Pages

Monday, August 10, 2009

Monolog: Ibu Kita Raminten

Monolog
Ibu Kita Raminten
Diangkat dari novel karya Muhamad Ali
Teks Pra- lakon: Ikun Sri Kuncoro


1. Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga harus hadir secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti ia juga menindas, entah sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini) atau sesuatu hal yang lain yang muaranya pada konstruksi sosial.

2. Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang secara kompositif memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya hanya berisi sebuah tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini harus dipermainkan dengan cahaya yang memberi aksentuasi atas suasana monolog Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang lebih menggugah tentu itu yang diharapkan.

3. Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah teater auditif: sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton betah) yang muncul dari wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik. Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari kursi terdakwanya untuk sebuah spektakel yang lain.

4. Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses penciptaan teater yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak terduga dan tak dibayangkan pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak keajaiban teater.

Marilah dimulai saja:

Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu membentur ubin hadir semakin nyata dan berselah-selih dengan suara “ngremo” antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam besi dari gembok dan kerangkeng penjara. Sampai suasana menjadi.

Lalu dalam kelam itu sidang dibuka oleh suara hakim:
Hakim (Off Stage): Sidang perkara pembunuhan Prihartono warga negara Indonesia kelahiran Hongkong, dengan agenda utama pembelaan terdakwa II Saudari Raminten yang akan disampaikan oleh terdakwa sendiri, dengan ini dinyatakan dibuka.
Lalu lampu merayap pelan pada Raminten yang duduk di kursi terdakwa.

RAMINTEN

Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah saya jawab, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi. Saya... hanya akan melihatnya dan mengatakannya dari sisi diri saya tentang peristiwa apa yang telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan ibu simpulkan atas diri saya.

Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada di kamar bapak Prihartono di jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah saya katakan, kenapa saya di rumah itu? ... Saya, ... dipaksa Stambul ... Anak saya.

Malam itu, Stambul pulang. Dan seperti beberapa malam sebelumnya, Stambul membujuk saya.
Setelah berbulan-bulan tidak pulang—juga, ketika bapaknya meninggal—beberapa malam sebelum peristiwa itu Stambul membujuk saya untuk menjadi gundik bapak Prihartono.

Menurut Stambul, hidup saya akan lebih baik kalau saya bersedia bekerja pada Pak Prihartono. Katanya, Pak Prihartono sedang membutuhkan seorang tukang pijat. Yang diinginkan adalah seorang tukang pijat yang muda. Tapi Stambul yakin bahwa tak akan ada perempuan muda yang bersedia menjadi tukang pijat Pak Pri.

Stambul, anak saya itu, dari pada saya hidup seperti ini: nganggur, kelaparan dan kesepian. Hidup bukan mati pun tidak. Lebih baik ikut Pak Prihartono. Meskipun tua, Pak Pri duitnya banyak. Pak Pri akan memberi uang berlimpahan, cukup makan, cukup pakaian, dan saya hanya disuruh memijat-mijat. Hanya itu saja. Memijat.

Memang, sejak Markeso meninggal, saya hidup dari belas-kasih tetangga. Setiap hari tetangga-tetangga memang saya dtang mengantar makanan untuk saya. Itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya. Dan, mungkin akan lebih lama lagi seandainya peristiwa ini tidak terjadi.

Sepeninggal Markeso, saya memang malas melakukan apa saja. Saya tidak keluar rumah. Saya memang tidak pernah bekerja sejak saya menjadi istri Markeso. Saya, Stambul, dan Markeso, hidup hanya dari hasil Markeso mbarang, mengamen sebagai ludruk garingan. Atau ludruk ontang-anting: sendirian mengamen dengan menembang, menari dan ngremo. Dan kami hidup.
Dulu Markeso bekerja sebagai kernet angkot. Sebelum bertemu saya. Sebelum kami menikah. Saya masih ingat benar ketika kami bertemu. Waktu itu usia saya baru 15 tahuanan. Seperti biasa, saya membantu bapak yang berjualan obat keliling, menggelar perlak untuk alas menata dagangan bapak. Ketika itu sebuah angkot berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Entah kenapa, ketika mendengar dari mesinnya saya tiba-tiba berhenti dan entah kenapa saya jadi memandangnya. Saya melihat Markeso, meloncat turun dan melayani para penumpang turun. Waktu itu, mungkin Markeso masih berusia 20-an. Ia sibuk mempersilakan penumpang turu, membantu menurunkan barang lalu sibuk menawarkan pada orang-orang yang barangkali akan ikut dalam angkotnya. Lalu tiba-tiba ia berpaling. Sejenak kami berpandangan. Lalu ia teruskan menawarkan angkotnya, dan saya meneruskan menata obat-obatan dagangan bapak. Tapi entah kenapa, setiap kali saya mendongak melihatnya, ia selalu juga sedang melihat saya.. Seterusnya, wajh Markeso selalu saya ingat dan setiap kali bapak berjualan di pasar itu, saya selalu berharap melihatnya lagi.

Tak sampai setahun saya pun menikah dengan Markeso. Kami keluar dari rumah bapak dan menyewa rumah bedeng yang murah di pemukiman padat. Markeso berhenti sebagai kernet angkot dan memilih menjadi pengamen. Dari hasil mengamen itulah kami hidup. Dan setahun kemudian lahirlah Ruba’i.

Kami pun cemas. Bagaimanakah kami harus hidup dari hasil mbarang Markeso dengan tambahan seorang bayi? Untuk hidup berdua kami, kadang makan hanya 2 kali/ entah dari mana pikiran itu datang, tiba-tiba kami memutuskan untuk menyerahkan Ruba’i pada orang yang bersedia memungutnya. Dan kebahagiaan kami pun pulih kembali begitu ada orang datang dan sangat berterimakasih kepada kami ketika mereka menerima Ruba’i.

Tapi sungguh kami tidak menjualnya. Memang, Pak Rus, yang memungut Ruba’i memberikan uang ungkapan kebahagiaannya pada kami. Tetapi, Pak Rus sendiri yang menyatakan itu hanya sebagian ungkapan kebahagiaan karena ia mendapatkan kesempatan dari Tuhan untuk bisa membesarkan seorang bocah. Dan kami pun berpesan agar nama Ruba’i tak diganti dengan nama lainnya.

Begitulah. Nasib Lastri pun sama ketika setahun kemudian adik Ruba’i itu lahir. Kami yang membayangkan nasibnya tidak bersekolah, makan dan pakaian yang tidak akan tercukupi, menyerahkan Lastri pada Bu Broto begitu usianya telah lebh dari tiga bulan. Orang-orang pun mengira terutama tetangga-tetangga kami, bahwa kami telah menjual anak-anak kami. Apalagi pada tahun berukutnya Gani lahir dan Pak Irham memintanya untuk membesarkannya.

Juga, ketika Fitri lahir, Alamsyah, dan Samsi pada tahun-tahun berikutnya. Ketiganya diminta oleh Pak Subandi seorang pengusaha oli yang anak-anaknya sudah besar semua.

Tetapi sungguh kami tidak menjual anak-anak kami. Kami selalu meminta agar mereka tidak mengganti nama anak-anak kami dan kami selalu tahu pada siapa anak-anak kami serahkan.

Anak ketujuh kami, Joko, kami serahkan pada pedagang koran, Pak Hasan namanya. Falhi, anak kedelapan kami serahkan pada Pak Badawi, seorang guru agama di SD kampung sebelah. Dewi diminta Ibu Kartika yang telah menjanda. Ningsih dan Ningrum anak kembar kami dibesarkan Pak Widodo dan Pak Alam. Sedangkan Anwar diminta oleh Pak Effendi, seorang pelaut.

Memang, terkadang ada saja dari mereka yang mengambil anak kami, tidak saja memberikan uang begitu mereka bawa anak-anak kami. Sering, ada saja yang telah memberikan kepada kami uang sejak bayi-bayi itu masih ada dalam kandungan. Mereka bilang, agar bayi yang saya kandung tidak kekurangan gizi sehingga saya harus menjaga makanan yang saya makan. Itu pengakuan mereka. Bapak-bapak dan ibu-ibu boleh tidak percaya. Tapi begitulah mereka mengatakannya kepada kami, setiap kali pada setiap bulan mereka memberikan uang itu ketika saya mengandung anak yang hendak mereka minta.

Begitulah kami mengandung anak-anak kami. Kami memberikan bayi-bayi kami kepada orang lain lantaran kami tahu, kami tak akan bisa menghidupinya. Kami tak akan pernah sanggup menyekolahkan, dan kami tak akan bisa mendidiknya sendiri. Kami bahkan tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya anak-anak kami besarkan pada lingkungan kami yang pepat oleh rumah-rumah bedeng kemiskinan kami. Kami sudah melihat apa yang terjadi dengan anak-anak tetangga kami; yang dekil, yang kurus, yang tak bersekolah, dan kami sudah tahu apa yang terjadi pada saat besarnya nanti.

Tetapi kenapa kami bisa beranak sampai 12, sampai 13, hanya kemiskinak kami yang tahu. Saya dan Markeso tak punya pekerjaan lain begitu maghrib tiba. Setiap kali pulang ngamen, Markeso tak akan pergi lagi. Dan kami hanya akan bersembunyi dalam bedeng gubuk kami. Kami jarang, atau malah tidak pernah bermain ke gubuk tetangga kami. Mengunjungi mereka lebih sering hanyalah mengunjungi sumpah serapah yang mengutuk nasib dan kehidupan. Berjalan-jalan ke pertokoan hanya akan tersiksa sebagaiamana, mungkin, tiba di neraka. Neraka bagi kami adalah menyaksikan melimpahnya barang-barang yang ditawarkan tanpa pernah bisa membelinya. Neraka bagi kami adalah kelaparan yang tak pernah lekang.

Dan Markeso, suami saya, adalah laki-laki yang tahu bagaimana membangun surga di dalam gubuk kami. (JIKA ADA TRANSISI TEATER BISA DIAWALI DI SINI). Tangan yang kasar, bau keringatnya yang sengak, mulutnya yang bertembakau, selalau saja bisa mendatangkan surga di bedeng kami yang pengap bila sudah berbaring di dekat saya.

Saya ingat benar, apa yang dikatakannya di suatu malam:
“Ram, sungguh buruk nasib kita. Bayangkan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua dan ak mampu lagi buat bekerja? Kita akan jadi tua bangka, nantinya.

Apakah akan ada yang ingat kepada kita, Ram? Satu saja dari 12 anak yang kita buang itu?
Kamu jangan marah, Ram. Tapi apalagi kalau bukan membuangnya? Memberikannya kepoada orang lain sama artinya dengan membuang. Meskipun, kita tetap meminta agar nama-nam anak-anak itu tidak diganti. Meskipun kita tahu dan hapal, siapa-siapa saja yang telah memungut anak kita. Tetapi, kita tetaplah melepaskan tanggungjawab itu. Atau, ka mu lebih suka aku menyebutnya menjual, Ram? Kamu lebih keberatan, kan? Meskipun kenyataannya kita tidak hanya menerima ucapan terimakasihnya dalam sejumlah uang, tetapi juga menerima uang belanja selama kamu hamil dan selama tiga bulan awal menyusui hanya agar bayimu tidak kekurangan gizi. Tapi apa kenyataannya, Ram? Kita juga menumpang makan dari uang membeli bubur dan susu itu.

Kita memang telah menjual bayi-bayi itu. Atau mungkin kita telah menjualnya. Tetapi sungguh, sekarang aku justru sangat ketakutan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua. Kita akan menjadi tua, Ram. Kita akan, menjadi tua bangka dan tidak punya siapa-siapa.

Tidak, Ram. Tidak.

Kita harus punya anak lagi, harus. Dan kita juga harus memeliharanya sendiri. Kita harus membesarkannya. Karena, karena aku tidak yakin 12 anak kita akan ada yang bersedia menerima kita pada waktu kita telah menjadi bangka. Ayo, Ram. Kau harus hamil. Harus hamil lagi. Dan kita harus berani memelihara anak sendiri. Kita harus membesarkannya. Kita akan menyekolahkannya, akan mengajarinya bermain, akan mengajaknya berjalan-jalan. Apapun yang kita punya.”

(WAKTU LEWAT DALAM HITUNGAN BANYAK BULAN. INI ZAMAN KETIKA RAMINTEN TENGAH MENGANDUNG ANAK KE-13. USIA PERUTNYA MUNGKIN 7 ATAU 8 BULAN. ANDAI TEATER DIPERMAINKAN SET BISA BERUBAH: AKU MEMBAYANGKAN PERISTIWANYA DI DALAM GUBUK BEDENG RAMINTEN. ADAPUN TOKOHNYA ADALAH MARKESO. WAKTUNYA SORE SEPULANG DARI MENGAMEN. JADI, MINIMALNYA, AKTOR MEMBAWA SATU ALAT YANG DIGUNAKAN MENGAMEN. SEMISAL, KEDANG KECIL. LALU MENGAMEN SEBENTAR DI WILAYAH PENONTON. JIKA SANGGUP, AKTOR BERIMPROVISASI SEBENTAR DENGAN PENONTON. TETAPI ANDAI TETAP DIPERTAHANKAN KONSEP AWAL SEBAGAI TEATER AUDITIF. MAKA YANG TERJADI DALAM SESAAT HANYALAH SEMACAM LAMPU PADAM. DAN KETIKA CAHAYA TUMBUH PENGADILAN ITU BERLANJUT.)

RAMINTEN:
Sore itu Markeso datang dengan wajah yang bungah. Aku sudah mendengar teriaknya sejak dari luar:

“Ram.., Ram..., Raminten..

Ini yang namanya rezeki nomplok. Aku bertemu dengan Mas-mas seniman. Jangan salah ucap lagi dengan “si Niman.” Aku ditraktirnya. Dibayari makan sepuasku, dan masih diberi duit. Sekarang kamu percaya, kan? Anak memang selalu membawa rezekinya sendiri. Aku juga menemukan nama untuk anak kita: Stambul. Kamu pengen ngerti apa itu Stambul? Itu artinya, sandiwara. Drama. Orang-orang pinter, mas-mas seniman itu, menyebutnya titer. Mas seniman tadi yang bilang. Jangan takut kalau nama itu membebani anak kita. Nanti kita selamati dengan tiga ekor ayam yang masih kita punya. Dengan selamat tiga ekor ayam pasti tidak akan ada aral yang melintangai Stambul. Kamu tahu, kan? Nabi Ibrahim? Nama Ibrahim memberikan sesaji satu ekor kambing untuk mengganti nyawa anaknya, Nabi Ismail. Nah, karena kita bukan nabi maka cukup ayam saja: tiga ekor.

Nama itu tentu akan membawa berkah. Kalau sudah besar, Stambul, Stambul akan menjadi seniman sandiwara. Titer. Tapi kalau nanti dia ternyata perempuan, aku lebih suka kalau dia menjadi penyanyi ndangdhut. Kita harus dibelikan teve agar bisa menonton dia.

Aku jadi tidak sabar menunggu 2 atau 3 bulan lagi. Tabungan kita rasanya cukup untuk membayar Bu Bidan. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Aku akan mengajarinya main kendang, menembang. Aku akan mengajarinya menari. Maka, kalau sudah besar dia akan menjadi...

(KALIMAT ITU TIDAK SELESAI. DAN RAMINTEN TERISAK. DI SINI TRANSISI UNTUK MASUK KE TOKOH STAMBUL.)

RAMINTEN:

Apa yang terjadi dengan Stambul setelah besar adalah apa yang tidak pernah kami harapkan. Bahkan, membayangkan pun, kami; tidak. Sore, apabila Markeso telah pulang dari mengamen, Stambul pastilah akan datang.

“Ram..., Raminten... Di mana Markeso? Aku sudah melihatnya pulang, tadi. Mar..., Markeso... Atu, uang itu sudah diberikan padamu? Mana? Mana? Berikan padaku! Kalau tidak kamu berikan padaku, kepada anakmu, akan kamu berikan kepada siapa hasil kerja bapakku? Atau kalian belum makan? Baik, kita bagi tiga uang itu. Aku minta bagianku, dan kalian ambil bagian kalian. Atau begini saja. Berikan uang itu semua padaku, nanti aku akan membelikan kalian makan malam ini. Daripada kalian harus keluar, naik-turun, tebing sungai ini, tentu hanya akan membuat kalian lapar lagi. Iya, kan? Nah, biarkan aku sekalian membelikan kalian makan untuk malam ini. Setuju, kan?

Ram, aku dengar dari para tetangga, kamu dulu menjual 12 kakakku selagi masih bayi. Kenapa itu tidak dilakukan lagi? Biar aku nanti yang mencari pembeli. Aku punya banyak kenalan. Dan aku dengar harga bayi sangat mahal sekarang. Malah, Ram, ada yang bisa menjualkan dengan harga yang lebih tinggi lagi bila kamu bersediah dioperasi selagi bayi itu berusia 3 bulan dalam kandunganmu. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya operasi itu, Ram. Kita hanya tinggal menerima harga bayi itu. Katanya untuk dibikin sop, atau diawetkan untuk diminum sebagai jamu. Kamu tidak tertarik, Ram? Hanya mengandung tiga bulan, Ram. Dan kit abisa pindah dari bedeng ini. Kamu tidak bosan tinggal di gubuk yang berdempet-dempet ini? Kamu tidak bosan terus melarat seperti ini? (Kere kok ra jeleh.) ah, aku yakin, Markeso pasti setuju. Di mana? Di mana Markeso sekarang?

Mar... Markeso... Mar. Kamu sembunyikan di mana Markeso? Tapi uang itu sudah diberikan padamu, kan? Mana, berikan padaku. Nanti aku belikan kalian makan, malam ini. Atau..., baik..., aku belikan juga makan sampai besok pagi. Bagaimana? Mana sekarang uangnya? Ayo, berikan. Berikanlah \ram. Aku kan anakmu.

Ram, aku memang pernah mencuri. Sering, malah. Aku juga kadang memeras. Atau, memaksa. Tapi, aku tidak mau melakukan itu pada kalian. Ayolah, Ram. Berikan uang itu padaku. Jangan paksa aku menjadi pemeras, atau penjahat pada kalian. Ram, meskipun orang-orang selalu mengatakan aku sama jahatnya denan kalian yang telah menjual kakak-kakakku, tapi aku tetap tidak ingin jahat pada kalian dengan memaksa kalian menyerahkan uang itu padaku. Kalian itu Ram, berikan uang itu padaku. Ayolah, nanti aku belikan nasi untuk malam ini, besok pagi, dan juga siangnya. Bagaimana? Ayolah, Ram. Jangan suruh aku untuk kasar padamu.

Ram, kalian tahu apa yang dikatakan orang-orang di luar? Mereka bilang, kalian; kamu dan Markeso, lebih jahat daripada aku. Mereka juga bilang bahwa kalian bodoh. Kata mereka, kalau dulu kalian membesarkan sendiri anak-anak kalian, kalian akan beruntung. Kalian bisa menjualnya ke luar negeri, sekarang. Dan kalian bisa terus menerima kiriman uangnya. Kata mereka, kalian bisa menjualnya sebagai babu, sebagai buruh pabrik, bahkan kalau perlu kalian bisa menjualnya sebagai pelacur.

Aku tidak bisa membayangkannya, Ram. Andai 12 kakakku kamu jual ke luar negeri. Apa yang akan terjadi pada kita saat ini, Ram? Aku pasti, sudah tentu, tidak perlu menunggu saban sore hanya untuk meminta uang Markeso yang hanya receh itu. Bayangkan, Ram, 12 anak dalam satu tahun. Kalau mereka mengirim satu juta saja satu orang sekali dalam satu tahun, kita sudah harus menghabiskan uang segepok itu setiap bulan. Itu hanya sekali mereka mengirimkan. Kalau setiap anakmu itu mengirimkan dua kali saja dalam satu tahun, apa kita tidak repot untuk menghabiskannya? Ah.., Markeso pasti tidak perlu bekerja seperti topeng monyet itu. Keliling kota, mengumpulkan recehan.

Markeso, pasti akan duduk-duduk setiap hari dengan rokok kreteknya yang berbau menyan itu. Atau, ah.., jangan-jangan dia akan kawin lagi. Beranak-pinak banyak, dan pasti dikualnya lagi.
Kita akan hidup enak, Ram, hanya dengan 12 kakakku yang mengirimkan uang bergiliran. Dasar, kamu memang bodoh, Ram. Dan karena kamu bodoh, maka kamu pun tidak mau memberikan uangmu padaku sekarang untuk kubelikan nasi. Mana? Di mana sebenarnya uang itu? Atau, aku harus mengambilnya sendiri? Kamu sembunyikan di mana? Di bawah tikar? Dalam besek pakaianmu? Atau kau simpan dalam kutangmu? Mana biar aku ambil sekalipun kau sembunyikan dalam celana dalammu.”

(ADA SESUATU YANG BERUBAH DI DALAM PANGGUNG).

Begitulah Stambul memaksa saya. Syukurlah, semenjak itu dia tidak kembali lagi. Dia tidak pernah pulang lagi. Tapi suaranya yang terus menuduh saya menjual kakak-kakaknya tak bisa saya lupakan. Dan malam itu, saya dan Markeso tak lagi bisa makan. Uang seharian Markeso mengamen telah dirampasnya. Semua.

Kepergian Stambul memang membuat kami lega, meskipun terkadang kami merasa kehilangan juga. Bagaimanapun Stambul adalah anak kami. Anak yang kami niatkan untuk kami asuh sendiri. Kami besarkan, dan kami harap untuk bisa merawat hari tua kami. Lambat-laun kami memang bisa melupakan dan mengikhlaskannya. Kami terkadang bersyukur tidak membesarkan sendiri ketiga belas anak-anak kami. Kalau yang terjadi adalah apa yang sudah dinasibkan pada Stambul pastilah rumah bedeng kami hanya akan menjadi sarang, perampas, pemabuk dan pelacur. Anak-anak kami.

Lalu datanglah peristiwa itu. Beberapa bulan setelah Markeso meninggal. Stambul datang. Dia meminta saya untuk menjadi tukan pijat Pak Prihartono. Saya tidak hanya menolaknya. Tetapi juga, dengan sangat terpaksa, mengumpatinya. Dan dia pergi.

Tetapi beberapa malam kemudian, dia tidak hanya meminta saya. Dia, bahkan, telah memaksa dan menyeret saya. Saya digelandang sampai rumah Pak Prihartono. Dan saya diseretnya sampai ke dalam kamar. Diseretnya.. Diseretnya saya...

Di dalam kamar itu saya tidak tahu berapa saya telah dijualnya. Tapi saya dengar apa yang dikatakan Prihartono pada Stambul:

“Brengsek. Aku bilang akan memberikanmu 250 ribu kalau yang kamu bawa perempuan muda. Tapi apa yang kamu bawa sekarang? Mayat tua. Apa matamu sudah tidak bisa membedakan perempuan muda dengan orang yang sudah bau tanah? Sekarang bawa uang itu kalau mau. Kalau tidak, bawa juga pergi nenek-nenek itu. Aku bisa minta orang lain mencari apa yang aku inginkan. Dasar goblok.”

Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kamar mandi itu. Saya seperti tidak bisa berpikir. Tidak bisa menalar. Ketika, saya lepas baju saya dan menuruti perintahnya untuk membersihkan diri.

Lalu terdengar suaranya lagi:

“Kenapa lama? Cepatlah keluar.”

Dan ketika saya keluar dari kamar mandi, saya tidak berani melihat matanya. Saya hanya bisa mendengar perintah-perintahnya:

“Stop. Berhenti di situ. Buka bajumu. Rokmu. Kutangmu. Celana dalammu. Berbaliklah. Aku ingin melihatmu dari belakang.

Nah, mendekatlah. Sekarang pijitlah aku. Kamu bisa memijat juga ternyata. Atau kamu sudah menyiapkannya? Karena menjadi pelacur tentu tak bisa selamanya? Pintar juga kamu punya otak. Kalau kamu mau, kamu bisa juga bekerja di sini. Kamu pasti bisa memasak, kan? Kerjamu hanya memasak, membersihkan rumah, menyeterika, dan memijit. Kamu tidak usah mencuci karena di sini sudah ada mesin cucinya. Berapa kamu minta dibayar setiap bulan? 150 ribu, mau? Aku juga akan mengijinkan kamu menerima panggilan memijat dari orang lain apabila aku tidak sedang ingin dipijat.

Ya, terus ke bawah. Jangan sungkan-sungkan. Aku juga ingin dipijat di bagian itu. Ayo! Kenapa berhenti? Pijatlah di mana saja aku ingin kau memijatnya. Aku telah membayarmu. Aku berhak menyuruh apa saja padamu. Aku bahkan berhak tidak hanya memintamu memijat. Aku bahkan berhak memintamu untuk melayaniku.”

(ADA PERKOSAAN PERSETUBUHAN YANG KASAR, DI SINI)

Lalu tiba-tiba Stambul datang. Saya sudah tidak bisa mendengar apa yang mereka percakapkan. Saya takut. Saya bingung. Saya sedih, marah tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang terjadi di situ tak bisa semuanya saya ingat.

Sesekali saya memang mendengar dan melihat Stambul menggertak dan meminta uang. Sesekali saya mendengar Prihartono yang membentak-bentak Stambul. Saya ingat Markeso. Andai dia masih hidup, aakah dia juga akan membiarkan saya digelandang Stambul?

Lalu saya mendengar kaca pecah. Ketika saya berpaling saya melihat Stambul bergulat dengan Prihartono. Saya tidak tahu bagaimana perkelahian itu terus terjadi. Pikiran saya kacau. Saya bingung. Saya sedih. Saya takut. Tapi juga marah. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin menangis tapi sudah tidak bisa. Saya ingin berteriak. Tapi saya telah kehilangan suara saya.

(RAMINTEN TERUS BICARA. TANGANNYA BERGERAK-GERAK. TAPI SUARA ITU TAK ADA. LAMPU MENYUSUT. HINGGA MENEMUKAN KELAM.)

Download lakon ini KLIK di sini

No comments:

Post a Comment