Pages

Thursday, June 25, 2009

Raudal Tanjung Banua: Sopir, Penumpang dan Bis

Seorang Sopir, Seorang Penumpang, dan Bis yang Berangkat



SOPIR itu masih bangun, tentu saja, karena bis yang dibawanya masih meluncur di jalan raya. Semua orang telah tertidur, dan sopir itu masih terus terjaga. Ketika kemudian aku terbangun oleh rem mendadak yang cukup menyentak dan mengejutkan, tiba-tiba aku merasa telah kehilangan sesuatu. Entah apa.

Sungguh aneh perasaanku saat terjaga. Sudah sampai di mana? Aku duduk di muka, di bangku serap di samping sopir, dan pemandangan ke depan terlihat terang-benderang. Tapi tak satupun ada penanda yang dapat kubaca atau dengan segera kukenali, kecuali satu-dua lentera di rumah-rumah yang sunyi. Selebihnya hanya kampung yang tidur tenteram, mungkin pula tidak tenteram, di tepi jalan yang legam. Kampung yang tak bernama, susah-payah kukenali. Berarti benar, aku telah kehilangan sesuatu. Sesuatu yang tak mungkin lagi kudapatkan, sebaik sang sopir mendapatkannya. Aku bahkan asing dengan tempatku berada.

Benar, banyak yang bilang padaku selama perjalanan. Sebagai misal, aku tidak tahu posisiku di mana. Tak tahu, apa gerangan tadi di tengah jalan hingga sopir mendadak ngerem; pasti hanya dia yang tahu, dia seorang. Apakah ada kendaraan lain yang terlalu menyorong ke tengah? Apakah sebuah lobang, atau jembatan rusak yang lantainya menganga, atau sesuatu yang melintas tiba-tiba? Mungkin makhluk halus yang suka menggoda-sebagaimana jamak kudengar di kampung-atau setidaknya seekor babi menyeruduk mendadak? Mungkin harimau kumbang yang ke luar dari hutan di kiri-kanan jalan. Entah. Bukankah aku telah kehilangan banyak hal gara-gara kantuk dan lelah, sehingga membiarkan semua berlalu begitu saja?

Tapi, tidak sopir itu. Lihatlah, ia masih bangun! Ya, matanya terbuka, tangannya bergerak dan bekerja. Tanpa banyak merokok (gampang disimpulkan ia bukan perokok berat) yang biasanya jadi alasan buat begadang. Tak ada kopi, apalagi alkohol yang kulihat, hanya air putih dalam botol mineral dan sesekali saja diteguknya. Tak ada musik, kuduga bahkan tipe-nya sudah tak ada; bis ini sudah tua, tapi irama putaran rodanya masih terjaga-berkat sang sopir yang bersetia. Situasi ini benar-benar membuatnya sendirian. Tak ada kawan berbagi, jarang berselisih dengan kendaraan lain, untuk sekadar membunyikan klakson sebagai bentuk tegur-sapa.

Aku teringat bis-bis di Pulau Jawa. Jika aku naik bis dari Yogya ke Surabaya atau Yogya-Jakarta, boleh dikatakan sopirnya tidak sendirian. Sebab sepanjang jalan yang dilalui tiada lain kota demi kota, tempatnya singgah di banyak terminal, dan selalu saja ada penumpang yang naik-turun. Akibatnya, kondektur tak mungkin ikut tertidur, bahkan penumpang pun tak bisa benar-benar tertidur karena selalu ada teriakkan kondektur yang membahana. Begitu pula sepanjang jalan, sopir selalu memiliki hiburan sendiri dengan saling berkejaran sesama bis malam, berselisih dengan macam-macam kendaraan, dan menyalip dengan liar. Dengan suasana semacam ini, kuduga sang sopir tidaklah sendirian karena ia punya hiburan.

Tapi, di jalanan Sumatera, entah mengapa, aku merasakan mereka sungguh sendiri. Apalagi dimalam hari. Hanya jalanan lengang yang mereka hadang, sesekali saja bersirobok dengan kendaraan lain. Namun, dengan kesunyian seperti itu, aku merasakan ia terlihat lebih tenang mendapatkan apapun sepanjang perjalanan.

Tiba-tiba aku merasa cemburu kepadanya. Aku pandang wajahnya dari samping, begitu lurus menatap ke depan, begitu sabar untuk bertahan. Karena memandang dari samping, maka yang paling tampak menonjol adalah hidungnya yang mancung tapi agak bengkok sedikit seperti paruh burung gagak atau kakak tua. Rahangnya tidak terlalu tegas, tak jauh beda dengan bahu atau bagian tubuhnya yang lain, bahkan dengan kemeja coklat tanah yang agak kebesaran, ia terkesan lebih kurus. Tapi tak ada tanda-tanda tubuh itu akan menyerah oleh jarak dan waktu, oleh kantuk dan bosan. Atau, tidakkah kantuk dan bosan itu telah terlipat di raut wajah?

Sayang, ia jarang berpaling, katakanlah untuk mengetahui keadaan penumpangnya, sehingga aku tak bisa tahu sepenuhnya raut wajah itu. Ada memang beberapa kali ia menoleh ke samping kiri-ke arahku!-tapi entah mengapa aku selalu memilih pura-pura tidak peduli. Dan tampaknya ia pun benar-benar tak peduli, sebagaimana ia tidak peduli pada penumpangnya yang lain, di mana juga tak seorang pun yang peduli kepadanya.

Akulah penumpang satu-satunya yang kini bangun bersama dia. Sedang kondekturnya pun tak mungkin bangun, lihatlah, ia terlelap dalam posisi yang sangat menyedihkan: tubuhnya tergayut di dinding pintu, kepala terkulai, mengingatkan aku pada gambar nabi yang disalibkan. Ya, tidur adalah dunia yang damai dan tenteram-kubaca dari raut wajahnya yang kelelahan. Dan sebagai orang satu-satunya yang bangun, mestinya aku bersikap tenang karena apa bedanya aku dengan sang sopir? Aku toh menyaksikan juga pemandangan yang sama, jalan yang membelah kampung dan kawasan hutan, tanpa harus merasa kehilangan.

Tapi tidak. Entah mengapa, hatiku sukar diajak berdamai, malah cemburu dan iri yang terus kurasakan. Sudah berapa jarak ditempuh sang sopir, berapa kampung dan kota yang ia lewati-dengan mata terbuka? Semua panorama miliknya. Semua kejadian ia saksikan, dan disimpannya sendiri dalam kepala. Sedang aku? Aneh, aku merasa tolol dan dungu. Juga orang-orang itu, penumpang lain yang mendengkur dan bermimpi. Paling mereka hanya akan terjaga, nanti, saat bis telah berhenti, mungkin di sebuah warung nasi atau di sebuah kota kecil sehabis jalanan menurun dan mendaki.

Bis terus berjalan, dan sopir itu masih bangun, tentu saja. Tapi sebenarnya ia tak lagi sendiri. Bukankah ada aku yang berjaga, menemaninya? Adakah ia tahu dan peduli? Aku sengaja membuat gerakan menggeliat dengan mengangkat tangan untuk memancing perhatiannya, tapi ia tak hirau sama sekali. Lalu aku menguap dengan menekankan pada efek yang sebaliknya: menguap bukan pertanda ngantuk, tapi mengisyaratkan keterjagaan. Ia pun tidak peduli dan dengan segera aku menyesali diri: jangan-jangan aku hanya mengganggu konsentrasinya. Bukankah menguap, bagaimanapun identik dengan tidur? Ingin aku mengajaknya bercakap, mungkin dengan bertanya sesuatu entah apa. O, ya, mungkin menanyakan sudah sampai di mana! Tapi sialan, tak satu kalimat pun dapat kuucapkan.

Padahal benar, aku masih belum mengenali daerah yang dilalui dan dengan susah-payah harus kuusahakan sendiri. Maklumlah, sudah bertahun-tahun aku tidak pulang. Dulu, semasa bersekolah di kota kabupaten atau sesekali ke ibukota provinsi, aku selalu melewati jalan ini. Berangkat dan pulang adalah perjalanan yang menyenangkan karena pemandangannya sangatlah mengasyikkan. Selepas hutan rimba, kita akan bersua kampung-kampung yang tiba-tiba membuka pepat hutan, kemudian pasar yang hanya ramai sekali sepekan, kemudian tanjakan dengan jalan berkelok-kelok, jurang dan ngarai yang berbatasan langsung dengan lautan. Daerahku memang unik. Diapit Samudera Indonesia dan diapit Bukit Barisan, membuat hamparan daratannya tidak terlalu luas, hanya memanjang di tepi pantai ratusan kilometer dari Tapan hingga Tarusan. Kadang aku berpikir, jangan-jangan hutan rimba di kiri-kananku sudah tidak lagi dapat dipercaya. Maksudku, di bagian sisi jalan saja yang terkesan lebat dan dibiarkan apa adanya, tapi radius sekian meter di kedalaman sudah berlobang dan bolong-bolong.

BIS terus berjalan. Sebenarnya dengan jarang pulang, aku ingin ke kota Padang dengan naik bis agak siang, tapi kapal laut dari Teluk Bayur baru akan berangkat pagi hari. Kupikir tidak efektif. Maka tidak apalah agak sedikit malam, sehingga aku bisa menjaga kantukku melihat kampung-kampung yang masih bangun. Tapi, aku lupa, transportasi agak jelek, pada hari-hari tertentu seperti Senin dan Minggu akan penuh. Maka benar, aku yang berangkat petang Minggu malam Senin-yang dipercayai sebagai hari baik buat perjalanan jauh tidak kunjung mendapat tumpangan. Satu-satunya bis yang kami tunggu, dan itu sudah larut sekali hanyalah bis dari Selatan, tepatnya dari Bengkulu atau Sungaipenuh. Dan malam itu, aku akhirnya menaiki bis dari Bengkulu.

Aku duduk di muka, di bangku serap di samping sopir. Sebab hanya ada satu bangku kosong yang sudah ditempati Ida, istriku-yang tertidur sambil memeluk Tsabit, anak semata wayangku yang sebenarnya sedang sakit. Tapi karena kami percaya pada hari baik, kami tak perlu menunda perjalanan. Ah, kasihan sesungguhnya mereka-Tsabit dan Ida-jauh-jauh kuajak pulang dari Jawa dengan keadaan cukup menderita.

Bis jalan menanjak. Laut bergemuruh di sisiku. Dalam kelam. Hanya di kejauhan dapat kusaksikan cahaya lampu bagan (kapal kayu penangkap ikan) bagai ribuan kunang-kunang nun ke ketengahan-laut yang tak berwatas. Selepas itu, kami memasuki sebuah kampung yang penuh dengan orang-orang. Rupanya ada helat khitanan atau kawinan yang menanggap organ-tunggal. Biasanya kesenian tradisional rabab semalam suntuk dengan kaba atau lagu-lagu daerah yang hiruk-pikuk. Tapi kini orang telah meninggalkan tradisi itu dan memilih organ tunggal yang membuat siapapun bisa berjoget di jalan-jalan. Seperti malam ini, sudah larut sekali. Tapi mereka tak hendak minggir ketika bis nyaris berhenti.

Pelan sekali bis yang kunaiki ini membelah kerumunan orang kampung yang sedang dihibur irama Melayu alunan orgen tunggal. Kebetulan yang bernyanyi seorang perempuan bahenol yang bergoyang kiri-kanan tak ketulungan.

Sementara orang-orang yang berjoget, sebagian berhenti. Mereka menyadari sebuah bis terkepung di antara mereka-yang selama ini selalu ngebut-dan mereka seperti berebut menempelkan telapak tangannya ke dinding dan kaca bis. Beberapa dari telapak tangan itu tercetak agak kurus di kaca jendela, meninggalkan bekas berembun cukup lama. Dingin. Sebagian bersorak-sorai tak jelas. Beberapa penumpang terbangun, mengintip di jendela dan segera saja disergap irama Melayu yang membahana. Beberapa di antara mereka tercengang sebentar, tapi segera sadar dan terus memandang ke luar. Sementara orang-orang di luar memandang ke dalam, bagai menembus labirin kaca jendela. Kusaksikan tatapan mereka yang di luar berpadu dengan tatapan mereka yang di dalam bis. Ada bahasa yang tak terucapkan, antara mereka yang tinggal dan mereka yang pergi.

Akupun menatap nanap di kaca, beradu pandang dengan mereka yang bergerombol di tepi jalan. Seorang lelaki berpulun kain sarung jelas menatap ke arahku; aku pun menatap matanya. Kami bertatapan. Hei, kita bertatapan, bukan? Tapi apa yang kita katakan? Tak satupun yang kami katakan. Tapi, sebenarnya banyak yang kita katakan, bukan? Kami pasti setuju. Kita bersetuju, bukan? Ya, kami bersetuju, dalam diam.

Wajah itu masih ngungun di balik pulunan sarung. Seketika mengingatkanku pada karya seorang perupa di Yogya, Mella Jarsama namanya. Ia pernah berpameran dengan menampilkan sepasang orang terkungkung pakaian pelepah pisang, lokan dan manik-manik sehingga wajah mereka seperti tersimpan di balik cadar, penuh tatapan aneh; perpaduan rasa dingin, benci dan misteri. Kini wajah itu bagai hadir menatapku dalam pulunan kain sarung, di balik kaca yang mulai mengabur oleh embun. Membuatku kian dipusing rasa asing. Bahkan ketika bis tiba-tiba lepas dari jebakan, aku merasakan keasingan yang lain; terbebas dari tatapan aneh di luar jendela, aku merasakan tatapan itu kemudian berpindah ke dalam bis, kepada semua penumpang yang tertidur terbungkus stelan malam-jacket, sweeter, atau selimut tebal. Aku melihat wajah semua penumpang seperti menyimpan penderitaan dan ketakutan; menyeringai, ngorok bagai digorok, lemah pasrah dan teronggok dingin di kursi-kursi yang kusam. Kondektur itu bahkan sudah serupa orang tergantung di dinding pintu. Juga Ida istriku, juga Tsabit anakku, kulihat wajah mereka berubah aneh dan dingin dalam temaram cahaya yang jatuh redup dari plafon bis tua ini.

Barulah ketika jalan sedikit menurun, bis berhenti di sebuah rumah makan, aku tersadar telah sampai di Siguntur, sebuah daerah yang banyak rumah makannya dan biasanya bis-bis berhenti di sini untuk berbagai-bagai keperluan. Dan sebagaimana kuduga, orang-orang pun bangun dengan cara yang lazim: seperti orang bego, turun dan melongo, menggeliat sebentar melepas penat badan, lalu mencari kamar mandi sekadar untuk kencing-tanpa cuci muka-karena bukankah di bis yang melaju akan melanjutkan tidur lagi? Yang lapar dan punya duit makan, yang lain merokok di kedai, membeli minuman ringan sambil menonton kondektur mencongkel ban. Atau mencuri pandang pada perempuan penumpang yang entah mengapa di tengah suasana malam semacam ini terasa cantik belaka dan meruapkan semacam aroma seksual.

Dua orang bercakap-cakap di sampingku. Yang kurus ceking bertanya dari mana dan hendak ke mana bis yang ia naiki ini. Aneh juga, pikirku, bagaimana ia bisa menumpang bis yang tidak ia kenali? Tapi, ah, wajar saja karena mungkin ia naik di lain kota dan tentu tak sepenuhnya bisa membaca nama dan tujuan. Yang gemuk pendek bercerita bahwa bis berangkat jam dua dari Bengkulu, dan akan terus ke Medan.

Entah mengapa aku kembali teringat sang sopir. Berapa lama lagi ia harus bertahan? Ataukah ada yang akan menggantikan? Kondektur menurunkan ban serap, menambah angin, tapi kudengar ada yang mendesis, dan si kondektur menggerutu, “Sial, bocor!” Ketika bangun suaranya keras dan menggelegar, saat tidur semua yang ada padanya sempurna ditelan beban dan lelah malam. Aku masih asing sendiri. Apalagi rumah makan itu di tengah hutan, diapit bukit-bukit yang tak sepenuhnya terlihat dalam kelam. Rasanya aku baru saja mendarat di ranah asing, lantas menemukan rumah makan itu, menemukan menu-menu yang sulit kucecap. Aku hanya memandangi Ida, istriku makan dengan lahap. Tentu saja ia sudah sangat lapar, dan aku melihat dirinya bagai seseorang yang tersesat.

BIS kemudian melanjutkan perjalanan. Aku tahu, tak lama lagi aku akan memasuki kota Padang-jalan-jalan sudah kukenal berkat penanda rumah makan di Siguntur. Aku merasa ada yang bakal hilang. Fajar sebentar lagi menyingsing. Dan aku akan turun di simpang Teluk Bayur, arah jalan ke pelabuhan. Bis itu lalu akan meninggalkan kami, penuh debu, derak dan deru.

Begitulah, bis akhirnya sampai di persimpangan yang kutuju. Aku minta berhenti. Bis menepi dan kondektur dengan gerak lamban menurunkan barang-barang kami. Sampai detik terakhir ketika bis akan melaju, aku tetap tak mampu bercakap dengan sang sopir barang sepatah pun, bahkan untuk sekadar mengucapkan terima kasih! Ah, lidah yang kelu!

Lalu, dengan perasaan asing, sekaligus haru, aku menatap bis itu melanjutkan perjalanan; tentu, ia akan singgah sebentar di terminal kota Padang, untuk akhirnya terus ke Medan. Betapa panjang perjalanan. Di tangga ke kapal, nanti, pasti aku tak bakal melupakan sang sopir yang entah mengapa tiba-tiba mengundang seluruh rasa dalam diriku. Aku kasihan padanya yang bertahan dengan pemandangan itu-itu juga, dengan jarak waktu yang sama. Sebagai sopir, musafir abadi. Sedang aku, sebentar lagi akan menyaksikan lautan luas terbentang, alam tiada berbatas, cakrawala yang gaib dan ajaib di kejauhan. Tapi, aku juga cemburu kepadanya yang menyaksikan semua kejadian di sepanjang perjalanannya yang hening.

Ah, bis itu telah berangkat, sopir itu telah membawanya laju, berderak-derak, dalam jarak dan waktu. Panjang dan jauh. Tapi seorang penumpang masih mengenangnya, sampai sekarang. Sebab, sebagaimana kau baca di koran-koran (aku juga membacanya sesampai di Tanjung Priok), sebuah bis Jurusan Bengkulu-Medan terguling di jalan. Badannya remuk masuk ke dalam sungai. Kernetnya luka pada lambung, mengucur darah. Sopirnya yang berhidung bengkok seperti paruh burung gagak atau paruh kakak tua dinyatakan hilang, dan tentu saja para polisi, seperti biasa, dengan enteng menyebutnya melarikan diri. Sebagian percaya ia hanyut ke laut.

Tapi aku lebih percaya bahwa sang sopir yang sempat kukagumi sekaligus kucemburui sepanjang perjalanan itu, punya nasibnya sendiri. Tak mungkin ia melarikan diri, tentu saja, karena dalam bayanganku ia telah menjelma burung gagak ajaib yang tatapannya sedingin laki-laki berpulun kain sarung di tepi jalan, atau orang berkerudung serat batang pisang di sebuah pameran seni. Paruh bengkoknya terasa gemerincing dalam ingatan, bagai lokan kering dimainkan jari-jari Maut yang panjang.

* Rumahlebah Yogyakarta, 2004-2005
Raudal Tanjung Banua (Dimuat di Suara Karya, 17 April 2005)

No comments:

Post a Comment