The Have's Habits
Radhar Panca Dahana
Pekerja sastra dan teater,
dosen pascasarjana Universitas Indonesia
Pergilah Anda bersenggang ketika hari krida! Maka, Anda akan menjadi salah satu orang di antara kaum urban Jakarta, setidaknya yang membuat saya selalu bertanya: sedang apa Jakarta? Hari krida, hari di mana kita semestinya bersenggang, tetirah, mengistirahatkan tidak hanya otot dan urat, tapi juga jiwa-mental dan akal-pikiran, ternyata tidak bagi warga Jakarta.
Di hari resmi libur itu ternyata beban baru ditambah. Kepenatan jiwa, raga, dan pikiran justru bertambah berat. Hari Sabtu pun kini menjadi couchemar bagi orang Perancis, nightmare kata orang Inggris, mimpi jahat kata orang Betawi. Bagaimana tidak? Sejak pukul delapan pagi, hampir di tiap sudut kota hingga beberapa kota penyangga, kita terjebak macet - bahkan hingga berjam-jam. Lebih dari macet di hari kerja biasa.
Entah apa yang hendak mereka - kaum bermobil itu - kerjakan di hari senggang? Yang jelas, bukan peregangan otot, hati dan pikiran yang mereka dapat. Macet, seperti biasa dan umumnya, memberi yang sebaliknya. Lebih dari itu, pemborosan bahan bakar, ausnya onderdil, kerugian kendaraan umum, polusi tambahan, beban plus polisi, sekian waktu tersia-sia, dan sekian banyak cost sosial-ekonomi-budaya lain.
Di lain hari, Anda pun akan merasa terkacaukan oleh perilaku kaum urban - para anggota kelas menengah-atas - dalam soal mobilitas kerja. Anda tak Akan pernah tahu, misalnya, bila saja kota kapital ini mengalami kemacetan lalu lintas. Jika jam-jam berangkat kerja (sekitar pukul 06.00-09.00) dan pulang kerja (16.00-20.00) Jakarta menjadi neraka kemacetan, sudah biasa bagi kita. Tapi di luar jam itu, kemacetan menyiksa masih juga ada, kita pasti bertanya: apa yang kau lakukan Jakarta?
Sungguh saya bingung, kadang tak percaya. Di saat semestinya para the haves yang umumnya pekerja profesional atau pejabat menengah itu tengah sibuk di ruang kerja, konferensi atau negosiasi, ratusan ribu mobil memenuhi jalan. Jika mereka berangkat ke kantor, kenapa siang sekali?
Perilaku sosial kelas ini memang sulit dikira. Dilihat dari cara mereka menggunakan kendaraan untuk memenuhi jalan saja, kita tidak bisa menerapkan pola atau tradisi kaum pekerja profesional yang umum ada di negara berkembang atau negara maju di mana saja. Perilaku tak jelas itu memperlihatkan ketidakpedulian mereka terhadap inefisiensi dan kerugian moral-material yang diakibatkannya. Harga bahan bakar minyak (BBM) tinggi, misalnya, tidaklah masalah bagi mereka untuk mereka uapkan dalam pembakaran yang sia-sia setiap hari.
Mesiu Bom Waktu
Ketidakpedulian pada lingkungan, pada krisis BBM, pada nasib anak-cucu di masa depan, pada harga yang melambung, hampir menjadi ciri dalam perilaku (habit) orang kaya (the haves) ini. Sama seperti tidak pedulinya beberapa di antara mereka yang mencuci mobil dengan keran yang mengucur terus, menyiram aspal kering depan rumahnya dengan air sumur, air pompa, atau air resapan. Seakan air dapat dihisap tiada habis hingga kiamat.
Coba perhatikan rumah-rumah besar di beberapa kawasan: miliaran bahkan puluhan miliar rupiah harganya. Begitu hebat dan menterengnya! Namun satu senti di depannya, kita saksikan got atau selokan mampet, hitam-kotor, bau, menggenangkan berbagai virus, kuman, atau bangkai. Di beberapa sudut berdiri tenda kumuh yang menjadi tempat sebagian rakyat jelata menjual rokok, mie, nasi, atau berbagai minuman. Berbaur dengan seluruh isi got tadi, dengan ancaman maut, dengan ketidakberdayaan, dengan sejenis ketidakpedulian yang berbeda.
Perhatikan suasana di mal, plasa, dan berbagai square atau pusat perbelanjaan modern. Mereka berkumpul hampir tiap petang di bar, klab, coffee shop, resto, fitness center, dan berbagai space untuk hang-out. Mereka menghabiskan Rp 250 ribu hingga Rp 400 ribu tiap malam untuk bersenda - jumlah yang memadai untuk transportasi pegawai rendah dan menengah-bawah setiap bulannya. Bahkan itu setara dengan penghasilan atau biaya hidup bulanan jutaan warga lain.
Perilaku kelas berpunya, tentu kita tahu, bukan bagian tradisi kita. Bukan tradisi komunitas tradisional kita mana pun. Bukan milik sub-etnik mana pun. Dia baru. Dia modern. Posmodern, mungkin. Dia adalah konstruksi sosial baru, jika bukan sebuah rekayasa tingkah laku yang baru. Satu rekayasa yang memang terencana dan memiliki maksud. Untuk mengonsumsi produk-produk mutakhir, misalnya. Rekayasa hasil propaganda raksasa yang globalistis dari persekongkolan kaum kapitalis. Kaum yang menguasai produksi, melalui brand-brand kelas dunia, sementara kita adalah mulut-mulut menganga yang menanti perintah untuk mengunyahnya.
Kini semua itu belum apa-apa. Masih banyak pembela untuk mereka. Masih tersedia cukup argumentasi, bahkan alasan ideologis untuk membenarkan atau menganggapnya sebagai kewajaran. Tapi senjang yang diakibatkan oleh ketidakpedulian ini sesungguhnya menyimpan bara. Bahkan mesiu yang menyusun dirinya menjadi bom waktu.
Sistem kapitalis memang telah memiliki perangkat lunak dan keras, prosedur, dan mekanisme yang "telah terbukti" membuat bom waktu itu tak berkembang dalam kapasitas atom atau nuklir. Paling mengerikan dia hanya sampai pada tingkat TNT, atau bom-bom yang meledakkan pasar atau gedung. Bom-bom kecil yang berfungsi sebagai "katup pelepas" atau semacam alarm dini yang membuat rakyat jelata "yang merasa iri, terinjak dan tereksploatasi" tak berani berbuat lebih jauh lagi. Tapi sampai kapan situasi itu berlangsung?
Senggang Menuju Tenggang
Di beberapa negara Eropa dan negara maju lain, hari libur dan krida adalah hari wajib sebagaimana hari kerja. Satu manusia dewasa akan merasa "rendah" kastanya jika dia tak mampu melaksanakan kewajiban sosial dan moral itu: merasa dosa jika kita bekerja di hari libur, tak berlibur di hari libur. Libur adalah kewajiban karena di situlah manusia mengembalikan hidupnya yang selama lima hari atau 40 jam kerja tiap pekan diperas kebutuhan modern dan disiksa oleh penjara sistem pekerjaan, mekanisme birokrasi, tuntutan profesional, atau ambisi kapitalisme yang memperbudak.
Libur adalah masa tetirah, masa kita kembali jadi manusia; masa bagi kita mengembalikan ritme dan metabolisme hidup kita pada kinerja alam. Mendapatkan penyegaran yang memungkinkan kita bekerja lagi di keesokan harinya dengan kekuatan optimal, ide baru, pikiran segar, dan jiwa yang selalu kembali muda. Libur pun wajib karenanya.
Maka, muncul di kawasan itu berbagai LSM yang khusus membantu publik dengan kesulitan dalam urusan itu. Membantu mereka berlibur (bahkan sekeluarga!) ke mana tempat, hingga luar negeri. Liburan terakhir yang digemari adalah champagne. Ya, mirip nama jenis anggur mahal itu. Makna keduanya sama: dusun. Berlibur dengan tinggal bersama rakyat desa. Mengenali, mengikuti, dan menjalankan rutin hidup orang dusun. Menyadari betapa keberadaan orang desalah yang membuat orang kota nyaman sejahtera.
Berbeda sungguh, tentu, dengan makna libur bagi urban, kaum berpunya, di kota-kota besar kita, Jakarta misalnya, libur berarti "belanja". Membelanjakan sebagai harta untuk memenuhi selera pergaulan, moernitas, selebritas, sensualitas, atau kadang sekadar memuaskan nafsu konsumerme belaka. Shopping di mal, nongkrong di plasa, makan siang di resto gaya Amerika, melipatgandakan tunggakan kartu kredit, membakar sia-sia BBM, menipu apresiasi anak dengan hal-hal artifisial, menambah keletihan badan-batin via macet luar biasa, dan segala lain yang juga luar biasa.
Tidakkah dapat kita sejenak tetirah? Meredam waktu dalam diam, mencipta senggang dalam tenang, mau menenggang lain orang yang hidup tak senang? Retreat sesekali. Menghayati hidup selumrahnya, menghirup udara senikmatnya, memandang keluarga dengan seluruh jiwa, memberi jiwa, tubuh dan akal kita, makanan sehat yang sesungguhnya.
Tidakkah akan lahir, secara perlahan, manusia yang sesungguhnya manusia karenanya. Manusia yang Insya Allah bernama: manusia Indonesia. Nama yang kita tak pernah mengerti dan rancu memahaminya.***
Sumber: Suara Karya, Jumat, 10 Februari 2006
No comments:
Post a Comment