Pages

Friday, June 19, 2009

Cerpen Koran

Inovasi dalam Cerpen Koran


NIRWAN Dewanto, pada periode 90-an, sempat memuji cerpen koran, "Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan Matra, bukan di Horison." (lihat Pengantar Nirwan Dewanto dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993). Dalam pengantar yang sama, melihat kondisi cerpen koran pada saat itu, Nirwan pun sempat berkomentar bahwa ruang cerpen di surat kabar, betapa pun terbatas, menyediakan potensi penyegaran sastra yang tidak kecil.

Akan tetapi, dalam tulisan, "Masih Perlukah Sejarah Sastra? (Kompas, 4/3/2000), Nirwan menulis kalimat yang agak mengejutkan, "...penulis yang ada sekarang hanya mampu menghasilkan cerpen koran." Tersirat pada peremehan terhadap mutu cerpen koran dalam kalimat tersebut.

Sikap Nirwan yang seolah berbalik di atas memang mengherankan. Namun perlu segera disadari bahwa cerpen koran memang telah lama dan telah banyak mendapat kritik yang tidak mengenakkan.

Kritik yang ditujukan terhadap cerpen koran mengarah pada penilaian bahwa cerpen koran mengecewakan dari berbagai seginya, terutama dalam upaya melakukan pencapaian estetika.

Salah satu hal yang dianggap menjadi penyebabnya adalah terbatasnya ruang (jumlah halaman) yang disediakan. Mengenai ruang ini, para pengamat maupun para penulis cerpen sering membandingkannya dengan majalah.

Seperti diketahui bersama, pada awal perkembangannya (1945-1970-an), cerpen tumbuh dalam majalah. Terutama majalah kebudayaan/kesusastraan, seperti Pantja Raya, Zenith, Indonesia, Kisah, Sastra, Zaman Baru (majalah Lekra), Horison, Basis, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut memiliki visi-misi untuk pengembangan kebudayaan/kesusastraan. Dengan karakteristiknya ini, majalah-majalah tersebut memberikan ruang yang leluasa bagi cerpen. Longgarnya ruang ini diyakini merupakan faktor yang menyebabkan cerpen dapat melakukan eksplorasi dalam bidang estetika.

Sekarang, seiring dengan kematian majalah, cerpen tumbuh dalam koran dengan ruangan yang terbatas. Terbatasnya ruang ini menjadi masalah tersendiri bagi para penulis cerpen, terutama penulis generasi cerpen majalah. Pendeknya, dari keterbatasan koran tersebut, para pengarang merasakan berbagai "kehilangan". Adapun para pengamat merasakan berbagai penurunan kualitas, yang menimbulkan semacam keyakinan bahwa cerpen majalah lebih berhasil melakukan pencapaian estetika daripada cerpen koran.

Harus diakui bahwa tak semua cerpen koran berhasil melakukan pencapaian estetika. Namun juga tak semua cerpen majalah berhasil melakukannya. Karya-karya dari cerpen majalah yang sering disebut berhasil melakukan pencapaian estetik tentunya hanya sebagian atau beberapa saja yang memang merupakan masterpiece. Begitu pula dengan cerpen koran. Tak semua cerpen koran bersifat lugas, topikal, dan permukaan. Banyak pula yang berhasil melakukan pencapaian estetik sekalipun ruangnya terbatas. Bahkan, pencapaian estetika dari cerpen koran, dapat dikatakan telah sampai pada tahap inovasi, seperti yang dilakukan Joni Ariadinata.

***

INOVASI dalam karya sastra sudah terjadi sejak 1942-an tatkala konsep estetika Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru dirombak oleh angkatan 1945-an. Inovasi ini terjadi lagi tahun 1970-an, dan terjadi juga sekarang, terutama dalam bidang cerpen.

Idrus adalah salah seorang pengarang yang sering dinyatakan sebagai pembaharu dalam bidang prosa. Ia adalah pemisah antara prosa zaman revolusi dengan angkatan Pujangga Baru. Inovasinya adalah hal isi, gaya dan penggunaan bahasa dianggap revolusioner. A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980) pernah mengulas bahwa berbeda dengan angkatan Pujangga Baru yang mementingkan keindahan dan kehalusan, Idrus justru memilih kenyataan yang kejam, kasar, hal-hal yang menyinggung dan kata-kata yang dikemukakan kepada pembaca dengan cara yang agak menentang. Kekterusterangan dan kesederhanaan menjadi norma karya prosanya. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam karyanya pendek-pendek dan bersahaja dengan kecenderungan terhadap pembentukan kalimat nominal. Kata dasar banyak menggantikan kata berimbuhan. Ia pun tak segan-segan memasukkan bahasa Jakarta-Jawa sehari-hari, dan bahasa-bahasa asing menggantikan bahasa Melayu resmi.

Pada tahun 1970-an, inovasi terjadi dalam cara melihat kenyataan. Pada waktu itu, meminjam ungkapan Th Sri Rahayu Prihartini (Kompas, 14/6/1998), sastra realis "dirongrong" oleh para inovator seperti Putu Wijaya dan Danarto. Begitu pula segi estetika. Alur tidak harus terikat hukum kausalitas, peristiwa bukan hanya yang masuk akal, latar waktu tidak hanya terikat lampau dan kini, pencerita pun kadang-kadang tidak pasti kedudukannya.

Pada Joni Ariadinata (salah seorang cerpenis yang tumbuh lewat koran), cerpen-cerpennya masih bersifat realis. Inovasinya ini nampak pada bidang bahasa. Dikatakan inovasi karena bahasa yang digunakan Joni berbeda dengan bahasa yang digunakan atau yang terdapat dalam karya-karya sastra sebelumnya dan karya sastra pada umumnya. Inovasi ini tidak tampak sebagai upaya "beraneh-aneh", tetapi dilakukan dalam upaya untuk mengedepankan, mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan sehingga pas dengan ide yang ingin disampaikan.

Dalam menulis cerpen, Joni sangat mempertimbangkan kepekatan dan efektivitas bahasa. Kesungguhan dalam memperoleh kepekatan tersebut sejajar dengan cara penyair mengeksplorasi kata untuk puisi: mencari kata yang paling pas untuk suatu ide, mengupayakan tumbuhnya berbagai efek dari bahasa yang disajikannya sehingga terdengar bunyinya, terasa iramanya, terlihat bentuknya, dan seterusnya, seperti ini: Kalimas berdengung, lalat menemplek di tiang besi, tembok-tembok: air surut. Pada lumut tersembul, dan lumpur. Para keting -dagingnya tak enak -ikan betok berkecipluk memakan kotoran; bulet-bulet, warna hitam. Gelepok! Keciprak Mak Nil membuang sampah... (cerpen "Rumah Bidadari").

Selain upaya membuat efek seperti di atas, Joni cenderung tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat dalam mendeskripsikan sesuatu. Ia cukup menyimpan satu kata atau satu frasa, tetapi efektif dalam memberi gambaran sesuatu. Bahkan demi efektivitas ini, Joni tak segan-segan melakukan penyimpangan kebahasaan. Pada umumnya berupa pemendekan kalimat, yakni pemenggalan kata-kata yang seharusnya merupakan satu kalimat menjadi beberapa kalimat sehingga terjadilah penghilangan (baca: pelesapan) unsur subjek, predikat atau objek. Pemendekan kalimat tersebut menjadikan bahasa dan informasi yang disampaikan lebih efektif. Kalimat-kalimat pendek (umumnya hanya terdiri atas satu kata atau frasa) ternyata mencapai efek estetis tertentu, yakni sekalipun hanya satu kata/frasa, tapi berbicara banyak. Lihatlah petikan berikut:

Ini rumah. Cuma satu. Atap seng bekas, berkarat, triplek templek-templek, ditambal plastik, ada tikar: tentu, ember buat cebok. Dua ruang: satu untuk Siti, tak boleh diganggu gugat. Yang lain, tempat Mak Nil biasa kerja... Tak butuh jendela. Kalau masuk membungkuk. Sumpek. (Cerpen Rumah Bidadari).

Dalam dialog, Joni pun tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat penjelasan. Contohnya seperti ini: "Siti itu anakmu... Kuwalat!! Dasar bajingan. Kalian meniduri anakmu sendiri heh?! Ya Gustiii..." beledek.

atau: "Aku tak ingin Mak diam di sini!" gelisah. "Aku ingin kau segera enyah dari sini," diam.

Satu kata, seperti beledek, gelisah, diam, bagi Joni cukup menjelaskan situasi/suasana, gerak-gerik tokoh, atau siapa yang bicara.

***

BEGITULAH, ternyata dari tumpukan keluhan dan kekesalan terhadap mutu cerpen koran, kita menemukan mutiara yang terpendam jauh di dasar samudra sastra. Ia tak akan kita temukan jika hanya mencari di atas permukaan. Kita harus menyelaminya terlebih dahulu hingga ke dasarnya untuk menemukan kelebihan dan eksplorasi-eksplorasi yang ada. Di sini pula terlihat bahwa persoalan eksplorasi estetika tidak selalu tergantung pada ruangan. Apalagi kini terlihat tak ada perbedaan mencolok antara cerpen majalah dan cerpen koran. Sastra adalah sastra di manapun ia berada. ***

Nenden Lilis A
Kompas Minggu, 14 Oktober 2001

No comments:

Post a Comment