdua? Apa yang menyebabkan aku merasa benda-benda yang ada di sekitarku menyeramkan? Aku semestinya diberi minuman, aku seorang tua. Aku tidak akan hidup lebih lama lagi. pada usia 68 orang pergi ke tempat beribadah, dan bersiap-siap untuk kematian. Tetapi aku di sini. Ya tuhan! Anak yatim tua ini mabuk dalam pakaian tololnya. Aku tidak pantas lagi kelihatan begini. Aku mestinya pergi untuk menukarnya.
…………. Ini memang tempat maut dan aku tentu akan mampus ketakutan kalau di sini semalaman. (keluar menuju kamar pakaian). Ketika itu juga muncul nikita ivanitch, muncul dengan pakaian serba putih dari kamar pakaian di ujung pentas.

2. SVIETLOVIDOFF:
(melihat Ivanitch, kemudian menjerit kaget sambil mundur ke belakang) Siapa kau? Apa, apa perlumu? (menghentakkan kaki) siapa kau?

3. IVANITCH :
Ini aku, Tuan…!

4. SVIETLOVIDOFF :
Siapa kau? Ivanitch?

5. IVANITCH :
(Datang mendekat perlahan-lahan) Ini aku,Tuan, si pembisik!

6. SVIETLOVIDOFF :
(Terhuyung-huyung ke kursi, bernafas sesak lalu menggeletar hebat) Ya Tuhan! Siapakah kau? Itu kau… kaukah itu Nikituskha? Apa…apa yang kau kerjakan di sini?

7. IVANITCH :
Aku menginap malam ini di lemari pakaian. Mohon sekali tuan jangan beritahukan Alexi Komitch. Aku tak punya tempat tinggal lain untuk menginap malam ini. Aku sungguh-sungguh tak punya.

8. SVIETLOVIDOFF :
Ah! Nikituskha? Cobalah pikir, mereka menyeruku 16 kali. Mereka memberiku tiga bungkus bunga dan banyak lagi benda-benda yang lain. Antusias mereka sudah melonjak-lonjak.Namun tiada sebuah hatipun datang setelah pementasan selesai, untuk membangunkan orang tua yang malang ini dan membawanya pulang ke rumah. Dan aku, akulah… orang tua itu Nikituskha! Usiaku telah 68,sakit-sakitan lagi, dan aku tak punya harapan lagi untuk hidup. (Jatuh memeluk leher IVANITCH dan menangis). Jangan pergi jauh NIKITUSKHA! Aku sudah uzur, tak ada harapan lagi, dan kurasa inilah saatnya aku mati. Oh ini sangat mengerikan! Mengerikan sekali!

9. IVANITCH :
(Kasihan dan penuh hormat) Tuan, kini sebaiknya Tuan pulang saja.

10. SVIETLOVIDOFF :
Aku tak mau pulang. Aku tak punya rumah. Tidak! Tidak! Tidak!

11. IVANITCH :
Oh Masak Tuan lupa di mana Tuan tinggal?

12. SVIETLOVDOFF :
Aku tak mau kesana, aku tak mau! Aku cuma sendirian di sana. Aku tak punya keluarga. Nikituskha! Tak punya istri, tak punya anak. Aku seperti angin yang berhembus melintasi padang-padang yang sepi. Aku akan mati dan tak seorangpun akan mengikuti. "Sungguh mengerikan kesendirian ini.Tak ada yang membahagiakanku, tak ada yang mengasihiku. Tak ada yang mau menolong aku ketempat tidur kalau aku mabuk. Punya siapakah aku ini? Siapa yang membutuhkan aku? Dan siapakah yang mencintai aku? Tak sebuah hatipun, Nikituskha.

13. IVANITCH :
(Menangis) Penonton mencintai Tuan.

14. SVIETLOVIDOFF :
Penonton sudah pulang. Mereka semua sudah tidur dan melupakan si badut tuanya. Tidak seorangpun membutuhkan aku, tak ada yang mencintaiku. Aku tak punya istri dan tak punya anak.

15. IVANITCH :
Oh Tuan.oh Tuan! Jangan jadi begitu murung karenanya.

16. SVIETHLOVIDOFF :
Tetapi aku seorang laki-laki dan masih hidup segar. Darah masih terus mengalir dalam nadiku, darah warisan bangsawan. Aku seorang Aristokrat Nikithuskha! Aku telah mengabdi dalam ketentaraan dibagian artileri sebelum jatuh aku jatuh hina. Betapa gagahnya aku sewaktu muda. Tampan gagah dan berani! Kemanakah itu semua pergi? Apa jadinya itu semua dimasa tua? Tentulah ada liang yang telah menelan itu semua! Aku mengenang itu semua sekarang.
Telah 45 tahun hidupku tenggelam disitu. Hidup apa itu Nikituskha?Aku dapat melihatnya dengan jelas seperti melihat wajahmu : remaja yang riang , bersemangat, gairah pujaan wanita. Wanita Nikituskha!

17. IVANITCH :
Sebaiknya Tuan tidur saja sekarang!

18. SVIETLOVIDOFF :
Ketika baru-baru aku naik ke pentas, semasih gairah remaja bergejolak, aku ingat seorang wanita yang jatuh cinta karena aktingku. Dia sangat cantik, tinggi semampai, muda, suci, tak bercela, berseri-seri laksana fajar musim panas. Semuanya dapat tembus menyinari kegelapan malam.
Masih kuingat sekali ketika aku berdiri di depannya seperti sekarang aku berdiri didepanmu.Dia kelihatan begitu mencintaiku, tidak seperti kenyataan kemudian. Berkatalah ia kepadaku supaya memandang dengan pandangan demikian! Pandangan yang tidak dapat kulupakan, tidak bahkan sampai kekubur seklipun. Begitu kasih, begitu lembut, begitu dalam, begitu bersinar ceria!
Dengan sangat riang mabuk kepayang, aku berlutut di hadapannya. Lalu aku mohon demi kebahagiaan, dan berkatalah ia: " tinggalkan pentas".
Kau mengerti? Dia dapat mencintai akting. Tetapi, buat mengawininya tidak! Aku sedang berlakon pada suatu ketika. Ya, aku ingat, aku berperan sebagai badut yang tolol. Setelah berlakon aku merasa mataku jadi terbuka karena melihat apa yang pernah kuanggap pemujaan kepada seni begitu suci, sebenarnya adalah khayalan dan impian kosong belaka. Bahwa aku adalah badut yang tolol dan menjadi permainan yang asing dan sia-sia.
"Akhirnya aku mengerti tentang penonton. Sejak saat itu aku tak percaya lagi pada tepukan tepukan mereka, atau pada bungkusan bunga mereka atau pada ketertarikan mereka. Ya, Nikituskha!orang memuja aku, membeli gambarku, tetapi aku tetap asing bagi mereka. Mereka memburu-mburu supaya dapat bertemu dengan aku tetapi melarang adik perempuan atau putrinya untuk kawin denganku, seorang yang hina dina. Tidak! Aku tak yakin lagi kepada mereka. (terhenyak dalam kursi polos) Tak yakin lagi kepada mereka.

19. IVANITCH :
Oh Tuan!Kau kelihatan begitu pucat pasi. Kau dekati aku dengan kematian. Ayolah, kasihani aku!

20. SVIETLOVIDOFF :
Ketika aku telah mengetahui segalanya dan pengetahuan itu telah dibeli tunai, Nikituskha! Setelah itu…jika gadis itu…nah, kumulailah penggambaran tanpa tujuan hidup dari hari kehari, tanpa tujuan apa-apa.Akupun mengambil peranan pelawak murahan. Membiarkan diriku hancur.Oh, mestinya aku dulu adalah seorang artis yang besar namun perlahan-lahan aku buang jauh-jauh bakatku dan memainkan banyolan-banyolan tolol, kehilangan pegangan, kehilangan kekuatan ekspresi diri. Lalu, akhirnya hanya menjadi seorang banci Marry Andrew dari pada seorang laki-laki. Aku telah ditelan seluruhnya kedalam liang besar yang gelap. Namun, malam ini ketika aku terbangun kulihat kebelakang. Di sana , di sampingku terbentanglah waktu68 tahun.
Barulah aku menyadari betapa lamannya itu sudah. Dan, semua itu telah berlalu… (tersedu-sedu)…semuanya telah berlalu…..

21. IVANITCH :
Di sana, di sana, Tuan! Diamlah….mudah-mudahan! (Memanggil) Petrushka! Yegorhka!

22. SVIETLOVIDOFF :
"Tetapi, betapa jeniusnya aku. Aku tidak bisa membayangkan kemampuanku, betapa fasih, bagaimana menariknya aku, betapa peka, dan betapa hebat tali senar (menepuk-nepuk dada) menggetar di dalam dada ini. Sungguh berdebar perasaanku memikirkannya!
Dengarlah sekarang! Tunggu! Biar aku tarik napas dulu. Yah, sekarang dengarkanlah ini:
Berlindung darah ivan kini kembali
Terkipas dari bibirku pemberontakan berkobar
Akulah Dimitri yang buta! Di dalam kobaran apiu
Boris akan musnah diatas tahta yang kutuntut
Cukup! Pewaris tsar tak tampak lagi
Berlutut ke sana ke ratu Polanbdia yang congkak"
(dari : Boris Gonudof, karya Pushkin)

Jelekkah itu, ha? (cepat) Tunggu! Nah ini sesuatu dari Raja Lear. Langit gelap, kelihatan hujan turun deras, guruh mengguntur, kilat … zzz zzz zzz … menerangi seluruh permukaan langit, dan kemudian dengarkanlah :
Tiuplah angin, hancurkan pelipismu! Amuk! Tiupkan!
Sehingga kau basahi puncak menara kami, tenggelamkanlah ayam-ayam Kau berlekang pikiran yang pasti membakar
Patung disambar petir
Hanguskan kepalaku yang ubanan!
Dan kau segala guruh
Yang menggelegar pukul ratakan bentuk dunia yang gemuk!
Hancurkan kesuburan dunia, segala kecambah leburkan sekali
Itulah yang membuat orang tak bersyukur!
(Tak sabar) Sekarang, peran si tolol. (Menghentakkan kakinya) Lekas ambil peran si tolol! Cepat! Aku tidak bisa menunggu.

23. IVANITCH :
(Mengambil peran si tolol) Nunolo, air suci istana di dalam rumah gersang lebih baik daripada air hujan di rumah ini. Bagus, Nunolo, masuklah. Mintalah anugerah putrimu : ini adalah malam belas kasihan bagi orang-orang bijaksana maupun orang tolol.

24. SVIETLOVIDOFF :
Menggunturlah sesuka hatimu! Muntahkan kabar! Luncurkanlah hujan! Bukan cuma hujan. Angin, kilat, api adalah putri-putrimu. Aku bukan menuntutmu, kau anasir-anasir, dengan kejahatan aku tak pernah beri kau kerajaan, kunamakan kau anak-anak nada
Ah! Sungguh mampu dan berbakat kau! Dan, aku memang artis ulung! Selanjutnya kini, iniloah sesuatu lagi semacam tadi, untuk mengembalikan masa mudaku lagi. Umpamanya, ambillah ini, dari Hamlet aku akan mulai … biarkan aku … bagaimana mulainya? Oh ya, inilah dia. (Mengambil peran Hamlet) Oh! Para pencacat, biarkan aku sendirian! Kembalikan kalian! Mengapa kalian bermaksud mencari bauku? Sehingga kalian masuk dalam jebakan.

25. IVANITCH :
Oh Tuanku, jikalau tugasku begitu garang, maka kekasihku begitu curang

26. SVIETLOVIDOFF :
Aku sungguh-sungguh tak mengerti itu

27. IVANITCH :
Tuanku, aku tak pandai.

28. SVIETLOVIDOFF :
Kuharap kau.

29. IVANITCH :
Percayalah, aku tak pandai.

30. SVIETLOVIDOFF :
Aku mohon padamu!

31. IVANITCH :
Aku tak pandai memegangnya, Tuanku.

32. SVIETLOVIDOFF :
Ini mudah saja seperti berbaring-baring : tutuplah lubang-lubang itu dengan jari, keluarkan napas dari mulutmu, dan nanti akan terdengar musik yang amat merdu. Perhatikan, itu penutupnya.:

33. IVANITCH :
Tetapi, itulah yang aku tidak bisa memakainya agar cocok : aku tak ahli.

34. SVIETLOVIDOFF :
Mengapa? Ingatlah betapa tak bergunanya kau lakukan untukku, kau harus nampak paham akan istirahatku, kau harus menangkap hakekat dari kegaibanku, kau harus mendengar dari catatanku yang mula-mula hingga puncak pedomanku.
Dan di situlah terdapat berbagai musik, suara yang indah di dalam alat yang kecil ini, meskipun kau tak bisa meniupnya hingga berbunga. Astaga! Kau pikir aku hanya muda meniup suling itu saja? Sebetulnya, alat instrumen mana yang kau kehendaki? Meskipun kau tak yakin kepadaklu, kau memang tak bisa melakukannya untukku
(Tertawa dan bertepuk) Hebat! Hebat sekali! Di manakah setan yang bersarang di dalam usia tua ini? Aku bukan orang tua, semuanya itu omong kosong. Arus tenaga masih mengalir di dalam diriku. Inilah hidup, gairah, dan muda!
Usia tua dan jenius tentulah tidak berdampingan bersama-sama. Kau nampak membisu saja. Nikitushka. Tunggulah sejenak sampai kekuatanku pulih.
Oh! Rumah! Sekarang perhatikan! Pernahkah kau mendengar lembut seperti:
Bulan telah lenyap, tiada lagi cahaya
Mendampingi gugusan bintang kesepian yang meratap pucat
Di cakrawala ada yang tiba-tiba bercahaya
Bunga putih bersih di tengah-tengah lembah bunga mawar
Disusupi kunang-kunang,
Yang cahayanya suram berkedip-kedip,
Bagai harapan yang enggan menjelma
(Suara-suara pintu terdengar) Apakah itu?

35. IVANITCH :
Itu tentu Petrushka dan Yegorhka pulang. Ha, engkau memang jenius, Tuan.

36. SVIETLOVIDOFF :
(Memanggil, berpaling ke arah suara-suara tadi) Kasihanilah anak-anak. (Kepada IVANITCH) Ayolah kita pergi tukar pakaian. Aku bukan orang tua. Semua itu tolol, omong kosong! (Tertawa gembira)Apa yang kau tangisi? Ini bukan … kemauan! Ya, ya, segalanya ini bukan kemauan! Mari, mari orang tua, jangsan terbeliak bigitu! Apa sebab kau terbeliak begitu? Ya, ya, (memeluk sambil menangis) Jangan menangis! Di mana ada seni dan jenius di situ pasti tidak ada segala ketentuan, kesepian, atau penyakitan … hanya kematian itu yang semakin dekat. (Tersedu-sedu)Tidak! Tidak, Nikitushka!
"Segalanya itu telah berlalu dari kita sekarang! Betapa jeniusnya aku!
Aku seperti uap lemin, botol pecah. Dan, kau, kau adalah tikus tua gedung teater … pembisik, ayolah!
(Mereka pergi) Aku bukanlah jenius. Aku hanyalah cocok disamakan dengan promter. Bahkan, untuk itupun aku terlalu tua. Ya … kau ingatkan baris-baris ini dari Othelo, Nikitushka!
Selamat tinggal kenangan damai!
Maha perang
Yang mengalahkan angin unggul!
Oh, selamat tinggal!
Selamat tinggal ringkik kuda, dan sangkakala terompet
Pukulan genderang bersemangat
Suling yang menembus pendengaran
Diterjemahkan oleh : Djohan A. Nasution

Download? Klik di sini

Musikalisasi Puisi: Nokturno

NOKTURNO

Sapardi Djoko Damono

kubiarkan cahaya bintang memilikimu

kubiarkan angin yang pucat

dan tak habis-habisnya gelisah

tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu

entah kapan kau bisa kutangkap



Download musikalisasi puisi ini mp3

Musikalisasi Puisi Pada Suatu Hari Nanti

PADA SUATU HARI NANTI

Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti
jasadku takkan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau tetap akan kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari


Download musikalisasi puisi ini MP3

Musikalisasi Puisi: Aku Ingin

AKU INGIN
SAPARDI JOKO DAMONO

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

DOWNLOAD musikalisasi puisi mp3

Monday, April 26, 2010

Sinopsis Novel Stasiun

STASIUN

(Putu Wijaya)


Novel karya Putu Wijaya ini berkisah tentang keterasingan manusia yang merasa disisihkan oleh masyrakat. Adalah seorang selalu berumur, setelah menyaksikan pemandangan kota pagi hari merasa harus berangkat. Ia naik bemo, ia berkhayal bahwa dirinya sedang antri untuk membeli karcis, tangannya yang terkepal menyebabkan ini ia dituduh mencopet, akhirnya ia ditembak hingga tembus oleh seorang tentara.

Kini lelaki tua itu sudah sampai di stasiun yang sebenarnya. Kejadian antri karcis, dimana ia dituduh mencopet dan ia ditembak polisi tadi hanyalah lamunan/khayalan saja. Di stasiun itu, ia berjumpa dengan seorang wanita. Mereka berbncang-bincang dengan sangat akrab seolah-olah orang sudah lama kenal.

Tengah malam, kereta memasuki sebuah stasiun. Seorang perempuan gila masuk ke bawah kereta. Untuk mengeluarkannya, seorang pegawai kereta menariknya keluar. Akhirnya si pegawai itu sendiri yang harus dikeluarkan karena dianggap berubah ingatan.

Berbawai peristiwa unik dialami lelaki tua itu. Berbagai pikiran dan khayalan berkecamuk dalam dirinya. Orang tua itu pingsan akibat udara sesak di dalam kereta. Penumpang ribut, lalu mereka memecahkan kaca jendela. Tepat saat itulah lelaki tua yang pinsan itu siuman.

Karena suasana kereta yang semrawut dan gangguan pikiran, lelaki itu mual dan ingin muntah. Ia ingin buang hajat. Maka ia berusaha menuju ke gerbong peterusan. Tetapi sebelum mencapai gerbong itu, lelaki itu terberak di celana. Kemudian ia menyingkir ke gang pintu kereta. Di gang itulah ia bertemu dengan lelaki muda bernama Joni. Dan di gang itu pulalah Joni berhasil memperkosa lelaki tua itu.

Kereta api ahirnya sampai di stasiun. Para penumpang turun. Pikiran lelaki tua itu mengembara ke mana-mana. Akhirnya ia sering berada di warung kopi dekat kereta api. Kebiasaan ini membuatnya lupa dengan anak dan istrinya. Orang tua itu asyik dengan pikirannya sendiri, sementara keluarganya tidak pernah dihiraukan lagi. Suatu ketika ia bertengkar hebat dengan istrinya, dan akhirnya ia nekad bunuh diri di kamarnya.

Dalam keadaan terluka, ia melihat gelandangan mati di stasiun. Istri gelandangan tidak mau suaminya dibawa ke fakultas kedokteran. Ia ingin menguburkan suaminya secara wajar. Ternyata ia berubah pikiran. Mayat suaminya mau dijualnya. Namun akhirnya ia menyerahkan mayat suaminya tanpa meminta imbalan.

Setelah menyaksikan peristiwa itu, si orang tua pulang. Di rumah, ia justru menyaksikan mayatnya sendiri yang tak mau diakuinya. Dia kembali ke stasiun. Di kantor stasiun, ia diinterogasi. Ia dituduh mencori kopor, dan setelah bersumpah bahwa ia tidak mencuri, ia dibebaskan. Ia kemudian membeli tiket dan siap menunggu kereta untuk melakukan perjalanan.***

Download sinopsis ini? Silakan klik di sini
Sinopsis novel yang lain? Klik di sini

Contoh Drama Pendek Banyak Pemain: Persimpangan

PERSIMPANGAN
P. Haryanto


(Introspeksi untuk aku aku aku)


Jalan ini tertegun di tebing, terbelah dua ke kanan dan ke kiri. Jalan yang gersang di hari yang panas. Sedang di tengah persimpangan itu berdiri sebuah tonggak yang mendukung sepotong papan berujung runcing kanan-kirinya. Di bagian kiri papan itu tertulis "Neraka", di bagian kanan tertulis "Surga". Sedemikian yakin papan itu berkata kepada kita, bahwa jalan yang ke kanan itu menuju ke Surga, sedang yang ke kiri menuju langsung ke Neraka.



Babak I
Cahaya meredup ketika terdengar musik genderang berdentam-dentam. Ketika pukulan genderang mulai surut, menderulah musik gelisah diiringi cahaya semakin terang. Sementara itu tokoh A muncul dari antara kita dengan langkahnya yang lelah. Sesampainya di persimpangan itu lagi-lagi ia menjadi ragu untuk menentukan pilihannya. Akhirnya ia beristirahat di bawah papan penunjuk jalan itu. Sesaat kemudian sampailah tokoh B dan tokoh C di tempat itu dengan berbimbingan, penat tubuh penat hati.


01. B
Persimpangan....
02. C
Persimpangan jalan lagi?
03. B
Ya, untuk kesekian kalinya kita menemukan persimpangan.
04. C
Alangkah melelahkannya perjalanan ini.
05. B
Memang. Tapi kita harus berjalan juga.
06. C
Ya, kita tak pernah bisa berhenti. Sampai kapan kita harus jalan?
07. B
Diam, menatap papan penunjuk jalan itu)
08. C
Dan ke mana lagi arah perjalanan kita?
09. B
Lihat, lihatlah penunjuk itu.
10. A
Eh! Apa yang kalian lihat he?
11. B
Ah, ada orang.... rupanya. Itu, papan penunjuk jalan itu yang kami lihat.
12. A
O. kusangka aku. Tapi, Saudara, apa tadi kalian tak melihat aku?
13. C
Melihat?
14. B
Ya, dia bertanya (kepada C lalu menoleh B)
Ya, Saudara! Semula kami memang tidak melihatmu, sebab kami hanya memperhatikan tanda-tanda demi tujuan kami. Dan tiba-tiba Saudara mengejutkan kami, maka ....klap... kami melihat Saudara sekarang. (Tertawa)
15. A
(Tertawa) Aku tadi juga tak melihat kalian. Aku sedang berpikir-pikir, dan tiba-tiba Saudara berteriak. Maka, klap... klap... aku terkejut melihat kalian. (Tertawa) Waaah! Memang, untuk dapat saling melihat kita membutuhkan kejutan-kejutan !
Terdengar dentang-dentang mengetuk hati)
16. C
Mari, kita teruskan langkah kita.
17. B
Ya, mari. Selamat tinggal, Saudara!
18. C
Selamat tinggal!
19. A
Lho! Ini mau ke mana?
20. BC
Ha? Ke mana?

21. B
Saudara bertanya apa?
22. C
Saudara bertanya apa?
23. A
Ampun! Ke mana kalian akan pergi?
24. B
Ke mana kita akan pergi?
25. C
Ah, menghina! Dia menguji kita.
26. B
Saudara! Saya harap Saudara jangan mencoba menguji kami. Penghinaan!
27. A
Haaah? Menguji? Menghina? Jadi mudah benar berprasangka di perjalanan yang gersang ini. Saudara, saya tidak menguji kalian, aku tidak bermaksud menghina kalian. Aku kan hanya bertanya: ke mana kalian akan pergi?.
28. C
Penghinaan lagi!
29. B
Lagi penghinaan! Saudara jangan pura-pura tak tahu!
30. A
Astaga! Minta ampun! Aku tidak tahu maksud kalian sebelum kalian katakan, Saudara.
31. C
Terlalu! Semua orang di perjalanan ini sama tujuannya, Saudara. Juga Saudara, jika masih belum sinting!
32. B
Kami mau ke Surga.
33. C
Ya, kami mau ke Surga.
34. A
Surga? Surga? …… Hah? Benar, ya benar juga. Aku juga mau ke sana. Eh, tapi, Saudara,
apakah kalian tahu mana jalannya, he?
35. C
Oh, itu mudah saja. Tiap orang tahu. Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan kita ke Surga.
36. A
Ooooo, jadi melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan? Ke kanan... ke kanan....
37. B
Iya! Ke kanan! Kebenaran! (jengkel)
38. A
Ya, ya, ya, ke kanan, melalui kebenaran. Dan kebenaran itu mana?
39. B
Hah! Kebenaran itu yang ke kanan!
40. A
Iya! Tapi ke kanan itu yang mana?
41. B
Yaitu! Ke kanan itu yang kebenaran.
42. A
Iya! Tapi kebenaran itu....
43. B
Kebenaran itu yang ke kanan.
44. A
Aduuuuh! Itulah yang kutanyakan! Aku bisa menjadi tolol ini!
45. C
Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi. Kebenaran kita ini telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu. Lihat itu! Papan itu sudah menunjukkan mana jurusan Surga, mana jurusan ke Neraka.
46. A
Ya, memang, mungkin dengan tanda-tanda itu kita dipermudah. Tapi, Saudara, mempermudah itu mungkin dalam arti mempermudah benar atau mungkin mempermudah salah! Aku sudah cukup kerap tertipu oleh tanda-tanda semacam itu. Kalian juga tentunya. (berjalan mendekat tanda-tanda dan menyentuh)Lihat tanda seperti ini.Astaga. (Tonggak itu roboh terpukul tangannya)
47. BC
(Menjerit melankolis, kemudian diam kaku ketika ada dentang-dentang bergaung)
48. A
Betapa rapuhnya! (Mendirikan kembali tanda itu, namun ternyata terbalik arahnya, kanan Neraka, kiri Surga)
49. BC
Syukurlah, selamat kita semua! (Bernapas lega)
50. A
Betapa rapuhnya!
51. BC
Apa? Apa kata Saudara?
52. A
Betapa rapuhnya pendirian itu.
53. B
Oh!
53. C
Bukan rapuh! Tapi Saudara yang kurang ajar! Saudara telah lancang mengutik-utiknya hingga roboh. Itu berarti Saudara meragukan kebenaran ini, berarti Saudara tidak mempercayai kebenaran ini, berarti Saudara menentang setiap pemakai jalan ini, berarti pula Saudara adalah pengacau! Pemberontak! Pengkhianat laknat! (emosi makin memuncak)
54. A
Ampuuuuun! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, Saudara. Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi, tanpa pikir-pikir lagi!
55. C
Itulah kepercayaan!
56. B
Itulah keyakinan!
57. A
Kepercayaan? Keyakinan?
58. B
Setiap orang harus percaya dan yakin kalau ingin selamat.
59. C
Dan papan penunjuk itu sudah berabad-abad berdiri di situ, diuji waktu dan musim....
60. A
Dan ternyata rapuh.
61. C
Astaga!
62. B
Astaga!
63. C
Gila!
64. B
Sinting.
65. C
Konyol.
66. B
Kemplu.
67. C
Brengsek.
68. B
Tolol.
69. C
Kerbau.
70. B
Sapi.
71. C
Tikus.
72. B
Anjing.
73. C
Kucing.
74. B
Babi!
75. C
Kuda!
76. B
Jangkrik!
77. A
Ampuuuun! Aku tidak bermaksud menjadi semacam itu-itu tadi. Aku toh hanya merasa lucu, mengapa tonggak penunjuk yang tampaknya kokoh itu ternyata mudah benar tumbangnya. Saudara harap mengerti.
78. C
Kita diburu waktu. Kita tidak tahu apakah Surga sudah dekat atau masih jauh dari sini. Mari kita teruskan langkah kita dengan kepercayaan. Agar selamat, kita harus percaya dan yakin.
79. B
Ya, mari kita melangkah dengan keyakinan. Tidak usah mengurusi orang abnormal itu. Keyakinan kita adalah satu-satunya kebenaran! Ayo! (Melangkah ke arah kanan.)
80. A
(Tertegun, kemudian terkejut) Hai, Saudara, kalian menuju Neraka!!!
81. BC
Ha? !
82. B
Ngaco lagi, ya? Kali ini tak kuampuni
83. A
Sabar lihat papan itu. Ke sana adalah menuju Neraka. Jurusan Surga itu ke sana. Benar, kan?!
84. B
Tidak percaya.
85. C
Ya, tidak percaya.
86. B
Aneh, ya?
87. C
Ya, aneh.
88. B
Sangat aneh!
89. A
Lalu bagaimana?
90. C
Ya, kalau demikian bagaimana?
91. B
Ya, kalau demikian bagaimana? Ah, yang terang kita harus terus jalan.
92. A
Ke mana?
93. BC
Ke mana?
94. B
Ke Surga, tentu saja!
95. A
Lewat mana?
96. C
Lewat jalan kanan, ke sana! (Menghadap penonton, menunjuk kanan)
97. B
Bukan, ke sana! Tapi ke sana! (Membelakangi penonton, menunjuk kanan)
98. C
Ah, coba kau ingat-ingat lagi. Pasti yang benar ke sana!
99. B
Tidak. Engkau yang salah, kanan itu ke sana!
100. C
Tetapi papan itu juga menunjuk arah Surga ke sana!
101. B
Itu dusta! Papan itu bohong!
102. C
Apakah keyakinanmu mulai goyah?
103. B
Tidak! Tidak goyah, tetapi berubah. Berubah tidak berarti goyah! Surga itu ke sana. Papan itu salah!
104. C
Tidak! Papan itu benar. Lihat, saya menunjuk dengan tangan kanan ke arah kanan juga!
105. B
Tanganku yang kanan juga yang menunjuk arah kanan. Dan aku yakin, arah Surga itu ke sana! Kebenaranku tak dapat ditawar-tawar!
106. C
Aku tidak menawar kebenaranmu, melainkan aku menentang kebenaran yang tidak benar, kebenaran yang salah!
107. B
Eh! Itu berarti kau menentang kebenaranku, menentang aku? Berarti kau menentang setiap pemakai kebenaran ini? Berarti pula kau adalah pengacau, pengkhianat, pemberontak laknat yang harus ditindas, harus dimusnahkan!
108. C
Tidak! Kaulah yang menentang kebenaranku! Kaulah yang menghalang-halangi dan menentang setiap pemakai kebenaran ini, itu sama artinya kamu pengacau, pengkhianat, pemberontak laknat yang harus ditindas, dimusnahkan!
109. A
Ampuuuuun! Aku jadi bingung! Waduh! Kalian tadi rukun, sekarang jadi tidak rukun. Ya, Tuhan, kalian mau ke Surga. Untuk ke Surga harus melalui jalan kebenaran. Dan... jalan kebenaran itu arahnya kanan. Dan arah kanan itu sana... atau sana... eh, sana... eh, eh.... Lho, aneh! Sana kanan, sana juga kanan. Sana juga kanan, sana juga kanan. Bawah, juga kanan! Ampuuuun! Aku jadi bingung! Apa benar semua arah itu kanan? Apa benar semua jalan itu, benar? He?!
110. C
Semuanya salah! Tak ada kebenaran selain kebenaranku. Ya, kebenaran hanya satu, itulah kebenaranku! Persetan dengan kalian, dengan langkah penuh kepercayaan aku akan ke sana. Selamat tinggal orang-orang tolol. (Pergi ke arahnya sendiri, diikuti pandangan mata lainnya)
111. B
Kasihan, kebenaran benar-benar tidak benar!
112. A
Oh, tidak! Mungkin benar juga dia.
113. B
Heh? Jadi secara tidak langsung kau menyalahkan kebenaranku, ya?
114. A
Oh, tidak! Mungkin benar juga Saudara.
115. B
Heh? O….. saya tahu sekarang, jadi secara tidak langsung Saudara sendiri mengaku tidak benar, ya?
116. A
Oh, tidak! Mungkin benar juga saya.
117. B
Heh? Kalau begitu, jelasnya apa kebenaran Saudara itu, he?
118. A
Begini. Kebenaran saya adalah, kebenaran, yaitu, kebenaran saya adalah... bingung.
119. B
(Tertawa) Bingung? Bingung yang kebenaran? Kebenaran yang bingung? Ya. Allah, Saudara telah mencari kesukaran sendiri dengan tidak mau yakin. Naaah! Selamat berbingung-bingung di persimpangan ini.
120. A
Ya, pergilah! Selamat melarikan diri ke dalam keyakinan.
121. B
Diam kau! (Lari ke arahnya sendiri, bersama dengan suara gemuruh dan cahaya yang meredup)
Babak II


(Genderang melemah. Lampu menerang. Musik mengalun tersendat-sendat. Segerombolan orang mendatangi dengan terhuyung-huyung. Tokoh A bangkit menyongsongnya)
122. A
Ahoi! Saudara-saudara, selamat datang! Jangan diam dan sedih, jangan ragu jangan bimbang. di sini kita bebas memilih. Ke sana? Ke sana? Ke sana? Atau di sini saja menanti.

(Gerombolan orang itu terus bergerak dengan diam. Dengan mata terus menatap tanda jalan itu. Mereka menuruti petunjuk itu. Tokoh A terkejut dan memutar tanda. Gerombolan itu berbalik arah dan berjalan lagi. A mengubah tanda itu lagi. Orang-orang itu menjerit bertanya:)
126. E
Apa ini?
127. F
Ada apa sebenarnya ?
128. G
Apa yang terjadi?
129. H
Itu Lihat itu!
130. I
Itu, anu!
131. J
Tiba-tiba begitu!
132. K
Tiba-tiba begini!
133. L
Ya, dulunya tidak apa-apa lho! lalu... blum!
134. M
Mengapa? Kenapa, he?
135. N :
Mengapa begitu? Mengapa, blum? Wah pasti anu...!
136. E :
Bagaimana, ya?
137. F :
Aneh sih!
138. G :
Mengherankan!
139. H :
Ajaib!
140. I :
Heboh!
141. J :
Dahsyat Man!
142. K :
Abnormal!
143. L :
Mengerikan!
144. M :
Mencemaskan!
145. N :
Menakutkan!

146. E :
Mengharukan!
147. F :
Waduh, waduh! Ya, Gusti, lalu bagaimana?
148. G :
Ya, Allah jabang bayi, mengapa begitu? Seperti mimpi saja!
149. D :
(Membunyikan peluit) Tenang! Tenang! Coba tenang. Ingat, hati boleh mendidih, tapi... kepala harus dingin! Nah, bagaimana ini?
150. H :
Aku bilang, ini alamat celaka bagi kita!
151. I :
Ya! Firasat saya juga mengatakan: jalan ke Surga tertutup bagi kita!
152. J :
Wah!
153. K :
Kalau begitu bagaimana kita?
154. J :
Wah! Wah!
155. L :
Iya! Bagaimana nanti saya?
156. J :
Wah! Wah! Wah!
157. M :
Kita jalan terus saja bagaimana. Ini hanya usul saya, lho!
158. J :
Wah! Wah! Wah! Wah!
159. N :
Usul sih, boleh-boleh saja, tapi pikir, sampai kapan kita mau jalan. Apa kita asal jalan saja?
160. L :
Wah! Wah! Wah! Wah!
161. E :
Dulu jalan! Kemarin jalan! Sekarang disuruh jalan! Besok jalan! Wah! Kapan kita akan berhenti, he?
162. F :
Iya ya? Kapan berhenti?
163. G :
Kapan?
164. H :
Ya, coba jawablah, kapan? Masak kita selama ini selalu menyerah saja. Tahu-tahu kita telah jalan. Itu boleh-boleh saja, tapi paling tidak kan perlu juga pikir-pikir, kapan berhenti? Gitu, kan?
165. I :
Betul! Itu betul! Setuju!
166. J :
Akoooor!
167. D :
Tenang! Tenang! Semua saja tenang! Dengar, kita akan berhenti setelah sampai di tujuan.
168. K :
Tujuan? Itu tujuan siapa, Bung?
169. D :
Tujuan kita bersama tentu! Surga kebahagiaan!
170. L :
Betul, saya setuju!
171. M :
Lalu kapan kita sampai di sana?
172. N :
Ya, kira-kira saja kapan?
173. D :
Kalau kita terus berjalan, kita akan sampai di sana. Percayalah!
174. E :
Jadi kita harus jalan terus?
175. D :
Iya! Kita harus jalan terus!
176. F :
Jalan terus, terus, terus, terus? Waduh!
177. G :
Oh, ya, jadi setelah terus, terus, terus, terus... lalu berhenti?
178. D :
Pasti! Kita berhenti setelah sampai tujuan.
179. H :
Lalu kapan sampainya di tujuan?
180. D :
Setelah kita jalan terus, tentu saja!
181. A :
Ampuuuuun! Aku jadi bingung! (berteriak)
182. I :
Wah, apa itu?
183. J :
Orang! Orang asing itu!
184. K :
Ya, Allah kusangka demit!
185. L :
Harus jalan, siapa dia? E, jangan-jangan dia yang mencuri hati saya kemarin. Apa hal macam begini perlu dilaporkan?
186. D :
Perlu sekali! Nah, awas, Saudara-saudara. Disinyalir orang itu mempunyai keahlian yang jahat. Maka diharap kita semua waspada. Coba periksa hati, pikiran, mata, telinga, hidung, tangan, dan kaki Saudara-saudara! Jangan-jangan telah hilang tercuri.
(Orang-orang itu saling memeriksa dengan ributnya).
187. M :
Ini, ini, ini masih ada. Tapi yang itu kok nggak tampak?
188. N :
Lha ini malah serong begini!
189. E :
Punyamu juga gitu kok!
190. F :
Masak, kemarin saja masih baik, kok!
191. G :
Wah ini sih masih baik. Tapi yang itu sudah berabe.
192. H :
Wah gawat. Gawat! Gawat, nggak ketulungan!
193. I :
Coba-coba diginikan bagaimana? Sakit? Nggak toh?
194. J :
Lailah, punyamu sudah bobrok gini? Nggak pernah dibersihkan, ya?
195. K :
Nggak, memang gitu kok sejak lahir!
196. L :
Hati-hati kamu kalau pegang-pegang!
197. M :
Sudah, pokoknya selamat! Selamat nggak ada yang hilang!
198. N :
Ya, paling nggak kita nggak merasa kehilangan, gitu aja! Ya! Selamat!
(setelah semua sibuk sendiri, lalu mereka mengamat-amati orang yang berteriak tadi)
199. E :
Hei, siapa sih kamu itu? Orang baik-baik saja kan?
200. F :
Iya, siapa sih kamu itu?
201. G :
Kamu siapa, he?
202. A :
Aku?
203. H :
Lha iya, kamu itu siapa?
204. A :
Lha kalau kamu siapa?
205. I :
Waduh, berlagak macam wayang ya? Ditanya ganti tanya. Nggak bisa.
206. J :
Di sini aturannya kalau ditanya musti jawab, nggak boleh lain!
207. K :
Udah, jawab saja, Dik!
208. L :
Kok, Dik, sih?! Om! Udah, Om, jawab aja baikbaik.
209. M :
Masak Om? Tante! Udah deh, Tante, jawab aja!
210. N :
Kayak begitu kok tante?! Itu kakek. Ya, Kek, jawab aja terus terang.
211. E :
Ah, sebenarnya masih belum jelas. Perhatikan saja, mana tanda-tandanya? Kan belum tampak? Maka untuk amannya, kita musti pakai kata-kata yang netral. Panggil saja orang. Hei, Orang, siapa namamu?
212. F :
Ya, siapa kamu itu, Orang?
213. A :
Aku orang bingung.
214. G :
He?
215. H :
Astagafirulah!
216. I :
Nah, betul kan? Kan tadi udah ngira! Orang bingung dia!
217. J :
Gawat! Gawat!
218. K :
Wah tentu kamu tidak punya kepercayaan, iya. Iya saja!
219. L :
Ya, kasihan benar dia....
220. M :
Itu sih, sudah sepantasnya. Lha potongannya saja meragukan gitu?!
221. N :
Maklum saja, masih kanak-kanak sih! Kutaksir masih kelas nol kecil!

222. E :
Bukan, toh. Itu yang namanya sudah terlalu tua.
223. F :
Ah, nggak, ah! Nggak bongkok gitu kok. Coba tenang sebentar. Nah kalau lihat gayanya, sih... wah, nggak salah lagi……Michael Jackson!
224. G :
Waduh, waduh, waduuuuh! Clila-clili macam anak ayam, ha, ha, ha, ha, ha!
(Semua orang itu tertawa terpingkal-pingkal sambil melontarkan berbagai komentar untuk mengejek tokoh A)
225. H :
Sudah, ah, sudah, jangan digoda, kasihan.
226. J :
Ya, sudah, jangan digoda, kasihan.
227. D :
(Membunyikan peluitnya) Tenang, tenang! Demi ketertiban dan keamanan semua harap tenang. Akan kutanyai dia. Saudara bingung?
228. A :
Iya. Dan sebab itu aku menghentikan langkah Saudara-saudara, kare....
229. D :
Stop! Cukup! Kami sudah tahu apa yang akan Saudara katakan. Nah, kami merasa terpanggil untuk menolong Saudara.
230. A :
Lho, mengapa?
231. D :
Maaaa! Pinter! Itu memang pertanyaan yang bagus. Tapi sayang tidak kami perlukan.Bukan mengapanya yang penting.
231. A :
Ya, Allah! Saya ini harus bertanya pada Saudara?
232. D :
Tentu! Dengan sendirinya! Otomatis! Sebab Saudara adalah orang bingung, sedang kami manusia-manusia yakin! Orang bingung harus bertanya pada orang yakin agar ikut menikmati keyakinan.
233. K :
Benar, Saudara, nggak usah sangsi! Ya, itu sungguh-sungguh benar!
224. L :
Ya, itu mutlak benar!
225. M :
Coba pakai otak sedikit. Itu benar, Saudara, percayalah.
226. N :
Saya sendiri tidak mungkin menyangsikan lagi, kok, percayalah!
227. E :
Situ lagi, lha wong om saya, ayah saya, teman saya, yang di sana malah guru saya dan pacar saya aja juga begitu, kok!
228. F :
Lha, pengemis yang kemarin minta-minta kepadaku, di rumahku, aja ya cerita begitu kok, apalagi itu, huh!
229. G :
Pokoknya kalau normal mesti dapat menerima. Bayangkan; semua saja akor kok, romo pastor, suster, pak guru, pak RT, pak RK, pak Camat, pak Walikota, pak Gubernur. Sri Sultan, Sutan Takdir Alisjahbana, Ernest Hemingway, Putu Wijaya, Chairil Anwar, Pablo Picasso, Hittler, Mochtar Lubis, Marga T., Bung Karno, Rendra, Anton Chekov, Ali Sadikin, Profesor Driyarkara, Purwadarminta, Lenin, Russeau, Gorys Keraf, Langeveld, Romo Kardinal, Paus Johanes Paulus II, Ibu Kita Kartini, Mozart, Beethoven, Mao Tse Tung, Goenawan Mohamad, Yati Pesek. Marwoto, Arief Budiman, Iwan Simatupang, Romo Dick hartoko, Mbak Megawati, Permadi, Resi Wiyasa, Walmiki, Empu Kanwa, Empu Prapanca, Daendels, Raffles, Westerling, Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, Untung, Aidit, Sadam Husein, Fidel Castro, .......
230. D :
Stooop! Untuk sementara sekian dulu. Semua itu memang harus dikenal, dihafal demi harga diri dan testing di Surga. Nah, jadi kesimpulannya, pendapat saya tadi benar, sebab banyak yang setuju, kalau perlu kami dapat mengutip kata-kata mereka sebagai argumentasi. Bagaimana, Saudara?
231. A :
Ah! Itu salah! Itu salah! Itu tadi salah.
232. H :
Waduh-waduh ! Hei!
233.SMA :
Hei!
234. H :
Amboi!
235.SMA :
Amboi!
236. H :
Fui!
237.SMA :
Fui!
238 H :
La la la!
239.SMA :
La la la!
240. H :
Li li li!
241.SMA :
Lili li!
242. H :
He he he!
243.SMA :
He he he!
244. H : Ohuk ohuk!
245.SMA :
Ohuk ohuk!
246. A :
Hea-hei-hea-hei-heah! Hea-hei-hea-heah! Heahei-hea-heah. Itu salah! itu salah! Itu salah! Ampuuun! Itu salah!

Semua terdiam oleh teriakan yang membelah itu.

247. A :
Yang benar orang yakin itu harus bertanya pada orang bingung. Sebab orang bingung itu artinya menemukan persoalan, menghadapi persoalan. Ia hidup! sedang orang yang tidak bingung, seperti kau, kau, kau, dan kau adalah orang yang tidak menghadapi masalah lagi.Kalian hanya menghanyutkan diri pada kepercayaan, keyakinan dengan aman dan tenteram, tanpa pikiran, tanpa masalah, tanpa hidup lagi. Sebenarnyalah kalian itu meyakini suatu kebingungan! Pikiran-pikiran, prasangka-prasangka, tujuan-tujuan semu, harapan- harapan kabur, semua itu adalah ujud kebingungan-kebingungan yang disemarkan ke dalam keyakinan! Camkan!

(Orang-orang itu mulai bergerak lagi, saling berbisik, ngomong lagi)

248. I :
Wah! Kok seperti pak guru, ya!?
249. J :
O, barangkali memang calon guru. Lihat saja potongannya!
250. K :
Bukan. Saya jelas-jelas tahu, sebenarnya dia itu pensiunan guru. Lihat saja gerak-geriknya, kan tampak? !
251. L :
Tapi, ini lho, kata-katanya tadi apa, ya, benar?!
252. M :
Barangkali benar!
253. N :
Memang kalau ditinjau dari sudut sini, agaknya benar. Dari sudut situ entah. Coba saja...!

254. E :
Kalau saya cuman kepingin bilang: bohong!
255. F :
Iya, bohong!
256. G :
Bohong!
257. H :
Iya, saya kira juga bohong saja!
258. I :
Ah, masak iya?!
259. J :
Coba, diingat-ingat lagi, cocokkan dengan keterangan-keterangan lain. Nanti tahu- tahu... cekcek-cek.... Benar? Kan nggak enak kita!
260. K :
Ya, setelah saya renungkan, dia benar!
261. L :
Jadi enaknya, dia benar saja? Apa gimana?
262. M :
Gimana pertimbangan teman-teman?
263. N :
Benar dah.

264. E :
Bohong!
265. F :
Benar!
266. G :
Bohong!
267. D :
Ya, jelas bohong dia! Saya tegaskan sekali lagi, setelah melihat ini, melihat ini, melihat itu, menimbang sana, menimbang sini, kami memutuskan: dia bohong! Dan demi persatuan ini harus diterima dengan suka rela! Nah, Saudara-saudara, jawab: ke mana tujuan kita semua?
268.SMA :
Ke Surgaaaaa!
269.D :
Surga itu letaknya di mana?
270.SMA :
Jaaauuuuuh!
271.D :
Jalan mana yang harus kita tempuh?
272.SMA :
Jalan kebenaran!
273. D :
Kebenaran itu arahnya mana, Saudara?
274.SMA :
Arah kanaaaan!
275. D :
Na, bagaimana Saudara Bingung? Lihatlah, kami punya keyakinan yang teguh dan pasti bukan?
276. A :
mungkin!
277. D :
Mungkin?
278. A :
Begini, saya mau tanya pada Saudara-saudara masing-masing sebagai pribadi. Kata orang Surga itu letaknya jauh, kata orang kita harus lewat jalan kebenaran, kata orang kebenaran itu kanan. Nah! Menurut Saudara, mana kebenaran itu? Mana arah kanan itu?

(Orang-orang itu menunjuk arah kanannxJa senvd; sendiri. Mereka jaxii riuh. Ada Uang menunjuk utara, ada yang menunJuk timur, barat, tenggara, atas, bawah, dan sebagainya. Ada juga yang sama arah yang ditunjuknya. Mereka yang sama menjadi satu karena itu. Mereka berteriak-teriak saling mempengaruhi.)

279. H :
Sana! Sana, Pak!
280. I :
Kanan itu, sana, Om!
281. J :
Kita harus ke sana. Sana, Pak!
282. K :
Kanan itu sana, Om!
283. L :
Kita harus ke sana. kebenaran kita mesti ke sana!
284. M :
Jelas ke sana!
285. N :
Kukira sana!
286. E :
Kupikir ke sana!
287. F :
Kuduga ke sana!
288. G :
Kuharap ke sana!
289. H :
Ke sana aku yakin , nih. Sana. Pasti! Poastiiiii!
290. D :
Hai, Saudara-saudara,. kanan itu sana! Nah, Saudara itu pintar!
291. I :
Bukan, toh! Bukan sana, tapi sana!
292. J :
Salah. (Tertawa) Masak ke sana. Sana! Kan kentara sekali?!
293. K :
Coba ingat-ingat, ke sana kan? Iya saja, ke sana!
294. L :
Maaf saja, kalau menurut saya, ke sana. Rasakan saja, coba!
295. M :
Nggak! Mbok pakai otak! otak itu penting. Na, sana kan? Iya saja!
296. N :
Intuisi itu penting. Coba perhatikan. Kalian kan tahu aku punya ketajaman intuisi kan? Tenang, ya! Nah,... em, em, em, nah, sana! Sanalah kanan itu, sanalah kebenaran itu, yakinlah!

297. E :
Tolol semua! Salah semua! Kanan sana, mbok lihat sejarahnya!
298. F :
Wah, keliru juga, Bung, keyakinanmu. Menurut kitab Blanggentak-Blang-Blang karangan Profesor Doktor Pli-Plo-Wak, ayat zazaza, halaman koplok, bab bab bib bub, kanan sana, mbok lihat sejarahnya.
299. G :
Jangan mau ditipu, jangan suka menipu, kanan itu sana!
300. H :
Tak ada yang benar! Sana sana sana sana sana itu hanya akan menuju ke Neraka! Kebenaran Surga harus lewat sana!
301. I :
Hai! Kubunuh kau jika banyak mulut! semua saja dengar! Sanalah yang benar! sanalah satu-satunya kebenaran yang harus kita perjuangkan bersama!
302.SMA :
Aaaaa! Itu kan kamu! Pergi!
303. J :
Oh, Saudara-saudara yang terkasih, saya tahu hati Saudara gelisah. Tapi jangan cemas demi cinta kasih saya akan menolong Saudara semua menuju Surga yang dijanjikan. Nah marilah kita ke sana
304.SMA :
Beeee! Itu kan kamu! Pergiiiiiii!
305. K :
Demi kemanisan, keluhuran budi pekerti, keber sihan jiwa raga, ketertiban, perdamaian, kebaikan, kesopanan, keindahan, kebudayaan dan kemajuan maka dengan kehendak baik dan sadar, mari ke sana
306.SMA :
Ceeeee! Itu kan kamu! Pergiiiiii!
307. L :
Terima kasih, Saudara. Memang sepantasnya mereka kita tolak. Sebab, bukankah kita manusia harus gini, gini, gini, dan gini? Bukankah kita manusia abad ini harus demikian, demikian, dan demikian? Bukankah kita generasi kini harus a, b, c, d, e, f, g, dan seterusnya? Bukankah kita sebagai warga negara harus bub, bib, bab, bob? Bukankah kita sebagai anu harus anu, anu, anu, anu, dan anu? Sebab itu kita harus ke sana!
308.SMA :
Deeeee! Itu kan kamuuuuu! Pergiiiii!
309. - :
Menurut profesor doktor anu dan buku....
310.SMA :
Eeeeee! Latah! Pergiiiiii!
311. D :
Stoooop! (Membunyikan peluit) Akhirnya saya terpaksa bertindak tegas. Siapa pun juga, kapan pun juga, bagaimana pun juga, di mana pun juga tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Demi kestabilan rohani dan jasmani, demi keharmonisan dunia akhirat, maka semua saja tidak boleh tidak harus ke sana! Siapa menentang akan ditindak tegas.Tahu?!
312. SMA:
Diam kau!

Sepi sesaat. Terdengar musik duka penyesalan. Orang-orang itu menunduk. Mereka saling berjabat tangan. Kemudian melangkah ke arah masing-masing

Download naskah ini? silakan klik di sini
Lihat naskah drama yang lain? di sini

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook