Monday, May 31, 2010

Panji Semirang Asmarantaka

Sepenggal Hikayat Panji Semirang

(Panji Semirang Asmarantaka, Candra Kirana, Galuh Ajeng, Inu Kertapati, Puspaningrat
Mahadewi, Paduka Liku, Ken Bayan, Ken Sanggit, Kerajaan Daha, Kahuripan)


Bertumpuk-tumpuk, bertindih-tindih derita menekan jiwa menyesakkan napas Cendera Kirana. Matahari tampak seperti semakin lamban beredar, memanjang-manjang langkah menyongsong hari malam.

Bagi Cendera Kirana siang hari serasa lebih lama dari pada malam. Andaikata ia mampu mendesakkan keinginannya; andaikata ia berkuasa mengatur jalan matahari, pastilah dia hapuskan hari siang. Dia buat hari malam yang abadi. Peduli apa hari siang yang penuh derita, penuh siksa bagaikan neraka! Tetapi hari malam? O, itulah hari nikmat. Hari pembebasan dari segala gangguan serigala-serigala istana, Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Pembebasan dari murka Sri Baginda Ah, dia raja sareatnya, namun hakikatnya budak Paduka Liku dan Galuh Ajeng!

Darah tersirap ke kepala Cendera Kirana. Kegemasan mengejangkan urat-urat syaraf. Namun napsu amarah lekas pula menjadi reda, kendur karena pengaruh rasa diri lemah. Karena tak sanggup mendobrak kekuasaan pihak lawan yang jauh lebih besar itu, Cendera Kirana melepaskan angan-angannya. Kembali kepada pikiran-pikiran vang wajar. Sampailah ia pada persoalan mendapatkan jalan ke luar dari tekanan perasaan.

Pada suatu malam sunyi di suatu ruang tertutup, Cendera Kirana berunding dengan Mahadewi dan paman Menteri kepercayaan. Masalah yang dirundingkan tentu gawat, melihat cara mereka berbicara. Sedikit pun tak ada kata-kata yang dapat didengar orang dari luar ruangan.

Mahadewi mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata bisik-bisik. “Ibunda setuju dengan maksud anakanda. Ibunda pasti ikut ke mana pun anakkanda pergi. Lebih-lekas kita tinggalkan istana lebih baik."

Mahadewi dan Cendera Kirana memandang kepada paman Menteri seolah-olah ingin mendengarkan pendapatnya.

"Mamanda bersedia mengantarkan sampai ke tempat yang dikehendaki. Dan rahasia ini akan mamanda simpan baik-baik. Sekarang mamanda mohon diri untuk menyiapkan kendaraan dan perbekalan."

Ken Bayan dan Ken Sanggit, serta inang pengasuh yang setia kepada Cendera Kirana pada bangun lalu berkemas-kemas. Hampir semua dayang dan inang pengasuh bersatu padu hendak ikut lari dengan Cendera Kirana, putri raja yang mereka cintai. Tengah malam itu mereka sibuk bersiap-siap. Pakaian, senjata, alat-alat dan makanan dimasukkan ke dalam peti atau dibungkus dengan kain lalu dimuat ke dalam kereta.

Setelah segala persiapan selesai, di kala orang-orang masih tidur nyenyak, keluarlah Cendera Kirana dan rombongannya dari istana.

Kereta yang dihela beberapa ekor sapi itu berjalan tanpa dian; menempuh jalan yang diterangi hanya oleh sinar cahaya bintang-bintang di langit.

Sepanjang jalan Galuh Cendera Kirana dan Mahadewi merenung, memikirkan nasib hidup masing-masing. Kejadian-kejadian, suka duka hidup di masa silam, terbayang kembali di depan ruang mata; tampak bermain seperti baru terjadi di hari kemarin. Perasaan yang beraneka ragam timbul tenggelam, bercampur aduk dalam kalbu. Kini kedengaran suara mengeluh, nanti kedengaran suara sedu sedan, ditingkah bunyi roda kereta berderak-derak dan derap kaki sapi. Kereta berjalan perlahan-lahan masuk hutan ke luar hutan, melintasi jalan-jalan sempit, menyusur sungai, menuruni lembah, mendaki bukit. Penghuni hutan terbangun sejenak di malam buta, karena kaget mendengar bunyi kereta. Kera, lutung, dan siamang mengerih-ngerih membangunkan kawan, menggaruk-garuk kepala seperti orang kehilangan akal; menggaruk-garuk kulit perut seperti orang kegatalan karena gangguan kutu busuk. Ada pun yang melompat-lompat, berayun dari dahan ke dahan karena takut. Si burung hantu suaranya menceluk-celuk menyeramkan hati, hingga bulu kuduk tegak berdiri. Keluang, kampret, dan codot pada kaget, terbang berkepak-kepak, meninggalkan buah-buahan yang sedang digerogoti.

Akan tetapi, begitu kereta sapi Cendera Kirana lewat, begitu hilang pula perasaan takut penghuni hutan. Si lutung tidur lagi, ingin meneruskan impiannya yang belum habis. Keluang pun bergantungan lagi pada cabang pohon sambil makan buah-buahan. Sedang si kukukbeluk mengumandangkan suaranya supaya hutan tidak tenggelam dalam kesunyian.

Fajar menyingsing; hari malam hendak berakhir, menyongsong kedatangan sang Batara Surya. Samar-samar kedengaran di kejauhan kokok ayam berbalas-balasan. Suaranya melengking menembus udara, meri saukan hati kelana Galuh Cendera Kirana. Dengan pasti matahari timbul di ufuk sebelah timur, menyinarkan cahaya sepanjang hari, kemudian silam di ufuk sebelah barat.

Namun perjalanan Cendera Kirana tanpa kepastian, tanpa tujuan yang direncanakan; menyongsong masa depan yang lepas tanpa pegangan. Sebaliknya, ia menyerahkan diri kepada kehendak Dewata yang maha mulia, menuruti gerak nurani hatinya.

Kereta bergerak terus, melewati tapal batas Daha, masuk wilayah kerajaan Kuripan. Kereta berhenti di suatu tempat yang sama jauh letaknya antara Daha dan Kuripan.

Galuh Cendera Kirana memeriksa keadaan sekitar tempat itu, lalu timbul keinginannya untuk membuat pesanggrahan di sana. Alat-alat segera dikeluarkan dan lekas pula masing-masing bekerja menurut kecakapan dan keahliannya. Semangat rame ing gawe, sepi ing pamrih, semangat bekerja giat bergotongroyong tanpa mengharapkan upah jasa, melekaskan selesainya pekerjaan, memelihara semangat senang bekerja.

Penghuni hutan kiri kanan tempat pesanggerahan pada menyingkir jauh ke dalam rimba, karena takut jika akan timbul huru-hara.

Galuh Cendera Kirana tersenyum puas melihat hasil kerja dayang-dayang dan inang pengasuhnya, lalu mengajak mereka bersukaria sambil makan-makan dan minum-minum.

"Mamanda Menteri," kata Galuh Cendera Kirana, "pada hemat hamba tempat ini baik sekali hamba pakai sebagai pangkal usaha mendirikan hidup baru. Hamba berangan-angan hendak menjadikan tempat ini suatu kerajaan. Bagaimana pendapat mamanda Menteri dan ibunda Mahadewi?"

Paman Menteri dan Mahadewi sangatlah bersukacita mendengar maksud Galuh Cendera Kirana dan berjanji hendak membantu sekuat tenaga. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Malam hari tiba dan tibalah pula saatnya untuk mengaso. Angin sejuk, cuaca terang, menenteramkan hari penghuni pesanggrahan baru. Sang Bayu meniupkan semangat hidup baru, menambah keberanian dan ketabahan hari Cendera Kirana untuk melanjutkan perjuangan hidupnya.

Galuh Cendera Kirana berdendang sambil menciumi boneka kencana kesayangannya. Hatinya senang dan tenang; pikirannya melayang mengenangkan si pencipta boneka emas, Raden Inu Kartapati.

Pagi-pagi buta Galuh Cendera Kirana bangun, terus menuju pemandian Pusparawan, lalu bersiram dengan air bunga yang serba wangi. Tanpa kelihatan orang, Galuh Cendera Kirana mengenakan pakaian pria. Putri ayu luwes sekarang menjelma menjadi seorang remaja putra yang elok parasnya.

Mahadewi, paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh bukan alang kepalang kaget melihat kesatria cantik tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. Disangkanya sang Batara Kamajaya turun dari kayangan. Mereka menyembah dengan khidmat sambil menunggu titah sang Batara.

Galuh Cendera Kirana tertawa di dalam hati melihat tingkah laku Mahadewi, paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh demikian, lalu berkata, "Ibunda, mamanda Menteri! Tuan-tuan kiranya tak mengenal hamba. Hamba si anak piatu, Galuh Cendera Kirana."

Mula-mula Mahadewi tidak percaya; masih juga ia melihat keheran-heranan. Akan tetapi akhimya Mahadewi yakin, bahwa kesatria itu betul-betui Galuh Cendera Kirana. Mahadewi bangkit dari tempat duduknya, lalu memeluk Cendera Kirana sambil tertawa girang dan memuji-muji.

Akan tetapi paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh tampaknya masih ingin bertanya, "Apakah maksud Tuan Putri menyamar?" Cendera Kirana berkulum senyum sambil menundukkan kepala, menahan geli hatinya. Kemudian Putri berkata dengan sungguh-sungguh, "Ibunda Mahadewi dan mamanda Menteri. Hari ini hamba bermaksud hendak meresmikan tempat kedudukan kita ini sebagai suatu kerajaah. Kerajaan baru di bawah perintah hamba. Selain itu hamba resmikan pula nama hamba yang baru, yaitu Panji Semirang Asmarantaka."

Hening sebentar. Tampak mata Mahadewi cemerlang karena kegirangan. Paman Menteri mengangguk-anggukkan kepala menandakan setuju. Dayang-dayang dan inang pengasuh berpandang-pandangan sambil tersenyum girang.

"Mamanda Menteri," kata Panji Semirang. "Hamba mohon mamanda menyimpan baik-baik rahasia hamba. Biarkanlah orang-orang di Daha melupakan hamba. Hamba hendak berkelana, hendak membuat lembaran baru dalam lakon hidup hamba. Sekarang selesai sudah maksud mamanda Menteri menyelamatkan hamba ke luar dari istana, neraka dunia bagi hamba itu. Hamba tak lupa mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas jasa mamanda Menteri. Semoga Dewata yang maha mulia melimpahkan karunia kepada mamanda Menteri. Dengan hantaran doa selamat hamba ikhlaskan mamanda Menteri pulang ke Daha."

Paman Menteri Daha terharu hatinya mendengar kata-kata Panji Semirang sedemikian. Maklumlah, sebab ia mengenal Tuan Putri sejak kecil, sejak masih dalam asuhan mendiang permaisuri Puspa Ningrat. Sesungguhnya, berat hatinya meninggalkan Tuan Putri. Namun apa boleh buat!

Setelah paman Menteri Daha mundur, mulailah Panji Semirang mengatur pekerjaannya, dibantu oleh ibunda Mahadewi.***

Download hikayat ini KLIK di sini

Friday, May 28, 2010

Kursi Empuk di Dada, Cerpen Pamusuk

Kursi Empuk di Dada Sumarti

Cerpen: Pamusuk Eneste

Ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, tahulah Sumarti bahwa ia akan sendirian. Sumarti akan menjalani sisa hidupnya seorang diri. Ditemani pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan penjaga malam. Itu pun sepanjang Sumarti mampu membayar mereka setiap bulan.

