Panorama Novel dan Cerita Pendek Modern
Oleh Cecep Syamsul Hari
NOVEL berasal dari bahasa Italia, novella, yaitu sebuah prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks yang secara imajinatif berjalin-berkelindan dengan pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar (setting) yang spesifik. Perlu digarisbawahi bahwa pengertian fiksional itu sendiri senantiasa berkembang dari zaman ke zaman.
Dalam perkembangan sastra Barat (Eropa dan Amerika), novel telah menjadi genre sastra tersendiri dan dalam kerangka kerjanya yang luas berkembang ke dalam berbagai jenis, meliputi antara lain novel picaresque, gothic, historical, proletarian, psychological, sentimental, dan lain-lain. Jenis novel terkadang juga dirujuk melalui penandaan sejarah perkembangan kesusastraan yang ditandai pandangan dunia yang dominan pada masa itu tempat novel-novel yang menjadi wakil dari masing-masing pandangan dunia tersebut dominan pula pada masanya, seperti novel-romantik (masa ketika kaum Romantik dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra) dan novel-realis (masa ketika kaum Realis dan pandangan-pandangannya menempati posisi yang pernah ditempati kaum Romantik).
Meskipun bentuk-bentuk awal novel modern dapat ditemukan di sejumlah tempat, antara lain pada zaman Roma klasik, di Jepang pada sekitar abad ke-10 dan ke-11, dan pada masa Elizabethan di Inggris, novel Don Quixote de la Mancha (1605) karya pengarang Spanyol, Miguel de Cervantes[28], dipandang sebagai asal-muasal novel modern. Tema novel tersebut, mengenai pertentangan antara idealisme yang muskil versus kehidupan praktis dan membumi yang dihadirkan dalam karakter seorang kesatria konyol yang bahkan dengan kincir angin pun bertarung, dipercaya menjadi referensi literer novel-novel Barat sesudahnya.
Sejumlah novel yang memikat perhatian diketahui telah bermunculan di Perancis pada abad ke-17; akan tetapi di Inggris-lah novel sebagai suatu genre sastra meletakkan dasar-dasar literernya melalui karya-karya novelis Daniel Defoe[29] dan Samuel Richardson[30] pada pertengahan abad ke-18, sekaligus memapankan posisi novel sebagai genre sastra yang memiliki akar literer kuat. Popularitas novel kemudian menjadi umum di Eropa hingga memasuki abad ke-19 ketika ia berkembang bukan saja sebagai karya prosa naratif fiksional semata-mata tetapi tumbuh sebagai bentuk karya sastra dengan variasi tema, karakterisasi, plot, latar, dan gaya yang berbagai-bagai dan luar biasa.
Novel menjadi karya yang memikat perhatian banyak orang karena dapat memberikan pencitraan dan perlambangan yang lebih meyakinkan (a more faithful image) dari suatu realitas kehidupan sehari-hari daripada yang dapat dilakukan genre sastra lainnya. Bahkan pun fantasi-fantasi extravagant novel-novel gothic dan science-fiction, sumber-sumber inspirasinya dapat dilacak dari permukaan realitas kehidupan sehari-hari. Kepercayaan terhadap takhyul dan alam supranatural komunitas masyarakat tertentu, misalnya, menjadi sumur imajinasi novel-novel gothic sedangkan kepercayaan terhadap suatu masa depan “yang mungkin lebih baik sekaligus mengancam” menjadi oase imajinasi novel-novel science-fiction. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa di kemudian hari para sineas Hollywood mengeksploitasi profitasi kedua jenis novel ini dengan mengangkatnya ke layar perak, seperti yang mereka lakukan terhadap karya-karya Marey Shelley (Frankenstein, 1818), Bram Stroker (Dracula, 1879), dan H.G. Wells (The Island of Doctor Moreau, 1896).
Pada dasarnya perkembangan novel menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah tarik-menarik antara upaya si pengarang untuk keluar atau menyebal dari konvensi-konvensi mapan sebuah zaman dan upaya untuk terus-menerus menangkap, mengolah, menilai, melukiskan tanpa pretensi atau bahkan melecehkan spirit zaman itu. Inilah yang menjelaskan kenapa novel-novel realis dan naturalis bermunculan pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, sebuah zaman ketika karya sastra menemukan audiensnya yang sangat luas dan media massa belum begitu berperan. Pada masa inilah Charles Dickens, Thackeray dan George Eliot menulis di Inggris; Balzac, Gustave Flubert dan Emile Zola di Perancis; Turgenev, Tolstoy dan Dostoevsky di Rusia; Nathaniel Hawthorne dan Herman Melville di Amerika. Novel menjadi referensi jurnalistik untuk mengungkapkan realitas yang bersembunyi di tempat-tempat gelap karena sempadan hipokrisi moralitas dan kesantunan semu aristokratis.
Dengan datangnya abad ke-20 dan akibat-akibat yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa itu, khususnya Perang Dunia I dan II, karakter dalam novel pun menjadi semakin kompleks dan konvensi-konvensi lama yang secara kuat direpresentasikan dalam bahasa dan struktur novel sebelumnya, dipertanyakan. Hal itu antara lain dilakukan James Joyce, Virginia Woolf dan Franz Kafka, para penulis yang memeriksa kembali bagaimana realitas diletakkan “novel-novel konvensional” karena kesetiaan terhadap konvensi-konvensi sastrawi lama. Pada masa yang sama dalam penulisan drama (plays), Luigi Pirandello melakukan apa yang dilakukan Joyce dan Woolf dalam novel; dan di wilayah kesenian yang lain, Igor Stravinsky membongkar konvensi-konvensi lama musik klasik dan menulis sejumlah komposisi dengan karaktrer baru yang menyebal dari “persoalan abadi” pertentangan antara harmoni dan disonansi, tonalitas dan atonalitas, seraya mengedepankan konsep estetik baru, suatu konsep tentang bunyi yang disusun kembali dari horison kreativitas yang antara lain dapat kita simak dalam Le Sacre du Printers dan Symphony in Three Movements.
Di Indonesia, novel-novel awal yang terbit pada zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru dan masa-masa sesudahnya seperti yang misalnya terlihat dalam karya-karya Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer hingga karya-karya Mangunwijaya, Umar Kayam dan Ahmad Tohari, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah tarik-menarik itu. Kita juga menemukan kenyataan adanya pencarian konvensi-konvesi baru sebagai upaya keluar dan menyebal dari konvensi-konvensi sastrawi lama seperti terlihat pada novel Belenggu Armijn Pane, yang dapat dikatakan sebagai tonggak novel Indonesia modern, dan pada novel-novel yang ditulis Iwan Simatupang dan Budi Darma.
***
Cerita pendek (cerpen) adalah prosa naratif fiksional yang relatif ringkas untuk membedakannya dengan bentuk prosa naratif fiksional lain yang lebih panjang, misalnya novel. Cerpen biasanya hanya memiliki efek tunggal (a single effect) yang disampaikan melalui sebuah episode atau adegan tunggal yang penting (a single significant episode or scene) dan melibatkan karakter (tokoh) yang jumlahnya terbatas, tak jarang cuma satu karakter. Dari segi bentuk, cerpen biasanya memiliki latar yang ekonomis dan narasi yang ringkas; karakternya disingkapkan dalam suatu tindakan dan persinggungan dramatik tetapi tak dikembangkan secara penuh. Berdasarkan bentuknya yang terbatas dan ringkas itu, cerpen pada umumnya lebih memberikan penekanan pada penciptaan suasana daripada menyampaikan suatu cerita yang lengkap.
Meskipun orang telah mengenal fabel dan roman-roman ringkas Yunani serta kisah Seribu Satu Malam, hingga abad ke-19 cerpen belum menjadi genre sastra tersendiri hingga munculnya karya Edgar Allan Poe[31], Tales of the Grotesque and Arabesque, yang sangat berpengaruh tidak saja di Amerika Serikat tetapi juga di Eropa, khususnya di Perancis. Orang pertama yang dipandang menyempurnakan teknik penceritaan genre sastra ini adalah Guy de Maupassant.[32] Selain pengarang Perancis itu, para pengarang Eropa dan Amerika yang keterampilan teknisnya menulis cerpen menjadi rujukan antara lain: Ernest Hemingway, Anton Chekov, Fyodor Dostoevsky, O. Henry, W. Somerset Maugham. Selain itu, dapat pula disebut Saki[33] dan Virginia Woolf[34]. Sebuah buku yang dapat dipertimbangkan untuk persentuhan pertama dengan karya-karya utama pengarang Amerika dari masa seratus tahun tradisi sastra negara itu, mulai dari Mark Twain dan O. Henry hingga Stephen Overholser dan Clay Fisher, adalah buku yang disunting Bill Pronzini dan Martin H. Greenberg.[35]
Jika Chairil Anwar meletakkan dasar-dasar puisi modern; Armijn Pane melakukannya dalam penulisan novel; maka Idrus dapat dipandang sebagai peretas cerpen modern di Indonesia. Pada era sesudahnya cerpen berdiri sama kuatnya dengan genre sastra lain, yaitu puisi dan novel. Novelis-novelis di Indonesia, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Umar Kayam dan Budi Darma, pada umumnya juga menulis cerpen dan novel sama kuatnya.
Sebagian penyair Indonesia kadang-kadang menulis (dan menerbitkan buku) cerpen juga, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Isbedi Stiawan ZS, Moh. Wan Anwar, Nenden Lilis A, Soni Farid Maulana. Sementara Beni Setia adalah penyair yang kemudian lebih dikenal sebagai penulis cerpen. Oka Rusmini dan Abidah El-Khalieqy adalah penyair yang juga dikenal sebagai penulis cerpen dan novelis. Ada penyair yang mengaku sama sekali tidak bisa menulis cerpen, misalnya Goenawan Mohamad. Ada juga pengarang yang dari waktu ke waktu lebih mendahulukan menulis cerpen daripada sesuatu yang lain, seperti yang dilakukan A.A. Navis, Fudoli Zaini, Hamsad Rangkuti, Muhammad Ali, Satyagraha Hoerip, Trisnojuwono, Danarto, Seno Gumira Adjidarma, Gus tf, Joni Ariadinata, Agus Noor, Bre Redana, Prasetyo Utomo, Hudan Hidayat, Jenar Mahesa Ayu, Yanusa Nugroho, meskipun sebagian dari mereka juga menulis novel.
Pada lebih dari satu dasa warsa terakhir, cerpen, seperti juga puisi, tumbuh pesat seiring dengan bermunculannya kolom budaya surat kabar yang menyediakan rubrik khusus untuk kedua genre sastra itu, berdampingan dengan majalah sastra Horison yang telah melahirkan banyak penyair dan pengarang cerpen kenamaan sejak pertengahan tahun 1960-an. Sementara itu, kegairahan menulis novel sampai akhir tahun 1990-an berlangsung biasa-bisa saja dan mungkin itu pula yang menyebabkan kenapa ketika sebuah novel baru diterbitkan, dari pengarang lama maupun baru, perhatian orang begitu besar. Itulah yang terjadi pada Olenka dan Ny. Talis Budi Darma, Bumi Manusia dan Arus Balik Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar Mangunwijaya, Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, Para Priyayi Umar Kayam, hingga Saman Ayu Utami.
Sejak awal tahun 2000-an penerbitan novel di Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat dan para novelis berbakat pun bermunculan, misalnya, untuk menyebut beberapa nama: Dewi Lestari, Eliza Vitri Handayani, Eka Kurniawan, Dewi Sartika, Ratih Kumala. Pada sisi yang lain, gairah penerbitan novel di Indonesia pertengahan pertama tahun 2000-an diramaikan pula dengan bertaburannya novel-novel teenager yang memiliki ciri-ciri arbitrasi yang seragam (homogeny arbitrary), baik dari aspek lingkungan sosial, kultural, psikologis, maupun lingkungan kebahasaan. Segi struktur novel-novel teenager yang cenderung ringan (light) ini, meskipun di sana-sini mengundang kritik dan polemik, memperlihatkan resepsitas yang tinggi di kalangan para pembaca yang menjadi sasaran-pasarnya.
***
Tidak ada cara yang lebih baik dalam mengapresiasi novel dan cerita pendek selain dengan sebanyak-banyaknya membaca novel dan cerita pendek. Pengetahuan atas struktur novel dan cerpen itu hanya diperlukan sebagai pengantar ke arah pengoptimalan cara baca kita terhadap kedua genre sastra itu. Tulisan ini akan sedikit menyinggung struktur intrinsik yang umum diketahui, yaitu tema, karakterisasi, plot, latar dan gaya.
Tema adalah ide sebuah cerita. Pada saat menulis cerita, pengarang bukan sekadar ingin bercerita tetapi juga menyampaikan sesuatu kepada pembacanya yang dapat berupa masalah kehidupan, pandangan hidupnya atau penilaiannya terhadap kehidupan. Pada karya yang berhasil, tema tersembunyi dalam tindakan-tindakan, pikiran-pikiran, dan ucapan-ucapan tokoh yang diciptakan pengarang. Tema tidak harus berwujud ajaran moral (seperti yang dipercaya para penganut mazhab lama kesusastraan) tetapi bisa semata-mata berwujud pengamatan pengarang atas kehidupan. Tema dalam karya-karya besar novel modern seringkali sederhana saja. Novel Boris Pasternak, Doctor Zhivago, misalnya, temanya adalah percintaan antara Yuri (Zhivago) dan Lara (Larissa). Perjalanan cinta mereka dibingkai latar peristiwa besar, yaitu revolusi Rusia. Tema yang sama dapat kita temukan dalam novel Ernest Hemingway, A Farewell to Arms. Hanya, dalam novel yang disebut terakhir, latarnya adalah Perang Dunia I. Pada kedua novel yang mengantarkan para pengarangnya meraih hadiah Nobel tersebut, sebagai pembaca kita dilibatkan ke dalam konflik dalam maupun konflik luar tokoh-tokoh utama yang mempengaruhi perjalanan dan akhir kehidupan mereka.
Karakterisasi adalah perwujudan atau representasi watak atau personalitas manusia dalam cerita fiksi. Pada novel-novel modern terdapat kecenderungan untuk memberikan penekanan pada perwatakan tokoh (karakter). Karakter dalam novel-novel modern, baik watak psikologis maupun sosialnya, biasanya kompleks. Yang dimaksud watak psikologis adalah struktur jiwa tokoh yang bersangkutan yang terkadang aneh, luar biasa, dan mengejutkan. Misalnya, seperti yang diperlihatkan pembukaan novel Notes from Underground (Dostoevsky) berikut ini: “I am a sick man… I am a spiteful man. I am an unattractive man. I believe my liver is diseased.” Membaca pembukaan novel itu saja sudah dapat dibayangkan kira-kira kita akan mengikuti karakter kehidupan macam apa. Watak psikologis yang dimiliki sang tokoh akan membimbingnya pada watak sosial yang dijalaninya dalam kehidupan ketika karakter yang bersangkutan bertemu, bersentuhan, bersinggungan dan melakukan relasi sosial dengan karakter-karakter lainnya. Pada novel-novel psikologis, Dostoevsky dipandang sebagai pelopornya, perhatian pengarang yang memberikan penekanan pada watak psikologis tokoh-tokohnya sangat terlihat. Di Indonesia, Budi Darma, pengarang beberapa novel psikologis yang kuat, adalah contoh yang baik dari bagaimana seorang pengarang membentuk watak psikologis tokoh-tokohnya.
Sementara itu, karya-karya Umar Kayam mengedepankan sejumlah karakter yang diangkat dari studi mendalam terhadap manusia dari lingkungan kultural yang dekat dikenalnya, seperti tampak dari karakter Marno (“Seribu Kunang-kunang di Manhattan”), Sri (“Sri Sumarah”), Tono (“Musim Gugur Kembali di Connecticut”) atau Lantip (Para Priyayi).
Secara teknis, pengarang melukiskan karakter dalam novel dengan lima cara: perbuatan tokoh, ucapan-ucapan tokoh, penggambaran fisik tokoh, pikiran-pikiran tokoh, dan keterangan langsung pengarang. Dalam novel, kelima cara itu digunakan secara optimal. Dalam penulisan cerpen, cara yang satu biasanya lebih ditonjolkan dari cara yang lain.
Plot adalah rencana atau cerita utama suatu karya sastra dan disebut pula sebagai struktur naratif. Dalam sejarah kritik kesusastraan, pengertian tentang plot telah mengundang banyak perdebatan. Dalam Poetics[36], Aristoteles menekankan pentingnya plot dan menyebutnya sebagai “jiwa” (soul) dari suatu tragedi. Apa yang disebut plot dalam cerita pada dasarnya sulit dicari. Ia tersembunyi di balik jalan cerita (narasi). Akan tetapi, jalan cerita bukanlah plot melainkan manifestasi atau bentuk jasmanih plot. Menurut E.M. Forster[37] dalam Aspects of the Novel, plot membutuhkan suatu level pengorganisasian naratif yang sangat tinggi daripada yang misalnya biasa diperlukan dalam cerita-cerita fabel. Jalan cerita, menurut Forster, adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun di dalam rangkaian-waktu peristiwa-peristiwa itu (narrative of events arranged in their time-sequence) tempat plot mengorganisasikan peristiwa-peristiwa itu dalam kerangka pengertian hubungan sebab-akibat (sense of causality). Dengan demikian, plot dan narasi memiliki pengertian yang berbeda meskipun kedua pengertian tersebut sering dikacaukan. Narasi memuat peristiwa-peristiwa dan plot menggerakkan peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Aristoteles menyebut plot sebagai jiwa dari suatu tragedi, kita dapat mengatakan bahwa plot adalah jiwa dari suatu narasi.
Narasi mengandung perkembangan peristiwa di dalamnya dan yang menyebabkan perkembangan peristiwa tersebut adalah konflik. Dengan demikian, intisari plot adalah konflik. Konflik dalam novel tak bisa diperikan begitu saja dan mesti ada dasarnya. Karena itulah plot sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut: pengenalan, timbulnya konflik, puncak konflik, dan akhir konflik—yang dapat berupa klimaks maupun antiklimaks.
Latar adalah bingkai (frame) waktu, peristiwa atau lokasi tempat narasi (jalan cerita) berlangsung. Dalam novel modern latar disusun pengarangnya menjadi unsur narasi yang penting. Dalam sebuah narasi, latar berjalin-berkelindan dengan tema, karakterisasi dan plot. Bagi sejumlah pengarang, susunan dan perilaku tokoh yang ia ciptakan bergantung pada lingkungan tempat tokoh itu berada dan diperlakukan sama pentingnya dengan personalitas tokoh itu. Sebagai contoh, latar bagi Emile Zola[38], novelis dan kritikus Perancis pendiri gerakan naturalis, merupakan bagian sangat penting karena dia percaya bahwa lingkungan (environment) menentukan watak seseorang. Pandangannya dibuktikan dalam novelnya, Theresa. Kebetulan pada masa yang sama dalam kriminologi berkembang “mazhab lingkungan” yang beranggapan bahwa lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap menjadi jahat atau saleh seseorang. Teori ini lahir sebagai kritik atas teori Lambrosso di Italia yang beranggapan watak jahat diturunkan secara genetik dan bahwa ciri-ciri orang jahat dapat dilihat dari bentuk fisiknya.
Latar juga menunjukkan aspek-aspek yang lebih terperinci dari waktu, peristiwa atau lokasi. Jika berbicara tentang tempat, misalnya, maka ia mestilah menunjukkan pula anasir lain yang hakiki dari tempat tersebut, seperti cara berpikir penduduknya, kekhasan pakaian atau cara hidup mereka. Membaca karya-karya R.K. Narayan, novelis dan pengarang cerpen India, kita akan dipertemukan dengan pengetahuan mendalam pengarang yang bersangkutan terhadap kota tempat tinggalnya (yang ia samarkan dengan nama “Malgudi”). Graham Greene, novelis Inggris, mengaku bahwa ia mengenal India karena ia membaca karya-karya R.K. Narayan.[39]
Ahmad Tohari lewat Ronggeng Dukuh Paruk berhasil melukiskan prototype desa kecil di Jawa; Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik merekonstruksi kota Blambangan abad ke-15 dengan memikat; tak kalah memikat pula, Eiji Yoshikawa, dalam Taiko, melukiskan latar kerajaan-kerajaan di Jepang pada abad yang sama dengan Arus Balik; dan latar yang dipilih Budi Darma dalam novel Olenka dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington sangat mendukung tokoh-tokoh kesepian yang diciptakannya.
Dalam novel yang berhasil, latar terintegrasi dengan tema, karakterisasi, gaya, maupun kaitan filosofis genre sastra itu dengan realitas. Latar tidak bisa dipaksakan. Demikian pula apa yang sering disebut-sebut para kritikus sastra sebagai “warna lokal”. Dalam novel, latar dan warna lokal muncul secara alamiah berjalin-berkelindan dengan karakter-karakter yang dihadirkannya. Oleh sebab itulah mencoba-coba mengubah latar Perang Dunia I dalam A Farewell to Arms dengan latar Perang Dunia II, misalnya, akan menyebabkan novel tersebut kehilangan kesatuannya. Demikian pula apabila latar pertempuran dalam cerpen-cerpen Trisnoyuwono diganti dengan latar lain, cerpen-cerpennya akan kehilangan kesatuannya; akibat yang sama akan terjadi jika kita mengubah latar “serba Betawi” yang riuh dalam cerpen-cerpen S.M. Ardan dengan latar keramaian Pasar Beringharjo, Yogayakarta.
Menjadi jelaslah bahwa pemilihan latar dapat membentuk tema atau plot tertentu. Contoh dalam novel-novel Indonesia mutakhir adalah pemilihan latar kehidupan tokoh-tokoh dari generasi in-between yang dilakukan Ayu Utami dan Dewi Lestari yang dengan sendirinya membentuk tema dan plot yang khas, baik dalam Saman dan Larung maupun Supernova dan Akar. Begitu pula latar kehidupan tokoh-tokoh dari masa depan yang diangkat Eliza Vitri Handayani dalam Area X, dan latar kehidupan tokoh-tokoh dari masa silam yang dihadirkan Eka Kurniawan dalam Cantik Itu Luka, membentuk tema dan plot yang tak kalah khasnya.
Dalam buku-buku pelajaran kesusastraan di Indonesia sering disebut-sebut tentang gaya yang lazimnya dikupas dalam judul “Gaya Bahasa”, lengkap dengan menyebutkan contoh penggunaan gaya bahasa itu, seperti: personifikasi, metafora, peyoratif, amelioratif, totem pro parte, asosiasi, hiperbola, repetisi, dan lain-lain. Pembicaraan tentang gaya bahasa biasanya kerap dilakukan ketika membahas karya-karya para sastrawan Indonesia masa Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Memasuki periode 1945 dan sesudahnya, memperbincangkan “gaya” dalam pengertian “gaya bahasa” tidak lagi memadai. Pengertian gaya telah berkembang menjadi sangat luas meliputi bagaimana si pengarang menggunakan kalimat, dialog, dan detail; bagaimana cara ia memandang persoalan; dan bagaimana ia memilih bentuk dan teknik penulisan novelnya.
Menurut pengertian kesusastraan, gaya atau style (berasal dari bahasa Yunani: stilus) adalah cara berekspresi yang lain daripada yang lain (a distinctive manner of expression) yang membedakan satu pengarang dengan pengarang lainnya meskipun menjadi sesuatu yang biasa pula manakala kita menemukan keserupaan gaya antara satu pengarang dengan satu atau banyak pengarang lainnya.
Dalam penggunaan kalimat ada pengarang yang sering menyampaikan ceritanya, baik novel atau cerpen, dengan kalimat-kalimat pendek atau panjang, kompleks atau sederhana. Gabriel Garcia Marquez dalam Tumbangnya Seorang Diktator menggunakan kalimat-kalimat panjang dengan banyak sekali koma dan titik koma; Saki, pengarang Inggris kelahiran Birma menulis cerpen-cerpennya dengan kalimat-kalimat sederhana dan pendek-pendek, demikian pula Anton Chekov, Rudyard Kipling, Idrus, dan Mochtar Lubis; namun Guy de Maupassant, Virginia Woolf, A.A. Navis, Milan Kundera, Pramoedya, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, menggunakan kalimat-kalimat panjang atau pendek secara berirama; sedangkan kalimat-kalimat panjang atau pendek atau kedua-duanya sekaligus yang bertendensi filsafat dapat ditemukan antara lain pada karya-karya Iwan Simatupang.
Namun demikian, gaya bercerita karya-karya besar dunia biasanya sederhana, enak dibaca, kaya, dan padat.
Sifat ekonomis atau pemborosan dalam cerita juga merupakan unsur gaya. Ada pengarang yang suka memperpanjang cerita, boros dengan kalimat dan kadang-kadang kalimat yang satu hampir sama artinya dengan kalimat yang lain; para novelis Jepang seperti Kawabata Yasunari, Natsume Soseki, Yukio Mishima, Kenzaburo Oe, Kobo Abe (dilakukan pula sejumlah pengarang Jepang generasi sesudahnya yang besar di negeri lain, seperti Kazuo Ishiguro) menggunakan pengulangan-pengulangan kalimat yang dianggap perlu secara sengaja justru untuk memperoleh efek estetika tertentu; ada juga pengarang yang betul-betul hemat dengan kata-kata dan menggunakan kalimat yang perlu dan fungsional saja.
Yang juga menjadi ciri dari gaya seorang pengarang adalah penggunaan dialog sebagai unsur utama jalan cerita. Umar Kayam termasuk yang sangat efektif menggunakan kekuatan dialog sebagaimana Ernest Hemingway juga melakukan hal serupa dalam karya-karyanya. Baik Kayam maupun Hemingway membangun karakterisasi dan suasana melalui ucapan-ucapan tokoh-tokohnya. Pengarang yang belum berpengalaman dengan teknik ini tetapi dengan keras kepala mencobanya sering menjerumuskan ceritanya sendiri menjadi artifisial dan dibuat-buat.
Penggunaan detail juga merupakan gaya pengarang. Dalam puisi, di Indonesia, para penyair yang sangat teliti menggunakan detail dalam baris-baris sajaknya adalah Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono; Idrus dan Hamsad Rangkuti dalam cerpen; Pramoedya Ananta Toer dalam novel; Umar Kayam dan Ahmad Tohari dalam novel maupun cerpen. Virginia Woolf sangat memperhatikan detail pada hampir semua cerpennya. Penggunaan detail ini juga digunakan Franz Kafka bahkan sejak kalimat awal novelnya seperti dalam petikan pembukaan The Trial berikut ini: “Someone must have been telling lies about Joseph K., for without having done anything wrong he was arrested one fine morning.”
Penggunaan kata-kata, baik kasar, halus, spontan, terjaga atau konvensional, merupakan ciri dari gaya seorang pengarang pula; penyair Sapardi Djoko Damono dan Saini KM terkenal dengan pilihan katanya yang halus dan konvensional; puisi-puisi Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad, novel-novel Pramoedya Ananta Toer dan Budi Darma, dan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, terkenal dengan kata-katanya yang terjaga; sementara pada karya-karya Mangunwijaya, Darmanto Jatman, Beni Setia, Joni Ariadinata, kita menemukan penggunaan kata-kata yang terkesan kasar atau spontan atau kedua-duanya.
Banyak pembaca karya sastra menyediakan dirinya sendiri untuk tergila-gila pada karya pengarang tertentu; pada dasarnya mereka terpikat pada gaya si pengarang itu. *
(Versi lengkap esai “Passion for Novel” ,
Kompas, 31 Juli 2005)