Showing posts with label Teori Sastra. Show all posts
Showing posts with label Teori Sastra. Show all posts

Thursday, February 28, 2013

Sastra Kontekstual

Tempat Domisili Seorang Sastrawan
Oleh: Beni Setia


Salah satu gema polemik yang tertinggal dari gairah berkesusastraan pada dekade 80-an kemarin adalah gagasan sastra kontekstual. Secara konsepsi gagasan sastra kontekstual ini menekankan pentingnya kesadaran seorang sastrawan, yang ber-domisili di satu tempat yang kongkrit, dan karenanya menyadari situasi sosial-politik dari tempatnya berdomisili, dan lalu meresponnya. Responnya itu bisa bermakna menandai ketidakadilan sosial, struktural atau nonstruktural, menandai pelaku-pelakunya, dan melakukan penandaan deskriptif dan/atau pemihakan dengan meluncurkan teks kritik atau teks emansipatorik.

Bagi saya sendiri, masalah yang kemudian muncul adalah konsepsi tentang domisili dari kesadaran si sastrawan itu sendiri. Bagi saya, seorang sastrawan tak hanya tinggal, misalnya, di Cimelas, dan karenanya mengamati dan menyimpulkan tatanan struktural sosial-politik masyarakat Cimelas yang memelas di dalam karyanya. Sehingga ia hanya bisa menjadi sastrawan Cimelas - dan karena Cimelas itu bagian dari Indonesia maka ia menjadi sastrawan Indonesia yang kontekstual menghadirkan potret Cimelas. Tapi ia bisa memilih Cimarahmay atau Ciramohpoy yang unik, dan melakukan penelitian partisipasif sehingga ia memahami situasi struktural dari Cimarahmay atau Ciramohpoy secara empatik, lantas menuliskan teks sastra.

Dengan kata lain, yang utama itu bukan domisili dan konteks tapi lokasi dan penelitian partisipasif empatik. Dan semua sastrawan, terutama yang menulis dalam genre sastra prosa, yang menekankan pentingnya faktor setting yang kongkrit bagi pengembangan karakter dan konflik [cerita], terbiasa melakukan penelitian partisipasif empatik tentang detil wilayah dan budaya dari setting yang dipilihnya. Mereka meneliti agar paham akan detil wilayah, budaya dan kebiasaan sosial, mereka melakukan pencocokan wilayah, ciri budaya dan kecederungan sosial setempat, dan karenanya mereka meneguhkan ciri wilayah, corak budaya setempat, dan ilustrasi umum kecenderungan sosial. Mereka melakukan penelitian tertutup, tak terang-terangan melakukan penelitian yang ketat dengan pola dan metoda ilmu sosial. Disebabkan mereka hanya ingin bercerita dan bukan meneliti atau menghadirkan gambaran penelitian yang valid lewat aliran cerita.

Gagasan sastra kontekstual itu sendiri sebenarnya bias, karena berpijak di dua daerah yang berbeda. Sastra yang selalu ada di wilayah fiksi tidak bisa ditarik untuk berserius melakukan pemahaman tematik cerita secara faktual dengan penelitian yang ketat khas ilmu social. Sekaligus pemihakan dan simpati humanistik yang dijadikan motor penelitian dan motif penulisan karya sastra, akan melahirkan gambaran yang berbeda ketika diluncurkan untuk melakukan penelitian dan laporan pene-litan yang bisa diverifikasi secara ilmiah, dengan ketika dipakai untuk menghidupkan cerita secara empatik. Logika dan bahasa, metoda dan displin [kerja] di antara keduanya amat berberda, dan harus tetap berbeda agar semakin jelas mana perbe-daan di antara keduanya. dan, akibatnya, [tentu saja] efek akibat membacanya pun akan berbeda. Yang satu deskriptik dan diharapkan emansipatorik menggugah, se-dangkan yang lainnya imajinatif dan diharapkan melahirkan simpati yang empatik.

Selain itu, pada kenyataannya, tempat domisili seorang sastrawan itu tak cuma tempat bernama Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin, atau Gunung Puntang. Sekaligus mobilitas seorang sastrawan itu tidak hanya gerak insidentil dan reguler antara Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ran-ca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Tidak hanya yang ber-sipat real dan kongkreit bisa didatangi setiap orang. Ia juga hidup dalam bacaan, sehingga sewaktu-waktu ia bisa pergi ke Cijulang di dalam alam pikir dan teks Rachmat M. Sas. Karana. Atau Cindulang seorang Aam Amalia. Atau Italia dalam teks Acep Zamzam Noor. Amerika wildwest dalam teks Karl May. Ingris masa lalu dalam teks Charles Dicken atau Conan Doyle. Dan panorama Cina klasik dalam teks Kho Ping Hoo. Panorama Jawa klasik dari teks ketoprak, teks SH Mintardja atau Bastian. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Itu tempat untuk berdomisili yang sama kongkrit dan inspiratifnya dengan se-gala tempat yang bernama Cimelas, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Belum lagi teks-teks yang ketat dari hasil penelitian sosial, etnografi, antropologi, dan/atau hanya catatan perjalanan dan kisah biografi dan oto-biografi yang terserak di rak-rak buku non-fiksi perpustakaan umum. Itu satu tempat, baik yang real atau yang hanya berupa impresi, baik yang ada di masa sekarang kini atau yang hanya di masa lalu dan telah musnah hanya tinggal kenangan, yang selalu dikunjungi oleh seorang pengarang. Ke mana dan di mana ia melakukan penelitian fiksional atau faktual tak ketat untuk menentukan lokasi, setting, memperkaya karakter dengan ciri budaya dan kecenderungan sosial, dan seterusnya, yang bersipat sangat monokultural. Terkadang ia hanya merujuk ke satu lokasi, dan mencampurkan type karakter dari lokasi lain, dan mempertemukannya dengan ekspresi ciri budaya yang lain, dan karenanya membangun setting yang sangat multi-kultural. Mana bisa, mana suka di alam kebebasab serba mungkin.

Fenomena itu menyebabkan saya sadar bahwa seorang sastrawan bisa pergi ke mana saja dan bisa bermukim di mana saja - meski secara fisik tinggal di Parong-pong. Sekaligus ia sesungguhnya bisa menulis tentang apa saja, secara bagaimana saja, dengan memanpaatkan penelitian partisipasif dan pemahaman empatik tentang konteks tempat berdomisili secara fisik dan mental - selain kemungkinan yang ber-sipat teramat fantasi dan imajinasi. Karena itu seorang sastrawan yang melulu menulis tentang Landeuh Jugala karena lahir di Landeuh Jugala, bagaimana bagusnya pun ia sebenarnya hanya katak dalam tempurung. Meski kelasnya lebih baik dari si remaja yang melulu menulis sajak cinta karena baru jatuh cinta. Seorang sastrawan adalah yang melakukan penjelajahan. Pramudia Ananta Toer, misalnya, dengan Surabaya di masa kolonial. Saini KM, misalnya, dengan para Puragabaya sebagai pa-sukan pilihan di masa Pajajaran akhir. Budi Darma yang memotret manusia kota kesepian Amerika Serikat dalam Orang-orang Bloomington dan Olenka. Atau Ayu Utami, yang memotret kondisi di kilang minyak, Dumai, Blitar, dan New York dalam Saman dan Larung. Kho Ping Hoo yang gentayangan di Cina padahal ia belum ke Cina sebelum menulis epos Bu Pun Su. Dan seterusnya.

Konsekuensi dari semua itu, pada akhirnya, tak mungkin adalah istilah sastra-wan Bandung, sastrawan Jogja, atau sastrawan Surabaya. Karena konsekuensi dari penyebutan itu adalah harus adanya seorang sastrawan Cebek no. 74, RT 01 RW 02, Desa Karamat Mulya, Kecamatan Soreang, dan Kabupaten Bandung sebagai kon-sekuensi ekstrim dari terma sastrawan Bandung - yang hanya mau ditarik ke atas, ke sastrawan Jawa Barat, Indonesia, dan reginal Asean. Yang ada adalah sastrawan Ohoy atau Ehem, yang menulis di dalam bahasa Sunda atau bahasa Indonesia, dengan cerita yang bersetting monokultural Sunda atau multikurtural seorang Sunda di wilayah perbatasan (budaya) Jawa Mataraman dan Jawa Surabayaan. Di titik ini sastrawan Indonesia adalah sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, karena identifikasi konteksual berdasar wilayah berdomisilinya akan menyebabkan kegoyahan. Baik dikarena ia menulis secara multikultural. Atau karena si bersangkutan cenderung bergerak dari wilayah kongkrit ke wilayah kongkrit lainnya, serta dari wilayah mental berdasar bacaan ke wilayah mental berdasarkan bacaan berikutnya.

Karena itu tak ada penyair Bandung bernama Soni Farid Maulana atau Juniarso Ridwan, karena yang ada hanya penyair Soni Farid Maulana - yang kelahir-an Tasikmalaya dan besar secara kreatif di Bandung - dan penyair Juniarso Ridwan - yang menempuh pendidikan formal tehnik di ITB dan jadi birokrat Pemda kodya Bandung. Atau penyair Tasimalaya yang bernama Acep Zamzam Noor, karena yang ada itu penyair Acep Zamzam Noor - kelahiran Tasik, menempuh pendidikan formal artistik di ITB, besar secara kreatif di Bandung dan Jogja, dan kemudian ia mukim di pesantren di Tasikmalaya. Yang ada hanya seorang Saini KM yang serba bisa dan khatam sebagai pemikir. Yang ada hanya seorang Ajip Rosidi, inohong Sunda yang lama di Jepang dan kemudian mukim di Magelang - tetap Sun-da meski tinggal dekat ikon pusat budaya-religi Jawa kuno Borobudur. Dan karena sumbangan mereka selalu bersipat individual meski dampaknya mungkin bisa bersipat lokal, nasional atau regional.

Karenanya untuk apa asylum tempat bernama lokasi domisili si sastrawan selain alamat surat, jujugan silaturahmi, dan zona serah-terima honor? Jadi agak mengerikan juga ketika sebuah intitusi seni di Jakarta mengundang sastrawan Indonesia (baca: yang menulis memakai media bahasa Indonesia) untuk berkumpul di Jakarta dengan pemilahan domisili. Ini masuk wilayah Bandung, kecenderungannya puisi, dan saat ini terdiri dari si AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk sastrawan Bandung dalam buku Nun. Ini masuk wilayah domisili Jawa Timur, kecenderungannya puisi, dan terdiri dari AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk kelompok sastrawan Jawa Timur dalam buku Hamzah. Atau buku Wau mewa-kili wilayah domisili Bali dengan para sastrawan bernama AIUO. Dan seterusnya. Kenapa mereka tak disebut saja sebagai sastrawan Bla, Bli, Blo, dan hadir sebagai sastrawan Bla, Bli Blo, dan dimasukkan ke dalam antologi sastra Kum.

Karena bagi sastrawan hanya ada bahasa, untuk mengungkapkan apa-apa yang didalami secara subyektif di dalam sunyi - meski dikonsultasikannya dengan teman, dengan bacaan, dan dengan imajinasi-fantasi. Dan karenanya kita harus mengakuinya dengan identitas bahasa yang dipakai buat mengungkapkan gagasan. Dan mengakui kebesarannya berdasarkan keunikannya ketika mengungkapkannya di dalam dan dengan bahasa di satu sisi dan fenomena ciri subyektif dari apa yang diungkapkannya - yang didalaminya secara diam-diam dalam sunyi - di sisi lainnya. Itu hakekat seorang sastrawan. Seseorang yang secara KTP tinggal di Babakan Kukulutus, tapi senantiasa bergerak dari satu tempat imajiner bacaan ke tempat imajiner baca-an yang lainnya. Memang. Tetapi, yang jadi permasalahan kemudian: Apa namanya perasaan rindu seorang sastrawan kelahiran Babakan Kukulutas ke Babakan Kukulutus, yang kemudian tinggal di Pasir Combrek dan diberi penghargaan seniman Pasir Combrek?

Impuls rindu yang humanistik. Panggilah kontekstual ingin mengungkapkan ih-wal yang diketahui pasti tetapi belum sempat diungkapkan. Atau hanya kecemasan dari seseorang yang diayunkan waktu dan mendadak menemukan pantulan gema dari dinding batas akhir usia. Atau itu sudah memasuki wilayah filsaafat dan sufi, yang berbeda dari tradisi dan disiplin penelitian ilmu sosial dan empati sastra. Saya tak tahu. Dan mungkin harus membaca lagi agar bisa menulis tentangnya secara lebih jernih. Insya Allah.***

Sumber: Suara Karya, Minggu, 20 November 2005

Monday, December 17, 2012

Psikoanalisis Dalam Sastra

Kegunaan dan Penerapannya

Psikoanalisis pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud. Menurut Endraswara (2008), psikoanalisis merupakan istilah khusus dalam penelitian psikologi sastra. Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan dalam setiap penelitian sastra yang menggunakan pendekatan psikologis. Umumnya, dalam setiap pelaksanaan pendekatan psikologis terhadap penelitian sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis ini hanyalah bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja, terutama yang berkaitan dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia. Pembahasan sifat dan perwatakan manusia tersebut meliputi cakupan yang relatif luas karena manusia senantiasa menunjukkan keadaan jiwa yang berbeda-beda.

Psikoanalisis juga menguraikan kelainan atau gangguan jiwa, “Namun dapat dipastikan bahwa Psikoanalisis bukanlah merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin malahan dasar dari keseluruhan ilmu jiwa” (Calvin, 1995). Berdasarkan pernyataan tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa psikoanalisis merupakan tombak dasar penelitian kejiwaan dalam mencapai tahap penelitian yang lebih serius, khususnya karya sastra dalam hal ini. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang indah. Keadaan jiwa yang sehat dan terganggu inilah yang menjadi cermin lahirnya karya dengan tokoh berjiwa sehat maupun terganggu.

Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.

Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu (1) Id, (2) Ego, dan (3) Superego

Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan. Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.

Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.

Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar.

Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.

Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.

Superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian. Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.

Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah interaksi dari ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.

Banyak pendapat mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan genesis karya sastra. Jadi, sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Meskipun demikian, menurut Milner ( 1992), peran teori freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memiliki inplikasi yang sangat luas tergantung bagaimana cara pengoprasiaannya. Disatu pihak , hubungan psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman, bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Dipihak lain menyatakan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok didalam sastra.

Hubungan yang erat antara psikoanalisis khususnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra. Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Oleh karena itu, keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oelh pengarang. Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar, yang didasari secara samar-samar oelh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.

Kegunaan psikoanalisi sastra

Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar karya sastra.

Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.

Penerapan Psikoanalisis dalam Sastra

Penerapan psikoanalisis dalam bidang seni, juga sastra, sudah dimulai oleh Freud sendiri. Karya-karya Sigmund Freud yang menyinggung bidang seni antara lain:

1. L’interpretation des Reves (Interpretasi Mimpi), terbit pertama kali tahun 1899. Ini adalah sebuah buku klasik yang menguraikan tafsir mimpi. Buku ini merupakan landasan teoretis paling mendasar mengenai hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Tulisan Freud yang sering dipakai sebagai landasan teoretis adalah Trois Essais sur la Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang Teori Seksualitas), terbit tahun 1962.

2. Delire et Reves dana la “Gradiva” de Jensen (Delir dan Mimpi dalam “La Gradiva” Karya Jensen. Terbit tahun 1906. Ini adalah karya paling jelas mengenai penerapan teori-teori psikoanalisis dalam karya sastra. Di sini Freud melakukan penelitian pada sebuah cerpen berjudul La Gradiva karya Jensen dan menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen itu sangat sesuai dengan teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.

3. La Creation Litteraire et le reve Eveille (Penciptaan Sastra dan Mimpi dengan Mata Terbuka), sebuah esai yang terbit pada tahun 1908. Di sini Freud menemukan kemiripan antara proses penciptaan karya sastra pada sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak dalam permainan. Menurut Freud, “Penyair bertindak seperti anak-anak yang bermain, dan menciptakan dunia imajiner yang diperlakukannya dengan sangat serius, dalam arti bahwa penyair melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh, seraya tetap membedakannya dengan tegas dari realitas.” (footnote)

4. Un Souvenir d’enfance de Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanak-kanak Leonardo da Vinci), terbit pada 1910. Di sini Freud menganalisis kepribadian Leonardo da Vinci dari biografi dan karya-karya seninya, termasuk menguraikan rahasia senyuman Monna Lisa. Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah konsep penting yang berpengaruh dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.

5. Das Unheimliche (Keanehan yang Mencemaskan), terbit tahun 1919. Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat tragik atau horor, yaitu perasaan cemas, takut, atau ngeri. Meskipun perasaan yang mencemaskan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.

Namun penerapan dan perkembangan teori psikoanalisis dalam bidang sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh para ahli sastra, misalnya Charles Mauron dan Max Milner. Charles Mauron, kritikus sastra asal Prancis, mengembangkan suatu metode kritik sastra yang disebutnya psikokritik. Max Milner, seorang sarjana Jerman, telah menyusun buku yang mengelaborasi teori-teori Freud yang berkaitan dengan sastra, berjudul Freud et L’interpretation de la litterature (Freud dan Interpretasi Sastra).

Monday, December 10, 2012

Strukturalisme Genetik

Memahami Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan bagian dari sosiologi sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldmann. Munculnya teroi ini sebagai akibat adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.

Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).

Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik memiliki arti penting, karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono, 1979:42). Hakikatnya karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor luar tersebut. Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1999b:12). Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk di aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1999b:15).

Pada perkembangannya strukturalisme genetik juga dipengaruhi oleh ilmu seorang marxis, yaitu George Lukacs. Menurut Goldmann strukturalisme genetik memandang struktur karya sastra sebagi produk dari struktur kategoris dari pemikiran kelompok sosial tertentu (Faruk, 1999a:12). Kelompok sosial itu mula-mula diartikan sebagai kelompok sosial dalam pengertian marxis (Faruk, 1999a:13-14).

Konsep Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 1999b:12). Aktivitas atau perilaku manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan lingkungan.

Dengan meminjam teori psikologi Pioget, Goldmann (dalam Faruk, 1999b:13), menganggab bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Menurut Endraswara (2003:55) semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodofikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat bersifat individu atau sosial.

Damono (1979:43) berpendapat, untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang kongkrit membutuhkan sutau metode yang serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat diketahui bahwa sastra merupakan cermin dari pelbagai segi struktur sosial maupun hubungan kekeluargaan.

Konsep Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan.

Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih merupakan duplikasi fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang. Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Oleh sebab itu pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Menurut Juhl (dalam Iswanto, 2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.

Subjek kolektif adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya. Goldmann (dalam Faruk, 1999:15) menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.

Konsep Pandangan Dunia

Goldmann juga mengembangkan konsep mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan dunia (Faruk, 1999a:12).

Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha memahami perpaduan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk atau totalitas kemaknaan. Setiap karya sastra yang penting mempunyai struktur kemaknaan (Strukture Significative), karena menurut Goldmann, struktur kemaknaan itu merupakan struktur global yang bermakna dan mewakili pandangan dunia (vision du monde, world vision). Penulis tidak sebagai individu, tetapi mewakili golongan (kelas) masyarakat (Satoto, 1986:175).

Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya sastra dengan kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu sendiri oleh Strukturalisme Genetik dipandang sebagai produk dari hubungan antara kelompok sosial yang memilikinya dengan situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu (Goldmann dalam Faruk, 1999a:13). Oleh karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan kebudayaan atau peradaban dari setiap situasi, masa atau zaman saat sastra itu dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra adalah pemapar unsur-unsur sosiokultural demi memberi pemahaman nilai-nilai budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman itu sendiri. Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu; seperti halnya kata tidak bisa dipahami di luar ujaran (Damono, 1979:43). Jadi, pada dasarnya sastra juga mengandung nilai-nilai historis, sosiologis, dan kultural.

Goldmann (dalam Satoto, 1986:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. Menurut Goldmann, karya sastra, namun demikian, bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level koherensi yang amat tinggi dari kecenderungan-kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu (Faruk, 1999b:33). Pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat.

Konsep “Pemahaman-Penjelasan”

Goldmann menjelaskan tentang metodenya itu: untuk bisa realistis, sosiologi harus bersifat historis; demikian juga sebaliknya, untuk bisa ilmiah dan realistis, penelitian sejarah harus sosiologis (Damono, 1979:43). Dengan demikian, strukturalisme genetik merupakan teori alternatif untuk menganalisis karya sastra yang antara historis dan sosiologis dapat dilakukan secara berkaitan.

Karya sastra harus memiliki kepaduan antara struktur yang satu dengan yang lain. Unsur luar maupun unsur dalam sama-sama memiliki arti penting di dalam membangun karya sastra. Kepaduan dari kedua unsur tersebut memberi kelengkapan, bahwa karya sastra tidak hanya dapat dilihat dari dalam (teks) sastra, melainkan unsur pembentuk dari luar. Karya sastra berusaha mengungkap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Persoalan-persoalan itu sebagian ada yang terpecahkan dan sebagian tidak ditemukan jalan keluarnya.

Karena itu, Goldmann mencoba mengembangkan metode dialektik. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat kongkret dengan mengintegrasikan ke dalam keseluruhan (Goldmann dalam Faruk, 1999b:19-20).

Metode dialektik mengembangkan dua konsep, yaitu “Pemahaman-penjelasan” dan “Keseluruhan-bagian.” Pemahaman adalah pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann dalam Faruk, 1999b:21). Pada dasarnya pengertian konsep “Pemahaman-penjelasan” sangat berkait dengan konsep “Keseluruhan-bagian.”

Pada penjelasan konsep fakta kemanusiaan telah dikemukakan bahwa terdapat dua fakta, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual baru memiliki arti penting jika di tempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari bagian-bagian yang membangunnya. Konsep “Keseluruhan-bagian” memilki keterkaitan untuk saling melengkapi dalam memberi arti dari “keseluruhan” dan “bagian” itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka strukturalisme genetik memandang karya sastra tidak hanya sebagai yang memilki struktur yang lepas-lepas, melainkan adanya campur tangan faktor-faktor lain (faktor sosial) dalam proses penciptaannya. Karya sastra dipahami sebagai totalitas perpaduan struktur dalam dan struktur luar.

Strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu (Faruk, 1999:13).

Saturday, October 20, 2012

Mengenal Psikologi Sastra

Psikologi Sastra

Sebuah karya sastra merupakan kisahan yang senantiasa bergumul dengan para tokoh dengan kepribadian yang tidak lazim, aneh, atau abnormal, sehingga menimbulkan berbagai perasaan bagi para pembaca. Tidak jarang para pembaca bertanya-tanya, mengapa si tokoh berperilaku demikian, apa yang terjadi pada dirinya, apa penyebabnya, dan apa pula akibat dari semua ini. Bahwasanya masalah perilaku mungkin saja terkait dengan masalah-masalah kejiwaan, maka kisahan semacam ini dapat merupakan masalah psikologis.

Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling tidak untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Andre Hardjana, 1985:66).

Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 1986:126).

Sementara Wellek-Warren menyatakan bahwa ada empat kemungkinan dalam pemahaman psikologi sastra, yakni: (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca atau psikologi pembaca (Wellek, Rene dan Austin Warren, 1989:90).

Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah lama ada, namun penggunaan psikologi sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan, menurut Robert Downs (1961:1949, dalam Abdul Rahman, (2003:1), bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada suatu wilayah yang gelap, mistik dan yang paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah. 

Psikologi dalam karya sastra mempunyai kaitan yang tercakup dalam dua aspek yaitu : Unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Aspek ekstrinsik berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor kepengarangan dan proses kreativitasnya. Sementara unsur intrinsik membicarakan tentang unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam karya sastra seperti unsur tema, perwatakan dan plot. 

Darmanto Jatman ((1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung karena, baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi, gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. 

Dalam kaitannya dengan psikologi dalam karya sastra, Carld G. Jung menandaskan bahwa karena psikologi mempelajari proses-proses kejiwaan manusia, maka psikologi dapat diikutsertakan dalam studi sastra, sebab jiwa manusia merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan dan kesenian. 

Pikologi Pengarang 

Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang, menurut Wright (1991:146) adalah mencermati sastra sebagai analog, fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami beberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan ketaksadaran yang bermanfaat. Persoalan penelitian semacam ini perlu hati-hati, sehingga akan dapat ditemukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi dalam sastra, sah-sah saja. 

Keadaan psikis pengarang adalah suasana unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada realita semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra yang dihasilkan. Dari sini bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan. 

Menurut Ahmad Tohari, sastrawan juga dapat dibagi ke dalam dua tipe psikologis, yaitu sastrawan yang “kesurupan” (possessed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan dan sastrawan “pengrajin” (maker) yang penuh keterampilan, terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab. 

Psikobudaya adalah kondisi pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi budayanya. Pengarang yang bebas samasekali dari faktor budaya, hampir tidak ada pengarang tidak lepas dari budaya, pribadi dan moral yang mengitari jiwanya. Oleh karena itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan “cetak ulang” dari jiwanya. 

Dari faktor budaya psikologis demikian, dapat dimengerti bahwa pengarang tidak tunggal. Pengarang adalah pribadi yang multirupa. Jiwa pengarang dapat diubah atau mengubah budaya. Dalam konteks ini berarti peneliti psikologi sastra perlu memperhatikan aspek budaya disekitar pengarang. Pengarang yang hidup dalam lingkup budaya, kelas, marginal, ketidakadilan tentu berbeda karyanya. Budaya kota dan desa juga akan membentuk pengarang. 

Psikologis Kreativitas Cipta Sastra 

Dorongan kejiwaan tidak bisa dianggap remeh. Kejiwaan ada yang meledak-ledak, ada yang keras, murung, sensasional dan seterusnya. Dorongan ini akan menentukan bagaimana proses kreatif sastra akan terwujud. Proses kreatif adalah daya juang kejiwaan sastra menuju titk tertentu. Proses kreatif akan ditentukan pula oleh etos sastrawan. 

Terbentuknya karya sastra hampir seluruhnya melalui proses kreatif yang panjang, namun panjang dan pendeknya proses ini amat relatif, tergantung kesiapan psikologis sastrawan. Tiap karya memerlukan proses yang berbeda satu dengan yang lain. 


Psikologi Pembaca 

Agak sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya studi sastra, melainkan peneliti pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit dipertanggungjawabkan sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub sastra. 
Resepsi pembaca secara psikologis pasti akan terjadi dibandingkan dengan resepsi lain. Penerimaan nilai sastra biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus keadaan diri pembaca. Oleh sebab itu, pembaca yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri pembaca. 

Resepsi atau penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan nilai yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situlah pula bebas menciptakan dunianya. 

Psikologi Dalam Sastra itu Sendiri

Persoalan psikologis yang dapat dikaji dari dalam karya sastra itu sendiri adalah persoalan tokoh dan penolohan. Tokoh adalah figur yang dikenal dan sekaligus mengenai tindakan psikologis dalam peristiwa dalam cerita. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra. 

Tokoh biasa terdapat dalam prosa dan drama. Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk melakukan sebuah objek. Tokoh yang termaksud secara psikologis menjadi wakil sastrawan, sastrawan kadang-kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra, tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Penggarapan tokoh yang matang akan menukik dalam protret diri. Tokoh yang digarap kental, dengan perwatakan yang memukau, akan menjadi daya tarik khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri akan masuk secara alamiah dalam karyanya. ***


Disarikan dari berbagai sumber

Saturday, September 22, 2012

Sastra Kontekstual Ariel Heryanto

Sastra Kontekstual vs Sastra Universal 

Sastra kontekstual yang “berperang sengit” dengan paham sastra universal pada era 80-an membuat catatan sejarah tersendiri dalam kesusateraan Indonesia modern. Sastra kontekstual yang dicetuskan kali pertama oleh Arif Budiman pada era tersebut menimbulkan pro dan kontra terhadap pendapat yang dicetuskannya itu. Banyak yang mengatakan bahwa konsep sastra kontekstual yang dicetuaskannya itu adalah sebuah sensai belaka. Tidak lain karena konsep sastra kontekstual merupakan konsep sastra multikultural dalam arti sempit. 

Artinya, bahwa untuk mengapresiasi atau memahami karya sastra hanya pada saat karya sastra itu dilahirkan, berarti juga bahwa mengapresiasi tentang konsep budaya yang mendasari kelahiran karya sastra tersebut. Sedang untuk mengetahui konsep budaya pada lingkungan karya sastra lahir, perlu juga diketahui tentang konsep-konsep atau nilai-nilai budaya pada semua bangsa. Tidak lain dan tidak bukan karena karya sastra tidak pernah terlepas dari unsur pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat. 


Kemuculan sastra kontekstual juga tidak bisa dinafikkan dari acara Sarasehan Kesenian 1984 di Solo. Tepatnya pada tanggal 28 s.d 29 Oktober 1984. Sarasehan Kesenian 1984 dianngap sebagai tempat kelahiran atau tempat tercetusnya paham tersebut (hal:4). 


Buku yang berupa kumpulan artikel mengenai perdebatan sastra kontektual ini meliputi artikel-artikel yang mendukung maupun yang hanya sekadar memberi ucapan sindiran yang terkesan melecehkan. “Sekadar mencari sensai.” Tetapi kedua pendapat yang pro maupun yang kontra memiliki argumen-argumen yang patut diperhitungkan. Artinya kedua pendapat tersebut benar adanya. 

Sastra kontekstual dianggap sebagai sastra kiri dan hanya memihak atau memberi perlindungan pada sastrawan lokal. Maka tidak mengherankan jika konsep ini banyak didukung oleh sastrawan lokal yang masih belum bisa menembusan tingkat dunia. Seperti misal pada konsep sastra multikulturalisme yang memberikan penilaian terhadap karya sastra baik atau buruk dengan hanya melihat kandungan nilai-nilai budaya yang universal. 

Kelahiran buku tentang perdebatan sastra kontekstual ini bukanlah pembulatan atas apa yang dinamakan sebagai sastra kontekstual. Seperti yang diutakan Heryanto dalam pengantarnya bahwa seorang rekan, sastrawan dan ahli sastra, telah ikut berjasa pada usaha menulikan awal catatan pada pengantarnya. Menurut mereka, naskah buku ini tidak menyajikan suatu gagasan yang “bulat” tentang “sastra kontekstual” (hal:v). Namun, “ketidakbulatan” ini yang tanpaknya asyik untuk menambah referensi tentang sejarah sastra. Bahwa sastra konseptual memang pernah muncul dan menjadi isu hangat dalam dunia kesusasteraan kita. 

Selain hal itu, Heryanto juga memberikan alasanya tentang ketidakbulatannya tentang gagasan sastra kontekstual ini. Dia mengatakan pada pengantarnya bahwa secara pribadi dia tidak mengharapkan tercapainya suatu hasil akhir (apalagi kata sepakat) dalam pemikiran tentang “sastra kontekstual” dari seseorang atau beberapa orang belaka. Saya berminat menyajikan suatu rangkaian proses pemikiran yang berkesinambungan, yang dinamis, yang sewaktu-waktu bisa saja disela-selkai oleh masa istirahat, dan masa meriah, yang melibatkan banyak fihak yang tak harus sependapat (hal:vi)*** 

Eva Dwi Kurniawan

Monday, September 17, 2012

Rene Wellek & Austin Warren: Kitab Suci Sastra

Memahami Teori Kesusastraan

Wellek & Warren dalam buku aslinya yang berjudul Theory of Literature ini lebih banyak memfokuskan pembahasannya dalam pengkajian puisi. Ini terlihat dari berbagai penjelasan yang digunakan selalu mengambil contoh genre puisi dalam menjelaskan teorinya.

Ambil contoh saja pada bagian keempat yaitu studi sastra dengan pendekatan intrinsik. Wellek & Werren mencoba memasukkan unsur genre sastra seperti gaya dan stilistika, citra, metafora, dan simbol. Kalau kita berhenti mengklasifikasikan puisi berdasarkan isi dan temanya, dan mulai menayakan jenis wacananya: kalau kita berhenti menguraikan puisi dalam bentuk prosa dan mulai mempelajarai “makna” puisi dari keseluruhan strukturnya yang kompleks, berarti kita mulai berhadapan dengan inti struktur puitis: citra, metafora, simbol dan mitos (hal:235). 

Tampak jelas bahwa Wellek & Werren memfokuskan pengkajiannya pada gengre puisi. Contoh lain adalah pada bab duabelas tentang modus keberadan karya ssatra. Dituliskan bahwa sebelum kita menganalisis strata karya sastra, kita perlu mengajukan sebuah pertanyaan epistemologis yang sulit mengenai modus keberadaan atau “situs ontologis” karya sastra. (Untuk menghemat ruangan, kata karya ssatra dalam pembicaraan ini kita sebut juga dengan puisi (hal:175).

Dalam buku ini disinggung juga kaitan antara teori sastra, sejarah sastra, dan juga teori sastra. Tak mungkin kita menyususn; teori sastra tanpa kritik ssatra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra (hal:39). Selain itu, juga disinggguung tentang definisi dan batasan sastra. 

Yang tak kalah menarik dalam buku ini, pembahasan tentang fiksi naratif juga dihadirkan. Maka tidak sulit dalam mengkaji prosa fiksi yang tidak lain adalah fiksi naratif ini. Sebelumnya, Wellek & Werren juga menjelaskan tentang imajinasi atau fiksi dalam sastra di bagian awal buku ini. Istilah sastra sebagai karya “imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imajinasi (citra) (hal:20). Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa pencitraan tidaklah identik dengan rekaan; jadi, bukan merupakan ciri khusus karya sastra (hal:20). Realitas dalam karya fiksi, yakni ilusi kenyataan dan kesan menyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari (hal:278).

Wellek & Werren juga pandai mengajak pembaca untuk berdiskusi. Misalnya pada pembahasan pada fiksi naratif. Bagaimana hubungan fiksi dengan kehisupan? Aliran klasik atau Neo-Klasik akan menjawab bahwa fiksi menampilkan sesuatu yang khas, yang universal-seperti tipe orang pelit (Moliere, Balzac), tipe anak perempuan yang tidak berbelas kasihan (Lear, Gariot) (hal:278).

Buku ini mengutamakan pengkajian sastra pada unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Maka masalah di luar sastra pun menjadi bahasan. Biografi, psikologi, masyarakat, dan pemikiran, menjadi bahasan tersendiri dalam mennjelaskan unsur ekstrinsik karya sastra. Sayangnya pengkajian yang hanya pada salah satu genre sastra, yaitu puisi yang menjadi bahasannya, menjadikan buku ini kurang menaraik untuk mengkaji genre sastra lainnya, semisal novel atau cerpen atau naskah drama. Meskipun pengkajian novel, cerpen, dan drama disinggung, namun sangat sedikit.***
Eva Dwi Kurniawan

Monday, September 03, 2012

Apa itu Puisi?

Memahami Puisi

Puisi sangat berbeda dengan prosa. Perbedaan yang utama adalah terletak pada proses penciptaan masing-masing karya sastra itu.

Di dalam puisi seperti diungkapkan oleh Prof. Dr. Mursal Esten yang disampaikan oleh Y vone de Fretes dalam bukunya berjudul "Memahami Puisi" terbitan Angkasa, cetakan 1995, akan berlangsung beberapa proses yang tidak begitu terasa di dalam prosa. Proses tersebut adalah: pertama, 'proses konsentrasi', kedua 'proses intensifikasi', dan ketiga 'proses pengimajian (imagery)'.

Dalam proses 'konsentrasi', segenap unsur puisi (unsur musikalitas, unsur korespondensi, dan unsur bahasa), dipusatkan pada satu permasalahan atau kesan tertentu. Kemudian dalam proses 'intensifikasi' unsur-unsur puisi tersebut berusaha menjangkau permasalahan atau hal yang lebih mendalam atau mendasar.

Adanya kedua proses di atas menyebabkan sebuah puisi menjadi sesuatu yang pelik, sehingga lebih susah dimengerti ibandingkan dengan prosa.

Proses ketiga adalah proses pengmajian (imagery) merupakan suatu yang juga menjadikan puisi berbeda dari prosa. Segenap unsur puisi (musikalitas, korespondensi, dan bahasa) berfungsi menciptakan atau membangun sebuah imaji atau citra tertentu. Bunyi dan rima, hubungan satu lirik (baris) dengan lirik yang lain atau satu bait dengan bait yang lain, dan pilihan kata serta idiom-idiom, semuanya berfungsi membangun imaji atau gambaran tertentu yang dikesankan oleh puisi itu. Imaji inilah yang kemudian melahirkan makna utuh terhadap sebuah puisi.

Dilihat dari sisi 'kata', di dalam prosa cenderung mengikuti makna denotatif (makna harfiah), maka sebuah kata dalam puisi justru cenderung meninggalkan makna denotatif tersebut dan membentuk makna yang bersifat konotatif. Kata 'bulan' di dalam sebuah prosa akan berbeda artinya dengan 'bulan' dalam sebuah puisi.

Memahami penjelasan di atas dan menyadari bahwa puisi berbeda dengan prosa, maka untuk mengartikan puisi pun tentulah berbeda dengan pemahaman prosa. Puisi dibangun melalui proses intensifikasi, maka seorang yang ingin memahami puisi juga harus melakukan proses itu. Ia harus mampu menemukan makna yang terdalam dari setiap kata, frase, lirik, bait, ataupun imaji yang ada di dalam puisi itu. Seorang pembaca puisi harus mampu menangkap makna yang terjauh dari sebuah kata atau larik (berdasarkan makna konotatif yang mungkin dimiliki oleh kata atau larik tersebut).

Selamat mencoba memahami puisi***


Monday, August 20, 2012

Memahami Prinsip-Prinsip Kritik Sastra

Sekilas Kritik Sastra
Resensi sastra Eva Dwi Kurniawan


Mempelajari sastra meliputi tiga hal, teori, sejarah dan kritik. Tanpa ketiga unsur tersebut, mustahil kita bisa memahami sastra dengan lebih sempurna. Atau hanya mempelajari keduanya: teori dan sejarah, teori dan kritik, atau sejarah dan kritik, tidak akan pernah bisa sempurna apresisi kita dalam memahami sastra. 

Teori sastra berfungsi sebagai modal awal dalam mengkaji sastra. Tanpa modal dasar ini, kita kan mengalami kesulitan untuk mengkaji karya sastra. Tidak lain karena dalam teori sastra, kita bisa mengetahui seluk beluk dan latar belakang permasalahan yang mendasar dalam karya sastra. Semisal tentang penyelidikan hal yang berhubungan dengan apakah sastra itu, apakah hakekat sastra, dasar-dasar sastra, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan teori dalam bidang sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra, (genre), teori penilaian dan sebagainya (hal:9). Dan juga pendekatan-pendekatan sastra yang digunakan untuk menilai karya sastra. Itu semua bisa didapatkan dalam teori sastra.

Sejarah sastra pun demikian. Kita tidak bisa membuat penilai karya sastra, misal novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli sebagai karya satra yang buruk karena penggunaan bahasa yang berlebihan. Itu tidak tepat. Sebab, jika kita mengetahui sejarah kesusateraan, maka karya Marah Rusli tersebutlah yang sangat baik. Karena memang, dalam periode Balai Putaka, penggunaan gaya bahasa yang demikain itulah yang terbaik. Sebab itu, pemahaman terhadap sejarah sastra perlu mendapat porsi yang lebih kurang sama dengan pemahaman terhadap teori dan kritik sastra. Sejarah sastra bertugas menyususn perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir (hal:9). 

Lalu apa fungsi kritik? Pradopo mengatakan bahwa kepentingan kritik sastra bagi masyarakat pada umumnya untuk penerangan (hal:2). Maksudnya adalah bahwa sebuah karya sastra tidak akan bisa dimaknai secara utuh dalam satu kesatuan jika tidak dikaji lebih dalam. Untuk mengkaji ini diperlukan seorang kritikus sastra, yaitu sebagai pemberi penjelasan terhadap karya sastra yang ada. Baik teori, sejarah, maupun kritik saling bantu membantu. Ketiga disiplin ilmu tersebut tidak bisa berdiri sendiri.

Dalam buku ini dijelaskan tentang kritik sastra. Baik pendefinisiannya, fungsinya dan peran yang saling kait mengkait dengan sejarah dan teori sastra. Langkah-langkah dalam melakukan kritik sastra pun dijelaskan dalam buku ini. Selain memberikan referensi tentang kritik sastra Indonesia modern, buku ini juga menghadirkan beberapa profil kritikus sastra Indonesia Modern. Diantaranya adalah H.B. Jassin, Amal Hamzah, Ajip Rosidi, J.U. Nasution, Junus Amir Hamzah, Boen S. Oemarjati, dan M.S Hutagalung. Meskipun profil kritikus ssatra Indonesia modern yang dihadirkan begitu singkat, tetapi bisa membuat referensi pembaca tentang dunia kritik ssatra Indonesia modern lebih banyak.

Sayangnya penjelasan yang diberikan banyak pengulangan terhadap penjelasan yang diberikan. Sebab itulah penjelasan yang teramat jelas ini malah terkadang menimbulkan kejemuan bagi pemula yang ingin belajar kritik sastra. Tapi bagaimanapun, buku ini sangat layak untuk dikonsumsi bagi penggemar, terutama bagi akademisi sastra.


Sunday, August 12, 2012

Mengenal Fiksi Mini

FIKSI MINI: MENYULING CERITA, MENYULING DUNIA

Agus Noor

For sale: baby shoes, never worn.
Ernest Hemingway


Saya menyebutnya fiksi mini. Itulah bentuk fiksi mini yang saya himpun dalam antara lain dalam "Anjing & Fiksi Mini Lainnya" atau “35 Cerita untuk Seorang Wanita” (Jawa Pos, 1 November 2009). Yakni fiksi, yang hanya terdiri dari secuil kalimat. Mungkin empat sampai sepuluh kata, atau satu paragrap. Tapi di sana kita beroleh “keluasan dan kedalaman kisah”. Kutipan di awal tulisan, merupakan karya penulis dunia, Hemingway, adalah salah satu contoh “novel terbaik dunia”, yang ditulis hanya dengan beberapa patah kata. Karya itu, ditulis di tahun 1920, karna Hemingway bertaruh dengan rekannya: bahwa ia mampu nenulis novel lengkap dan hebat hanya dengan enam kata. Dan penulis Amerika itu menyatakan: itulah karya terbaiknya.

Tapi, bila kita mau melihat bentuk-bentuk karya sastra yang sudah ada, fiksi mini sesungguhnya punya jejak sejarah yang panjang. Artinya, tidak dimulai di tahun 1920, ketika Hemingway menulsikan fiksi mininya itu. Kita ingat fabel-fabel pendek yang ditulis Aesop (620-560 SM), adalah sebuah “kisah mini” yang penuh suspensdalam kependekannya. Kita bisa melihat pula kisah-kisah sufi dari Timur tengah, yang turunannyapopuler sampai sekarang dalam bentuk anekdot-anekdot semacam Narsuddin Hoja atau Abunawas. Kisan-kisan kebajikan zen di Tiongkok, yang bahkan seringkali lebih menggungah ketimbang cerita panjang yang bertele-tele.

Di Perancis, fiksi mini dikenal dengan nama nouvelles. Orang Jepang menyebut kisah-kisah mungil itu dengan nama “cerita setelapak tangan”, karena cerita itu akan cukup bila dituliskan di telepak tangan kita. Ada juga yang mneyebutnya sebagai “cerita kartu pos” (postcard fiction), karena cerita itu juga cukup bila ditulis dalam kartu pos. Di Amerika, ia juga sering disebut fiksi kilat (flash fiction), dan ada yang menyebutnya sebagai sudden fiction atau micro fiction. Bahkan, seperti diperkenalkan Sean Borgstrom, kita bisa menyebutnya sebagai nanofiction. Apa pun kita menyebutnya, saya pribadi lebih suka menamainya sebagai fiksi mini.

Ada yang mencoba memberi batasan fiksi mini itu melalui jumlah katanya. Misalkan, sebuah karya bisa disebut fiksi mini bila ia terbentuk dari tak lebih 50 kata. Ada yang lebih longgar lagi, sampai sekitar 100 kata. Dalam batasan seperti ini, maka kita akan menemukan bahwa banyak penulis dunia seperti Kawabata, Kafka, Chekov, O Henry, sampai Ray Bradbury, Italio Calvino dan yang paling mutakhir Julio Cortazar, menghasilkan fiksi mini yang dahsyat. Kedahsyatan itu terasa, betapa dalam kisah yang ditulis dengan “beberapa kalimat saja”, kita dibawa pada petualangan imajinatif yang luar biasa. Dan inilah, memang, yang membuat fiksi mini, terasa punya hulu ledak. Ia seperti bom kecil, yang ditanamkan ke kepala kita, dan ledakannya membuat otak kita berguncang. Ada gema panjang, yang bahkan terus menggoda dan tak mudah hilang, setelah kita membacanya dalam sekejap.

Sembari mengutip Cortazar, Hasif Amini pernah menyebut, bila novel adalah pertandingan tinju dua belas ronde, maka cerpen ibarat pertandingan tinju yang berakhir dengan KO atau TKO – mungkin di rondo ke empat atau ronde ke enam.. Maka, fiksi mini ibarat pukulan telak yang langsung membuat lawan terjengkang pada kesempatan pertama. Atau, bayangkanlah sebuah ruang tunggu, begitu Amini melukiskan. Novel ibarat kita tengah berbincang-bincang secara panjang dengan seseorang yang kita jumpai di ruang tunggu. Kita jadi merasa mengenal atau mengetahui keseluruhan kisah hidup orang itu. Cerpen menjadi seperti perbincangan singkat dengan seseorang di ruang tunggu, dan kita merasa “hanya” mengetahui satu bagian dari kisah hidup orang itu. Maka, fiksi mini, adalah seseorang yang tiba-tiba saja datang, lalu berkata sepatah dua patah kata, atau sekalimat, yang membuat kita terperangah. Dan orang itu, mendadak sudah menghilang begitu saja. Meninggalkan kita yang hanya terbelalak, digoda sejuta tanya, dan terus-menerus memikirkan apa yang tadi barusan dikatakan orang itu? Begitu efek fiksi mini. Ia seperti satu tamparan yang membuat kita kaget terbelalak.

Bila, saya disuruh menegaskan melalui jumlah kata, maka saya akan membatasi pada jumlah 50 kata itu, untuk sebuah karya bisa disebut fiksi mini. Tapi rumusannya adalah, ‘menceritakan sebuah kisah dengan seminim mungkin kata’. Maka, semakin sedikit jumlah kata itu, maka semakin berhasil fiksi mini itu. Tapi, tentu saja, bukan cuma jumlah kata itu yang membuat fiksi mini kuat. Dalam jumlah kata yang secuil itu, tetap harus membayangkan sebuah kisah panjang, atsmosfir kisah yang luas, bayangan karakter, ada konnflik dan suspens, atau mungkin teka-teki yang tak kunjung selesai. Semakin sedikit kata, tetapi semakin luas membentang kisah di dalamnya, dalam koridor itulah seorang pengarang ditantang untuk menghasilkan fiksi mini yang kuat.

Saya menyebutnya fiksi mini (bukan prosa mini), karena fiksi mini memang bisa juga berbentuk puisi. Tetapi, tentu saja, bila menyangku urusan kategorisasi, fiksi mini tetap harus memiliki elemen narataif atau penceritaan, untuk membedakannnya dengan “puisi pendek’ (misalnya). Karena kita tahu, ada bentuk-bentuk puisi yang sangat pendek, seperti haiku, tetapi barangkali tetap lebih nyaman bila disebut sebagai puisi pendek, bukan fiksi mini. Maka, dalam fiksi mini itu, elemen dasar penceritaan atau naratif (yang karenanya menjadi lebih dekat pada prosa) bisa ditemukan. Kita mengenal element penceritaan seperti penokohan (protagonis dan antagonis), konflik, obstacles atau juga complication dan resolution. Barangkali, pada fiksi mini, justru resolution itu yang dihindari, karena dalam fiksi mini, akhir (ending) menjadi semcam gema, yang terus dibiarkan tumbuh dalam imajinasi pembaca. Karakter menjadi kelebatan tokoh yang seperti kita kenal, tetapi tak mudahdipastikan, dan karenanya bergerak cepat. Itulah yang justru membuat kita penasaran.

Saya akan kutipkan satu contoh. Berikut ini adalah karya Joko Pinurbo, yang “resminya” oleh penulisnya sendiri, disebut puisi. Tapi, menurut saya, ia bisa disebut fiksi mini:

Penjahat Berdasi

Ia mati dicekik dasinya sendiri.

Dalam karya itu, kita menemukan bayangan tokoh, yakni “si penjahat berdasi”. Di sana suatu konflik yang membuat si tokoh itu akhirnya mati secara mengerikan: dicekik oleh dasinya sendiri. Perhatikan kata “dicekik” dan buka “tercekik”, misalnya. Dalam kata “dicekik” itulah, kita menemukan unsur plot arau alur: bagaimana suatu hari dasi itu berubah seperti tangan hitam dan kasar yan jengkel dan kemudian mencekik leher di tokoh itu”. Memilih kata yang tepat, efektif dan kuat secara imajinatif, menjadi kunci lain bagi proses penulisan fiksi mini.

Saya sengaja mengutip “fiksi mini” Joko Pinurbo itu, sekadar untuk memperlihatkan, betapa sesungguhnya, selama ini, fiksi mini, banyak digarap oleh penulis kita. Puisi-puisi yang menghadirkan dirinya menjadi semacam prosa, sebagaimana yang kerap ditulis oleh Joko Pinurbo (seperti Celana atau Tukang Cukur) atau juga oleh Sapardi Joko Damono (Perahu Kertas atau Mata Pisau). Dalam pengantar kumpulan prosanyaPengarang Telah Mati, Sapardi menegaskan kalau prosa-prosa pendek itu disebutnya “cerpen mini” karena ia memang menyebutnya prosa. Padahal, menurut saya, prosa-prosa pendek – atau fiksi mini dalam istilah saya – telah banyak ditulis Sapardi, seperti dalam sajak “Tuan”, meski ia menyebutnya puisi. Mari kita kutip sajak “Tuan” itu, dan saya tulis ulang dengan gaya prosa:

Tuan

“Tuan Tuhan, bukan?” Tunggu sebentar, saya sedang keluar.

Tidak bisa tidak, itu adalah bentuk fiksi mini, meski penulisnya sendiri menyebutnya sebagai puisi. Barangkali, karena saat puisi itu ditulis, istilah fiksi mini belum terlalu ngetrend. Saat ini, ketika dunia semakin berkelebat, ketika waktu kian bisa dilipat-lipat begitu kecil dan praktis, ketika dunia seperti telepon genggam yang kita simpan dalam saku celana, segala yang sekilas seperti telah menjadi nafas kita sehari-hari, dan kita menjadi merasa penting segala macam hal yang mesti serba sekilas, selintas, gegas dan ringkas. Ketika intenet mulai mendominasi, maka fiksi mini menjadi trend yang menggoda dan digandrungi. Kecepatan dan keringkasan adalah ciri tulisan di internet. Barangkali, karena itulah, fiksi mini seperti menemukan habitatnya yang pas di laman internet. Kurnia Effendi, seorang penulis cerpen Indonesia, saat saya membacakan dan mendiskusikan fiksi mini di Warung Apresiasi Sastra Bulungan Jakarta, melihat problem terbesar fiksi mini ketika ia bersinggungan dengan media utama publikasi sastra kita, yakni koran. Fiksi mini menjadi mustahil muncul di koran, kata Effendi, karena “ruang koran menjadi teralu luas untuk bentuk fiksi mini. Maka saya mencoba mensiasatinya dengan cara “menghimpun sekian fiksi mini”, seperti dalam “35 Cerita buat Seorang Wanita” itu atau dalam “20 Keping Puzzle Cerita”. Pada dasarnya, itu adalah fiksi mini, yang tiap bagian kisahnya berdiri sendiri. Menghimpunnya hanyalah menjadi semacam strategi publikasi.

Ketika dunia makin pendek, pengarang pun ditantang untuk menyuling cerita. Menyuling cerita, begitulah pada dasarnya proses penulisan fiksi mini. Atau pengarang seperti ahli kimia yang mencoba menemukan atom cerita. Ia membuang dan mengurai detail yang kadaluarsa, yang hanya akan mengganggu dan mengotori kemurnian imajinasi. Ketika dunia sudah menjadi terlalu prosais, terlalu banyak kehebohan cerita yang sesungguhnya hanya gegap-gempita yang menyesatkan, yang terus menerus direproduksi hingga tak lebih menjadi kisah-kisah yang yang mekanis dan gampang kita duga, maka fiksi mini seperti sebuah jalan spiritual untuk menemukan semua esensi cerita. Menyuling cerita, menjadi pencarian spiritualitas cerita, sebagaimana tersirat dalam fiksi mini-fiksi mini seputar zen budisme. Barangkali, itulah “teologi fiksi mini”, yang membuatnya menjadi penting dan relevan untuk kita yang megam-megam dalam samudera cerita, dan kita justru terasing dari semua cerita yang direproduksinya.

Saya ingin menutup esai ini dengan satu fiksi mini saya,

Sebutir Debu

Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.

Jagat raya ini hanyanya sebutir debu. Begitulah jagat raya di mata Tuhan. Maka inilah akar teologis dari fiksi mini, bahwa Tuhan menyusun jagat raya ini sebagai pengarang yang telah menemukan esensi cerita. Jagat raya ini adalah fiksi mini yang telah berhasil ditulis oleh Tuhan dengab piawai.

Sekarang, pejamkanlah mata. Biarkan segala hirup pikuk cerita lenyap dari kepalamu, hingga yang tersisa adalah bentangan kesunyian imajinasi yang paling ultim, sublim. Itulah esensi cerita yang kini muncul dalam kemurnian imajinasimu. Tidakkah kau ingin terus-menerus menyuling dan menuliskannya?


Sumber: www.agusnoorfiles.wordpress.com, November 21, 2009

Tuesday, August 07, 2012

Pengantar Ilmu Sastra

Memahi Dasar-Dasar Sastra


Dalam buku ini, masalah teks sastra paling banyak mendapat perhatian dari penulisnya. Hal ini karena karya sastra merupakan karya seni yang bermediumkan bahasa. sedang bahasa sastra tulis tidak akan mungkin pernah terlepas dari teks. Maka tak mengherankan jika ketiga penulis memberikan perhatian yang lebih intens kepada masalah teks. Yang dimaksud dengan teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan suatu kesatuan (hal:86). Teks yang dikaji meliputi teks puisi, drama, dan naratif. 

Sebelum memasuki pembahasan tentang teks, pembaca dihadapkan pada masalah dasar tentang sastra. Bagaimanakah pandangan-pandangan para filsuf terhadap sastra pada era yunani kuno hingga pandangan masyarakat modern saat ini tentang ssatra. Kita dapat mengetahui alasan dari pendapat Plato yang menganggap bahwa sastrawan tidak akan lebih berguna dari tukang kayu menjadi tumbang oleh pendapat muridnya. Menurut Plato maka tukang-tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu (hal:16). Dan lewat buku ini pula kita bisa mengetahu bahwa pendapat Plato itu mendapat sanggahan. 

Aristoteles, sebagai murid Plato menyanggah pendapat gurunya itu. Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain; dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tak dapat dilepas dari obyek itu (hal:17).

Lebih lanjut lagi dituliskan dalam buku ini bahwa: bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupkan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis, penyair menciptakaan kembalikenyatan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada “ (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, kenyakinan, cita-cita) (hal:17).

Tentang kefiksian sebuah karya sastra, dalam buku ini juga sempat disinggung. Poin yang lebih fokus dijabarkan dalam masalah cerita rekaan dalam buku ini terletak pada masalah fokalisator. Hubungan antara unsur-unsur peristiwa dan visi yang disajikan kepada kita disebut fokalisasi (fokus=kacah perhatian). Fokalisasi merupakan obyek langsung bagi teks naratif (hal:131). Yang dimaksudkan dengan teks-teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa (hal:119). Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang termasuk jenis naratif tidak hanya sastra, melainkan juga setiap bentuk warta berita, laporan dalam surat kabar atau lewat televisi, berita acara, sas-sus, dan sebagainya (hal:119).

Sayangnya, untuk memahami buku ini sangat sulit bagi pemula yang suka sastra. Pasalnya buku terjemahan ini seakan langsung menerjemahkan begitu saja ke dalam bahasa indonesia. Tanpa melihat proses gramatikal dan semantik tata bahasa Indonesia.***

Eva Dwi Kurniawan

Friday, July 27, 2012

Belajar Sastra

Untuk Apa Kita Belajar Sastra?

Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan  dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Sejalan dengan hal tersebut, Rusyana, (1982) menyatakan, bahwa “sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan dengan menggunakan bahasa.” 

Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. 

Lalu, untuk apa kita perlu mempelajari sastra? Untuk apa kita berlajar sastra? Apa hasil dari pembelajarn sastra? Mengapa belajar bahasa Indonesia sekaligus juga harus belajar sastra Indonesia?

Dalam konteks ini, Oemarjati,(1992) menyatakan bahwa  “pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih ) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menum-buhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilian – baik dalam konteks individual, maupun sosial.”Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. 

Dengan demikian, pembelajaran sastra sangatlah diperlukan. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk mengobati kekurangpekaan itu?

Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi dkk. (1998), “Apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.” 

Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.

Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke wilayah penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu. 

Menurut Rusyana (1984:322), “kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca.” Selanjutnya dikatakan, “Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik; (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis.” Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan 
perubahan perilaku. Itulah yang diungkapkan oleh Oemarjati (1992), “Dengan sastra mencerdaskan siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan.”

Jadi, mari kita berlajar dan mengapresiasi sastra.***

Tuesday, July 24, 2012

Sastra dan BUKAN Sastra

Sastra: Antara Khayali, Nilai Seni, Bahasa yang Khas, Imajinatif dan non-Imajinatif


Seringkali kita bingung mendefinisikan apa itu sastra. Pun kita kesusahan menggolongkan teks yang kita baca itu sastra atau bukan. Referensi berikut ini, mungkin bisa membantu Anda membedakan teks SASTRA dan BUKAN SASTRA.

Menuru Sumardjo dan Saini (1986:13), “Ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya-karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali (fictionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic values), dan adanya cara penggunaan bahasa yang khas (special use of language).”

Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa sastra dicipta dengan daya khayal. Walaupun sastra hendak berbicara tentang kenyataan dan masalah kehidupan yang nyata, karya sastra terlebih dahulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnungkan dan dihayati oleh oleh pembaca.

Melalui dunia khayal pembaca dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah di dalam bentuk kongkretnya, dan yang tersentuh oleh masalah-masalah itu bukan hanya pikirannya saja, akan tetapi juga perasaan dan khayalannya. Dengan demikian pembaca dapat menjawab (merespon) kenyataan atau masalah dengan seluruh kepribadainnya. Respon seperti itu berbeda dengan yang diberikan pembaca kepada karya-karya yang bukan sastra seperti karya ilmiah atau filsafat.

Adanya nilai-nilai seni (estetik) bukan saja merupakan persyaratan yang membedakan karya sastra dari yang bukan sastra. Melalui nilai-nilai seni (estetis) itu sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan sejelas-jelasnya, sedalam-dalamnya, sejelas-jelasnya. Nilai-nilai seni itu adalah keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman (unity in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan tekanan yang tepat (righ emphasis).

Penggunaan bahasa secara khusus sangat jelas tampak pada karya-karya puisi. Walaupun begitu, sebenarnya di dalam novel dan drama pun penggunaan bahasa seperti itu dilkukan para sastrawan dengan sadar dan seksama. Para sastrawan berusaha agar melalui pengolahan terhadap bahasa akan meningkatkan daya ungkap dan sekaligus keindahan bahasa itu. Baris-baris dalam bukan saja diusahakan dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan penyairnya, tetapi menjadi daya tarik pula melalui keindahan irama dan bunyinya.

Bahasa dalam sebuah novel diolah begitu rupa, sehingga dengan beberapa kalimat saja sastrawan dapat menggambarkan dengan jelas dan menarik suatu peristiwa. Demikian pula halnya dalam bahasa dan drama. Ucapan seorang tokoh yang tampaknya sederhana dan alamiah kalau diperiksa dengan seksama ternyata berbeda dengan ucapan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan tokoh dalam drama sekaligus mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh itu dan suasana serta keadaan di mana tokoh itu berada.

Sumarjo dan Saini (1986) menggolongkan sastra menjadi dua kelompok, yakni sastra imajinatif dan sasta non-imajinatif. Sastra imajinatif terdiri dari dua genre (jenis) yakni prosa dan puisi. Prosa terdiri dari fiksi dan drama. Fiksi meliputi novel, cerita pendek, dan novelet. Drama meliputi drama prosa dan drama puisi. Tampilan drama tersebut meliputi komedi, tragedy, melodrama, dan tragic komedi. Puisi meliputi puisi epic, lirik, dan dramatik. Sedangkan sastra non-imajinatif terdiri dari esai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah, memoir, catatan harian, dan surat-surat. Perbedaan antara sastra imajinatif dengan sastra non-imajinatif dapat dilihat di bawah ini.

Sastra Non-imajinatif
  1. Memenuhi estetika seni (unity, balance, harmony, dan right emphasis)
  2. Cenderung mengemukakan fakta
  3. Bahasa cenderung denotative (makna tunggal)

Sastra Imajinatif
  1. Memenuhi estetika seni (unity, balance, harmony, dan right emphasis)
  2. Cenderung khayali
  3. Bahasa cenderung konotatif (makna ganda)
Nah, apakah persoalan semakin jelas? Atau justru semakin bingung? Sastra kok jadi teknis begini? Jika ini terjadi pada Anda, tentulah Anda perlu mempelajari referensi yang lain. Selamat mencari apa itu SASTRA dan BUKAN SASTRA***


Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook