KALAH PERANG
Raja Pelinggam Desa dikalahkan oleh raja Sepura Desa.Musuh telah hampir memasuki kota.
Syahdan maka setelah sudahlah baginda bersyair demikian itu, maka lalulah dipeluk oleh baginda akan istri baginda itu sambil bertitah, "Wahai adinda tuanku, nyawa, sudahlah kiranya untung nasib kita hendak menjadi jarahan 1) orang sahaja ke sana-kemari, maka sekalian lazat dan kesukaan itu sesungguhnya tiadalah akan berbalik kembali, waktunya telah lalulah sekali dan dilupainya akan kita, melainkan sekarang ini kedukaan dan maut juga yang menunggui kita, dan tiada pula sekali-kali ia melupai kita, karena demikianlah gerangan suratan azali 2) kita, maka tiadalah dapat kita melalui dia. Wahai adinda, apakah hendak dikenang lagi? Karena telah sampai gerangan masanya kita ini hendak meninggalkan takhta kerajaan serta akan menjadi tawanan orang."
Maka diamlah putri mendengar perkataan baginda itu demikian. Syahdan maka putri itu pun menangislah terialu sangat, lalu rebah pingsan tiada khabarkan dirinya, maka baginda pun belaslah melihat istri baginda itu demikian, maka baginda pun menangislah pula seraya menampar dadanya sambil bertitah, "Aduhai adinda, tajuk3) mahkota kakanda, mengapakah tuan selaku demikian ini? Gusarkah tuan akan kakanda sebab berkata-kata demikian itu? Wahai adinda tuan bukannya sekali-kali kakanda empunya salah, atau kakanda mengada-adai, melainkan sudahlah dengan takdir Tuhan yang mahamulia hendak melakukan yang demikian ini atas hambanya. Apakah daya dan upaya kakanda dapat menolakkan kehendak Allah subhanahu wataala? Adakah kejadian itu terlebih berkuasa daripada yang menjadikan? Wahai adinda bangunlah jiwaku, Janganlah kiranya tuan memberi pilu dan belas dihati kakanda ini."
Setelah itu maka baginda pun segeralah mengambil air mawar lalu disiramlah oleh baginda akan muka istri baginda itu, maka seketika istri baginda pun sadarlah lalu bangun serta duduk tersedu-sedu dengan tangisnya mengeluarkan katanya demikian, "Aduh kakanda yang seperti perkataan kakanda itu sebenamyalah; apa yang hendak dikenang dan dicintakan lagi? Akan tetapi remuklah kiranya adinda oleh terkenang, apatah kelak jadinya akan putra kita ini sepeninggal kita? Karena yang kita harapkan ialah kelak dapat memerintahkan kerajaan dan dapat pula menimbulkan nama kita pada kemudian harinya. Maka sesungguhnya telah nyatalah kepada adinda, adapun sekalian pengharapan kita itu adalah seumpama tali rapuh rupanya dan sia-sialah gerangan sekalian nazar dan kaul sebab hendak beranak itu, maka sesungguhnya telah kita peroleh dengan daya upaya kita, tetapi dengan perusahaan kita itujuga diputuskan pengharapan kita itu."
Setelah sudahlah istri baginda berkata-kata demikian itu, maka baginda pun selalu menangislah jua rupanya sambil memeluk leher adinda putri. Setelah sudahlah baginda berpeluk-pelukan dan bertangis-tangisan itu makajegeralah dipeluk pula oleh baginda akan anakda baginda Hasan 4) itu, sambil baginda bertitahlah, "Wahai anakku Cendera Hasan dan buah hati ayah dan bunda, tuanlah jua yang menjadi tambatan larat ayah dan bunda kedua,' maka hemat-hematlah kiranya, hai anakku dan perbaik-baikilah sebarang tingkah laku itu. Maka sebab pun ayahanda berkata demikian itu, karena negeri kita ini alahlah sudah gerangan, maka sesungguhnyalah ayah dan bunda kelak menjadi tawanan kepada Maharaja Dewa Angkasa itu. Maka sebaik-baiknyalah tuan pergi melindungkan diri barang ke mana, asal janganlah pula tuan pun akan menjadi tawanan bersama-sama ayah dan bunda ini, karena sudahlah untung nasib kita hendak mendapat kedukaan, maka kepada siapakah hendak kita salahkan dia?"
Setelah sudahlah baginda bertitah demikian itu, maka anakda baginda Cendera Hasan pun menangislah terlalu sangat, serta dengan tersedu-sedu bunyi tangisnya, seraya mengeluarkan kata, "Aduh Ayah dan Bunda, sebelum lagi anakda bercerai dengan ayah dan bunda kedua, anakda minta halalkan air susu bunda dari dunia sampai ke akhirat. Apatah untung anakda yang malang ini, yang tiada serupa pula dengan makhluk yang banyak? Dan apatah gunanya pula anakda ini telah dilahirkan Allah subhanahu wataala, maka anakda patut merasai dan menanggung azab dan kesukaran pada tiap-tiap masa dan ketika di dalam sepanjang umur anakda ini? Wahai ayah dan bunda, menerima kasihiah anakda kepada ayah dan bunda, serta anakda minta halalkan barang suatu penat dan kesukaran sebab telah memeliharakan anakda ini."
Maka demi didengar oleh istri baginda akan perkataan anakda baginda itu, maka istri baginda pun menangislah, sambil bertitah, "Wahai Anakku Tuan, telah bunda dan ayah halalkanlah seperti sekalian permintaanmu itu, maka tiadalah sekali-kali ayah dan bunda ada berniat atau bermaksud yang kejahatan, hendak bercerai dengan tuan, melainkan telah sudahlah itu berlaku dengan takdir Tuhan kaya atas makhluknya, dan bukannya pula ayah dan bunda hendak membuangkan tuan."
Setelah didengar oleh Cendera Hasan akan titah bundanya itu, maka bercucuranlah air matanya, sambil ia bangun menyembah kaki ayah dan bundanya kedua itu seraya berdatang sembah "Aduhai Ayah dan Bunda, tinggallah ayah dan bunda baik-baik, karena anakda hendak beijalan membawa untung anakda barang ke mana, ayah dan bunda serahkanlah pula akan anakda kepada Allah subhanahu wataala kiranya, mudah-mudahan barang dipeliharakan Allah jua kiranya akan anakda ini."
Setelah baginda kedua suami istri mendengar perkataan anakda baginda demikian itu, maka baginda kedua suami istri pun belaslah sangat dan hanyut luluhlah rasa hati Baginda kedua suami istri itu, maka baginda pun bertitahlah pula, "Wahai Anakku Tuan, semoga-moga tuan dipeliharakan Allah juga kiranya."
Setelah itu maka dipeluk oleh baginda kedua suami istri, akan anakda baginda itu sambil dicium oleh baginda. Setelah sudah maka dayang-dayang pun habislah menangis, karena melihatkan baginda kedua suami istri dengan anakda baginda itu. Setelah sudahlah maka Cendera Hasan pun menyembah ayah dan bunda lalu berjalanlah, diiringkan oleh dua orang dayang-dayangnya, yang seorang bemama Dang^ Medani dan yang seorang lagi Dang Delima.
Hatta maka berjalanlah Cendera Hasan itu menuju ke hutan yang besar adanya.
Syahdan maka sepeninggal Cendera Hasan itu, seketika lagi maka kedengaranlah tempik sorak segala lasykar Dewa Angkasa 6) itu masuk merampas segala harta benda rakyat pelinggam 7) Desa itu. Setelah sudah maka masuklah pula sekaliannya itu ke dalam kota serta menawan dan merampas barang yang sedapatnya sahaja. Kemudian maka naiklah pula sekaliannya ke mahligai baginda, lalu ditangkapnyalah akan baginda kedua suami istri itu serta dibubuhkan belenggu. Maka masing-masing lasykar itu pun merampaslah segala harta benda, dan sekalian gedung yang berisi dengan harta benda yang mulia-mulia itu pundiambil oranglah serta dimuatkannya sekalian barang-barang itu ke dalam pedati. Setelah sudah dimuatkan .sekalian barang-barang itu, maka baginda kedua suami istri serta sekalian dayang-dayang itu pun habislah semuanya dibawa oleh sekalian lasykar itu menghadap baginda Maharaja Dewa Angkasa itu. Kemudian maka dititahkanlah oleh Maharaja Dewa Angkasa akan sekalian lasykarnya membakarkan negeri Pelinggam Desa itu. Setelah habislah sudah negeri Pelinggam Desa itu terbakar, maka baginda Maharaja Dewa Angkasa pun berangkatlah serta diiringkan oleh sekalian balatenteranya menuju ke negerinya kembali, serta membawa sekalian rampasan dan tawanan itu bersama. Maka tiada berapa lamanya berjalan itu maka sampailah baginda itu ke negeri Sepura Desa itu, sekalian harta rampasan itu dititah oleh baginda masukkan ke dalam gedung, sekalian orang tawanannya itu pun dititah oleh baginda penjarakan. Maka demikianlah hal kesudahan Maharaja Bujangga 8) Bayu 9) kedua suami istri itu.***
Download teks ini KLIK di sini
-------
Catatan:
Petikan ini dari buku yang diterbitkan oleh A. F. von Dewall menurut naskah lama
- Yang dirarnpas atau ditawan dalam perang. Dalam penerbitan v. Dewall: jerihan.
- Nasib.
- Semacam perhiasan yang menganjur ke atas.
- Cendera, dari bahasa Sangskerta; nama dewa bulan; dalam hikayat-hikayat Melayu makhluk setengah dewa juga; hasan, bahasa Arab, bagus.
- Lihat keterangan "Indera Bumaya dan Putri Mandu Ratna",
- Udara.
- Pualam (marmer) yang pelbagai warnanya.
- Artinya dalam bahasa Sangs. ular. Di sini menjadi pendeta dan pengarang. Kemudian berarti pengarang saja. Dalam zaman penghabisan disebut di Jawa
- pujangga dan menjadi bentuk umum.
- Angin
No comments:
Post a Comment