Pages

Sunday, August 23, 2009

Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Ave Maria

Analisis Tokoh dan Penokohan
Cerpen Ave Maria Karya Idrus

Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh (Aminuddin, 2004:79). Dalam hal ini tokoh terdiri atas sepuluh ragam: tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh antagonis, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral (Nurgiantoro, 2000: 176-190).

Berdasarkan sinopsis cerpen “Ave Maria”, tokoh yang penting untuk dibicarakan yaitu Zulbahri, Wartini, dan Syamsu.

Tokoh Zulbahri dalam cerpen “Ave Maria” termasuk tokoh utama. Hal itu dapat dilihat bahwa Zulbahri tokoh yang paling terlibat dengan makna dan tema cerita. Tokoh Zulbahri paling banyak terlibat dengan tokoh lain (Syamsu dan Wartini). Selain itu, Zulbahri, tokoh yang banyak memerlukan waktu penceritaan.

Wartini termasuk tokoh bulat (kompleks). Dalam hal ini ia sebagai sosok wanita munafik. Di depan Zulbahri, ia mengatakan cintanya hanya untuk Zulbahri, namun di depan Syamsu, Wartini mengatakan “Dapatkah seorang perempuan memiliki dua laki-laki sekaligus?” Wartini tidak memiliki kepribadian yang konsisten. Syamsu termasuk tipe tokoh berkembang. Ketika kecil ia ada hubungan cinta monyet, namun ketika ia berada di Shonanto, seolah Syamsu tidak ada hubungan apa-apa dengan Wartini.

Sekembali dari Shonanto, pada mulanya Syamsu dapat menjaga diri dan kehormatan, namun sedikit demi sedikit berubah. Ia perlahan-lahan mencintai Wartini (merusak hubungan Wartini dengan Zulbahri). Dengan kata lain, Syamsu mengalami perubahan (perkembangan perwatakan) akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiantoro, 2000:188).

Penokohan

Albertime Minderop (2005:2) mengartikan penokohan sebagai karakterisasi yang berarti metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Tujuan analisis ini untuk mencapai suatu pemahaman tentang ketabahan individu dalam suatu komunitas tertentu melalaui pandangan-pandangannya yang mencerminkan pandangan-pandangan warga dalam komunitas yang bersangkutan (Furchan, 2005:7). Dalam hal ini penokohan terdiri atas tiga variasi: 1. teknik ekspositaris, 2. teknik dramatik, dan 3. teknik identifikasi
tokoh.

1. Teknik Ekspositoris

Teknik ekspositoris disebut juga sebagai teknik analitis. Dalam hal ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.

Dalam cerpen “Ave Maria” Idrus menggunakan teknik ekspositoris untuk mendeskripsikan sosok Zulbahri. Untuk memperoleh secara jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.


“Masih jelas teringat oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri. Baju jasnya sudah robek-robek, di bagian belakang tinggal hanya benang-benang saja lagi, terkulai seperti ekor kuda.” (Idrus, 2004:13)

Teknik ekspositoris yang lain dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.


Kami terharu dan kasihan mendengarkan cerita Zulbahri itu. Ia menengadah ke langit bertaburan bintang itu. Air matanya tergenang ...
Aku pergi tinggal di sebuah rumah di gang kecil. Yang menjadi hiburan bagiku tinggal hanya buku-buku lagi. Aku selalu mencari, mencari tempat jiwaku bergantung. Sekian lama aku mencari, tapi sia-sia belaka. Aku menjadi tak acuh kembali kepada diriku. Pakaianku tak kuhiraukan pula, kadang-kadang pakai sepatu, kadang-kadang tidak. (Idrus, 2002:19-20 )

Dengan teknik ini penggambaran tokoh menjadi lebih konkret.

2. Teknik Dramatik

Jika teknik ekspositoris, pengarang memberikan deskripsi, dalam teknik dramatik para tokoh ditampilkan mirip dengan drama. Dengan teknik ini cerita akan lebih efektif.

Teknik dramatik terdiri atas delapan jenis yaitu teknik cakapan, teknik laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, teknik pelukisan fisik
(Burhan Nurgiantoro, 2000:201-210).

Dalam cerpen “Ave Maria”, Idrus memanfaatkan penokohan dramatik bentuk teknik cakapan, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, dan teknik pelukisan latar.

Teknik cakapan dimaksudkan untuk mencerminkan kedirian tokoh dan menunjukkan perkembangan plot. Hal ini misalnya pada kutipan sebagai berikut.


Adakah yang hendak kaubicarakan dengan daku, Zul? Ceritakanlah.

Perkataan Wartini menambah semangatku untuk menguraikan segalagalanya kepadanya. Begitulah kami termenung setelah kuceritakan bahwa Syamsu, adikku hendak pindah dari Shonanto ke Jakarta dan hendak tinggal bersama kami. Kuterangkan pula bahwa aku tak dapat menolak. Jika kutolak, aku dipandang rendah oleh orang kampungku. Wartini pun mengerti tentang hal itu. Tentang bahayanya Syamsu tinggal bersama kami, terus terang pula kuuraikan kepada Wartini.

Takutmu berlebih-lebihan, Zul. Aku cinta kepadamu. Syamsu hanya teman mainku di waktu kecil. Cinta demikian tak
masuk ke dalam hati. Cinta monyet, kata orang. (Idrus, 2004:16)


Teknik cakapan terdapat pula pada kutipan sebagai berikut.

“Mengapa menangis, Tini? Engkau bersedih?”
“Aku terkenang pada masa silam. Pernah kita memainkan lagu ini dulu bersama-sama.”

“Ya, waktu itu takkan dapat kulupakan selama-lamanya, Tini. Waktu itu aku sedang penuh dengan cita-cita yang sangat
tinggi.”

“Dan semua cita-cita itu kandas bukan, Syam? Engkau tak meneruskan pelajaran biolamu.” (Idrus, 2004:17)


Teknik pikiran dan perasaan mengungkap bagaimana keadaan jalan pikiran, serta perasaan tokoh dalam banyak hal yang mencerminkan sifat kediriannya. Hal ini dalam cerpen “Ave Maria” dapat dilihat sebagai berikut.


Tak ada yang dapat dicela tentang pergaulan Syamsu dan Wartini. Keduanya hormat-menghormati. Hatiku jugalah yang berkata-kata bahwa aku seorang perampok. Hatiku berkata, aku berdosa terhadap Syamsu. Dan kata hatiku, cinta Wartini tak lama lagi akan timbul kembali terhadap Syamsu.

Perasaan-perasaan yang demikian menjadikan daku sangat curiga. Segala percakapan Wartini kupikir-pikirkan kalaukalau
ada mempunyai arti lain ... (Idrus, 2004:17)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengarang melalui tokoh Zulbahri mengungkapkan kekacauan pikiran dan perasaannya. Dalam hal ini Zulbahri merasa was-was bahwa api cinta antara Waatini dan Syamsu yang sudah padam menyala kembali. Karena khawatirnya, segala kata Wartini kepada Syamsu dipikir-pikir.

Teknik arus kesadaran dimanfaatkan oleh Idrus dalam cerpennya “Ave Maria”. Teknik tersebut berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah karena keduanya menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh. Dalam hal ini tanggapan indra bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi. Arus kesadaran sering disamakan dengan sinandika (monolog interior). Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.


Begitulah keadaanku sampai waktu kita berkenalan pertama kalinya. Aku heran sekali. Waktu aku melihat majalah di bawah meja bundar ini, entah dari mana timbul keinginanku hendak membaca carita pendek
yang selalu ada dalam tiap-tiap majalah itu. Kuakui, sangatlah besar pengaruhnya ceritacerita pendek itu kepada jiwaku.

Baru aku insaf bahwa kehidupanku yang dulu-dulu itu semata-mata berdasarkan kepentingan diri sendiri belaka. Aku sangat menyesal. (Idrus, 2004:20)


Teknik pelukisan latar dimanfaatkan Idrus dalam cerpen “Ave Maria “ sebagai prasarana untuk menggugah imaginasi pembaca sehingga apa yang diungkapkan menjadi lebih hidup. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini .


Angin malam mendesir-desirkan daun –daun jarak. Bulan semakin terang. Zulbahri berhenti berbicara. Dari kantongnya dikeluarkannya sehelai kertas, diberikannya kepada ayah. Air teh yang disediakan ibu dia tak disinggung – singgungnya. Ia berdiri lalu meninggalkan kami ... (Idrus, 2004:20)


Untuk melukiskan situasi malam terang bulan, Idrus mengungkapkan angin malam mendesir-desirkan daun-daun jarak. Bulan semakin terang. Hal ini dimaksudkan bahwa lukisan suasana untuk mengantarkan Zulbahri dengan pikiran bersihnya mengabdikan kepada nusa dan bangsa menjadi tentara jibaku.

Selain itu teknik pelukisan latar dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.


Pada malam seperti ini pula, Zulbahri berpisah dengan kami buat selamalamanya. Siapa yang takkan terkenang
kepada kejadian itu. Kami melihat ke bulan purnama raya, dengan segala kenangkenangan kepada Zulbahri yang telah
dapat memperbaharui jiwanya. Dari radio umum kedengaran lagu Menuetto in G ciptaan Beethoven. (Idrus, 2002:20)


3. Teknik Identifikasi Tokoh

Dalam bidang penokohan, Idrus juga memanfaatkan identifikasi tokoh. Cara ini ada dua ragam yaitu prinsip pengulangan dan prinsip pengumpulan. Pada prinsip pengulangan, pengarang mengulang-ulang sifat kedirian tokoh sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas. Prinsip pengumpulan dalam hal ini kedirian tokoh
diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita.

Dalam cerpen “Ave Maria” pengarang memanfaatkan cara prinsip pengulanganprinsip pengumpulan tidak terdapat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.


… Anehnya, sungguhpun Wartini menerangkan bahwa ia hanya mencintai aku sendiri, tapi hatiku terus berkata bahwa
Wartini lebih dekat kepada Syamsu. Aku merasa diriku sebagai seorang perampok.…

Hatiku jugalah yang berkata-kata bahwa aku adalah seorang perampok. (Idrus, 2002:17)


4. Kesimpulan

Cerpen “Ave Maria” terdiri atas tiga tokoh penting yaitu Zulbahri, Syamsu, dan Wartini. Isi cerpen tersebut sangat relevan dengan zaman emansipasi wanita (Women’s Lib) yang berakibat sering terjadi perselingkuhan dilakukan oleh wanita.

Pengarang dalam cerpen “Ave Maria” memanfaatkan teknik penokohan berbagai ragam, yaitu teknik ekspositoris, dramatik, dan teknik identifikasi tokoh.

Referensi
Aminuddin. (2004) Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Furchan, H. Arief. (2005). Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idrus (2004). Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Minderop, Albertime. (2005). Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



Download tulisan ini?
KLIK di sini

Sumber: INSAN Vol. 8 No. 1, April 2006
Heru Supriyadi
Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya

No comments:

Post a Comment