Pages

Monday, October 05, 2009

Matu Mona: Pujangga Melayu

PUJANGGA MELAYU

Cerpen Matu Mona


Telegram yang saya terima, dikawatkan oleh seorang sahabat dari Kuala Lumpur, berbunyi: "Encik Rahman Rahim sekarang di Jakarta stop Adakan interview stop Siarkan dalam majalah supaya para pembaca Indonesia mengenal pujangga Melayu yang terkemuka stop Yunus."

Dari pesisir ke pesisir Penanjung Tanah Melayu nama A. Rahman-Rahim dikenal penduduk, sebagaimana kita di Indonesia mengenal nama Ranggawarsita. Sebab itu salah dan berdosalah rasanyajika saya tidak lekas-lekas memperkenalkan A. Rahman-Rahim pada para pembaca.

Sekalipun saya katakan demikian, tapi mencari tempat menginap Rahman-Rahim (R.R.) di kota Jakarta yang luas ini bukanlah suatu pekerjaan sambil-lalu. Ibarat mencari mutiara di perut tiram, layaknya. Berpuluh-puluh hotel saya datangi, tanyai pegawainya adakah R.R. menginap di situ, bila dijawabnya tidak ada saya pun belumlah merasa puas. Maka saya bacai buku-tamu, dengan teliti saya periksai satu per satu nama tamu-tamu, semua sia-sia belaka.

Hampir saya putus asa, kalau tidak dengan secara kebetulan saya singgah di satu rumah-minum di Glodok. Dahaga yang sangat memaksa saya masuk ke situ membasahi tenggorokan dengan seseloki champagne.

Setelah saya teguk minuman yang mengandung ilham itu, tiba-tiba Chong Hie menegur saya, "Apa Tuan belum kenal Tuan Rahman-Rahim?"

Hampir-hampir saya terpekik mendengar nama itu dia ucapkan.

"Tuan Chong, beliaulah yang saya cari, lima hari sudah, lamanya! Kasihanilah saya dan para pembaca yang berpuluh, ya, beratus ribu Jumlahnya.Jumpakanlah saya dengan beliau karena saya.bermaksud melakukan interview riwayat hidupnya."

"Mengapa tidak dari kemarin, Tuan singgah di bar saya ini? Rahman-Rahim sahabat baik saya, sejak dari dulu, ketika saya masih di Ipoh!"

"Ingatan manusia itu ada batasnya, Chong. Ada urusan lain urusan lama terlupa; ada sahabat barn. sahahat lama tak terkenang. Maklum. Kabarkanlah pada saya, di mana beliau sekarang?"

"Kemarin berangkat ke Bandung. Di hotel mana beliau menginap di Bandung, saya tak tahu. Tapi mungkin di dekat-dekat stasiun!"

Mendapat keterangan yang maha berharga itu sebagai elang yang telah menyambar anak ayam saya pun melayang ke perhentian taksi. Berangkat ke Bandung di kala itu juga. Pukul 8 malam tiba di kota istimewa tersebut, langsung sampai pagi putar-putar ke semua lekuk-likunya mencari Rahman-Rahim saja. Sebagaimana diJakarta, demikian pula di Bandung sia-sialah usaha saya mencari beliau, Pujangga Melayu itu!

Tentu beliau tidak menginap di hotel, melainkan di rumah kenalannya. Dan kebanyakan kenalannya tentulah bangsa Cina atau India. Wahai ... sayang benar, kunci pengetahuan itu terlambat menyelinap di ingatan saya, yakni mencari R.R. di rumah orang India. Manakala saya tanyai satu per satu rumah kediaman bangsa India yang terkemuka di Bandung, baru di rumah kesebelaslah saya dapati keterangan bahwa R.R. memang menginap di ,itu. Tapi tadi pagi telah berangkat ke Jakarta untuk segera berlayar kembali ke Singapura.

Saya menuju ke lapangan terbang, dengan menunjukkan kartu kuning, segera saya diizinkan turut menumpang Dakota. Turun di Kemayoran segera saya naik taksi pula ke Priok. Kapal yang akan bertolak ke Singapura ialah Majesty. Secepat rusa saya berlari menuju ke kapal tersebut. Berdiri sambil bersandar di terali tampak seorang laki-laki setengah tua, berpakaian telok belanga berpeci Seremban dan berkain sarong Trengganu.

Saya perkenalkan diri. Rahman-Rahim tersenyfem-simpul.

"Sengaja saya sudah lama menunggu kedataftgan Encik," ujar beliau. "Oleh sebab Encik Yunus telah mengawatkan juga pada saya."

"Maaf, Encik Rahim, kapal akan bertolak dalam tempo setengah jam lagi. Dapatkah Encik memberikan kesempatan saya untuk melakukan interview kilat?"

"Silakan! Man kita duduk di sana."

Kami duduk di satu sudut yang lengang. R.R. memesan tiga botol jenever. Sesudah dituang ke gelas ia teguk sebagai connoisseur. Air mukanya berseri. Riwayat hidupnya (tanpa menunggu saya memajukan pertanyaan) diuraikannya sebagai berikut:

Tiga puluh tahun yang lampau saya bekerja sebagai tambi, suruhan, di suatu kedai orang India di Penang. Ramaswami seorang tabib yang masyhur. Perempuan yang tidak beranak bila didukuni olehnya, setahun kemudian menetas. Laki-laki yang tua bangka, bila ditabibi olehnya niscarajadi pemuda semula.

Saya seorang yang bebal. Usia 14 tahun saya lari dari rumah orang tua di Teluk Anson disebabkan tidak menghafalkan Qur'an, padahal handai taulan saya rata-rata hafal Qur'an. Sudah lima tahun saya bekerja pada Ramaswami dan selama itu saya amat patuh padanya. la sayang pada saya apalagi dia sendiri tidak mempunyai anak. Dan saya menganggap dia sebagai seorang keramat. Teringat oleh saya petuah orang-orang tua: Bilamana kita taat-khidmat pada seorang berilmu, akhir kelaknya tak dapat tiada niscaya sedikit dari ilmunya itu diturunkannya juga. Dan keyakinan saya itu dibenarkan oleh bukti.

Suatu hari Ramaswami memanggil saya, lalu dikabarkannya bahwa ia sekarang sedang mencampur obat-obatan yang luar biasa. Semacam anggur dengan campuran darah ikan dengan darah margasatwa, yang diberinya nama "Amerta Wine". Tiga bulan lagi anggur itu akan dicoba adakah berhikmat atau tiada. Dan sayalah yang akan meminum anggur itu sebagai percobaan. Khasiat Amerta Wine itu ialah, barang siapa meminuninya niscaya akan mendapat ilham.Jika ia seorang pelukis akan melukiskan sesuatu yang luar biasa.Jika ia seorang pengaran niscaya ia dapat menciptakan karangan yang tergolong master work. Demikian setemsnya! Gembira megah hati saya, bukan kepalang. Saya ciumlah tangannya, sedangkan Ramaswami tersenyum mengusap-usap kepala saya.

Mulai hari itu saya cobalah mengarang agar supaya bilamanna kelak saya dapat mengecap Amerta Wine tiga bulan lagi itu, dapatlah saya ilham menggubah cerita master-work. Dalam seminggu satu karangan telah saya siapkan. Apa saja yang saya karang ... meskipun saya akui kebanyakan adalah saya curi karangan orang lain dan mengubahnya sedikit di awal, sedikit di tengah dan sedikit di penghabisannya sehingga meskipun dengan menipu din sendiri namun akhimya dapatlah saya banggakan sebagai ciptaan saya yang tulen. Demikian bulan berganti bulan akhimya genaplah tiga bulan yang dijanjikan oleh Ramaswami. Pukul 3 dinihari saya dibangunkannya. Ia berpakaian sorban hijau, jubah kuning, dan di tangannya ada seuntai manik. Saya dibawanya ke kamar persemadiannya Asap pedupaan menyerbak. Di tengah-tengah persemadian itu ada hambal, di atasnya satu buyung. Ramaswami membacakan mantranya. Kemudian ia menari sambil berputar-putar keliling buyung itu. Setengahjam kemudian selesailah upacara memantrai Amerta Wine tersebut. la menengadah, menelungkup, gemetar, Pukul 5 pagi berbunyi. Ramaswami membuka sorban dan jubahnya. Saya diisyaratkannya supaya duduk di dekatnya

"Amerta Wine sudah terlaksana. RahmaB, aku beri kau peluang untuk meminumnya seteguk. Sebelum engkau meminum tanamlah niatan di hatimu, hendakjadi pencipta apakah engkau gerangah?"

Saya sudah menanam niat itu tiga bulan sebelumnya, sebab itu sekarang tinggal meneguhkan semangat itu semata. Saya minum seteguk. Tak pandai saya melukiskan betapa rasanya: pahit, pedar, panas, sejuk, payau, silih berganti. Sesaat kemudian saya tergolek di lantai tak sadarkan din. Rupanya saya dibiarkan saja oleh Ramaswami dalam keadaan pingsan sehingga esok harinya telah senjakala barulah saya siuman. Demi Tun Sari Lanang, datanglah ilham sebagai perawan-juita merasuk pada sukma saya. Seolah-olah adajin di samping saya membisikkan apa yang mesti saya tuliskan.

Tiga hari tiga malam saya mengarang terus, menciptakan "Madah Tak Sudah". Karangan saya itu kemudian dicetak. Cetakan pertama sajak itu 6 ribu, habis dalam tempo hanya sebulan. Cetakan kedua 10 ribu, lindas dalam tempo dua minggu. Cetakan yang ketiga 17.500. Nama saya mulailah dipuja oleh bangsa Melayu, bukan semata-mata yang di Semenanjung bahkan sampai-sampai ke Madagaskar. Sesudah itu tidak pemah ilham menjelma di sukma saya lagi.

Saya insaf bahwa Amerta Wine itulah yang menyebabkan saya dapat mencipta. Saya sembah Ramaswami, supaya saya diizinkannya meneguk setitik lagi. Tapi ia berkeras tak mengabulkan. Malahan katanya, "Kerusakan budi pengarang-pengarang zaman sekarang ialah, tidak dapat menahan nafsu! Memburu nama bagaimana supaya dipuja-puji khalayak dengan mengarang karangan, kalau dapat sepuluh buah dalam sebulan. Mengejar nama! Itulah ketakaburan, anakku! Kalau kau masih ingat apa yang dinamakan takabur itu!"

Pedih hati saya sungguh tak terpemanai.

Ia hanya mengizinkan saya meneguk Amerta Wine itu kecuali setahun sekali. Amboi! Hanya sekali dalam setahun! Bagaimana mungkin, saya hanya puas dengan mencipta setahun sekali. Alangkah sedap mewah perasaan jadi perhatian khalayak, ke mana saja saya pergi. "Lihat, itulah Encik Rahman-Rahim, pencipfti karangan Madah Tak Sudah!" ... diundangi oleh orang-orang ternama, berpangkat, dilirik gadis-gadis rupawan. Saya tunggu dengan mahasabar tiga bulan lamanya, saya ulangi lagi memohon supaya boleh meneguk Amerta Wine itu. Tapi permohonan saya tetap ditolaknya. Saya hanya boleh meneguknya sekali setahun. Hingga pikiran jahat timbullah dalam sanubari saya.

Pada suatu malam sedang Ramaswami tidur nyenyak, saya masuki tempat penyimpanan Amerta Wine itu, saya curi, dan malam itu juga saya melarikan diri ke Kuala Lumpur. Anggur

saya teguk. Ciptaan kedua menerawang. Sebagaimana karya pertama, dapat sambutan luar biasa istimewanya dari para pembaca. Sebulan kemudian saya meneguknya lagi, maka ciptaan ketiga menjelma. Lebih sublim daripada yang telah sudah. Karangan pertama tak hilang di dunia, sehingga surat-surat kabar Inggris menjuluki saya Walter Scott of Malaya.

Bila Amerta Wine itu tinggal beberapa teguk lagi, saya sudah kaya raya. Royalty yang saya terima setiap bulan lebih kurang 50 ribu dolar. Saya nikah dengan putri Datuk, tunlnan bangsawan. Tiga bulan lamanya saya tidak mengarang oleh karena saya sibuk menghadiri perayaan di seluruh Semenanjung buat menghormati diri saya. Lampau tiga bulan itu saya pun berhasrat mengarang lagi. Saya pergi ke Kuala Lumpur untuk mengarang roman perjalanan di sekitar kota tersebut. Suatu malam saya mengunci din dalam kamar, meneguk Amerta Wine. Biasanya, apabila sudah saya teguk seakan-akan saya ini diselapi jembalang. Tapi sekali ini berbeda sekali. Bukan saya diselapi, melainkan dahaga yang bukan buatan terasai oleh saya. Dahaga minum alkohol. Bau alkohol tercium di lubang hidung saya.Jauh malam saya paksa penjual whisky, jenever, brandy mengantarkan alkohol itu ke kamar saya. Sampai pagi saya terus-menerus minum, sehingga mabuk tak sadar diri.

Tengah hari saya bangun dan minum lagi sampai malam, Tiga hari tiga malam saya minum dan mabuk terus. Akhimya jatuh sakit dan dirawat di hospital. Enam bulan baru sembuh Keluar dari rumah sakit saya balik semulajadi pemabuk. Bukan hanya demikian, saya bahkanjadi penjudi. Royalty yang tetap saya terima berpuluh ribu sebulannya itu, tidak cukup. Lindang-landai di mejajudi: baccarat, roulette, dan lainnya.

Saya mengutang kian kemari. Orang masih percaya penuh pada saya. Akhimya utang pinjaman saya berjumlah tiga ratus ribu dolar. Tak ada lagi yang percaya, baik bangsa apa pun juga. Saya minum, judi, berzina. Pada suatu hari saya mabuk lalu memukul orang sehingga mati. Saya ditangkap, dihukum 3 tahun penjara kerja berat.

Tidak ada surat kabar yang mewartakan kutukan yang saya derita itu. Bahkan sebaliknya para pembaca ingin dan mendesak para penerbit supaya karangan barn saya diterbitkan Pengarang muda tampil ke depan memakai nama saya, menciptakan karangan ban. Saya dengar hal itu, tapi saya diam saja. Lampenjara keinsafan datang pada saya bahwa saya ini hanyalah pujangga saduran. Karena itu mengapa pula lain orang tidak boleh jadi pengarang saduran, meski memakai nama saya? Fairplay, bukan?

Setelah menjalani hukuman tiga tahun saya dikeluarkan Tak usah saya ceritakan bahwa saya tidak sanggung lagi mencipta karangan. Saya hanya jadi pemabuk. Bila dalam sejam saya tidak meneguk minuman, kerongkongan saya rasanya bagai disayat-sayat. Gant.berganti para pengarang muda tampil memakai nama Rahman-Rahim mencari nama dan uang. Saya intai saja dari belakang layar, tersenyum-simpul. Siapa saja boleh mengarang. Siapa saja bebas memakai nama saya untuk mencari nama wangi dan tumpukan uang!

Demikian dikisahkan oleh Rahman-Rahim biografinya pada saya, untuk kepentingan para pembaca. What is in a name?

Indonesia No.ll/12,Th.I,Desember 1949
Download cerpen ini

No comments:

Post a Comment