Sesekali putri, menantu, dan cucunya akan datang berkunjung.

"Nuwun sewu…," terdengar suara pembantu Sumarti.

Sumarti menoleh.

"Makan malam sudah siap, Nyonya."

"Ya, sebentar. Saya mandi dulu."

Sumarti menuju kamar mandi. Ingin mengguyur badannya yang sedari tadi terasa gerah dan berkeringat. Mumpung malam belum larut.

Sumarti mulai memereteli baju luarnya yang berwarna hitam. Tatkala sampai pada penutup dada, Sumarti terkesiap. Ternyata secarik kertas bertengger di dadanya. Bagusnya kursi empuk itu….

Lha, kursi empuk? Kursi empuk mana? Yang di kantor atau yang di rumah? Di rumah Sumarti banyak kursi empuk. Ada di ruang baca. Ada di ruang tamu. Ada di ruang makan. Belum lagi di teras depan dan teras belakang. Kalau kursi empuk di kantor, bagaimana pula prosedurnya? Bagaimana mungkin kursi parlemen dibeli? Oalah…!

Serampung mandi malam, Sumarti ingin sekali menelepon seseorang. Sekadar berbagi rasa. Sumarti ingin menceritakan keinginan almarhum yang tercantum dalam wasiat itu.

Sumarti bergegas ke tempat telepon di ruang keluarga. Di tempat telepon itu Sumarti bergeming. Hendak diraihnya gagang telepon, tetapi tangannya serasa diikat. Sumarti pikir, kalau ia menelepon orang itu, mungkin kabar itu akan menyebar ke mana-mana bak air bah dari gunung.

Sumarti pindah ke sofa. Ditimang-timangnya kertas kecil yang berasal dari dadanya itu. Ia kenal betul tulisan itu. Itu pasti goresan serta tanda tangan almarhum suaminya. Bagusnya kursi empuk itu dimasukkan ke dalam tanah….

Sumarti menyandarkan bahunya di sofa. Ditatapnya tulisan tangan almarhum dalam-dalam. Ia paham maksudnya, namun tak tahu cara mewujudkannya.

Ada satu hal yang mengherankan Sumarti. Kenapa secarik kertas itu baru diketahuinya ketika acara penguburan telah usai? Kenapa wasiat itu baru ditemukan Sumarti setelah kembali dari pemakaman, padahal almarhum ingin, surat ini dibaca begitu aku mengembuskan napas terakhir, jangan setelah aku di dalam tanah?

Sumarti menjadi serba salah. Ia merasa kesiangan membaca pesan almarhum. Ia baru memergoki wasiat almarhum setelah kaum kerabat, handai tolan, dan kedua putrinya serta kedua menantunya kembali ke rumah masing-masing.

Duh, Gusti!

Kepala Sumarti serasa mau pecah.

Sumarti ingin mengabari kaum kerabatnya. Ingin memberi tahu mereka perihal permintaan almarhum. Lantas ingin mendengar nasihat mereka.

Sumarti mendekati telepon yang ada di meja kecil. Dia raih gagang telepon, namun Sumarti terpana sejenak. Bukankah ia akan dibilang bodoh kalau mengungkapkan keteledorannya pada kaum kerabat? Bukankah kaum kerabat akan menertawakan kealpaannya?

Sumarti bimbang. Dijauhinya telepon dan kembali ke sofa.

Sumarti merasa pusing tujuh keliling. Mestinya dari tadi dia menemukan wasiat itu dan membicarakannya dengan kaum kerabat, ketika belum berlangsung upacara penguburan. Kini semua orang sudah berlalu. Memang Sumarti sering mengamini kata orang bijak, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, Sumarti pun sadar, mengumpulkan kaum kerabat, handai tolan, dan keluarga dekat bukanlah sekadar membalik telapak tangan.

Sumarti melonjorkan kakinya. Sumarti mengatupkan matanya sembari menyesali diri. Ia coba melupakan wasiat itu, tetapi yang muncul adalah wajah almarhum. Kalau bisa, kursi empukku ditaruh di samping jasadku.

Setahu Sumarti, surat wasiat lazimnya berisi pembagian harta untuk orang yang masih hidup. Ini malah mengenai kursi empuk segala yang harus dibawa ke dalam kubur. Namun, Sumarti terpaksa mengurut dada karena yang menulis surat wasiat adalah almarhum suaminya.

Sumarti ingin menghubungi kedua putrinya. Siapa tahu mereka bisa berbagi rasa. Sumarti yakin, anak-anaknya pasti akan menolongnya. Paling tidak meringankan bebannya.

Meski Endang Setianingrum dan Esti Setianingsih sudah membelikan telepon genggam, Sumarti tak pernah mau menggunakannya. Kedua telgam itu hanya menjadi penghuni lemari Sumarti. "Ibu kuno," kata kedua putrinya.

Sumarti tak sakit hati dicap kuno. Bagi Sumarti lebih sreg menerima dan menelepon secara tradisional. Tidak perlu beli pulsa. "Boros," katanya, "mendingan uangnya aku tabung." Jadilah Sumarti tetap lebih asyik dengan telepon-rumah. Sumarti tetaplah "orang kuno", menurut istilah kedua putrinya. "Lagi pula, aku tak mau diganggu telepon genggam pada waktu tidur," kata Sumarti.

Sumarti kembali mendekati telepon-rumah. Sumarti ingin menelepon putri sulungnya, Endang Setianingrum. Ingin menceritakan permintaan terakhir almarhum, lantas apa yang harus diperbuat. Diraihnya gagang telepon, namun ditaruhnya kembali. Jangan-jangan putrinya malah mencecarnya dengan macam-macam pertanyaan. "Kok Ibu baru menemukannya sekarang? Kok tidak dari tadi menemukan wasiat Bapak itu? Kok Ibu tidak dari tadi-tadi menyadari adanya wasiat itu?" Sejumlah kok lainnya pun meluncur dari mulut putri sulungnya.

Sumarti tak mau disalahkan. Sebaliknya, Sumarti justru mengharapkan dukungan dari orang-orang terdekat dia.

Sumarti mengurungkan niatnya dan kembali bersandar di sofa.

Kemudian terpikir oleh Sumarti mengontak putri bungsunya, Esti Setianingsih. Putri keduanya ini mungkin bisa memberi jalan keluar. Sumarti tahu watak putrinya ini. Tidak seketus kakaknya, Endang Setianingrum. Didekatinya kembali telepon. Diraihnya gagang telepon. Diputarnya nomor Esti Setianingsih. Ketika tinggal satu angka lagi, Sumarti serta-merta bergeming. Sayup-sayup, ia mendengar suara putri bungsunya di seberang sana. "Lha, kok Ibu baru tahu wasiat Bapak sekarang. Piye toh, Bu? Piye? Oalah, Ibu ….Ibu." Bla… bla… bla….

Sumarti pusing mendengarnya. Ditaruhnya gagang telepon. 

Sumarti kembali ke sofa. Ia tak mau jadi bulan-bulanan putri bungsunya. Lebih baik tak mengabari dia daripada mendengar kata-kata tak senonoh.

Tebersit pula di benak Sumarti untuk mendiamkan wasiat almarhum itu. Tak perlu memberitahukannya kepada siapa pun, termasuk kaum kerabat. Tak perlu menyampaikannya kepada kedua putri dan kedua menantunya. Toh yang tahu cuma aku dan… Tuhan!

Entah kenapa, Sumarti merasa tak enak. Sumarti khawatir terjadi apa-apa pada dirinya. Sumarti pernah mendengar kerabatnya berkata, "Kalau kita tak turuti permintaan orang meninggal, rohnya akan mengikuti kita terus ke mana pun kita pergi."

Sumarti tak mau diikuti roh suaminya. Sumarti ingin hidup normal. Tak ingin diganggu siapa pun. Sumarti ingin hidup dengan tenang, setenang kehidupan di desanya sebelum ia bertolak ke Jakarta. Tak mengherankan, kebiasaan-kebiasaan dari desa masih terbawa-bawa hingga ke kota metropolis. Salah satu kebiasaan itu adalah menyelitkan sesuatu di dadanya. "Biar tak lupa," kata Sumarti mengenai kebiasaan itu. "Biar tak diambil orang."

Sumarti lupa, kapan wasiat itu disisipkan ke dadanya. Ajaibnya, Sumarti pun tak ingat siapa yang menyelipkan ke dadanya: dia sendiri atau almarhum? Setelah usianya berkepala lima, Sumarti memang menjadi pelupa. Ia pernah mencari kacamatanya, padahal kacamata itu bertengger di kepalanya. Ia pun pernah mencari-cari kunci lemari, padahal kunci itu sedang dipegangnya. Tidak tertutup kemungkinan, almarhumlah yang menyelipkan wasiat itu ke dadanya dalam perjalanan ke rumah sakit—saat almarhum merasa sesak napas dan dadanya sakit? Atau siapa tahu, ketika sedang sekarat di rumah sakit, suaminya lantas buru-buru menyisipkan kertas itu ke dada Sumarti.

Tak ingat Sumarti sama sekali.

Sumarti hanya ingat, sejenak sebelum sekarat, almarhum merangkulnya sekelebatan. Sumarti lupa-lupa ingat, apakah almarhum menyelitkan sesuatu atau tidak ke dadanya. Setelah itu, suami tercintanya pun kaku dan rebah di pangkuannya.

Singgah juga pikiran buruk di kepala Sumarti. Sumarti ingin merobek-robek wasiat almarhum dan mencampakkannya ke tempat sampah. Atau membakarnya sekalian agar tak berbekas. Toh tak ada yang tahu. Namun, Sumarti ketir-ketir juga. Kenalannya pernah berkata, "Tak baik menolak permintaan orang yang sudah mati, nanti hidup kita tak tenang."
"Nuwun sewu…," suara pembantu Sumarti terdengar dari arah belakang.
"Makan malamnya tambah dingin, Nyonya."
 Sumarti menoleh ke belakang. 
"Ya, ya, saya akan makan…."

 Malam pun kian merambat di ruang keluarga Sumarti.***

Sumber: Kompas Minggu, 24 Juni 2007

Download cerpen ini KLIK di sini 

Wednesday, May 26, 2010

Sepasang Sepatu Sapardi Djoko Damono

Sepasang Sepatu Tua

Cerpen Sapardi Djoko Damono

Sejak membelinya beberapa puluh tahun yang lalu di sebuah toko yang terletak di China Town, San Francisco, aku telah jatuh cinta pada sepasang sepatu itu. Warnanya merah kecokelatan, solnya agak tebal dan kuat, pinggiran atasnya sampai ke mata kaki—mirip sepatu bot tetapi bukan sepatu bot. Siang itu, sehabis makan di restoran Cina, sepatu yang kupakai sejak aku berangkat dari Indonesia tiba-tiba jebol, solnya menganga. "Sepatu Cibaduyut, sih," komentar rekanku menggoda. Ia seorang PhD candidate yang sedang menyelesaikan disertasi di Berkeley. Ia rupanya lupa, atau tidak tahu, bahwa sepatu Cibaduyut bisa kuat puluhan tahun asal saja si pemakai tahan lecet kakinya. Sepatuku yang jebol, yang kemudian kubuang ke sebuah kotak sarnpah itu merknya Bata, buatan India—itu menurut penjualnya. Mana aku percaya. Di India sapi dianggap suci, mana mungkin kulitnya dijadikan sepatu, diinjak-injak pemiliknya sembarang waktu.

Di negerinya Martin Luther King harga sepatu baru kira-kira sama dengan ongkos menambalnya. Mula-mula aku tak mempercayai hal itu, tetapi ketika pada suatu hari jam tanganku rewel dan kubawa ke tukang jam, ia menasihatiku untuk membeli jam baru yang murah saja. Aku agak tersinggung, dalam benaknya mungkin saja muncul pikiran, "Jam murahan begitu kok masih mau diperbaiki." Pengalaman itu mengingatkanku untuk tidak macam-macam ketika sepatuku jebol. Langsung saja, dengan berjalan agak terseret-seret, aku masuki sebuah toko sepatu. Warna dan bentuknya sangat memikat, harganya lumayan tetapi aku punya uang cukup sebab seminggu lamanya tidak usah nginap di hotel karena numpang di apartemen calon PhD itu. Labelnya menyatakan bahwa sepatu itu buatan Jerman. Rasa legaku dobel. Pertama, aku tidak usah merasa salah karena mengmjak-injak binatang suci; kedua, sepulang di tanah air nanti bisa menyombongkan diri telah membeli sepatu Jerman di Amerika—di sebuah toko Cina pula.
="" class="fullpost">

Sepatuku yang jebol itu memang bisu, setidaknya aku tak pernah mendengar mereka bercakap-cakap. Ini menjengkelkan sebab aku, si pemakai, tidak pernah tahu apakah sepasang kakiku telah berbuat begini atau begitu terhadapnya. Di Jakarta, sepatuku diam saja kalau menyeberang banjir musim hujan, menapak di aspal panas musim kemarau. Malam-malam aku beberapa kali mencoba nguping, tetapi di rak, sepasang sepatu itu tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Rekan-rekan sekantorku sering berbincang-bincang mengenai sepatu mereka, dan suka cekikikan seolah memahami bahasa sepatu. Aku hanya bisa mendengarkan saja sebab sepatuku bisu. "Sepatu kok bisu," komentar mereka selalu. Mungkin karena terbuat dari kulit sapi suci.

Sepatuku yang baru itu sama sekali lain perangainya. Begitu talinya selesai kuikatkan dan aku melangkah keluar toko, mereka berdua bercakap-cakap. Lirih, tetapi aku mendengarnya. Calon PhD itu tak mendengarnya, tentu karena ia tidak sayang pada sepatu. Tentu karena ia beranggapan bahwa sudah menjadi kewajiban sepatu untuk berada di ujung kaki, diinjak-injak setiap hari. Mungkin juga karena ia tidak pernah membaca Rumi atau Gibran. Kasihan juga orang macam dia itu. Semakin lama suara sepatuku semakin jelas terdengar, tetapi aku tidak memahami apa yang mereka gunjingkan. Kuduga saja, ia tentu membicarakan aku, tuannya yang akan bersama mereka bertahun-tahun mendatang.

Aku menguasai bahasa-bahasa Jawa, Indonesia, dan sedikit Inggris, tetapi sepatuku yang baru itu jelas tidak bercakap dalam salah satu bahasa itu. Aneh, kalau sudah lama di Amerika tentunya bisa bahasa Inggris meskipun buatan Jerman. Atau mereka berbahasa Jerman. Tetapi jelas tidak. Bahasa Jermanku mendapat nilai sembilan di ujian akhir SMA dan meskipun sekarang praktis sudah kulupakan sama sekali masih juga kuketahui beberapa patah kata, dan tentu juga bunyinya yang kaku itu. Sambil terus jalan dan bergurau tentang apa saja dengan rekanku itu, aku mencoba menduga-duga bahasa sepatuku. Ah, bodoh sekali aku! Tentunya sepatu itu sudah belasan tahun di toko oleh sebab itu sudah melupakan bahasa ibunya lantaran setiap hari yang didengarnya adalah bahasa taoke-nya., bahasa Cina. Di Jurusan Cina sekolahku nanti aku akan bertanya kepada Mas Gondo, pakar sinologi, apa saja yang dikatakan sepatuku kalau sedang di kantor.

Aku merasa lega. Selama hampir sebulan dalam perjalanan selanjutnya di negeri itu aku selalu mendengarkan cakap kedua sepatu itu. Meskipun bukan aku yang diajak berbicara, meskipun tidak memahami sepatah kata pun yang mereka bicarakan, aku dengan gembira berpindah dari hotel ke hotel sebab merasa dalam perjalanan tidak sendirian saja. Bahkan beberapa kali dalam konferensi yang kuhadiri, sepasang sepatu itu suka berbicara juga. Dan kalau aku tersenyum meski tak paham, peserta dari Afrika atau Jepang atau Thailand menatapku heran lalu ikut tersenyum. Waktu itu musim panas, jadi kami tidak pernah menempuh salju. Syukurlah, karena aku takut dingin. Tetapi mungkin mereka kecewa karena merindukan musim salju di negeri asalnya. Ah, kalau saja aku paham bahasanya!

Sesampai di rumah, di Jakarta, kata sambutan pertama yang meluncur dari istriku bukanlah "Selamat Datang" atau pelukan atau apa, tetapi komentar ringkas, "Norak amat sepatumu. Di mana kau beli? Yang dulu mana?" Aku hentakkan kakiku ke lantai tiga kali dengan harapan agar sepatuku diam saja tidak usah tersinggung, tetapi kemudian aku sadar bahwa mereka pasti tidak memahami bahasa istriku. Aku tersenyum. Dan istriku akhirnya juga tersenyum, persis peserta konferensi di Amerika tempo hari. Perempuan biasanya mendewakan barang-barang "dari luar", tetapi kali ini istriku malah seperti mengejek. Iri hati? Tapi ia kan mendapat oleh-oleh juga, yang "dari luar".

Jurusan Cina agak ribut ketika aku datang untuk bertanya tentang bahasa sepatuku yang semakin lama semakin suka ngoceh. "Ini lain. Bahasanya tidak seperti yang di laboratorium bahasa. Di mana belinya? O, di China Town. Pantes. Macam di Glodok, begitu ya Pak?" komentar seorang pengajar muda. Aku diam, agak jengkel kepada sepatuku kenapa ngoceh terlalu keras sehingga orang lain mendengar juga. Mas Gondo, sinolog itu akhirnya nongol, dan tanda tanya yang ruwet di kepalaku mulai terurai.

"Begini," kata Mas Gondo setelah beberapa lamanya mendengarkan percakapan sepasang sepatu itu, "mereka itu ternyata telah jatuh cinta padamu. Mereka senang kau membelinya sebab sudah belasan tahun berada di toko itu tanpa ada yang menawarnya. Ada yang bilang warnanya norak, ada yang bilang bentuknya tidak trendi, ada yang ini ada yang itu." Rupanya sepatuku itu merasa senang karena ada juga di negeri ini yang bisa memahami bahasanya. Dan Mas Gondo juga ramah kepada sepatu. "Mereka heran ini kantor apa kok begitu banyak anak-anak muda lalu-lalang atau kleleran di bangku-bangku panjang." Aku menggigit bibir.

Terserah mau dibilang norak atau apa, sepasang sepatu itu telah merebut hatiku. Ke mana pun aku pergi, merekalah yang membawaku. Gedung-gedung tempat pesta kawin, kantor-kantor yang licin lantainya, mal-mal yang penuh sesak kalau Minggu, jalanan kampung yang becek kalau hujan, beberapa tempat pemakaman—semuanya menjadi bagian hidup mereka juga. Dan yang sangat membahagiakanku adalah bahwa diam-diam mereka mulai memahami bahasa yang kami pakai. Meskipun mula-mula terdengar aneh ucapannya, percakapan mereka lambat-laun kupahami juga. Mereka memang menyayangiku, seperti yang pernah dikatakan Mas Gondo. Aku pun semakin sering memakainya. Sampai belasan tahun lamanya.

Pada suatu malam, ketika keluargaku kebetulan pulang kampung, aku dikagetkan oleh suara keras mereka. Apa mereka bertengkar? Kudengarkan baik-baik. Yang kiri mengatakan dengan lantang bahwa mereka sebenarnya tidak berasal dari kulit sapi yang sama.

"Mana mungkin!" kata yang kanan menegaskan. "Kita berasal dari seekor sapi. Kulitnya yang lebar itu disamak, lalu dipotong-potong dengan mesin untuk membuat kita. Kulit seekor sapi cukup lebar untuk membuat beberapa sepatu, tahu!"

"Ya, tapi bisa saja potongan-potongan itu campur sehingga tidak jelas lagi berasal dari kulit sapi yang mana. Kita ini asalnya berbeda. Aku jelas sapi Jerman, kau entah sapi apa, mungkin sapi Prancis. Allans avant de lapatrie. Ie jour de gloire est arrive..."

"Kau jangan menyinggung perasaanku! Lagu kebangsaan tak usah diikut-ikutkan! Kalau aku sapi Prancis, kau juga sapi Prancis. Titik. Kalau kau sapi Jerman, aku pasti juga sapi Heil Hitler!Titik."

Sekarang yang kiri ganti tersinggung. Keduanya terus diam, mungkin sadar aku telah beberapa lama nguping. Kupikir, berasal dari seekor atau dua ekor sapi, dari mana pun asalnya, mereka kan sudah puluhan tahun lamanya hidup berdua. Di negeri-negeri asing pula. Kenapa tidak sejak di toko Cina Amerika itu mereka menyadari hal itu? Kuduga karena sekarang mereka sudah tua, sudah bosan satu sama lain, sudah nyinyir, mungkin bahkan sudah pikun. Dan yang jelas sudah capek membawaku ke mana-mana. Tetapi aku tetap menyayangi mereka, dan tampaknya mereka pun begitu terhadapku. Masalahnya ternyata ada di tangan keluargaku. Aku selalu menolak gagasan istri dan anakku untuk membuang sepasang sepatu itu meskipun terus-terang saja semakin jarang juga kupakai, terurama kalau ke perhelatan temanten.

"Pak, sepatunya buang saja, deh. Jangan setiap kali manggil tukang sepatu untuk memperbaikinya. Malu, kan. Dikira nggak mampu beli sepatu baru."

Aku bergeming. Sepatu, istriku, dan aku—kami sama-sama sudah tua. Aku tidak mau membuangnya. Biar saja di tempat sepatu, bertengkar hampir tiap malam tentang asal-usulnya. Bagiku tak masalah: yang kiri sapi Jerman yang kanan sapi Francis atau sebaliknya, atau keduanya berasal dari sapi yang sama. Pokoknya pas di kakiku dan tidak membikin lecet.

Tapi hari naas itu tiba juga akhirnya, seperti sudah semestinya demikian. Siang itu, sepulang dari ngajar, kulihat sepatuku tidak ada lagi di rak. Ketika aku mencarinya ke sana ke mari, anakku mendekat dan dengan sangat hati-hati—tentu karena takut akan menyinggung perasaanku—berkata bahwa ia sudah membelikanku sepatu baru.

"Bagus kok Pak, sungguh. Meskipun tidak dari luar."

"Ya, tadi sudah diambil tukang sampah, diangkut di gerobak," tambah istriku. "Sepatu baru ini warnanya tidak norak, Pak. Trendi. Sesuai untuk remaja tahun 50-an," guraunya sambil cekikikan.

Mereka tidak tahu bahwa aku diam saja karena sedang membayangkan sepasang sepatu tua itu tetap saja bertengkar ketika dibawa ke tempat pembakaran sampah. Dan rupanya aku tidak berhak merasa kehilangan apa pun, hanya berkewajiban menerima dan, kalau bisa, menyayangi sepasang sepatu baru. Kuperhatikan sepatu baru itu. Aku segera tahu bahwa mereka bisu, persis sepatu yang dulu jebol nun jauh di sana itu.***

Download cerpen ini KLIK di sini

Monday, May 24, 2010

Golek Kencana Inu Kertapati

Golek Kencana Hadiah Inu Kertapati


(Hikayat Panji Semirang, Puspa Ningrat, Inu Kertapati, Candra Kirana
Baginda raja Kahuripan, Galuh Ajeng, Golek Kencana)


Jasad permaisuri Puspa Ningrat tiada lagi di istana Daha, namun namanya masih terus hidup dalam ruang hati Cendera Kirana. Dari pagi sampai malam, gadis piatu Cendera Kirana tak henti-hentinya menangis mengenangkan mendiang ibunda. Menyepi dalam bilik, menjauhi pergaulan dengan orang-orang dalam istana, agar supaya hatinya dapat bebas berbicara dengan badan halus mendiang ibunda. Dengan sepuas-puas hati, Cendera Kirana mengadukan nasib hidupnya kepada arwah ibunda. Dihantarkan sedu-sedan dan deraian air mata, Cendera Kirana menjerit dalam hati, "Duhai ibunda mestika hati, betapa berat hidup hamba ditinggalkan ibunda. Hidup hamba tanpa pedoman; goncang ibarat perahu tanpa kemudi; terapung, terombang-ambing di samudera menuruti kehendak gelombang dan angin. Istana sekarang bagi hamba ibarat ladang semak-semak berduri, sebab tiada orang yang mengurus dan mengolahnya. Taman bunga nan indah semasa ibunda hidup, kini menjadi tempat bertualang hewan-hewan jalang, hewan-hewan kejam. Tempat binatang-binatang liar mengintai mangsa yang hendak diterkam dan dibinasakan. Betapa pedih, betapa kecil hati hamba, duhai ibunda betapa gelap masa depan hamba."

Cendera Kirana memeluk bantal mendiang ibunda, menciumnya mesra-mesra seolah-olah memeluk mencium jasad ibunda. Gadis piatu itu menangis, meratap sejadi-jadinya sambil memeluk bantal.

"Oh, Dewata yang maha mulia, mengapa gerangan Tuan pisahkan hamba dari ibunda yang hamba cintai? Mengapa nyawa hamba tidak Tuan cabut sekali bersama-sama sukma ibunda? Mengapa, mengapa Tuan jadikan hamba anak piatu yang harus hidup merana di bawah telapak kaki orang-orang kejam ? Mengapa, mengapa ...?"

Cendera Kirana menggugat. Sambil menengadah, dengan tangan terkembang ke muka, dengan rambut kusut masai, dengan hati berat berkobar. Cendera Kirana menuntut pertanggungjawaban. Sejenak ia diam, menantikan sambutan, menantikan jawab.

Jawab yang tegas !

Namun tiada suara yang menyambut, tiada kata-kata yang menjawab. Gugatannya, amarahnya, hanya ditelan habis-habis oleh sunyi malam. Cendera Kirana kini kembali dikuasai perasaan sepi.

Untung masih ada Mahadewi yang dengan hati ikhlas meraih Cendera Kirana; mau menjadi pengganti ibunda si gadis piatu. Dengan kasih mesra, dengan kata-kata lemah-lembut Mahadewi mendampingi dan melipur hati lara Cendera Kirana. Tingkah lakunya tiada beda dengan tingkah laku seorang ibu sejati terhadap anak.

Kabar tentang kematian permaisuri Raja Daha dan tingkah laku Paduka Liku akhirnya sampai jugalah ke telinga Raja Kuripan.

"Bukan alang kepalang jahat hati Paduka Liku!" titah Sri Baginda Kuripan.

"Permaisuri dia bunuh. Dia kacau balaukan keadaan istana Daha."

Permaisuri menyambut, lalu sembahnya, "Ya, kakanda! Kesalahan ada pada adinda Raja Daha jugalah. Adinda Raja orang lemah hati. Ia selalu menuruti sembarang keinginan Paduka Liku. Akhirnya, ia dikuasai betul-betul oleh si gundik jahat itu. Hamba kasihan akan Cendera Kirana. Ia tentu diinjak-injak Paduka Liku dan Galuh Ajeng."

Sri Baginda Raja dan permaisuri hening sebentar, mengenangkan nasib buruk Cendera Kirana.

"Sebaiknya kita kirimkan apa-apa kepada Cendera Kirana untuk menghibur hatinya. Bagaimana pendapat adinda?" titah Sri Baginda kepada permaisuri.

"Adinda sangat setuju. Lebih lekas dikerjakan, lebih baik," sembah permaisuri.

Sri Baginda Raja segera bertitah, menyuruh panggil putranda Raden Inu Kartapati, yang segera pula datang bersembah.

"Anakanda Inu Kartapati! Betapa sedih hati kami mendapat kabar tentang kematian bibikmu, permasuri Raja Daha, anakanda tentu maklum. Bibikmu, Puspa Ningrat, belum begitu tinggi usianya. Akan tetapi sudah demikian kehendak Dewata yang maha mulia, ajal tak dapat dielakkan oleh manusia. Dan kita sendiri pun pada waktunya harus meninggalkan dunia yang fana dan kembali ke alam baka. Keadaan istana Daha sekarang mencemaskan hati kami benar. Terlebih lagi, jika kami ingat akan nasib bakal istrimu Cendera Kirana. Kepedihan hati Cendera Kirana lantaran kehilangan ibu sudah barang tentu tak mudah kita bayangkan betapa beratnya. Kami tak sampai hati membiarkan dia hidup dirundung lara; seperti anak sebatangkara yang tidak bersanak saudara, tiada orang yang mau meraih mengasih sayang."

Raden Inu Kartapati mendengarkan titah ayahanda Raja dengan hati terharu lalu sembahnya, "Hamba maklum, ayahanda."

"Oleh karena itulah, anakanda kami panggil. Kami bermaksud hendak menghibur hati Galuh Cendera Kirana dengan boneka yang sangat indah buatannya, sehingga dapat melipur hati lara tunanganmu itu! Anakanda sendirilah yang harus membuat. Buatlah dua boneka. Yang satu dari emas, yang satu lagi dari perak. Sekian pesan kami. Kerjakanlah sebaik-baiknya."

Raden Inu Kartapati bersujud di hadapan ayahanda Raja lalu sembahnya, "Titah ayahanda hamba junjung setinggi-tingginya. Hamba mohon diri."

Setelah diperkenankan undur oleh ayah dan ibunda, Raden Inu Kartapati kembali ke puri tempat kediamannya. Siang hari itu juga ia mengumpulkan segala bahan dan alat-alat untuk membuat boneka. Malam harinya ia duduk sendirian di tempat sunyi, tepekur menghidap Dewata yang maha mulia; mohon ilham. Beberapa lamanya ia duduk hening, bertahan napas, membulatkan cipta. Dengan karunia Dewata yang maha mulia, ilham masuk ke dalam raga Raden Inu Kartapati.

Sayup-sayup sampai kedengaran kokok ayam yang kedua kali, pertanda malam hari hendak menyongsong kedatangan sang Batara Surya.

Raden Inu Kartapati serasa diingatkan suara gaib untuk mengakhiri tepekurnya lalu bangkit dari tempat duduknya, kemudian mandi air kembang yang semerbak harum baunya.

Dengan hati bulat, tenang tenteram, mulailah Raden Inu Kartapati bekerja; membuat boneka dari emas. Jari tangannya yang halus itu hati-hati memainkan alat-alat: gergaji, pahat, kikir, dan palu kecil. Rambut boneka dibuatnya ikal, halus lembut, terurai seperti rambut bidadari yang baru turun dari pemandian di kayangan. Boneka diciptakan seelok mungkin; tanpa cacat sedikit juga. Lengan anak-anakan dibuatnya lampai, jari tangannya lentik-lentik.

Sejenak Raden Inu Kartapati menatap boneka. Bagian-bagian kecil diperiksanya dengan saksama. Yang terlalu panjang digergaji, yang masih kasar dikikirnya. Segala-galanya dibuatnya laras.

Berkali-kali boneka dipandang dan ditatap Raden Inu; dari hadapan dari belakang dan dari samping. Dalam khayal Raden Inu seolah-olah berhadapan benar dengan Galuh Cendera Kirana, gadis molek tunangannya.

Dalam hati ia berkata mesra, "Oh, adinda Kirana. Betapa resah hati kakanda mendengar berita sedih tentang adinda sayang. Tetapi semoga boneka hasil karya kakanda ini menjadi pelipur hati adindaku manis." Boneka dipeluk; lalu disimpan. Boneka emas rampung digarap, kemu dian boneka perak dikerjakan.

Setelah beberapa hari tekun berkarya, Raden Inu Kartapati mengakhiri pekerjaannya. Kedua boneka itu segera dipersembahkannya kepada ayahanda Sri Baginda Raja.

Dengan hati kagum Sri Baginda mengamat-amati boneka hasil karya Raden Inu Kartapati. Permaisuri pun demikian pula. Bangga hatinya tiada terhingga mempunyai putra sepandai itu. Tanpa menunggu lama-lama Sri Baginda menitahkan Patih mengumpulkan orang-orang yang akan diutus kekerajaan Daha untuk mempersembahkan boneka-boneka itu kepada adinda Raja.

Sri Baginda menitahkan membungkus boneka emas dengan kain yang serba buruk dan mengikatnya dengan tali kain hitam, sehingga tidak menarik hati orang yang melihat. Akan tetapi sebaliknya, boneka perak dibungkus dengan kain sutera dewangga berwarna merah jambu, bersulamkan benang emas dan diikat dengan tali kain sutera, sehingga sedap sekali dipandang mata.

Setelah selesai segala persiapan, maka hari itu juga para utusan Raja Kuripan berangkat menuju Daha, mengusung bingkisan yang dihiasi segala tanda kebesaran.

Singkatnya kisah, para utusan sampailah di balai penghadapan istana Daha dan diterima oleh sang Nata serta menteri-menteri.

Sri Baginda Daha sangat berkenaan hati menerima boneka-boneka kiriman kakanda Raja Kuripan, lalu segera menitahkan Galuh Ajeng memilih lebih dahulu.

Tiada terkira girang hati Paduka Liku oleh karena anaknya dibolehkan memilih lebih dahulu, sehingga sikap si gundik tampak benar bertambah congkak.

Tanpa ragu-ragu, tanpa ayal Galuh Ajeng lekas mengambil boneka yang dibungkus kain sutera dewangga. Dengan sombongnya ia melirikkan mata kepada Cendera Kirana dan Mahadewi, seraya tersenyum mengejekkan.

Sri Baginda kemudian menitahkan dayang-dayang menyampaikan boneka yang sebuah lagi kepada Galuh Cendera Kirana. Mahadewi yang menyaksikan tingkah laku Sri Baginda sedemikian, hatinya pedih sejadi-jadinya. Ia lekas meninggalkan majelis hendak menangis, hendak melepaskan sedih hati, bersama-sama dengan Galuh Cendera Kirana. Dicumbu dan dibujuknya Galuh Cendera Kirana, agar supaya ikhlas menerima peruntungannya.

"Anakanda manis, Cendera Kirana, pandai-pandailah membawa diri. Siapa tahu peruntunganmu kelak lebih baik dari pada sekarang. Ibu doakan siang malam semoga anakanda dikurniai Dewata yang yang maha mulia hidup bahagia," bujuk Mahadewi.

Galuh Cendera Kirana menganggukkan kepala sambil menahan tangis, lalu bungkus boneka dibukanya dengan hati segan. Akan tetapi aduh, betapa girang hati Cendera Kirana, ketika tampak olehnya boneka emas yang sangat indah itu. Maulah ia tertawa gelak-gelak dan melonjak-lonjak seperti anak kecil yang kegirangan. Mahadewi pun bukan main girang hatinya lalu memeluk dan mencium Galuh Cendera Kirana.

"Duhai ibu Mahadewi, hamba belum pernah melihat boneka seindah ini! Tangan manusiakah gerangan yang membuat, ibunda ? Alangkah elok paras boneka! Lihat, lihat ibunda ! Boneka mengajak hamba tertawa," kata Cendera Kirana dengan girang.

"Betul kata anakanda. Ia mengajak anakanda tertawa. Marilah kita tertawa senang Cendera Kirana. Lihat-lihatlah dia jika anakanda bersedih hati, supaya hilang gelap terbitlah cuaca terang," bujuk Mahadewi.

Awan hitam yang mengalang-alangi sinar cahaya sang Batara Surya, lambat-lambat lewat ditiup sang Bayu. Langit biru tampak bersih cuaca terang melapangkan pemandangan.

Boneka emas cilik rupawan, ciptaan Raden Inu Kartapati seniman negeri Kuripan, tiada bedanya dengan sang Bayu. Menghalau tirai hitam dari rongga-rongga dada Cendera Kirana. Hilang rasa duka, tumbuh hati rindu.

Si gadis berdendang riang, bersenandung sambil menggendong anak-anakan. Tingkahnya seperti seorang ibu benar yang mencurahkan isi kalbu kepada belahan hatinya. Boneka emas tersenyum manis dalam buaian, seolah-olah mengerti segala yang tergores dalam hati si ibu, seperti ikhlas berjanji hendak membalas kasih. Dengan mesra Kirana mencium boneka, namun khayalnya mengembara jauh ke negeri Kuripan.

Alangkah sayang, cuaca terang hanya tampak sejenak, sebab kabut datang mengganggu.

Serta Galuh Ajeng melihat boneka kencana Cendera Kirana timbullah iri hatinya, lalu merengek meminta boneka emas. Kata-kata ejekan yang keji-keji bertubi-tubi keluar dari mulut busuk Galuh Ajeng, tetapi Kirana tetap tak hendak melepaskan bonekanya. Galuh Ajeng cengeng menangis, mengadu kepada Paduka Liku. Bujukan Liku, dayang-dayang dan inang pengasuh, hanya sia-sia juga, tak sanggup menghibur hati Galuh Ajeng. Sambil menangis dan meratap gadis manja itu berguling-guling di tanah, tidak ubahnya dengan tingkah laku anak pasar yang kasar dan kurang ajar.

Lantaran ingar-bingar itu Sri Baginda datang melihat. Disambut oleh Paduka Liku dengan ocehan dan pengaduan yang dibuat-buatnya. Baginda lekas benar kena hasutan Paduka Liku. Tanpa periksa, tanpa pikir baik-baik, Sri Baginda memurkai Cendera Kirana.

Betapa pun murka Sri Baginda, namun Kirana tak hendak membiarkan bonekanya direbut orang.

"Dari pada hamba dipaksa harus memberikan boneka hamba kepada Galuh Ajeng, lebih baik ayahanda bunuh hamba. Duhai ayahanda apakah arti hamba di dunia tanpa anak-anakan yang hamba cintai? Ibunda mati dibunuh orang, hamba menjadi anak piatu. Kini boneka hamba hendak dirampas orang. Siapa pula pelipur lara hamba ? Daripada hamba hidup merana demikian, hamba ikhlas dibunuh ayahanda. Biarkanlah hamba menyusul ibunda permaisuri."

Cendera Kirana meratap menangis sedih. Berlutut, lalu mencium kaki Sri Baginda. Lakunya seperti orang menyerahkan kepala supaya dipancung. Mahadewi, dayang-dayang dan inang pengasuh, sekaliannya menangisi gadis piatu Kirana.

Akan tetapi Baginda Raja tidak sedikit pun berkurang murkanya, lalu titahnya, "Kirana, tingkah lakumu seperti anak kecil. Seperti anak tak tahu adat, seperti bukan putri raja. Dahulu engkau membangkang. Sekarang engkau masih juga berani menentang ? Engkau berikan boneka itu kepada Galuh Ajeng! Jika tidak, rambutmu pasti kupotong."

Cendera Kirana menggelengkan kepala. Menolak keras permintaan Sri Baginda. Boneka emasnya dipegang erat-erat, didekapkan pada dada.

"Tidak,ayahanda !" sembah Kirana dengan suara menantang. "Hamba tidak mengizinkan ! Boneka ini milik hamba, belahan hati hamba. Silakan potongan rambut hamba, sebab ayahanda berkuasa."

Murka Sri Baginda tambah berkobar. Sri Baginda merasa dihinakan Kirana karena permintaannya diabaikan. Dengan muka merah padam Baginda menjengkau gunting. Riuh rendah kedengaran jerit dan tangis Mahadewi, dayang-dayang dan inang pengasuh. Keadaan menjadi gempar.

Dengan gemas Sri Baginda memotong rambut Kirana. Kres-kres-kres!

"Nah, rasakan olehmu, anak durhaka! Lekas pergi dari sini! Aku tak suka lagi melihat mukamu!" Sri Baginda mengusir Cendera Kirana, seperti menghalau anjing gila.

Titah Sri Baginda demikian kedengarannya seperti bunyi petir di hari terang. Amat sangat mengagetkan Mahadewi dayang-dayang dan inang pengasuh oleh karena tidak disangka Sri Baginda akan sampai hati bertindak sekejam itu terhadap Cendera Kirana. Mereka menangis pilu seperti anak kecil ditinggal mati ibu bapak.

Hanya Paduka Liku dan Galub Ajeng juga yang tampak bergirang hati. Luar biasa puas hati kedua mereka itu melihat Cendera Kirana berjalan terhuyung-huyung menuju puri tempat kediamannya.

Mahadewi, Ken Bayan, dan Ken Sanggit mengiringkan Cendera Kirana, lalu membawa masuk ke peraduan. Pakaian Cendera Kirana yang basah oleh karena air mata dan kotor karena potongan-potongan rambut itu lekas mereka tanggalkan untuk diganti dengan pakaian bersih. Dengan air bunga yang amat harum baunya, Cendera Kirana dimandikan, lalu pakaian bersih dikenakan.

Cendera Kirana masih menangis tersedu-sedu juga mengenangkan nasib hidupnya yang malang itu. Pikirannya gelap, hatinya berasa berat tertindih oleh bermacam-macam derita hidup.***

Download hikayat ini KLIK di sini

Friday, May 21, 2010

Galuh Candera Kirana (4)

Tunduk Tanpa Syarat
(Hikayat Panji Semirang Bagian 4)


AWAN HITAM lamban bergerak ditiup sang Bayu. Bertebaran bergumpal-gumpal, mengalang-alangi sinar sang Surya. Burung elang melayang-layang di udara mengintai mangsa; suaranya melengking mengiris hati, menjerit-jerit mengikis langit. Pohon beringin di alun-alun tampak alum, dedaunan kelihatan layu lemah lunglai tanpa daya. Binatang-binatang buas di hutan rimba seperti segan berburu mangsa. Orang-orang seperti enggan meninggalkan rumah, karena merasa aman diam di tengah-tengah keluarga. Anak-anak remaja, pria dan gadis segan bersenda gurau, seolah-olah lupa akan masa keremajaannya.

Apa gerangan yang caembuat suasana demikian ? Apa nian yang menekan jiwa ? Seorang pun tiada yang sanggup menerangkan, kecuali orang-orang kudus yang pandai menerawang dinding alam nyata, pandai meramalkan apa yang akan terjadi.

Keraton Daha menghadapi masa depan yang sangat suram. Sang Dewata yang maha mulia menghendaki demikian. Makhluk-makhluk di mayapada hanya merupakan pelaku-pelaku sejarah; hanya menurut kehendak Ki Dalang di kayangan. Dan Ki Dalang pulalah yang menghendaki agar supaya alam sekitar keraton Daha merasai suasana kesuraman itu.

Puspa Ningrat, permaisuri Raja Daha, yang pada waktu itu sedang duduk-duduk di balai peranginan, sangat berlainan kelihatannya. Air mukanya pudar. Cahaya matanya, senyumnya, pendek kata segala gerak geriknya seperti lain dari pada biasanya, seperti mengandung arti yang sukar diduga orang.

Ketika seorang dayang berdatang sembah, permaisuri tiba-tiba teringat akan tapai persembahan Paduka Liku, lalu menyuruh dayang itu mengambilnya.

Dayang segera mematuhi perintah dan mempersembahkan santapan itu di hadapan permaisuri. Kini kain sutera tutup santapan itu dibuka permaisuri ayu Puspa Ningrat.

Dilihatnya sebentar. Tangannya yang halus itu hendak menjamah tapai tetapi tidak jadi oleh karena perhatiannya beralih pada burung-burung yang bertengger di dahan pohon dan ramai berkicau. Binatang-binatang itu seolah-olah memperingatkan permaisuri agar supaya jangan mau makan tapai beracun itu. Akan tetapi sayang! Permaisuri tak mengerti bahasa burung. Ia hanya tersenyum melihat kepada burung-burung yang sedang mengoceh itu. Tiba-tiba cecak jatuh dari loteng di pundak permaisuri, sehingga tangan permaisuri tak jadi menyentuh
tapai celaka itu. Seandainya permaisuri mengerti akan maksud cecak niscaya ia selamat.

Akan tetapi sayang! Kehendak Dewata tak dapat ditawar-tawar. Waktu sudah tiba bagi Puspa Ningrat ayu untuk menyerah kalah kepada kekuatan dan kekuasaan yang bukan tandingan untuk dilawan.

Begitu permaisuri makan sedikit tapai, begitu ia menghempaskan diri. Pucat pasi muka permaisuri. Bola matanya seperti terbalik, sehingga matanya putih belaka kelihatan. Mulutnya terkatup rapat, tangannya terkepalkan keras, selaku orang menahan sakit yang sangat hebat.

Rambut dan badannya bersimbah keringat.

Gemparlah isi istana! Dayang dan inang pengasuh menangis, meratap, berlari-lari ke sana kemari tanpa tujuan; hati berdebar-debar kaki tangan gemetar, karena takut dimurkai Sri Baginda Raja. Suara orang-orang yang meratap dan menangis bersimpang siur; atas mengatasi yang satu dengan yang lain. Sri Baginda segera menitahkan orang memanggil dukun. Semua dukun, pendeta dan ajar yang sakti dikerahkan datang di istana untuk menolong permaisuri. Segala mentera dan obat dicobakan. Namun ajal permaisuri tak dapat dielakkan. Keadaan menjadi bertambah gempar, karena Sri Baginda dan Galuh Cendera Kirana jatuh pingsan. Mahadewi seperti hendak berobah ingatan karena sangat bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat. Demikian juga tingkah laku dayang-dayang dan inang pengasuh. Hanya orang yang tabah hati yang masih sanggup menguasai keadaan kalut seperti itu. Beberapa orang menolong Sri Baginda. Beberapa orang lagi menolong Galuh Cendera Kirana. Untung, keduanya lekas sadar.

Mahadewi menangis sambil meratapi dan mencium tangan mayat Puspa Ningrat. Hatinya ngeri, pedih serasa disayat sembilu karena ingat akan kebaikan hati permaisuri. Dan karena ingat akan penderitaan Galuh Cendera Kirana nanti di bawah tindasan Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Mahadewi merangkul dan menciumi Galuh Cendera Kirana. Membujuk-bujuk supaya tabah hati dan menerima akan nasib hidup.

Permaisuri mengakhiri hidupnya di dunia yang fana. Rohnya pulang kembali ke tempat asal untuk terus hidup di alam baka. Kurungan permaisuri Puspa Ningrat kejang; terbaring di tempat pembaringan mayat, diselimuti kain sutera dewangga.

Sementara itu Galuh Cendera Kirana tak mau melepaskan tangannya dari kaki jenazah ibunya. Air matanya berderai-derai membasahi pipi dan haribaannya. Tiada hentinya ia menangis bersedu-sedan; memilukan hati orang-orang yang melihat.

Setelah keadaan menjadi agak reda, Sri Baginda menanyakan asal mula kematian permaisuri kepada dayang-dayang dan inang pengasuh. Dayang yang tertua bersembah dengan suara gembira, sembahnya, "Ya Tuanku ! Hamba mohon beribu-ribu kali ampun ke bawah Duli Yang Dipertuan. Hamba sekali-kali tidak tahu sebab yang sebenarnya hingga permaisuri menjadi demikian. Hamba hanya melihat permaisuri tadi bersantap tapai."

"Bersantap tapai!" titah Baginda penuh curiga. Mukanya mendadak menjadi merah padam karena amarah. Seperti orang disengat lebah, tiba-tiba Sri Baginda membelalak menjadi sangat murka dan menyuruh dayang-dayang mengambil tapai itu. Sambil menunjuk kepada makan an itu, Baginda bertitah dengan murka, "Hai dayang-dayang! Ini gerangan yang menyebabkan permaisuri mati ! Dari mana ia memperoleh santapan tapai ?"

"Persembahan tuan putri Paduka Liku, Gusti," sembah dayang-dayang dengan gugup; badannya menggigil. "Hanya itulah yang hamba tahu. Gusti," sembahnya pula.

Sri Baginda melihat keheran-heranan. Hatinya menjadi bertambah curiga, lalu melemparkan tapai itu ke hadapan anjing dan ayam. Binatang-binatang yang memakan tapai, mati seketika itu juga. Keadaan menjadi gempar karena Galuh Cendera Kirana jatuh pingsan lagi.

Bukan alang kepalang murka Baginda Raja! Tingkahnya seperti orang mabuk tuak. Dipeluknya Galuh Cendera Kirana yang sedang pingsan itu, digendong lalu diletakkannya lagi di lantai. Kemudian berjalan mondar-mandir, tiada tentu yang dikerjakan.

Tiba-tiba Baginda mengambil pedang. Segera dihunusnya ! Baginda terus ke luar istana, menuju puri Paduka Liku.

"Sekalian orang dalam istana gemetar ketakutan. Sangat ngeri melihat tingkah Baginda Raja, berjalan, mengacungkan pedang terhunus. Mukanya merah padam, matanya menyala laksana api.

Dengan suara menggelegar seperti suara Dasamuka (raksasa bermuka sepuluh) menantang musuh Baginda Raja bertitah, "Hari ini juga kuhabiskan nyawa Paduka
Liku! Kupenggal batang lehernya! Kupotong tiga badannya! Baru puas hatiku !"

Api amarah membara, membakar dada Baginda. Darah panas menggelegak; deras naik ke kepala; menggeletarkan kaki dan tangan. Mata terbelalak, liar menatap. Napas berdengus, laksana dengus banteng ketaton (terluka). Kaki melangkah, tiada peduli apa yang dipijak. Sri Baginda langsung masuk puri selir yang hendak dipancung kepalanya itu.

Sementara itu kabar tentang meninggalnya permaisuri sudah sampai pula ke telinga Paduka Liku. Tampak senyum puas di bibir Paduka Liku. Tetapi bukan senyum manis bidadari, melainkan senyum iblis.

"Syukur ! Mampuslah!" kata Paduka Liku dalam hati. Tetapi serta mendengar Baginda Raja murka dan mengancam, segera Paduka Liku bersiap-siap. Sekarang tibalah saatnya bagi Paduka Liku untuk menguji sampai di mana mujizat guna-guna sang Pertapa sakti.

Baginda Raja dengan sengitnya memburu. Paduka Liku lari ! Terus masuk ke dalam puri. Pintu-pintu tiada yang tertutup terkunci, tiada apa pun yang mengalang-alangi Sri Baginda.

Paduka Liku masuk bilik; terus naik peraduan tempat menyembunyikan bungkusan sepah sirih si guna-guna. Paduka Liku menahan napas beberapa saat, membulatkan pikiran dan perasaan, menyatukan pandangan mata pada satu titik pertemuan kedua belah mata Sri Baginda, sambil berkata dalam batin, "Tunduk ! Tunduk !' Dengan senyum semanis madu ia menyilakan Sri Baginda duduk. Sikap dan senyunmya menggiurkan hati Baginda. Kecantikan dan gerak-gerik Paduka Liku bertambah kuat merangsang, menggoncangkan iman Baginda Raja, berkat hikmat sepah sirih si guna-guna. Senyum simpulnya manis, selegit senyum bidadari yang baru turun dari kayangan; melumat-lembutkan hati Sri Baginda.

Api mati karena bertemu air, dedaunan layu karena daya terik matahari. Api amarah Baginda lenyap karena daya hikmat si guna-guna.
Sinar mata yang semula liar dan galak, kini menjadi redup mengharapkan rindu. Tangan jantan sekeras baja menjadi lemah-lunglai tanpa tenaga. Dan lepaslah pedang terhunus itu dari tangan Baginda Raja.

Suara Baginda yang semula garang, kini menjadi lembah-lembut, merdu seperti suara kumbang mencucup sari bunga.

"O, adindaku manis ! Mana gerangan anakanda Galuh Ajeng? Sehari kakanda tak melihat dia, serasa berbulan-bulan lamanya," titah Baginda.

Mendengar suara Sri Baginda demikian lemah-lembutnya, Paduka Liku bukan alang kepalang sukacitanya lalu katanya, "Ya, kakanda junjungan hati hamba, silakan kakanda melepaskan lelah dahulu. Anakda Galuh Ajeng boleh jadi sedang main dengan dayang-dayang."

Hilang lenyap ingar-bingar dalam puri. Yang kedengaran hanya kata-kata cumbuan Baginda Raja; silih berganti dengan ketawa-ketawa genit si gundik Paduka Liku.

Setelah puas Baginda Raja bersenda gurau dengan Paduka Liku. barulah Baginda meninggalkan puri untuk menyelesaikan upacara pembakaran jenazah permaisuri.

Langit mendung, hujan gerimis. Hujan rintik-rintik membasahi bumi, seolah-olah alam menangis, bersedih hati. Margasatwa berdukacita; beberapa pasang mata insan sembab, basah, tanpa cahaya; sedu-sedan tangis sedih, menyaksikan upacara pembakaran jenazah permaisuri Puspa Ningrat.***

Download hikayat ini KLIK di sini

Wednesday, May 19, 2010

Galuh Ajeng, Paduka Liku, dan Sepah Sirih Beracun

Sepah Sirih Pembawa Maut


UPACARA pertunangan Galuh Cendera Kirana telah berlangsung dengan sangat meriah. Sejak saat itu pula Galuh Cendera Kirana telah sah menjadi tunangan Raden Inu Kartapati.
angel1
Peristiwa yang sangat meriah dan penting itu merupakan kenang-kenangan yang sangat berkesan. Berkesan baik kepada orang-orang yang setuju atau beruntung. Namun sebaliknya, berkesan buruk kepada pihak tertentu yang merasa dirugikan.

Sudah demikianlah keadaan di mayapada (dunia). Agaknya, agar supaya dunia tetap ramai, tetap bergerak hidup, berobah-obah dari abad ke abad. Tiada sipat dunia yang demikian, sejarah kemanusiaan kesepian isi.
Istana Sri Baginda Raja Daha kembali diliputi suasana keadaan yang wajar, setelah peristiwa pertunangan yang meriah itu berlalu.

Sesungguhnya Raja Daha ibarat seorang penderita sakit radang paru-paru. Atau seperti kayu dimakan binatang bubuk. Utuh kelihatan dari luar, akan tetapi keropos dalamnya. Sebabnya, lantaran Sri Baginda orang lemah hati, mudah sekali menuruti hawa nafsu, terutama terhadap selir kekasihnya, Paduka Liku.

Segala keinginan dan permintaan Paduka Liku atau Galuh Ajeng, selalu didengar dan diturut Sri Baginda. Tanpa berpikir masak-masak, tanpa ditimbang dengan seksama baik buruk kesudahannya. Pendek kata, selir kekasih dan anaknya itu, sedikit pun tiada bernoda, tiada bercacat dipandang Sri Baginda.

Paduka Liku bukan main sakit hatinya lantaran Galuh Cendera Kirana bertunangan dengan Raden Inu Kartapati. Iri hatinya melihat Cendera Kirana bertambah disayang oleh Sri Baginda. Setiap hari Paduka Liku tampak suram mukanya, bengkak-bengkak matanya lantaran tidak berhenti-henti menangis. Pikirannya tak mau lepas dari pada mencari akal untuk membunuh permaisuri Puspa Ningrat atau Galuh Cendera Kirana. Salah satu di antara kedua orang itu hendak dilenyapkannya dari muka bumi. Dengan cara bagaimanapun!

Pada suatu hari Paduka Liku membuat tapai yang dibubuhinya racun, kemudian ditaruhnya dalam bokor kencana. Kernyut bibir si gundik itu tiada bedanya dengan seringai serigala jahat, seringai maut.

Paduka Liku memanggil dayang-dayang dan menyuruh mereka mempersembahkan tapai itu kepada permaisuri. Bokor emas ditaruh di atas talam emas, dinaungi kain sutra indah. Seorang dayang menating talam yang amat elok itu, diiringkan dua orang dayang-dayang yang lain. Mereka berjalan menuju istana permaisuri, tanpa hati syak wasangka, bahwa mereka menating barang terkutuk, perusak keadaban manusia. Sebaliknya, mereka senang seolah-olah beroleh kehormatan karena boleh menyampaikan tanda kasih tuannya kepada permaisuri Sri Baginda.

"Siapa tahu, permaisuri berkenan hati menganugerahkan apa-apa." Boleh jadi demikianlah pikir dayang-dayang.

Sesampai di istana, ketiga dayang-dayang itu duduk bersimpuh dengan sopan santun di hadapan permaisuri.

"Hamba dititahkan tuan putri Paduka Liku mempersembahkan tanda kasih dan sembah sujud tuan putri," sembah seorang dayang.

Permaisuri Puspa Ningrat tersenyum gembira melihat dayang-dayang yang manis-manis lagi sopan santun itu, lalu menyambut persembahan Paduka Liku dengan tiada duga persangka buruk.

Dayang-dayang Paduka Liku menyembah dan mohon diri setelah menerima kembali bokor kencana kosong.

Paduka Liku tersenyum lega melihat dayang-dayangnya sudah kembali, lalu pikirnya, "Begitu permaisuri mati, begitu aku menggantikan dia menjadi permaisuri. Kekuasaan dalam istana jatuh di tanganku. Jika Cendera Kirana yang mati, kujadikan Galuh Ajeng tunangan Raden Inu Kartapati. Kerajaan Kuripan dan Daha biar dia persatukan dan dia kuasai sekali. Kekuasaanku dengan sendirinya bertambah karena kedudukan anak dan menantuku."

Paduka Liku hendak melanjutkan siasat jahatnya dan berunding dengan Galuh Ajeng. Oleh karena itu ia menyuruh dayang-dayangnya ke luar dari puri dan melarang berdatang sembah jika tidak dipanggil.

Dalam puri hanya tampak Paduka Liku, Galuh Ajeng dan seorang paman Paduka Liku. Mereka berunding dalam bilik yang tertutup, karena takut rahasianya bocor. Setelah Paduka Liku selesai menguraikan keinginan hatinya, lalu katanya, "Sekarang paman harus menolongku; mencarikan tukang tenung yang pandai membuat guna-guna untuk melembutkan hati orang; agar supaya aku jangan dimurkai sang Nata. Sebaliknya, sang Nata harus tunduk kepada segala keinginanku. Kasih sayang dan cintanya kepadaku harus tambah berlipat ganda."

Si Paman menganggukkan kepala tanda setuju dengan maksud Paduka Liku dan setuju dengan segala janji-janjinya. Setelah menerima bekal secukupnya, ia pun segera berangkat seorang diri.

Sesungguhnyalah tugas kewajiban yang dipikul si Paman sangat berat dan berbahaya. Akan tetapi ia mau juga melaksanakannya, hanya oleh karena dorongan hati sayang kepada Paduka Liku. Dan karena ia mengharapkan upah serta pangkat, jika maksudnya terlaksana serta berhasil.

Perjalanan yang harus ditempuhnya, bukanlah pekerjaan main-main. Hutan rimba, tempat berkeliaran binatang-binatang buas harus ditempuhnya. Bukit dan gunung harus didaki; sungai harus diseberangi dan lembah ataupun jurang harus dituruninya. Di mana pula tempat kediaman tukang tenung itu ? Si Paman belum lagi tahu.

Oleh karena itu ia harus menyinggahi tempat tinggal segala ajar, pertapa, yang diberitahukan orang. Siang malam ia berjalan. Ia tak hendak berhenti mencari dan pulang dengan tangan hampa. Demikian kuat tekad si Paman membela kepentingan Paduka Liku.

Berkat keuletan hati, akhirnya ia sampailah ke puncak gunung, tempat tinggal seorang pertapa yang masyhur kesaktiannya. Sang Pertapa menerima kedatangan utusan Paduka Liku dengan ramah. Sekalipun pertapa sudah tahu maksud kedatangan tamunya, namun dengan saksama ia mendengarkan juga keterangan-keterangan yang dikemukakan tamu itu.

Selesai berbicara, si Paman menyembah dan menundukkan kepala, menunggu jawab dan pesan-pesan sang Ajar.

Setelah bermenung sejenak sambil memejamkan mata, sang Ajar berkata, "Hajat kemanakan Tuan telah kusampaikan dan dikabulkan pula oleh Dewata yang maha mulia.”

Pertapa itu membuang sepah sirih dan menyuruh tamunya memungut lalu katanya, "Bungkuslah sepah sirih itu dengan kain atau sapu tangan. Berikan kepada Paduka Liku. Tuan boleh pulang."

Dengan hati berdebar-debar karena girang, si Paman menurut segala perintah sang Ajar, lalu menyembah dan mohon diri.

Betapa besar hati si Paman tiadalah terperikan. Tanpa kenal lelah ia berjalan siang malam, oleh karena ia ingin lekas sampai dan ingin lekas menyerahkan perolehannya kepada Paduka Liku. Singkatnya cerita si Paman tiba di puri Paduka Liku.

Kebetulan Paduka Liku sedang duduk seorang diri sehingga si Paman dapat berbicara leluasa. Paduka Liku dengan amat sukacita mendengarkan pesan-pesan sang Ajar dan menerima bungkusan sepah sirih itu dari tangan si Paman. Maulah ia menangis dan tertawa sekali, karena amat sangat sukacitanya. Berkali-kali Paduka Liku rnengucapkan terima kasih dan memuji-muji kesetiaan si Paman. Berkali-kali pula ia menengadahkan kepala selaku orang menyampaikan doa dan terima kasih kepada Dewata yang maha mulia.

Setelah berbisik-bisik dekat telinga si Paman sambil menyodorkan sejumlah harta sebagai upah dan setelah si Paman pulang, Paduka Liku lekas menaruh bungkusan sepah sirih itu di bawah bantal ketidurannya.

Jika andaikata, ular senduk yang sangat berbisa dan jahat itu, pandai senyum, kira-kira tiadalah beda dengan senyum Paduka Liku. Di balik kernyut bibir yang manis dan menggairahkan hati itu, kiranya tersembunyi racun yang sangat berbahaya.

Paduka Liku sebentar duduk, sebentar merebahkan diri di atas tempat ketidurannya. Sebentar berdiri bermenung, sebentar berjalan mondar-mandir dalam biliknya. Hatinya berdebar-debar. Bukan berdebar karena cemas dan takut, melainkan karena girang mengenangkan ke menangan yang bakal dicapai.

Hanya satu, hanya satulah tujuan hatinya! Yaitu kepentingan diri sendiri di atas kepentingan semua orang. Biar orang lain mampus binasa, ibarat kata, asalkan dia sendiri hidup mewah, megah, berkuasa di atas segala-galanya. Habis perkara!

Kemenangan pasti jatuh di tangannya! Dan ia pun tak perlu takut akan perlawanan dan dendam kesumat orang. Hatinya besar.

Berani laksana ular senduk, sekalipun menghadapi raja rimba.

Paduka Liku merasa aman dan kuat, berkat hikmat sepah sirih pemberian pertapa sakti. Demikian besar dan kuat kepercayaannya kepada hikmat guna-guna itu.

Sebentar pikirannya melayang ke istana permaisuri Puspa Ningrat dan Galuh Cendera Kirana. Dari sanalah ia sewaktu-waktu boleh mengharapkan kabar yang menggemparkan isi kerajaan Daha.***

Download hikayat ini KLIK di sini
Baca bagian sebelumnya di sini

Tuesday, May 18, 2010

Sinopsis Novel Maut dan Cinta

Sinopsis Novel Maut dan Cinta


Novel karya Mochtar Lubis ini berkisah tentang Sadeli seorang anggota dinas rahasia TNI berpangkat mayor. Ia menyamar sebagai pedagang penjual hasil bumi ke luar negeri. Ia bertugas mengumpulkan dana, mencari senjata, alat-alat komunikasi dan membuka hubungan udara bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan kembali oleh Belanda.

Di Singapura, Sadeli berhasil mengumpulkan obat-obatan dan alat-alat komunikasi. Namun kegiatannya ini diketahui pleh dinas rahasia Inggris yang berkuasa di Singapura. Di Singapura ia dibantu Alinurdin, seorang wartawan yang juga memperkenalkan perjuangan rakyat Indonesia dan berhasil mendapatkan simpati orang-orang di luar dan dalam negeri.

Sadeli menemui Umar Yunus bawahannya yang mengenyam hidup mewah dan berfoya-foya. Umar Yunus lupa daratan karena terjebak oleh Mr. Yo yang menyodorkan wanita cantik, Ritalu. Dikemukakannya tentang tugasnya oleh Sadeli bahwa ia menyamar sebagai pedagang untuk membantu perjuangan RI. Diperintahkannya supaya Umar Yunus mengirim senjata, obat-obatan, dan alat-alat komunikasi ke Indonesia. Ia sendiri akan ke Bangkok untuk mencari seorang penerbang Amerika yang berpengalaman, untuk membuka jalur penerbangan luar negeri ke Indonesia.

Sadeli tidak mudah mendapatkan orang yang dicarinya. Namun akhirnya ia berhasil meyakinkan Dave Wayne, seorang pendeta dan penerbang. Sadeli dapat membuktikan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah mutlak, bangsa mana pun tidak boleh menindas bangsa lain, walaupun itu bangsanya sendiri. Sadeli pun berhasil meyakinkan Dave tentang agama, komunikasi, nazi, dan tata kehidupan dunia masa datang, termasuk Indonesia.

Sadeli menyusun rute penerbangan beserta tiga orang wartawan asing untuk memberitahukan dunia luar tentang revolusi Indonesia. Sementara itu ia menuntut agar Umar Yunus mengembalikan uang negara yang telah disalahgunakannya sebanyak 500 dolar dan berhenti dari dinas intelijen karena ia menyalahgunakan jabatannya. Namun Umar Yunus tetap membangkang kepada Sadeli, atasannya.

Dalam tugas mengantarkan senjata dan alat komunikasi ke Riau Sadeli membawa Umar Yunus dengan speedboat dan bermaksud menghadapkan Umar Yunus ke Pengadilan Militer. Di tengah laut mereka mendapat serangan convert Belanda. Berjatuhan kurban dalam speedboat dan mereka terdesak ke pantai. Peristiwa ini sangat berkesan dan menyadarkan Umar Yunus. Di hadapannya sendiri ia menyaksikan temannya mati tertembak dalam suasana yang sangat kritis.

Sadeli mendengar kata-kata pengakuan Umar Yunus, bahwa Sadeli memang benar. Ia bersedia menjadi apa saja untuk membantu Sadeli membela tanah air.

Umar Yunus kembali bertugas aktif dan sebaik-baiknya sebagai anggota dinas rahasia TNI sekalipun pangkatnya diturunkan menjadi letnan.

Akibat perjanjian Linggarjati keadaan di Indonesia tidak menguntungkan. Hal ini membuat Sadeli bekerja lebih keras di luar negeri. Untung saja penilaian Dave bahwa Indonesia ada di pihak yang benar.

Sadeli mendapat perintah untuk membeli Catarina, pesawat terbang yang dapat mendarat di permukaan air. Untuk itu ia harus pergi ke Hongkong. Dalam tugas itu ia berjumpa dengan Maria, seorang gadis cantik dan menarik. Kalau selama ini kasih mesra Sadeli belum tersentuh, kali ini ia terpikat kepada Maria. Mereka pun sama-sama jatuh cinta. Setelah selesai mengurus pembelian Catarina, Sadeli kembali ke Singapura dan melangsungkan pernikahan dengan Maria.

Sementara itu perkembangan di tanah air tidak menggembirakan. Kota Yogyakarta diduduki Belanda dan pemerintahan RI pindah ke Bukit Tinggi. Di Singapura Sadeli bekerja lebih keras, berjuang lebih giat. Dalam perjuangannya itu Sadeli melihat Maria membantu dengan sungguh-sungguh untuk membela nusa, bangsa, dan negara yang baru baginya.***

Download novel ini KLIK di sini

Monday, May 17, 2010

Inu Kertapati Asmaraningrat

Pertunangan Candra Kirana dengan Inu Kertapati

(Hikayat Panji Semirang bagian 2)

RAJA KURIPAN adalah kakak Raja Daha. Namanya masyhur ke segenap negeri. Kerajaannya luas, tanahnya subur. Rakyatnya banyak dan hidup makmur. Rakyat taat dan hormat kepada raja, sebab Sri Baginda adil, amat sabar lagi budiman; seorang bangsawan yang bijaksana dan pendekar pula.

Putra Sri Baginda hanya seorang, Raden Inu Kartapati namanya. Elok parasnya laksana Dewa Kamajaya dari kayangan; baik tingkah lakunya dan amat dermawan.

Sri Baginda serta permaisuri amat kasih akan putranya. Rakyat pun demikian pula dan memberi Raden Inu Kartapati gelar kesayangan Raden Asmara Ningrat.

Sesuai dengan adat kebiasaan istana, Raden Inu Kartapati diasuh oleh dayang-dayang dan inang pengasuh; orang-orang kepercayaan Sri Baginda. Cukuplah usianya untuk belajar, maka Raden Inu Kartapati pun belajar pelbagai ilmu kesaktian; pelbagai macam ilmu ketangkasan yang patut dan berguna bagi seorang putra raja.

Sri Baginda dan permaisuri amatlah bahagia melihat putranda, yang bertambah besar bertambah elok parasnya dan semakin baik pula tingkah lakunya.

Namun sudahlah menjadi adat hidup, manusia tak pernah puas dengan apa yang sudah ada; suka dan duka silih berganti berkunjung meninggalkan singgasana hidup.

Demikianlah pula halnya dengan Baginda Raja Kuripan. Sri Baginda memikirkan keadaan putranda Raden Inu Kartapati yang sekarang sudah akilbalig dan sudah saatnya dicarikan pasangan hidup.

Pada suatu hari duduklah Sri Baginda bersama permaisuri di balai peranginan, dihadapi oleh orang-orang tua dalam istana.

Pemaisuri menghadapi sebuah puan; hatinya resah melihat wajah Sri Baginda muram. Namun permaisuri tak berani bicara, tak berani bertanya apakah gerangan yang memasygulkan hati Sri Baginda.

Untunglah, kesunyian lekas berakhir, karena Sri Baginda bersabda, Ya adinda. Apakah bicara kita sekarang? Sungguhpun kita selama ini hidup sejahtera dalam kerajaan yang demikian besarnya; selamat tanpa gangguan, tetapi masih ada sesuatu yang tersangkut pada hati kakanda; sesuatu yang ganjil dan makan pikiran kakanda."

Selesai Sri Baginda bersabda, suasana menjadi sepi kembali. Hati permaisuri yang lega karena terlpas dari gangguan kesunyian, kini menjadi gelisah lagi, karena sabda sang Nata (raja) samar-samar seperti teka-teki. Permaisudi tak lekas menyambut titah sang Nata, namun lama bermenung juga menerawang dindmg batin, mendengarkan bisikan kalbu, kalau-kalau ada noda yang memasygulkan hati Sri Baginda… Dibiarkannya hatinya mengembara ke alam gaib, meneropong alam nyata, menceri jawab di balik dinding kesamaran.

Permaisuri tahu dan yakin akan keluhuran budi Baginda Raja Jadi betapa ruwet pun keadaan, Sri Baginda tak mungkin akan bertindak sewenang-wenang tetapi pasti memegang teguh keadilan. Setelah permaisuri merasa diri tak bersalah, timbullah pikiran, duga persangka kepada saudara-saudara Sri Baginda. Mungkinkah Raja Daha, Raja Gagelang, dan Biku Gandasari merupakan sangkutan dalam hati Sri Baginda?

Matahati permaisuri kini meneropong ke alam jauh, melangkaui batas kerajaan Kuripan, terus menuju istana Daha tempat bersemayam adinda Sri Baginda. Terbayang muka Raja Daha dengan permaisurinya Puspa Ningrat serta putrinya nan ayu Galuh Cendera Kirana. Kemudian selir-selir Sri Baginda, yaitu Mahadewi dan Paduka Liku kekasih Baginda serta putrinya, yang pendengki hati, bernama Galuh Ajeng

Seorang demi seorang diteropong dengan teliti. Siapakah gerangan di antara mereka yang boleh disangka, diduga menjadi duri penyatkit hati Sri Baginda Kuripan? Pertanyaan tak terjawab. Permaisuri mengalihkan pandangan hatinya ke istana Gagelang, tempat bersemayam adinda Sri Baginda yang nomor dua. Pun di sini pertanyaan permaisuri masih belum beroleh jawab. Maka Biku Gandasari kini kena teropong permaisuri. Namun sungguh sulit mencari cacat pada putri pertapa di Gunung wilis ini. Biku Gandasari, adinda sang Nata Kuripan yang nomor tiga adalah pertapa kekasih dewa, yang terlalu sakti dan awas penglihatan, yang tahu akan keadaan sekalian orang di tempat mana pun;
pertapa yang menguasai jin, hantu, di hutan rimba Gunung Wilis.

Selesai permaisuri bercengkerama di alam batin, tanpa beroleh hasil yang diharap-harap, barulah ia bersembah kepada Sri Baginda, "Ya, kakanda. Apakah gerangan yang menjadi sangkutan hati kakanda? Hamba ingin sekali mendengar dan ingin diajak bermupakat. Sebab jika kakanda tidak memberitahukannya niscaya akan menjadi sangkutan jua kepada hamba."

Sri Baginda Raja bertitah, "Adinda! Kakanda mendengar kabar, adinda Raja Daha ada berputri seorang yang amat elok parasnya. Pada hemat kakanda, putranda Raden Inu patut benar menjadi teman hidup kemenakan kakanda itu. Oleh karena itulah, kakanda bermaksud hendak meminang putri Daha untuk putranda Raden Inu. Kakanda tahu, tidak sedikit raja-raja yang lain, yang cantik-cantik, namun tiada seorang pun dapat menandingi keelokan paras putri Daha, sanak saudara kita itu."

Permaisuri lega hati mendengar titah Sri Baginda Raja demikian, lalu sembahnya, "Sesungguhnyalah ! Kakanda sekali-sekali tidak keliru pendapat dan tak salah pilih. Hamba mengucap syukur dan sangat setuju dengan maksud kakanda. Sebenarnyalah! Sebaik-baiknya orang lain, terlebih baik juga darah daging kita sendiri."

Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum puas mendengar kata mupakat permaisuri demikian. Segera Sri Baginda menitahkan mengarang sepucuk surat pinangan dan melengkapkan bingkisan yang akan dikirim bersama-sama kepada adinda Raja Daha.

Surat dan bingkisan Sri Baginda lalu ditaruh di tampan emas. Beberapa orang penggawa menaungi tampan emas itu dengan payung keemasan disertai panji-panji yang berumbai-umbai mutiara.

Menteri, hulubalang, dan para prajurit, yang mengiringi bingkisan kerajaan itu, sekaliannya berpakaian kebesaran. Demikian iuga halnya dengan gajah dan kuda tunggangannya; semuanya tampak sangat indah, menyedapkan pandangan mata.

Setelah kepala rombongan bersembah sujud di hadapan Sri Baginda, tanda mohon restu dan mohon diri, lalu berangkatlah utusan kerajaan menuju negeri Daha. Sepanjang jalan orang-orang bersorak-sorai dengan sukacitanya diiringi bunyi-bunyian, kemong, kempul, gung, dan saron. Amat gemuruh suaranya! Membangkitkan semangat orang-orang yang mendengar; menambah rasa megah gembira para pengendara gajah dan kuda; menambah tenaga orang-orang yang berjalan kaki. Berjalan berduyun-duyun seperti semut mengangkut makanan.

Hati gembira ria melenyapkan rasa lelah; seolah-olah mempersingkat perjalanan para utusan Sri Baginda Raja Kuripan itu ke negeri Daha.

Pintu gerbang kerajaan Daha semakin jelas kelihatan, akhirnya para utusan Raja Kuripan berhenti di tempat perbatasan dan disambut oleh penjaga pintu gerbang kerajaan Daha. Setengah di antara mereka diantarkan masuk istana oleh penjaga pintu gerbang. Setengahnya lagi mendirikan pesanggrahan di luar kota.

Setelah Baginda Raja Daha berkenan hati menerima, maka berdatang sembahlah Menteri Kuripan ke hadapan Sri Baginda. Menteri bersujud menjunjung duli sang Nata Daha, dengan tertib dan penuh rasa khidmat. Lalu dipersembahkannyalah tampan emas berisi surat pinangan dan bingkisan Sri Baginda Kuripan.

Dengan mata cemerlang kegirangan, dengan bibir bersimpul senyum, Sri Baginda Daha mendengarkan Menteri yang membacakan isi surat Raja Kuripan. Puas hati Sri Baginda Daha menerima berita yang sangat menggembirakan hati itu. Baik Sri Baginda, maupun permaisuri sangat setuju dengan pinangan Raja Kuripan akan Galuh Cendera Kirana untuk dijadikan istri Raden Inu Kartapati. Sri Baginda bertitah, "Wahai Menteri Kuripan! Sesungguhnyalah, kami sudah lama menanti-nantikan kabar berita dari saudara-saudara kami. Baik kabar dari kakanda Raja Kuripan, dari adinda Raja Gagelang maupun dari adinda Biku Gandasari, pertapa di gunung Wilts. Maka surat pinangan dan bingkisan kakanda Raja Kuripan ini, sebenarnyalah amat sangat menyenangkan hati kami. Dengan ikhlas kami persembahkan anak kami Galuh Cendera Kirana kepada kehendak paduka kakanda. Sampaikanlah sembah kami, bahwa jangankan anak kami, sedang negeri Daha dan negeri Gagelang sekalipun sebagai ada di bawah perintah kakanda Raja Kuripan."

Selesai Sri Baginda bertitah demikian, para utusan Kuripan dan hadirin dalam majelis menyembah. Kemudian, atas titah Sri Baginda, para utusan Kuripan itu pun bersantap. Sementara itu Sri Baginda menitahkan Menteri mengarang surat balasan bagi Raja Kuripan.

Di luar istana kedengaran gemuruh bunyi-bunyian dan suara penggawa-penggawa kerajaan yang menyiarkan berita istana tentang pertunangan antara putri Galuh Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati, putra Raja Kuripan. Rakyat sekaliannya senang gembira dan menyatakan turut bersyukur atas kebahagiaan Galuh Cendera Kirana.

Para utusan Kuripan meninggalkan negeri Daha, membawa surat balasan Sri Baginda; membawa kenang-kenangan yang menyenangkan hati selama menjadi tamu di negeri Daha.***

Download hikayat ini KLIK di sini
Baca bagian pertama/sebelumnya di sini

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook