Pages

Monday, December 10, 2012

Strukturalisme Genetik

Memahami Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan bagian dari sosiologi sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldmann. Munculnya teroi ini sebagai akibat adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.

Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).

Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik memiliki arti penting, karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono, 1979:42). Hakikatnya karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor luar tersebut. Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1999b:12). Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk di aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1999b:15).

Pada perkembangannya strukturalisme genetik juga dipengaruhi oleh ilmu seorang marxis, yaitu George Lukacs. Menurut Goldmann strukturalisme genetik memandang struktur karya sastra sebagi produk dari struktur kategoris dari pemikiran kelompok sosial tertentu (Faruk, 1999a:12). Kelompok sosial itu mula-mula diartikan sebagai kelompok sosial dalam pengertian marxis (Faruk, 1999a:13-14).

Konsep Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 1999b:12). Aktivitas atau perilaku manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan lingkungan.

Dengan meminjam teori psikologi Pioget, Goldmann (dalam Faruk, 1999b:13), menganggab bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Menurut Endraswara (2003:55) semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodofikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat bersifat individu atau sosial.

Damono (1979:43) berpendapat, untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang kongkrit membutuhkan sutau metode yang serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat diketahui bahwa sastra merupakan cermin dari pelbagai segi struktur sosial maupun hubungan kekeluargaan.

Konsep Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan.

Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih merupakan duplikasi fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang. Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Oleh sebab itu pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Menurut Juhl (dalam Iswanto, 2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.

Subjek kolektif adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya. Goldmann (dalam Faruk, 1999:15) menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.

Konsep Pandangan Dunia

Goldmann juga mengembangkan konsep mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan dunia (Faruk, 1999a:12).

Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha memahami perpaduan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk atau totalitas kemaknaan. Setiap karya sastra yang penting mempunyai struktur kemaknaan (Strukture Significative), karena menurut Goldmann, struktur kemaknaan itu merupakan struktur global yang bermakna dan mewakili pandangan dunia (vision du monde, world vision). Penulis tidak sebagai individu, tetapi mewakili golongan (kelas) masyarakat (Satoto, 1986:175).

Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya sastra dengan kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu sendiri oleh Strukturalisme Genetik dipandang sebagai produk dari hubungan antara kelompok sosial yang memilikinya dengan situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu (Goldmann dalam Faruk, 1999a:13). Oleh karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan kebudayaan atau peradaban dari setiap situasi, masa atau zaman saat sastra itu dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra adalah pemapar unsur-unsur sosiokultural demi memberi pemahaman nilai-nilai budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman itu sendiri. Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu; seperti halnya kata tidak bisa dipahami di luar ujaran (Damono, 1979:43). Jadi, pada dasarnya sastra juga mengandung nilai-nilai historis, sosiologis, dan kultural.

Goldmann (dalam Satoto, 1986:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. Menurut Goldmann, karya sastra, namun demikian, bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level koherensi yang amat tinggi dari kecenderungan-kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu (Faruk, 1999b:33). Pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat.

Konsep “Pemahaman-Penjelasan”

Goldmann menjelaskan tentang metodenya itu: untuk bisa realistis, sosiologi harus bersifat historis; demikian juga sebaliknya, untuk bisa ilmiah dan realistis, penelitian sejarah harus sosiologis (Damono, 1979:43). Dengan demikian, strukturalisme genetik merupakan teori alternatif untuk menganalisis karya sastra yang antara historis dan sosiologis dapat dilakukan secara berkaitan.

Karya sastra harus memiliki kepaduan antara struktur yang satu dengan yang lain. Unsur luar maupun unsur dalam sama-sama memiliki arti penting di dalam membangun karya sastra. Kepaduan dari kedua unsur tersebut memberi kelengkapan, bahwa karya sastra tidak hanya dapat dilihat dari dalam (teks) sastra, melainkan unsur pembentuk dari luar. Karya sastra berusaha mengungkap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Persoalan-persoalan itu sebagian ada yang terpecahkan dan sebagian tidak ditemukan jalan keluarnya.

Karena itu, Goldmann mencoba mengembangkan metode dialektik. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat kongkret dengan mengintegrasikan ke dalam keseluruhan (Goldmann dalam Faruk, 1999b:19-20).

Metode dialektik mengembangkan dua konsep, yaitu “Pemahaman-penjelasan” dan “Keseluruhan-bagian.” Pemahaman adalah pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann dalam Faruk, 1999b:21). Pada dasarnya pengertian konsep “Pemahaman-penjelasan” sangat berkait dengan konsep “Keseluruhan-bagian.”

Pada penjelasan konsep fakta kemanusiaan telah dikemukakan bahwa terdapat dua fakta, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual baru memiliki arti penting jika di tempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari bagian-bagian yang membangunnya. Konsep “Keseluruhan-bagian” memilki keterkaitan untuk saling melengkapi dalam memberi arti dari “keseluruhan” dan “bagian” itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka strukturalisme genetik memandang karya sastra tidak hanya sebagai yang memilki struktur yang lepas-lepas, melainkan adanya campur tangan faktor-faktor lain (faktor sosial) dalam proses penciptaannya. Karya sastra dipahami sebagai totalitas perpaduan struktur dalam dan struktur luar.

Strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu (Faruk, 1999:13).

No comments:

Post a Comment