Wednesday, February 29, 2012

Peringatan Wiji Thukul: LAWAN !

LAWAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

BUNGA DAN TEMBOK

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

Sunday, February 26, 2012

Caping GM: Fana-Szymborska

Selalu ada yang pergi. Kematian adalah momen luar biasa bagi yang tak bisa kembali, tapi, akhirnya, ia peristiwa yang tak istimewa bagi dunia.

Biarlah orang melakukan yang diinginkannya,
lalu mereka mati, semua, satu-satu.
Bagi awan, himpunan itu, tak ada
yang ganjil di saat itu.

Dan Wislawa Szymborksa meninggal dalam usia 88 tahun pekan lalu, beberapa puluh tahun setelah ia menuliskan bait itu. Saya kira ia tak akan berkeberatan jika kita katakan bahwa kepergiannya tak terasa seperti direnggutkan. Dalam Wielka Liczba (‘Jumlah Besar’) ia menulis bahwa di antara milyaran manusia yang melewati sejarah, hidup hanya ‘terentang sepanjang bekas cakar kita pada pasir.’

Di ujung bekas cakar itu ada garis yang putus. Senafas dengan itu, penyair Polandia ini juga menulis tentang ‘lenyap’ — tentang hilangnya sambungan yang tak bisa diubah. Di sebuah ruang, demikian baris-baris dalam Kot W Pustym Mieszkaniu, (“Kucing di Apartemen”),

seseorang pernah selalu ada di sana,
selalu ada di sini, kemudian
tiba-tiba lenyap
dan terus menerus lenyap.

Lenyap. Atau lebih baik: mati. Tapi kematian punya batas. Dengan ironi dan nada rendah, Szymborska memberitahu, ‘siapapun yang mengatakan bahwa maut maha kuasa ia sendiri bukti bahwa tak demikian halnya’. Sebab baginya,

Tak ada hidup
yang tak bisa kekal
meskipun cuma sebentar

Mungkin itu sebabnya penyair ini menulis — dengan kalimat yang bersahaja, tak melambung, tak berliku — tentang hal-hal yang fana, tapi kita temukan di antara itu bayang-bayang kekekalan.

Bukan karena ia seorang yang percaya kepada yang transendental. Saya tak tahu benar apakah ia seorang yang beriman. Baginya, ‘kekal’ yang ‘cuma sebentar’ itu tampak pada materia, dalam alam (‘lanskap’) yang berubah terus. Awan tak pernah mengulangi bentuknya semula. Pada ‘alir kali, bentuk hutan, pantai, gurun, dan glasir’, kita merasa seakan-akan ada ‘ruh yang kecil’ yang mengembara di sela-selanya, ‘menghilang, kembali, mendekat, menjauh, mengelak dan jadi asing bagi dirinya sendiri’.

Seorang penyair acapkali punya sejenis animisme dalam dirinya: menemukan sesuatu yang membuat alam terasa terkadang akrab terkadang ganjil, terkadang menantang, terkadang membujuk. Tak ada yang ‘jadi’. Yang ada ‘men-jadi’. Ya, ‘ruh yang kecil’ itu ada di sana.

Karena merasakan ‘ruh yang kecil’ itu pula agaknya Szymborska merekam percakapan dengan batu dalam Rozmowa z Kamieniem’:

Kuketuk pintu-depan batu itu.
Ini aku, izinkan memasukimu.

Dalam sajak ini, sang tamu ingin masuk ke dalam batu antara lain karena ingin tahu. Tapi juga, ‘masuk’ baginya berarti berperan sebagai subyek yang menyaksikan apa yang di dalam.

Kudengar ada balairung kosong dalam dirimu,
sesuatu yang tak tampak: indah, namun percuma,
sesuatu yang tak bersuara: ruang yang tak punya gema.

Sang pengetuk tampaknya berasumsi bahwa kesaksiannya begitu menentukan: hanya dengan kehadirannya dunia yang terhampar bisa punya nilai dan makna. Tapi bagi sang batu, justru asumsi itulah yang harus ditolak. Yang ada dalam dirinya tak memerlukan kesaksian dari jauh. Mungkin ruang itu indah, sahutnya, tapi tidak buat seleramu yang hanya sebegitu saja. ‘Pergilah’, katanya, ‘aku tertutup rapat’. Lalu ia patahkan ambisi di depan pintu itu:

Kau mungkin akhirnya mengenalku,
tapi tak akan sepenuhnya mengetahuiku.
Seluruh permukaaanku menyambutmu.
Yang di dalam diriku melepaskan diri.

‘Masuk’ berarti ‘invasi’, usaha menduduki, bila disertai hasrat ‘sepenuhnya mengetahui’. Dan ini penting ditunjukkan kepada sang pengetuk pintu, yang menganggap ‘tak mengetahui’ sebuah cacat, sebagaimana ia nyatakan kepada sang batu: Akuilah, bahwa kau sendiri tak mengetahui balairung di dalam dirimu.

‘Tak mengetahui’…Haruskah itu disesali? Dalam pidatonya waktu menerima Hadiah Nobel Kesusatraan 1996, Szymborska justru menegaskan pentingnya posisi itu. ‘Aku-tak-tahu’, katanya, adalah kalimat yang harus selalu diulang penyair. ‘Tiap sajak menandai sebuah usaha menjawab pernyataan itu. Tapi begitu tahap terakhir sampai di halamannya, sang penyair mulai ragu, mulai menyadari bahwa jawabannya itu hanyalah sesuatu yang dibangun seadanya…’

Maka yang penting bukanlah ambisi ‘aku-tahu’. Ambisi itu akhirnya cuma bisa sejenak ‘masuk’ mencapai sebuah penguasaan kognitif (‘tahu’). Lagipula, ambisi itu — dan akhirnya sebuah klaim — hanya akan meletakkan dunia dan liyan sebagai obyek. Padahal di dunia yang dirundung kekuasaan ini (kita anak ‘zaman politik’, kata Szymborska) yang dibutuhkan adalah sebuah laku yang lebih akrab, lebih hangat.

Dalam sajak di atas, sang batu menyalahkan tamunya: kau tak memiliki ‘rasa ikut ambil bagian’ (a sense of taking part), ujarnya. Di saat ‘ikut ambil-bagian’, aku bukan obyekmu, kau bukan obyekku. Kita sama-sama aktif dalam sebuah proses yang disebut ‘ada’, atau lebih tepat, ‘men-jadi’.

Dengan itu, yang fana mendapatkan artinya. Dan kerja seorang penyair adalah ‘ikut ambil bagian’ dalam yang fana itu: keragaman dan kesementaraan benda-benda dari saat ke saat. Szymborska mengutip Rilke, yang sajaknya, ‘Musim Gugur’, pernah diterjemahkan Chairil Anwar dengan indah itu. Rilke menasihati para penyair muda agar tak menuliskan konsep-konsep besar, tapi justru menyambut yang sehari-hari. ‘Jika kehidupan sehari-hari sepertinya memiskinkan engkau’, tulis Rilke, ‘jangan salahkan kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup memadai sebagai penyair untuk mencerap kekayaannya’.

Szymborska sendiri adalah contoh penyair yang seperti itu.

Sumber:Majalah Tempo Edisi Senin, 06 Februari 2012

Thursday, February 16, 2012

Dua Orang Sahabat AA Navis

Dua Orang Sahabat

Cerpen AA Navis

Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan kantor pos. Yang satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. 
Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan. Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantelnya sama ditinggikan sampai menutup telinga. Kepala si kekar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku celana. Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak seorangpun yang berbicara. 
Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya. Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayangan kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan. Ketika mereka sampai di suatu simpang, si kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana kita?"
"Terserah kau." jaw ab si kurus gersang.

Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus juga membelok. Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka tidak melambatkan langkah. Sehingga mereka seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan kepalanya sama terangguk pada setiap kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh
kerimbunan pohon-pohon di kiri-kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran masing-masing. Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab yang meningkahi nyanyian hewan malam.
"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.
"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus.
"Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.
"Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba melawan aku." kata si kekar pula.

Kini mereka melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi. Langkah mereka seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu. Napasnya sama menghembus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah. Lalu mereka melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer datang dari arah kanan. Si kekar buru- buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak menghindar. 

"Kamu mau mati, hah?" bentak pengendera jip itu dengan iringan sumpah serapah. Si kurus berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih setengah meter darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian. Tidak beretika. Tidak bermoral."

Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang le- taknya. Listrik belum sampai ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya. Tepat diatas perbatasan alam yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan nampaknya. Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.

Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan menjulur. Dia memandang lama kepada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu juga memandangnya.

Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil menggerutu. "Sialan. Bukan mereka."

Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Renyai tidak turun lagi.

"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku, tahu?" kata si kekar masih dalam hatinya.

"Perempuan pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot. Sama tidak punya etika, tidak punya moral." gerutu si kurus.

Kemudian mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan besar yang mereka tempuh membelok ke kiri. Tapi mereka meneruskan arahnya, melalui jalan kecil tanpa aspal. Kerikil besar-kecil berserakan menutupnya. Gemercakan bunyinya dipijaki. Dekat di kiri kanan jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup angin. Berkepakan bunyinya menyela desauan angin yang meniup dan nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di hadapan mereka hilang timbul disela daun pisang itu. Langit yang memberikan kilatan, juga mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di malam seperti ini." si kekar berkata dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti ke sini? Seumur-umurku belum pernah aku ke sini. Jangkankan malam. Siang pun belum. Gila benar."

"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan, terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah menang juga takdir." kata si kurus masih dalam hatinya.

Tiba-tiba keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti, sambil dengan hati-hati mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka. Rupanya seekor musang.

Berdesauan suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu.

"Huss, musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh kamu tahu rasa." kata si kekar.

"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah daya ayam karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk binatang. Manusia yang binatang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia yang manusia. Kalau kuat, ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi.

Keduanya terus melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti mencari-cari sesuatu. "Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu, bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang orang kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati. Dia lebih memperlambat langkahnya seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang ditujunya. Dan memang tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang kaki bukit di kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak. Dulunya padang itu tempat serdadu Belanda, sorja Jepang dan tentara revolusi latihan menembak. Di sana Jepang j uga memenggal nyawa orang yang dituduh pengkhianat.

Tentera revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang. Sehingga padang itu menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang. Orang-orang tawanan yang akan dibaw a ke situ, sudah kejang duluan oleh ketakutan atau cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang luas yang sunyi dan menimbulkan fantasi seram itu, di malam berenyai, dingin dan pekam, didatangi oleh dua lelaki. Dan padang itu, seperti biasa menanti dan menyaksikan orang-orang yang dipenggal lehernya atau ditembak mati tanpa peduli perasaan si korban. Padang itupun sunyi menerima kedatangan kedua laki- laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap segala apa yang di- lakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Seolah-olah berkata:

"Hai manusia, silakan kalian saling bunuh." Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga menumbuhkan fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki yang mendatanginya di malam itu.

"Dia mau menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus dalam hatinya.

"Kalau dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan menangkap aku. Matilah aku. Sialnya ini orang mau ke sini." kata si kekar menggerutu pada dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku. Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-bajingan akan memburu istriku yang muda, cantik dan kaya oleh warisanku. Sialan".

Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian padang itu. Dan sesekali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padanya. Gegap berdesauan bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan semangat mau mati yang bernyala dan haus darah.

Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu. Lalu katanya seraya menghentikan langkahnya, "Di sini saja." Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah disimpan.

"Mestinya dia ini tidak perlu aku baw a ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini. Habis perkara." kata si kekar. "Sialnya aku lancang mulut mengajaknya berduel malam ini."

Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu. Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu:

"Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari bersamamu. Apalagi malam begini. Nyatanya kita kemari juga. Kau tahu mengapa?"

Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya dengan suara yang gersang.

"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat. Kau jadi berani membawa aku ke sini. Tapi aku punya harga diri. Sekali aku kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."

Keduanya terdiam ketika angin bertiup rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya.

"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental. Nadanya membanggakan kelebihannya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran.

"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar.

"Kalau kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya.

"Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu. Karena aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan nada yang tegar dia melanjutkan:

"Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam menghalangi penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu karena terlalu jauh di langit sebelah barat. Angin masih sebentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung ranting.

"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang tenang. Itulah macam manusianya kamu. Seperti raja-raja dahulu kala. Semua yang berada di bawah kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan diperlakukan begitu terus-menerus?" kata si kurus dalam hatinya juga.

"Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun, dimana kilat masih sabung- bersabungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali kehadiran kita disini. Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara begini menyelesaikan persoalan kita, hilanglah harga diriku." kata si kekar dengan gaya orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharapkannya. Tapi si kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa peduli.

"Betul-betul sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar. Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang.

"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?"

"Kau kira apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah. Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disangkutkannya pada ranting belukar beberapa langkah dari tempatnya. Sambil melangkah digulungnya lengan panjang kemejanya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi, 

"Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?"

"Apa pedulimu?"

"Baik." kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya. Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba-tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya.

"Pisau," jawab si kurus tegas.

"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya
selangkah lagi.

Tak ada jawab si kurus.
"Kalau kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang curang." kata si kekar.

"Kencing kau." carut si kurus untuk menghina.

Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu kau bawa pisau ......."

Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.

Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor. "Aku orang terdidik. Terpandang pada mata masyarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karibku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku."

"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti seperti pemenang pada perang saudara."

"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh-bunuhan. Karena kita berhabat karib." kata si kekar dengan suara lirih.

Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.

"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat.

Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa memlambatkan langkah. Si kekar terus juga bicara tentang penyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu.

Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus. Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat.

Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon ping- gir jalan itu mendesau seketika. Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah beberapa langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si kurus mendekat. Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya seperti patung Budha. Lalu katanya memelas: "Aku minta sungguh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita, kalau dia tahu? Hancur aku. Hancur."

Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku. 

Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas." 

Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap malam. Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii."

Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.

Kayutanam, 30 Agustus 1999

Download cerpen ini KLIK di sini

Thursday, February 02, 2012

Mak Maksum

Cerpen A.Mustofa Bisri

Masya Allah! Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun!Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
BERITA itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis.
Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastlah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu tiu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.

Kang Maksum meninggal. Itu saja sudah mengejutkan. Selama di pondok pesantren, saya belum pernah mendengar Kang Maksum sakit meskipun sekadar pilek. Dia tipe orang yang begitu perhatian menjaga kesegaran badannya. Setiap pagi dan sore, pada saat mandi, Kang Maksum tidak hanya menimba–dengan timba model senggotyang beratnya masya Allah—untuk dirinya sendiri. Dia sengaja juga mengisi kulah-kulah untuk kawan-kawan lain, terutama santri-santri kecil yang tak kuat menimba seperti saya. Dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak untuk kepentingannya sendiri. “Ini membuat badanku sehat,” katanya.
Ah, Kang Maksum!
Terbayang olehku wajah Kang Maksum yang ganteng, yang selalu bersih seperti baru saja mandi. Masih terngiang-ngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah Al Barzanji. Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
Kang Maksumlah yang mengajariku qiraah; mengenalkanku kepada nada-nada bayati, sika, dan hijazi di pesantren. Kang Maksum juga yang sering memberiku ijazah doa-doa dan berbagai wirid; mulai doa dan wirid agar mudah menghafal, agar tenang menghadapi setiap orang, agar hati tenteram, hingga doa aneh agar dapat melihat jin.
Di pesantren kami, Kang Maksum memang dikenal sebagai santri senior yang memiliki suara merdu setiap malam Jumat saatberjanjenan, acara bersama-sama ber-shalawat nabi dengan membaca karya madah Syekh Jakfar Al Barzanji, santri-santri selalu menunggu-nunggu giliran Kang Maksum membaca kasidah-kasidahnya. Terutama, saat melantunkan kasidah yang dimulai dengan “Ya Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim” atau “Ya Rasulullah salaamun ‘alaik, ya Rafi’asyaani wad-darajati.” Santri-santri lain yang kemudian bersemangat menyahuti lantunan itu berusaha ngepas-ngepaskan suara mereka dengan irama lantunan Kang Maksum. Tapi mana mungkin. Di samping merdu, cengkok lagu Kang Maksum memang sulit ditiru.
Di samping seni suara, Kang Maksum juga dikenal sebagai pendekar silat yang lihai dan digdaya. Konon, dia punya aji lembu sekilan yang membuatnya terbentengi dari pukulan dan aji welut putih yang membuatnya sulit ditangkap. Setiap pesantren mengadakan perayaan, seperti mauludan dan khataman, dan ada atraksi pencak silat, Kang Maksum yang mandegani, yang mengatur siapa-siapa yang tampil. Siapa-siapa yang tampil dan untuk silat keseimbangan; siapa yang tampil melawan siapa.
Biasanya, di akhir pertunjukan, Kang Maksum sendiri yang tampil mendemonstrasikan kepiawaiannya. Itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton. Dengan gerakan tubuhnya yang ringan, Kang Maksum meloncat ke arena panggung. Pertama-tama, diperagakan kejadukannya dengan menghantamkan batu kali sebesar gentong atau pedang tajam ke punggungnya—yang sedikit pun tidak membuat goyah kuda-kudanya. Kemudian, dengan gagah dan lincah, Kang Maksum tidak hanya memamerkan jurus-jurus istimewanya, tapi juga memainkan berbagai senjata tajam, seperti pedang, tombak, dan trisula.
Sebenarnya banyak santri yang ingin belajar silat dan kejadukan Kang Maksum. Tapi, kebanyakan tidak kuat melakukan tirakatnya. Kalau, misalnya, hanya puasa seperti biasa, pasti banyak yang mampu. Ini tidak. Ada puasa mutih, puasa dengan berbuka nasi saja, tidak pakai lauk apa pun, selama 7 hari atau 40 hari. Ada puasangebleng, puasa sehari semalam tanpa buka. Ada puasa pati geni,tidak hanya puasa sehari semalam tanpa buka, tapi juga tanpa tidur. Bayangkan!
Kang Maksum sendiri memang ahli tirakat. Sejak entah umur berapa, konon sejak kecil dia ngrowod. Bukan hanya puasa ndaud, sehari puasa sehari buka, tapi ndaud dengan berbuka hanya umbi-umbian atau bulgur. Sudah ngrowod begitu, setiap buka—kadang-kadang juga setiap sahur—Kang Maksum makannya tidak lebih dari selapik cangkir.
***
Kelihatan sekali Kang Sofwan—seniorku dan kawan akrab Kang Maksum di pondok pesantren—terburu-buru. Dengan singkat dia menyampaikan berita itu. “Cepat sampean berpakaian,” katannya memerintah. “Kita ke sana sekarang.” Aku masih terguncang. Laa hawla walaa quwwata illa billah. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kang Maksum? Ah, rasanya tidak masuk akal.
“Cepat!” hardik Kang Sofwan tidak sabar.
Sampai di rumah Kang Maksum, kami lihat sudah banyak orang yang datang. Beberapa di antaranya duduk-duduk di halaman dan sebagian lain, yang kebanyakan kaum perempuan, berada di dalam rumah. Semuanya diam atau berbisik-bisik. Sesekali isak tangis terdengar meningkahi bagai irama gaib. Mbah Ghazali, modin paling tua di tempat kami, baru selesai melakukan tugasnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan? Kang Maksum meninggal terlindas kereta api! Tubuhnya menjadi tiga bagian! La hawla wala quwwata illa billah!
Hanya karena kelihaian Mbah Modin Ghazalli, jenazah itu dapat dipertautrapikan. Tapi, kebuncahan hati ini? Ah.
Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis. Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Melihat tubuh Kang Maksum yang demikian, orang sulit mengatakan bahwa peristiwa tragis yang menimpanya itu merupakan kecelakaan.
Lalu? Pasti bunuh diri. Begitu kesimpulan orang-orang yang tidak mengenal Kang Maksum memastikan. Namun, bagi yang mengenalnya, seperti aku dan Kang Sofwan, bunuh diri adalah hal yang paling mustahil dilakukan oleh Kang Maksum.
Di samping cukup memiliki pengetahuan agama, Kang Maksum orang yang mencintai kehidupan.
Kah Zuhdi, alumnus pesantren kami yang lebih senior daripada Kang Maksum dan Kang Sofwan, mencoba meyakinkan bahwa almarhum Kang Maksum memang sengaja membiarkan dirinya dilindas kereta api untuk menjajal “ilmu”.
“Aku dengar, sebelumnya Kang Maksum pernah membiarkan dirinya ditabrak sepeda, motor, dokar, dan truk. Dan, sejauh itu, dia selamat-selamat saja, tak kurang suatu apa.”
“Jadi,” lanjut Kang Zuhdi, “kemungkinan besar itu merupakan kelanjutan dari uji coba tataran ilmu kekebalan Kang Maksum. Sayang, rupanya kali ini tidak berhasil.”
Mungkin banyak yang menerima kesimpulan Kang Zuhdi itu. Tapi, aku dan Kang Sofwan, yang sedaerah dan kenal baik dengan Kang Maksum serta keluarganya, tetap tak bisa menerima. Tak ingin menerima. Tapi. (*)

Sumber: Jawa Pos, 15 Januari 2012

Download cerpen ini KLIK di sini

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook