Engkau adalah Rumah
Cerpen Dianing Widya
MATAHARI pecah di kepalaku. Kebahagiaan di depan mata itu, engkau hancurkan Layla. Tanggal pernikahan yang kita sepakati bagai mainan bagimu. Ponselmu tak pernah aktif. Apartementmu kosong. Teman-teman kantormu hanya bilang kamu pindah tanpa meninggalkan alamat kerja baru. Kedua orangtuamu, saudaramu hanya mengangkat bahu ketika aku tanya keberadaanmu.
Berbilang tahun aku memilih sendiri. Aku tak punya hasrat dengan siapa pun selain dirimu. Lalu hampir setiap aku pulang kampung, selalu saja pertanyaan yang berulang ibu tanyakan kepadaku. Kapan menikah Ganang? Pertanyaan ibu yang berulang, kesulitanku membunuh bayanganmu membuat aku frustasi. Aku harus menenggelamkan diri untuk melupakanmu Layla, hingga aku menemukan duniaku. Mengumpulkan anak-anak jalanan untuk aku sekolahkan bersama beberapa teman.
* * *
Darahku berdesir saat aku temukan engkau di sebuah sekolah dasar dengan menggandeng seorang anak laki-laki. Sampai hatimu Layla. Engkau meninggalkanku demi laki-laki lain. Sekarang di sampingmu seorang anak laki-laki menambah hatiku teriris. Engkau menggandengnya dengan penuh kasih.
Tentu karena kamu adalah ibunya.Aku pun menyekolahkan seorang anak di sini. Sayang dia bukan anak kandungku, melainkan anak yang terlantar. Ayahnya meninggalkannya setahun lalu saat ia berusia lima tahun. Kakaknya saat ini kelas dua SMP. Untuk menyambung hidup ibu mereka menjadi pencuci baju di tiga rumah.
Layla, banyak dari anak-anak yang aku dan teman-teman sekolahkan datang dari keluarga berantakan. Suami yang pergi mendadak lalu bertahun-tahun tanpa kabar, ayah yang sembunyi-sembunyi menikah lagi dan memilih menceraikan istri pertama, setelah istri pertama mengetahui dan tidak menerima. Ada lagi suami yang mengusir istri dan anaknya setelah ia menikah lagi.
Layla, engkau tak akan percaya dengan ceritaku, seperti halnya saat pertama aku menghadapi kenyataan. Banyak istri yang dizalimi suaminya lalu anak-anak ikut terseret di dalamnya. Ironisnya mereka dari kaum papa, lalu pendidikan anak-anak terbengkalai karena si istri harus bekerja sendirian. Untuk melupakanmu Layla aku dan temanku menggalang dana. Menyelamatkan anak-anak mereka.
Pelan-pelan pergaulanku dengan mereka, membuat aku merasa mereka bagian dalam hidupku. Aku bahagia di sini Layla. Aku menghela napas sembari melihatmu dari kejauhan. Seandainya dulu engkau tetap menikah denganku tentu bahagiaku sempurna.
Melihat anak yang engkau gandeng itu, aku menautkan kening. Kita berpisah belum genap lima tahun. Kini engkau menggandeng anak usia tujuh tahunan. Logikanya jika engkau langsung hamil setelah menikah anakmu baru berusia empat sampai lima tahun. Anak siapa dia Layla. Mungkinkah engkau meninggalkanku untuk menikah dengan duda kaya raya?
* * *
Layla, sejak pertemuan kita di sekolah itu, aku ingin tahu keberadaanmu. Aku ingin tahu tetapi sejenak hatiku susut. Tak pantas jika aku menelusuri jejakmu, sementara kamu sekarang adalah istri orang. Maka setiap aku mengantar anak yang aku sekolahkan itu, aku hanya berani melihatmu dari jauh. Tetapi tahukah kamu Layla, sungguh aku sangat ingin menyapamu meski hanya sekedar bertanya kabar.
Hingga suatu hari aku berpikir mengapa kamu selalu sendirian mengantar anakmu sekolah? Aku belum pernah melihatmu bersama suami. Hal ini membuatku menduga-duga tentang kamu. Mungkinkah kamu kini menjanda. Pikiran curangku berujar itu jauh lebih baik. Aku mau menjadi suamimu Layla. Tak peduli kamu adalah janda dengan beberapa anak.
Satu tahun sudah cukup bagiku untuk menuntaskan rasa penasaranku. Di hari pengambilan rapor kamu datang sendiri. Engkau terkejut ketika aku menyapamu. Semula engkau melihatku seperti melihat hantu di siang hari. Terlihat engkau ingin berlari tetapi sikap santun yang engkau punya membuatmu bertanya kabarku. Tentu kabarku sangat buruk.
Engkau lalu menghela napas. Menunduk. Tiba-tiba anak kecil yang selalu engkau antar itu menghampirimu, bergelayut di pinggangmu.
"Tante pulang." Jantungku berhenti berdetak. Anak itu memanggilmu tante, bukan ibu atau mama.
"Attar," tiba-tiba seorang gadis menghampiri anak laki-laki itu dan merayunya untuk mau pulang dengannya. Anak itu mengiyakan.
"Mbak, Attar pulang sama saya ya," ujar gadis itu. Engkau mengangguk. Aku lihat anak laki-laki bernama Attar itu sangat akrab dengan gadis itu. Terdengar juga ajakan gadis itu ke sanggar untuk mengambil buku bacaan baru.
Sekarang tinggal aku dan engkau. Sekolah satu persatu ditinggalkan penghuninya. Siang itu aku beranikan diri memintamu berbincang sejenak. Tanpa aku duga engkau malah mengajakku ikut ke mobilmu. Aku terpana. Bagaimana mungkin seorang istri satu mobil dengan laki-laki yang bukan suaminya? Aku ragu tetapi engkau dengan santai menggandeng lenganku.
Jantungku bergemuruh Layla saat engkau bimbing lenganku, terlebih ketika kita benar-benar berada dalam mobil. Aku panas dingin. Aku takut jika ada yang melihat kita dan mengadu ke suamimu. Engkau malah tersenyum tipis ketika aku sampaikan kecemasanku. Membuat aku menduga-duga tentang suamimu.
"Aku belum pernah menikah Ga," ucapmu tanpa menolehku. Aku tertegun. Lima tahun lalu engkau pergi begitu tiba-tiba. Sekarang engkau mengaku belum menikah. Lalu anak yang selalu kau antar sekolah itu anak siapa. Engkau menjelaskan jika anak itu bukan anakmu. Aku belum tahu ke mana arah bicaramu. Tak lama kamu belokkan mobil ke kiri. Terus masuk ke dalam, sepanjang jalan adalah rel kereta api. Kamu terus melajukan mobil tanpa aku tahu arah tujuanmu.
Tak lama kemudian engkau hentikan mobil. Aku memandangmu sejenak. Di depan sana sampah menggunung. Engkau menurunkan kaca mobil lalu mematikan mesin. Engkau memandang ke gunungan sampah itu.
"Attar aku temukan meringkuk di situ." Aku mengikuti arah telunjukmu. Sebuah batu besar.
"Tubuhnya memar-memar, dia bilang dipukuli oleh ayahnya." Aku menunduk. Bagaimana mungkin seorang ayah memukuli anaknya yang masih kecil. Jauh di lubuk hatiku, aku sangat ingin memiliki keturunan. Aku ingin uang dari keringatku bisa dinikmati anak dan istriku. Betapa menyenangkan punya anak sendiri. Pulang kerja kita disambut anak, hilang sudah letih karena senyum dan tawa mereka. Setiap pekan aku bisa membawa anak-anakku keluar rumah. Makan di rumah makan favorit, atau jalan-jalan ke taman, atau pergi ke bioskop. Alangkah senangnya melihat anak-anakku bersama perempuan yang aku cinta, Layla.
Dadaku terasa sesak. Kenyataan menamparku keras. Air ludah yang aku telan terasa perih di kerongkongan. Aku menghela napas lagi. Aku sebut nama Layla dalam-dalam menelusuri rongga dadaku.
"Attar menolak. Ia ketakutan ketika aku ingin mengantarnya pulang," ucapmu diantara rasa nyeri hatiku. Lalu panjang lebar engkau cerita. Sejak berpisah denganku engkau mengaku patah hati. Aku terpana. Apakah engkau tak tahu Layla? Aku remuk redam karena kepergianmu? Aku terpana lagi ketika engkau mencari anak-anak yang ditelantarkan orangtuanya untuk kamu sekolahkan, kamu tampung di sebuah rumah, kamu bimbing mereka untuk memiliki semangat untuk maju. Engkau katakan itu sebagai pelarianmu.
"Aku ingin mereka punya impian," ujarmu kemudian.Aku diam. Duduk di sampingmu akan menjadi sia-sia jika aku tak mendesakmu untuk mengatakan alasanmu tak menikah sampai sekarang.
"Aku tak mungkin menikah Ganang." Aku terhenyak. Tanpa menunggu pertanyaanku engkau menjawab dengan terbata-bata. Penyakit yang engkau derita tak memungkinkan untuk hamil. Aku tercengang ketika engkau menyebut nama penyakit yang menyeramkan itu. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkanmu rahimmu harus diangkat. Kamu jelas tak bisa hamil. Satu hal yang aku sesalkan mengapa engkau tak pernah cerita.
"Aku takut," ucapmu pendek sambil menunduk.
Aku lemas. Aku sandarkan kepala di jok mobil. Memejamkan mata. Tak aku sangka sama sekali.
"Kita hampir menikah Layla, kita sudah memesan undangan. Tiba-tiba ..." "Aku bingung, frustasi tak tahu harus bagaimana. Menikah denganmu sangat tidak mungkin. Laki-laki mana yang mau menikah dengan perempuan yang tak bisa memberi keturunan." Aku menghela napas dalam-dalam. Aku angkat kepalaku. Memandangnya lekat-lekat. Aku memintanya untuk diantar pulang.
* * *
Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Penjelasan Layla tadi siang mengoyak batinku. Pelan-pelan mengalir perasaan iba padanya. Lima tahun bukan waktu pendek untuk kesendirian. Aku sampai detik ini masih menyimpan perasaan sayang kepadanya. Aku memang ingin menikahinya, lalu dari rahimnya lahir anak-anakku. Aku menggeleng. Layla tak bisa memberiku keturunan. Apa arti hidup tanpa keturunan, aku tak bisa membayangkan begitu hari-hari senyap tanpa anak-anak.
Betapa kejamnya aku jika meninggalkan Layla karena kanker ovarium yang diderita. Haruskah ia menanggung sendiri sakitnya?
Ini tidak adil. Pantaskah aku meninggalkannya setelah tahu ia tak bisa memberiku anak? Aku beranjak dari tempat tidurku. Akan aku temui Layla. Akan aku mohon padanya untuk mau menikah denganku. Tak peduli ia tak bisa memberiku anak. Bersamanya aku ingin menyekolahkan banyak anak lagi. Anak-anak dari kaum dhuafa yang membutuhkan uluran tanganku, Layla juga kita.***
* Depok, Oktober 2011
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 November 2011
No comments:
Post a Comment