Thursday, May 29, 2008

Hikayat Bachtiar

DIANGKAT KEMBALI JADI RAJA


Seorang raja kalah perang dan melarikan dirinya
dengan permaisuri.




Alkissah, maka tersebutlah perkataan baginda tatkala ia membuangkan dirinya itu. Berapa lamanya ia berjalan itu, maka baginda pun sampailah kepada sebuah negeri yang amat besar kerajaannya. Maka baginda pun duduklah di luar kota negeri itu. Syahdan, maka adalah raja di dalam negeri itu telah kembalilah ke rahmatullah. Maka ia pun tiada beranak, seorang jua pun tiada. Maka segala menteri dan hulubalang dan orang besar-besar dan orang kaya-kaya dan rakyat sekaliannya berhimpunlah dengan musyawarat mupakat sekaliannya akan membicarakan, siapa juga yang patut dijadikan raja, menggantikan raja yang telah kembali ke rahmatullah itu. Maka di dalam antara menteri yang banyak itu ada seorang menteri yang tua daripada menteri yang banyak itu. Maka ia pun berkata, katanya. "Adapun hamba ini tua daripada tuan hamba sekalian. Jikalau ada gerangan bicara, mengapa segala saudaraku ini tiada hendak berkata?" Maka segala menteri dan hulubalang itu pun tersenyum seraya katanya, "Jika sungguh tuan hamba bersaudarakan hamba sekalian ini, dengan tulus dan ikhlas, hendaklah tuan hamba katakan, jika apa sekalipun." Setelah itu maka menteri tua itu pun berkatalah, katanya, "Bahwasanya hamba ini ada mendengar, tatkala hamba lagi kecil dahulu, perkataan marhum yang tua itu; maka sabdanya, marhum itu, "Adapun akan negeriku ini, jikalau tiada lagi rajanya, maka hendaklah dilepaskan gajah kesaktian itu, barang siapa yang berkenan kepadanya, ia itulah rajakan olehmu, supaya sentosa di dalam negeri ini." Setelah didengar oleh sekalian menteri dan hulubalang itu akan kata menteri itu, maka sekaliannya pun berkenanlah di dalam hatinya kata itu.

Hatta, maka pada ketika yang baik, maka gajah kesaktian itu pun dikeluarkan oranglah dengan alatnya. Setelah sudah, maka segala menteri dan hulubalang dan rakyat sekalian pun segeralah mengiringkan gajah itu dengan alat kerajaan, daripada payung ubur-ubur 1) dan hamparan 2) daripada suf sakalat ainalbanat 3) di atas gajah itu. Setelah itu maka seketika itu juga sampailah ia kepada tempat baginda dua suami istri itu.


Kalakian 4), maka baginda pun terkejut seraya menetapkan dirinya. Maka gajah itu pun segeralah datang, menundukkan kepalanya, seolah-olah orang sujud rupanya kepada baginda itu. Maka segala menteri dan hulubalang dan rakyat itu pun bertelut menjunjung duli seraya berdatang sembah, "Ya tuanku syah alam, patik sekalian memohonkan ampun beribu-ribu ampun ke bawah duli syah alam yang mahamulia. Adapun patik sekalian ini telah menyerahkan diri patik, dan negeri ini pun patik serahkan ke bawah syah alam."

Setelah baginda mendengar demikian sembah sekalian mereka itu, maka baginda pun terlalulah sukacitanya seraya titahnya, "Hai sekalian tuan-tuan, apa mulanya maka demikian halnya, tuan-tuan ini?"

Maka sembah segala menteri dan hulubalang itu, "Ya tuanku syah alam, adapun negeri patik ini telah tiadalah rajanya, telah sudah kembali ke rahmatullah taala." Maka dipersembahkannyalah daripada permulaannya datang kepada kesudahannya itu.

Syahdan, maka baginda pun terlalulah sukacita hatinya mendengar sembah sekalian menteri dan hulubalang itu. Maka seketika lagi baginda pun menceritakan hal-ihwalnya pergi membuangkan dirinya itu. Setelah segala menteri dan hulubalang dan rakyat sekaliannya mendengar cerita baginda itu, maka mereka itu pun terlalulah sukacita hatinya, maka katanya, "Raja besar juga rupanya duli baginda ini." Setelah sudah maka sembah segala menteri dan hulubalang dan rakyat sekalian itu, "Baiklah segera tuanku naik ke atas gajah ini, supaya patik sekalian mengiringkan tuanku ke dalam negeri."

Arkian, maka baginda dua suami istri itu pun naiklah ke atas gajah itu, maka perdana menteri pun mengembangkan payung kerajaan. Setelah sudah maka segala hulubalang pun mengerahkan segala rakyat memalu segala bunyi-bunyian, gegap gempita bunyinya terlalu ramainya. Maka baginda dua suami istri itu pun diarak oranglah lalu masuk ke dalam negeri, diiringkan oleh segala menteri dan hulubalang, rakyat hina dena, kecil dan besar, tua dan muda sekaliannya.

Apabila sampailah ke istana, maka sekaliannya itu pun habislah menjunjung duli baginda. Arkian, maka baginda pun terlalu adilnya dan murahnya serta dengan tegur sapanya akan segala rakyat, jikalau miskin kaya sekalipun, sama juga kepadanya. Maka negeri itu pun sentosalah. Demikianlah adanya.***


Cited from Bunga Rampai dari Hikayat Lama, Sanusi Pane, hal. 16-18
Download Hikayat ini KLIK DI SINI



Catatan:

Hikayat Bachtiar berasal dari bahasa Persia dan berisi cerita-cerita yang diceritakan oleh seorang orang setelah hal-ihwal orang yang bercerita itu diceritakan, sedang pada akhirnya diceritakan pula pengaruh hikayat-hikayatnya itu atas orang yang mendengar. Jadi seperti Hikayat Seribu Semalam, Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Kalflah dan Daminah (Lihat lebih lanjut keterangan tentang Hikayat Kalilah dan Daminah).
Cerita-cerita yang termuat dalam naskah-naskah Hikayat Bakhtiar tidak sama. Salah satu naskah itu diikhtisarkan dan diterbitkan olehA. F. von Dewall. Bahagian yang dipetik menceritakan ayahanda dan bunda Bakhtiar melarikan diri. Bakhtiar yang waktu itu baru lahir ditinggalkan mereka itu dalam hutan.
Ayahanda Bakhtiar diangkat jadi raja di negeri lain.
Bakhtiar jadi anak angkat saudagar Idris. Kemudian ia dihukum mati dan supaya hukuman itu jangan jadi dilangsungkan, diceritakannya cerita-cerita yang bagus kepada raja. Akhirnya kenyataan, bahwa Bakhtiar putra raja itu sendiri.

  1. Ubur-ubur = sebangsa binatang di laut; payung ubur-ubur = payung yang berupa ubur-ubur
  2. Permadani.
  3. Suf = sebangsa kain dari bulu domba, wol; sekalat, dari bahasa Persia, artinya berwarna coklat; kain yang begitu warnanya, 'ain-albanat artinya sebenarnya; mata gadir; sebangsa kain yang bagus.
  4. Kala dan kain pada ketika itu.

Wednesday, May 28, 2008

Kill the radio

Dorothea Rosa Herliany

The Legend of the Owl and the Moon



is that your lover’s face? hanging lonely in the sky
sad and weeping year after year: walking through
the threads of a thousand overcast legends.

alone there, playing with the children
a long time ago combing the grass and bamboo, smelling
the mountains and scattered villages.

behind the pages of the story: a woman,
her face phosphorescent, reflected in a lake
bruised by solitude, wallowing in the mud
cast by sudden, unavoidable old age.

woman, what are you searching for in your strange loss?
why do you record your pain and blood, when each story
only lasts a little while.

why don’t you scream and resist this arrogance.
there is no virtue in your modest surrender.


fetch your bayonet, and castrate all the man who oppress you
-- in a single whisper, kill them all!
then throw them away as if they were trash!


2000

cited from Kill the Radio, page 22-23


Hikayat Bulan


itukah wajah kekasihmu? bergantung dalam kesepian!
bertahuntahun menangis dan muram: berjalan dalam
seutas legenda buram.

di sana ia sendirian. menemani anakanak bermain
di masa lalu, menyisir semak dan daun bamboo. mencium bau
pegunungan dan desa desa.

di balik halaman kisahnya: seorang perempuan bercermin
danau.
wajahnya berpendar dan ditonjok kesunyian.
berkubang dengan usia yang bergegas dan tibatiba.

ada yang kucari dalam kehilangan yang aneh, perempuan?
mengapa mencatat dengan perih dan darah, kerna
setiap kisah akan berjalan singkat.

tapi apa salahnya kau berteriak dan memberontak
---dalam satu bisikan mematikan!
lalu, campakkan umpama sampah!

Tuesday, May 27, 2008

Syarat Esei Sastra

Syarat Esai Sastra yang Sehat dan Apresiatif

Maman S. Mahayana
Dewasa ini bertebaran esai sastra dimuat di berbagai media massa. Secara kuantitatif, gejala itu amat menggembirakan. Namun, secara kualitatif, patut dipertanyakan. Persoalannya menyangkut beberapa hal. Pertama, apakah esai itu sejalan dan tidak menyimpang dari hakikat kritik sastra. Kedua, apakah pembicaraannya cuma seputar dirinya atau kelompoknya belaka. Ketiga, apakah ia mengungkapkan nilai atau sekedar pembicaraan melantur yang diselimuti istilah-istilah mentereng. Keempat, apakah pembaca umum dapat memahami esai itu atau malah menjadikan mereka makin bingung. Sejumlah pertanyaan lain masih dapat kita ajukan. Namun, dengan keempat pokok persoalan itu, dapat kita jadikan sebagai bahan evaluasi.
***
Esai sastra yang ditulis diberbagai media massa sesungguhnya termasuk kategori kritik sastra umum. Sebagai bentuk kritik sastra, ia mesti mendasari gagasannya pada usaha mengungkapkan nilai; nilai atas karya sastra dan nilai atas peran profesional sastrawannya. Dengan demikian, ia mesti bersifat apresiatif; pengungkapan nilai positif dan penjelasan mengenai maknanya. Cara ini tidak hanya menempatkan karya sastra secara proporsional, melainkan juga mengangkatnya sebagai karya yang bermakna bagi manusia dan kemanusiaan.

Menempatkan karya sastra secara proporsional, artinya kita mengembalikan hakikat karya itu sebagai sebuah teks yang mengungkapkan fakta yang terimajinasi. Fakta dalam karya sastra adalah fiksi. Oleh Karena itu, akan menyesatkan jika kita memperlakukan karya sastra sebagai karya jurnalistik atau karya sejarah. Bahwa karya itu memotret peri kehidupan manusia, potret itu sendiri sudah dibaluri wama; membuang yang dianggap tak penting dan menambahkan sesuatu agar menarik hati dan menggugah emosi.

Mengangkat makna karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, artinya kita mengungkapkan nilai karya itu dalam kaitannya dengan fungsinya yang mendidik. "Didactic heresy" kata Edgar Allan Poe atau "duice et utile" menurut gagasan Horatio; sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Mengingat karya sastra lahir dari pemikiran manusia yang mengungkapkan masalah manusia dan diwartakan untuk manusia, maka ia sesungguhnya mengajak manusia untuk berpihak pada moralitas dan hati nurani kemanusiaan. Ia juga mengajak kita untuk peduli dan memikirkan alam dan lingkungan di sekitar kita.


Esai sastra seyogianya mengungkapkan itu, Ia hendaknya tidak mengangkat masalah dirinya sendiri dan disampaikan untuk kalangan sendiri. Esai sastra yang dimuat di media massa pada dasarnya bersifat publik. Ia disampaikan untuk masyarakat luas. Mengingat begitu beragamnya tingkat apresiasi masyarakat, mesti diandaikan pembacanya adalah anak sekolah, guru, sastrawan, peminat sastra, kritikus, budayawan dan kaum intelektual. Ringkasnya, pembacanya adalah masyarakat yang baru mengenal dunia sastra sampai masyarakat yang hidup dan menghidupi kesusastraan. Oleh karena itu, tidak perlu ia berbicara dengan bahasa yang aneh-aneh tanpa jelas juntrungannya. Ia cukup disampaikan dengan bahasa yang jemih dan sederhana, namun jelas apa yang hendak disampaikannya. Dengan cara itu, pembaca awam akan mendapat penjelasan yang sepatutnya mengenai sastra dengan berbagai aspeknya, sastrawan akan memperoleh masukan mengenai karyanya; dan kalangan akademi atau kaum intelektual akan ikut terpancing menggali lebih jauh, meluruskan jika terjadi kekeliruan, dan memancing yang lain untuk menyemarakkannya serta merangsang sastrawan agar berkarya lebih baik lagi.
***
Esai sastra yang termasuk kritik sastra umum, boleh saja ditulis setiap orang, apapun latar belakang pendidikannya. Hasilnya baik atau tidak, sah-sah saja adanya. Namun, perlu diingat, bahwa kritik sastra umum hakikatnya mengangkat dan mengungkapkan nilai lewat penyajiannya yang populer. Istilah-istilah teknis, teori-teori canggih, dan metodologi yang jlimet, terpaksalah kita tanggalkan karena ia disajikan untuk umum; masyarakat luas. Ia juga bukan karya ilmiah yang menuntut pertanggungjawabannya berdasarkan prinsip keilmuan. Jadi, cukuplah ia disajikan secara sederhana agar masyarakat umum dapat memahaminya. Begitulah, nilai itu akan bermakna jika pembicaraannya tidak ngawur. Bahkan, lebih daripada itu, maknanya akan menjadi sebuah monument jika banyak pihak dapat menikmati manfaatnya.

Esai yang ditulis H.B. Jassin yang dihimpun dalam Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei adalah contoh esai sastra yang baik. Dalam buku itu, Jassin lebih banyak mengenalkan pengarangnya; mengungkapkan dan meletakkan posisi karyanya, dan menggali makna karya bersangkutan. Tak ada caci-maki di dalamnya. Dengan begitu, pembaca umum akan tertarik pada karya yang dibicarkannya, dan terpancing untuk membaca karya yang bersangkutan secara langsung. Pengarang juga memperoleh manfaat, karena dari tulisan Jassin itu, ia dapat introspeksi; menyadari kelemahannya, mengetahui kelebihannya, sangat mungkin kemudian berusaha memperdalam kemampuannya dan memaksimalkan kelebihannya.

Sementara itu, mengingat apa yang diungkapkan Jassin selalu berdasarkan data yang relative lengkap berdasarkan kedekatan dengan pribadi pengarangnya, maka esai-esai Jassin juga banyak dimanfaatkan oleh para peneliti. Periksalah, dalam banyak skripsi, tesis atau disertasi yang membicarakan kesusastraan Indonesia, buku Jassin hampir selalu menjadi salah satu sumber rujukannya. Satu petunjuk betapa esai yang ditulis H.B. Jassin secara sederhana dan bersifat umum itu menjadi sebuah 'monumen'.

Esai sastra yang ditulis di surat-surat kabar atau majalah, sepatutnya ditulis dengan penyajian yang sederhana, gagasan yang jemih dan kemungkinan jangkauannya yang luas. Dengan cara itu, amat mungkin masyarakat makin akrab dengan dunia sastra, dan tidak sebaliknya. Boleh jadi keprihatinan banyak pihak, bahwa kesusastraan kita terpencil dari masyarakatnya dan pelajaran sastra di sekolah tidak menekankan apresiasinya, lebih disebabkan oleh kurangnya esai-esai sastra dan kritik sastra umum yang sehat dan menyehatkan.

Masalahnya, esai sastra atau kritik sastra umum yang ditulis secara ngawur, tidak hanya akan membuat sastrawannya sendiri bingung —karena tidak tahu lagi di mana kelebihan dan kekurangan karya-karya yang telah dihasilkannya— melainkan juga akan menjauhkan dunia sastra dari masyarakat. Kesusastraan jadi seolah-olah dunia yang eksklusif; dinikmati dan dibicarakan hanya dalam lingkungannya sendiri.

Mengingat esai sastra atau kritik sastra umum langsung berhadapan dengan masyarakat, maka pengaruhnya jauh lebih luas dibandingkan dengan kritik sastra ilmiah yang pembicaannya terbatas dalam lingkungan akademi. Oleh karena itu, esai sastra sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mengakrabkan masyarakat dengan dunia sastra. Ia juga berperan tidak hanya untuk menyemarakkan kehidupan kesusastraan dan mendorong sastrawannya untuk berkarya lebih baik lagi, tetapi juga menggairahkan masyarakat agar ikut memberikan apresiasinya terhadap karya sastra. Tentu saja jika esai sastra dan kritik sastra umum itu juga ditulis secara sehat dan menyehatkan. Oleh karena itu perlu kritik sastra yang sehat, menyehatkan dan apresiatif. Untuk menghasilkan esai atau kritik seperti itu, diperlukan sejumlah syarat sebagai berikut:

Pertama, berangkat dari apresiasi sastra. Membaca karyanya dan memberi penghargaan dan nilai terhadapnya. Jadi, langkah pertama adalah membaca karyanya itu sendiri.

Kedua, serba sedikit mempunyai pemahaman atau pengenalan sejumlah konsep dasar pengetahuan kesusastraan. Tetapi jangan menempatkan teori sebagai titik berangkatnya. Jika itu dilakukan, maka esai atau kritik itu cenderung mengandung pemaksaan teoretis.

Ketiga, membaca sebanyak-banyaknya karya sastra sebelumnya atau karya sastra sezamannya. Cara ini dapat memberi dasar bagi kita untuk menempatkan karya sastra dalam konteks sejarahnya. Apakah karya itu temanya benar-benar baru atau mengulang saja. Pertanyaan; di mana pula tempat karya tersebut dibandingkan dengan karya yang terbit sebelumnya?

Keempat, bersikap adil. Jika kita mengungkapkan kelemahan atau kekurangan karya sastra, maka kita perlu mengungkapkan kelebihannya. Dan yang penting lagi, adalah melihat prospek masa depan pengarangnya.

Kelima, mengingat esai sastra dapat dianggap sebagai kritik sastra umum, maka pembacanya juga masyarakat umum. Oleh karena itu, cara penyajian dan gaya bahasa yang digunakan, seyogianya sederhana saja, lugas, tidak perlu menggunakan istilah-istilah asing.***
Maman S. Mahayana, kritikus sastra dan staf pengajar
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.


Diambil dari Kakilangit 36 Januari 2000 (sisipan Majalah Horison)
digunakan sebagai materi pelajaran sastra.

Saturday, May 24, 2008

Puisi Mbeling Remy Sylado


MENCARI IDENTITAS NASIONAL
SESAT DI VARIETAS EMOSIONAL




Bandung 1972



ANTI KORUPSI

KEPRIBADIAN NASIONAL



1972

Friday, May 23, 2008

Kritik Novel Kuntowijayo

Maklumat Terakhir “Mantra Penjinak Ular”

Judul Buku: Maklumat Sastra Profetik
Penulis : Kutowijoyo
Penerbit : Grafindo Litera Media Yogyakarta
Halaman : viii + 120
Cet : I, Juni 2006


Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama.

Pepatah di atas, agaknya sangat tepat untuk melukiskan cendekiawan dan budayawan besar “Resi” Kuntowijoyo. Sebuah nama yang memiliki sejumlah identitas (meminjam istilah Dr. Sangidu, M.Hum).

Kuntowijoyo, lahir di Yogyakarta 18 September 1943. Sejak muda, ia sangat perhatian (concern) dengan berbagai bidang kajian. Hingga akhirnya, Doktor lulusan Universitas Columbia ini dikenal luas sebagai: akademisi, sastrawan, aktivis pergerakan, budayawan, kolumnis, penulis buku, khatib.

Berbagai gelar sosial – kesenimanan di atas, cukup menjadi saksi seperti apa sosok Kuntowijoyo. Namun, agaknya gelar sastrawan – budayawan lah yang lebih cocok disandingkan dengan nama besarnya.

Sastra pembebasan?

Sastra, baik yang berupa sya’ir (puisi) maupun cerita pendek dan lain sebagainya, bukan sekadar ekspresi picisan sang sastrawan atas imajinasi yang didapatnya. Ia juga tidak sekadar permainan makna para penyair dan sastrawan.

Melainkan harus ada kandungan sebuah pesan atas karya – karya. Dan biasanya, para penyair – sastrawan itu lebih cenderung memilih sya’ir – sastra pembebasan (perjuangan) dan puitis. Dua hal ini menjadi sesuatu yang tak terbantahkan.

Lihat saja. Sastrawan besar semacam Chairil Anwar, selalu membuat puisi – puisi pembebasan (pejuangan) untuk merefleksikan kebenciannya terhadap penjajah. “Aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang/ …. Meski seribu peluru menembus dadaku/ aku akan tetap meradang/ menerjang/ …


Dengan lihainya Chairil mencipta puisi – puisi pembebasan itu. Namun ketika ia ketemu dengan seorang gadis yang kemudian dinikahinya untuk pertama kali, ia juga mencipta puisi – puisi puitis untuk sang kekasih pujaan hati.

Saya kira, dua tema di ataslah yang mendominasi dunia kepenyairan dan sastrawan kita. Sajak pembebasan WS. Rendra, antara lain ketika ia menggugat dengan: “Rakyat adalah sumber kedaulatan/ kekuasaan tanpa rakyat/ adalah benalu tanpa karisma/ rakyat adalah bumi/ politik dan kebudayaan adalah udara/ bumi tanpa udara/ adalah bumi tanpa kehidupan …”
Demikian adalah sajak yang ditulis Rendra, untuk menggugat kesewenang – wenangan para anggota Dewan (DPR), yang tidak lagi sesuai fungsinya sebagai wakil rakyat.


Sastra profetik



Dua tema dalam dunia kepenyairan – sastra di atas, memang sebuah realitas. Dua hal itu sangat mudah dicipta, karena manakala seseorang tidak sepakat dengan sebuah kondisi (situasi) tertentu, ia bisa dengan mudahnya menggugat dan mengekspresikannya dalam sebuah puisi maupun karya sastra lainnya.



Selain itu, orang juga akan lebih mudah mencipta puisi – syair dan karya sastra puitis ketika ia sedang jatuh cinta dan atau putus cinta. Dengan lancer seseorang akan mencipta sebuah karya maha dahsyat berkaitan dengan tema cinta yang sangat puitis (ingat bagaimana Qois mencipta sya’ir – sya’ir nya untuk perempuan yang sangat dicintainya: Laila).



Meski dua hal di atas lah yang dominant, namun agaknya Kuntowijoyo berbeda. Ia mencipta karya – karyanya bukan sekadar untuk mencurahkan ekspresi ketidaksepakatan atas sebuah kondisi atau mencipta hal – hal puitis dalam setiap karyanya.



Itulah kehebatannya. Baginya, sastra bisa lebih dari itu. Bisa memberikan pencerahan dan kemanfaan untuk mendekatkan diri kepada Yang Esa. Ia menyebutnya sebagai sastra profetik.



Lewat sastra profetik yang bersumber Kitab – kitab suci, adalah senjata orang beragama untuk melawan musuh – musuhnya (fungsi pembebas), materialisme dan sekularisme (h.24).

Secara sederhana, skema pemikiran sastra profetik penulis buku “Mantra Penjinak Ular” ini, adalah bahwa tugas sastrawan lewat karya – karyanya, adalah memperluas ruang batin, serta menggugah kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan. Habl min Allah wa habl min an-nas (h.7).



Oleh karena itu, kehadiran buku Maklumat Sastra Profetik yang ditulis empat hari menjelang meninggalnya Kuntowijoyo ini, wajib dibaca oleh para penyair, sastrawan, budayawan dan umum, agar mengetahui bahwa tugas para sastrawan bukanlah menciptakan karya dengan bahasa yang mendayu – dayu dan puitis. Karena ada peranan yang lebih besar, yaitu sastra sebagai sarara membuka ruang menuju kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan.
—————
Rosidi Tanabata, editor, cerpenis dan penulis muda asal Kudus. Menyunting kumpulan cerpen orang – orang marginal “The Regala 204B”, cerpennya terangkum dalam buku “Opera Zaman”. Kini, menjadi Koordinator Kampoeng Sastra Suket Teki Semarang.

Wednesday, May 21, 2008

Resensi Nyanyian malam

Kisah tentang Orang-orang Pinggiran

Ahmad Tohari, Nyanyian Malam (Jakarta: Grasindo, 2000), 91 halaman.

Di antara genre sastra, mungkin cerpen merupakan subgenre yang banyak dihasilkan—setelah puisi— dalam kesusastraan Indonesia. Memang hingga kini belum ada penelitian yang dapat menggambarkan secara keseluruhan perbandingan jumlah antara puisi, novel, cerpen, dan drama dalam sastra Indonesia. Namun setidaknya dari penelian Ernst Ukich Kratz, dalam Bibliografi Sastra Indonesia terlihat bahwa jumlah cerpen yang termuat pada majalah yang terbit antara 1922-1982 mencapai 10.389 judul. Jumlah itu memang masih kalah dibandingkan dengan puisi yang mencapai 16.507 judul. Namun, secara keseluruhan produkdvitas cerpen tetap tergolong tinggi.

Fakta tersebut tidak mengindikasikan bahwa menulis cerpen itu lebih mudah daripada menulis novel atau drama. Sesuai dengan namanya, sebuah cerpen memang dibatasi oleh bentuknya yang pendek. Justru di sinilah masalahnya: seorang cerpenis dituntut kepiawaiannya menggarap persoalan yang disodorkan dalam karyanya. Terbatasnya ruang itu menuntut kesanggupan cerpenis untuk menyeleksi dan menata peristiwa yang hendak diceritakan hingga menjadi karya yang memikat.

Dalam konteks itu, kita sungguh merasa bersyukur karena memiliki banyak cerpenis yang piawai. Salah seorang di antaranya adalah Ahmad Tohari. Kendatipun ia mendapat pengakuan luwes lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk, tidak berarti bahwa karya dia yang lain—yang bukan novel— dapat dinafikan begitu saja. Justru pada cerpen, Tohari terlihat lebih tangkas dalam mengungkapkan dunia orang-orang kecil yang menjadi wilayah perhatiannya selama ini. Hal itu ditunjukkan dengan kehadiran Nyanyian Malam.


Buku yang memuat 10 cerpen ini merupakan kumpulan cerpen kedua karya Tohari. Sebelumnya, ia telah menghasilkan Senyum Karyamin (1989). Seperti karya pertama, karya kedua ini, sebagian besar, juga melukiskan kehidupan dunia "orang kecil," yakni orang-orang di pinggiran atau yang terpinggirkan. Kehidupan mereka terwakili oleh cerita tentang kehidupan para penipu yang mengatasnamakan anak yatim dan anak cacat ("Penipu yang Keempat"); cerita tentang pengemis ("Mata yang Enak Dibaca"); cerita tentang perempuan pelacur ("Nyanyian Malam"); cerita tentang seorang yang teraniaya karena pembawaannya yang aneh ("Pemandang Perut"); cerita tentang pencuri padi ("Pencuri"); cerita tentang sebuah keluarga yang retak karena dukun ("Warung Penajem"); dan cerita tentang tobat seorang hiperseks ("Kang Sarpin Minta Dikebiri").

Selain mengungkapkan kehidupan orang-orang kecil di pinggiran, Tohari juga berusaha menyoroti kehidupan sastrawan yang "bernasib" buruk ("Daruan") dan seorang perempuan yang menghadapi dilema antara tunduk pada orang tua yang mendidik dan membesarkannya dengan suami yang dicintainya ("Bulan Kuning Sudah Tenggelam").

Dalam mengungkap kehidupan orang-orang itu, Tohari kadang-kadang bertindak sebagai pencerita yang mengamati dan melaporkan semua kejadian yang dilihatnya, kadang-kadang berlaku sebagai salah seorang tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa yang diceritakannya. Baik dalam posisinya sebagai pengamat maupun sebagai pelaku, Tohari senantiasa mengajak kita untuk berempati dan atau bersimpati terhadap persoalan yang dihadapi para tokoh dalam cerita itu.

Cerpen-cerpen Tohari tak sepi dari pesan. Dan pesan itu ada yang implisit, ada pula yang eksplisit. Dalam "Pencuri," "Nyanyian Malam," dan "Kang Sarpin Minta Dikebiri," misalnya, kita seakan diimbau —atau sekurang-kurangnya diketuk hati kita—untuk menyetujui tesis pencerita berkenaan dengan persoalan yang dikemukakannya. Dalam "Pencuri," kita diimbau untuk menyisihkan sebagian harta kita untuk kaum fakir; dalam "Nyanyian Malam," kita diimbau untuk memberikan kasih pada orang yang "kotor," dan pada "Kang Sarpin Minta Dikebiri," kita diiingatkan agar memberi tempat bagi orang yang jujur. Pada cerpen-cerpen tersebut "imbauan" itu disampaikan secara eksplisit lewat sikap pencerita yang kurang lebih mewakili pandangan Tohari. Sementara itu, dalam "Mata yang Dipandang Enak," "Penipu yang Keempat," "Daruan", dan "Warung Penajem" pesan ditampilkan secara samar. Hal itu terlihat dari cara Tohari mengakhiri cerita. Pada akhir cerita Tohari tidak menyelesaikan persoalan. Ia seakan menyerahkan "penyelesaian" persoalan pada pembaca.

Bagaimana dengan posisi Tohari? Agaknya, apa pun posisi yang dipilihnya, Tohari —lewat kesepuluh cerpen yang terhimpun dalam buku ini— memberikan kesan bahwa ia sangat akrab dengan dan menguasai dunia orang-orang yang diceritakannya. Di sinilah kelebihan Tohari. Demikianlah, misalnya, ketika bercerita tentang Paman Doblo dalam "Paman Doblo Merobek Layang-layang," dia sangat paham dan hafal dengan dunia penggembala kerbau. Lukisan tentang perilaku kerbau dan ulah anak-anak penggembala begitu hidup dan meyakinkan. Secara keseluruhan, cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku ini menyiratkan bahwa Tohari tidak sedang mengada-ada atau berpura-pura tahu tentang orang kecil.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dari kumpulan cerpen ini adalah keberadaan "Bulan Kuning Sudah Tenggelam." Cerpen ini agak berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya, minimal dari segi panjang cerita dan gaya bercerita Tohari. Maman S. Mahayana dalam kata penutup buku ini memberikan 3 alasan mengapa cerita ini diikutsertakan. Salah satunya adalah bahwa cerpen itu memperlihatkan style yang agak berbeda dengan karya-karya Tohari lainnya. Saya pikir Maman benar. Perbedaan itu —menurut hemat saya— dapat diterangkan dengan cara menelusuri konteks penulisan cerpen tersebut. "Bulan Kuning Sudah Tenggelam" semula dimuat di majalah Kartini yang pembacanya umumnya wanita. Selain itu, majalah ini juga menyediakan rubrik yang dapat menampung cerpen panjang. Justru karena itulah Tohari menulis cerpen panjang. Faktor pembaca —yang kebanyakan wanita— pulalah yang memungkinkan "Bulan Kuning Sudah Tenggelam" lahir dari tangan Tohari.

Jika kita perhatikan secara keseluruhan, Tohari sadar betul akan calon pembaca dan media penampung karya-karyanya. Pilihan dan cara penyiasatan tema/pemecahan persoalan, penyajian amanat, serta panjang pendek cerita disesuaikan dengan media dan calon pembaca karya-karyanya. Dengan demikian, perbedaan cerpen satu dengan cerpen lainnya—termasuk "keistimewaan" cerpen "Bulan Kuning Sudah Tenggelam"—tampaknya harus dikembalikan pada faktor media penampungnya. Perhatikan cerpen-cerpen Tohari dalam buku ini yang semula dimuat di Panji Masyarakat, jelas warna "Islamnya" lebih terlihat daripada cerpen lain yang semula dimuat di Kompas.

Meskipun, menurut Maman, ada pergeseran pada wilayah perhatian Tohari, saya melihat bahwa secara tematik Tohari belum bergeser dari pilihannya yang cenderung tertuju pada orang pinggiran. Secara stilistik saya juga tidak melihat adanya perubahan pada diri Tohari. Cara bertutur dia dalam buku ini masih mengingatkan saya pada Senyum Karyamin. Walaupun begitu, lepas dari persoalan itu, buku ini tetap patut kita sambut, bukan karena kebetulan ditulis oleh seorang Tohari, melainkan karena apa yang ditampilkan—suara Tohari "masih" merupakan bagian dari isi kehidupan masyarakat kita.
Sunu Wasono
Cited from Horison-XXXIV/2/2001 halaman 33-34

Monday, May 19, 2008

Di Bawah Lindungan Ka'abah

SINOPSIS NOVEL DI BAWAH LINDUNGAN KA’ABAH


Roman ini adalah karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Hamka. Roman yang sarat dengan ajaran Islam diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1930.

Roman ini berkisah tentang kasih tak sampai karena perbedaan status sosial. Alur cerita dalam roman ini merupakan sorot balik (flashback) karena tokoh cerita dikisahkan oleh aku sebagai pencerita. Aku mengisahkan peristiwa yang dialami oleh tokoh utama.

Pada tahun 1927 aku berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di sana aku bertemu dengan seorang pemuda yang berasal dari Padang juga, bernama Hamid. Pemuda ini nampaknya terpelajar dan saleh, tetapi wajahnya menunjukkan adanya suatu masalah yang tak bisa dapat dipecahkannya. Kekariban kami menyebabkan Hamid akhirnya mau mengungkapkan latar belakang kehidupannya semasa masih di tanah air. Beginilah ceritanya :

Hamid adalah anak yatim yang hanya hidup dengan ibunya yang miskin. Untuk membantu kehidupan ibunya, Hamid terpaksa berhenti sekolah dan mencari uang dengan berjualan kue. Dalam menjalankan pekerjaannya menjajakan kue inilah, Hamid berkenalan dengan haji Ja'far yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Zainab. Karena melihat ketelantaran anak itu, maka haji Ja'far sanggup membeayai sekolah Hamid. Begitulah Hamid akhirnya berhenti berjualan kue dan mulai sekolah kembali.

Kebetulan Zainab juga satu sekolah dengan Hamid meskipun lebih muda, sehingga pergi dan pulang sekolah selalu bersama-sama. Hamid dan Zainab sudah seperti kakak beradik. Mengingat kebaikan haji Ja'far, maka ibu Hamid dan Hamid sendiri seringkali dengan sukarela membantu di rumah haji Ja'far.

Beberapa tahun kemudian Hamid dan Zainab mencapai usia akil balik. Karena Zainab sudah akil balik, maka menurut adat dia harus berhenti sekolah. Sedang Hamid masih dapat melanjutkan sekolahnya. Namun sekolah Hamid yang lebih tinggi hanya ada di Padang Panjang. Hamid terus melanjutkan sekolah agamanya di kota tersebut dengan beaya haji Ja'far. Sedangkan Zainab masuk pingitan sampai datang orang melamar.

Tiba-tiba haji Ja'far meninggal dunia karena usianya. Hamid tak ada lagi yang membeayai sekolahnya, akibatnya Hamid harus menghentikan pendidikannya. Sementara itu hubungan Hamid dan Zainab sudah berkembang bukan lagi sebagai kakak adik, tetapi sudah menginjak hubungan percintaan, meskipun keduanya membisu dan tak pernah mengungkapkannya dalam kata-kata. Setelah mendengar berita kematian haji Ja'far, Hamid segera pulang ke Padang. Dalam perjumpaannya dengan keluarga almarhum Ja'far, Hamid dapat merasakan adanya api cinta di mata Zainab terhadapnya. Namun gelora cinta itu tetap hanya dipendam di hati masing-masing.

Tidak lama kemudian ibu Hamid pun jatuh sakit pula. Dan sebelum meninggal dunia, ibu ini berpesan kepada anaknya agar tidak melangkah lebih jauh dalam mencintai Zainab. Lebih baik Hamid memutuskan segera rasa cintanya kepada Zainab. Alasan yang dikemukakan ibu Hamid adalah karena keluarga Zainab pemah menolongnya, dan lagi pula keluarga Zainab adalah keluarga kaya raya sedangkan keluarganya miskin.

Setelah ibunya meninggal dunia, Hamid seringkali mengasingkan diri. Pada suatu kali ia bertemu dengan ibu Zainab yang telah lama tidak menjumpainya. Hamid diminta oleh ibu Zainab untuk datang ke rumahnya. Ketika Hamid datang ke rumah keluarga almarhum Ja'far, ia menjumpai Zainab sedang seorang diri saja di rumah. Dalam kekosongan rumah itu keduanya berbincang-bincang dengan asyik. Ketika Hamid, terdorong oleh rindu dendamnya, ingin menanyakan kepada Zainab apakah Zainab masih terus ingat kepadanya, tiba-tiba ibu Zainab datang. Gadis itu hampir saja menyatakan rasa cintanya kepada Hamid, namun tak sampai terucapkan karena kedatangan ibunya itu. Ibu Zainab menyuruh Hamid datang ke rumahnya, ternyata memang ada perkara yang hendak dibicarakannya, yakni perkara lamaran terhadap Zainab. Salah seorang keponakannya melamar Zainab, tetapi Zainab rupanya tidak cocok, sehingga ibunya meminta jasa baik Hamid agar mau membujuk "adiknya" untuk menerima lamaran itu. Alasan Zainab memaksa anak gadisnya menerima lamaran itu adalah agar supaya harta kekayaan almarhum haji Ja'far tidak jatuh ke tangan orang lain, melainkan ke tangan keluarga sendiri. Dengan berat hati Hamid menjalankan desakan ini. Hamid mendorong kekasihnya itu agar mau menerima lamaran.

Karena hancur hatinya kehilangan gadis yang dicintainya secara diam-diam tetapi sangat mendalam itu, Hamid memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Berkat bantuan seorang ulama ia dapat meninggalkan Indonesia dan pergi ke tanah Saudi Arabia.

Sepeninggal Hamid, Zainab juga hancur hatinya. Dan ia menolak paksaan ibunya untuk menikah dengan pemuda kerabatnya yang tak dicintainya itu. Untung calon suaminya memahami dan akhirnya mengundurkan diri. Di Mekah inilah Hamid mengetahui seluruh riwayat Zainab sepeninggalnya dari Indonesia. Ketika seorang pemuda Indonesia bernama Saleh yang sedang belajar di Mesir melakukan perjalanan pulangnya ke Indonesia, dan dia sempat singgah di perkemahan kami, diketahuinyalah bahwa Zainab masih sangat mencintai Hamid. Ungkapan perasaan cinta Zainab ini ditulis dalam salah satu surat isteri Saleh yang bersahabat dengan Zainab. Namun sebelum percintaan ini dapat dilanjutkan kembali, diterima kabar bahwa Zainab telah mendahului meninggal dunia akibat tak kuat menanggung beban asmara yang telah lama ditanggungnya. Perasaan Hamid hancur dan nampak badannya makin melemah. Begitulah setelah kami selesai melakukan ibadah, di tengah doa ribuan umat, di bawah lindungan ka'bah, Hamid meninggal dunia.***

Pingin download? Silakan klik di sini

Friday, May 16, 2008

Indera Bangsawan dan Buraksa

INDERA BANGSAWAN MEMBUNUH BURAKSA


Syah Peri dan Indera Bangsawan disuruh oleh ayahanda
mereka itu mencari buluh perindu 1). Ketika hujan
lebat, mereka itu tercerai Syah Peri kemudian mengalahkan
gurda 2) dan kawin dengan seorang putri. Indera
Bangsawan sampai ke tempat seorang raksasa, yang memberi
kesaktian kepadanya. la mengubah rupanya dan
menjadi gembala. Dengan demikian ia berkenalan dengan
putri Dewi Kemala Sari.
Putri itu dipinang oleh sembilan orang anak raja.
Yang sanggup membunuh buraksa yang meminta korban
tiap tahunlah yang akan mendapat dia.
Yang membuBuh buraksa itu dan yang menyelamatkan
Dewi Kemala Sari ialah Indera Bangsawan.



Maka Indera Bangsawan pun menyembahlah serta mencerit akan hal-ihwal tuan outri Dewi Kemala Sari akan diambil buraksa 3) dan halnya hendak menolong tuan putri itu.

Maka kata neneknya (raksasa) itu, "Terialu baik bicara cucuku ini!" Setelah itu maka dicitanyalah kudanya asal dari anak raja jin. Dengan seketika itu juga kuda itu pun terdirilah dengan selengkap pakaiannya. Maka Indera Bangsawan pun heranlah seraya mengucap syukur kepada Allah subhanahu wataala. Adapun kuda itu hijau warnanya. Maka kata kuda itu, "Mengapa tuanku memanggil akan patik ini?"

Maka kata raksasa itu, "Engkau ini sudah aku berikan kepada cucuku ini."

Arkian 4) maka kuda itu pun tunduk seperti laku orang menyembah. Maka kata raksasa, "Hai cucuku, ambillah kuda ini. jikalau sampai ke sana, maka tahan jerat ini pada mulut bejana 5) itu. Maka ujung tali itu tambatkan ke leher kuda ini, karena buraksa itu akan datang minum air pada bejana itu."

Syahdan maka Indera Bangsawan menanggalkan sarung kesaktian itu lalu ia mengambil pedangnya. Arkian maka Indera Bangsawan pun bermohonlah kepada neneknya raksasa itu, seraya katanya, "Apa nama kuda ini?"

Maka kata raksasa itu, "Janggi 6) Hijau Harjin namanya."

Maka kata Indera Bangsawan, "Hai Janggi Harjin, marilah engkau kepadaku." Maka kuda itu pun datanglah kepadanya. Setelah itu maka Indera Bangsawan pun naiklah ke atas kuda itu. Maka pedangnya yang berhulukan zamrud itu pun diperselendangnya sebelah kiri dan cemeti manikam di kanannya. Setelah sudah, maka digertakkannya kudanya itu. Dengan sesaat itu juga, maka ia pun sampailah ke tempat tuan putri itu. Maka dipermain-mainkannya kudanya itu di hadapan mahligai tuan putri itu. Maka dilihat oleh tuan putri orang muda mengendarai kuda hijau terlalu amat elok parasnya, serta sikapnya pun baik. Maka kata tuan putri, "Hai orang muda, maukah tuan hamba lenyap serta hilang dengan hamba maka tuan hamba datang ke mari ini? Jika sekarang buraksa itu datang, tuan hamba pun, tentu dimakannya."

Maka Indera Bangsawan pun berpantun, demikian bunyinya:

"Tali kuda hamba tambatkan,
terbang sekawan burung merpati.
Sedikit tidak hamba takutkan,
karena tuan belaku 7) mati."


Maka kata tuan putri, "Jikalau demikian baiklah tuan hamba naik, janganlah tuan hamba di bawah mahligai ini."

Maka Indera Bangsawan pun turunlah dari atas kudanya, lalu menahan jerat pada mulut bejana itu; maka ujung tali itu pun diikatkannya pada leher kudanya, serta berpesan, "Hai Janggi Harjin, jikalau buraksa itu minum air, maka tarik olehmu jerat ini dan tendang olehmu akan dia!" Setelah sudah ia berpesan itu, maka ia pun naiklah ke atas mahligai itu lalu duduk dekat tuan putri. Syahdan 8) maka ditanya oleh tuan putri, "Siapa nama tuan hamba ini dan di mana negeri tuan hamba?"

Maka kata Indera Bangsawan, "Hamba ini tiada bemama dan tiada tahu akan bapak hamba, karena diam dalam hutan rimba belantara. Adapun sebabnya hamba ke mari ini karena hamba mendengar khabar anak raja sembilan orang hendak membunuh buraksa dan merebut tuan hamba daripadanya itu; itulah maka hamba datang ke mari hendak melihat tamasya 9) anak raja itu."

Maka kata tuan putri, "Syukurlah jikalau tuan hamba hendak mengasihi hamba dan pada bicara akal hamba, akan anak raja-raja yang sembilan itu tiadalah dapat membunuh buraksa itu. Jikalau lain daripada Indera Bangsawan tiada dapat membunuh akan buraksa itu."

Maka kata orang muda itu, "Siapakah yang bernama Indera Bangsawan itu?"

Maka kata tuan putri itu, "Adapun yang bernama Indera Bangsawan itu, putra raja Indera Bungsu dan cucu raja Kobat Syahrial 10) ialah yang dapat membunuh buraksa itu."

Maka kata orang muda itu, "Mengapa maka tuan putuskan kehendak Allah subhanahu wataala, masakan anak raja yang sembilan orang itu tiada dapat membunuh buraksa itu?"

Kalakian maka di dalam berkata-kata itu buraksa itu pun datanglah dengan gemuruh bunyinya. Maka tuan putri pun gemetarlah segala tulangnya, seraya katanya, "Hai orang muda, tolonglah hamba ini!"

Maka kata orang muda itu, "Mintakan doa kepada Allah subhana wataala. Aduhai tuanku, perhimpunan segala kasih emas merah, ratna pekaja 11), manatah anak raja-raja yang sembilan orang itu, tunangan tuan hamba, maka tiada datang mengambil tuan hamba dari buraksa itu?"

Maka tuan putri pun menyapu air matanya, seraya katanya:


"Sudah gaharu cendana pula,
tetak tamu 12) di dalam puan.
Sudah tahu bertanya pula,
hendak bercumbu gerangan tuan."


Syahdan maka orang muda itu pun berkata, "Jika lepas daripada bahaya buraksa itu, apa gerangan balas tuanku akan patik?"

Maka kata tuan putri, "Adajuga balasnya!"

Maka di dalam berkata-kata itu, buraksa itu pun datanglah, berdiri di kaki tangga itu.

Adapun buraksa itu, setelah dilihatnya air ada di dalam mulut bejana itu, maka ia pun minumlah serta dimasukkannya kepalanya ke dalam mulut bejana tempat jerat tertahan itu. Setelah dilihat oleh Janggi Harjin, maka ditariknyalah tali jerat itu hingga terjeratlah leher buraksa itu; maka buraksa pun hendak melepaskan dirinya, tiada boleh lagi 13). Setelah itu maka ditendanglah oleh kuda janggi itu kira-kira dua tiga kali. Maka Indera Bangsawan pun segera turun lalu diparangnya dengan pedangnya. Maka buraksa itu pun matilah. Maka Indera Bangsawan segera mengiris hidungnya yang tujuh dan matanya yang tujuh itu. Setelah itu maka dicocoknya seperti bantai tenggiling. Demikiahlah diperbuatnya oleh Indera Bangsawan.

Setelah itu lalu ia naik ke atas kudanya, sambil ia berkata, "Tinggallah tuan putri dengan selamat sempurnanya." Setelah itu maka dipacunya kudanya, sehingga dengan sesaat itu juga, ia pun gaiblah di padang itu.

Syahdan maka tuan putri pun ternganga-ngangalah, seraya pikirnya, "Indera Bangsawan gerangan itu, maka dapat ia membunuh buraksa."

Setelah dilihat oleh anak raja-raja sembilan orang itu, bahwa buraksa itu datang, maka gementarlah segala anggotanya. Tetapi setelah dilihatnya buraksa itu sudah mati, maka ia pun datang berebut hendak mengerat hidungnya dan mengambil matanya.

Setelah dilihatnya mata dan hidungnya itu tiada lagi, maka masing-masing pun mengerat telinganya, ada yang mengerat tangannya dan kakinya akan jadi tanda, lalu dibawanya kepada baginda.

Setelah sampailah, maka ia pun terlompat-lompat, sambil mengatakan, "Patiklah yang membunuh buraksa itu." Seorang demi seorang demikian juga katanya.

Maka titah baginda itu, "Hai anakku sekalian, janganlah engkau berbantah-bantah dan hendaklah bawa ke mari tandanya itu."

Kalakian maka masing-masing pun memberikan tanda buraksa itu. Maka dilihat oleh baginda tiada matanya dan tiada hidungnya ketujuhnya. Maka titah baginda, "Seorang pun tiada yang membunuh buraksa itu, karena ini bukan alamatnya!"

Maka anak raja-raja yang sembilan itu pun berdiam dirilah dengan kemalu-maluan.


(Hikayat Indera Bangsawan).

Download Hikayat ini, KLIK di sini



Keterangan
1. Buluh yang berhikmat, yg mempunyainya disayangi orang (buluh itu menimbulkan rindu)
2. Garuda
3. Binatang yang dahsyat dalam hikayat-hikayat.
4. Asalnya: arah dan kian; selanjutnya, setelah itu
5. Tempat air; jambang.
6. Zenggi. Lihat Johar Manikam dilarikan zenggi". Janggi dipakaijuga untuk menyatakan ajaib, luar biasa, hebat.
7. Bela ialah hal perempuan turut dibakar dengan suaminya. Kemudian berarti balasan; membela bapak = membunuh orang yang membunuh bapak
8. Sahadan, sahdan. Menurut Kamus v.d. W. asalnya "saha" (perkataan Jawa, yang artinya "dan") dan perkataan Melayu "dan" menurut Wilkinson perkataan Arab, akan tetapi kamus Aiab tidak ada memuatnya.
9. Sekarang dipakai juga bertamasya atau tamasya dengan arti melihat-lihat tamasya, misalnya bertamasya atau tamasya ke Bali.
10. Kubad, nama raja Parsia. Syahrial asalnya Syaharyar (Persia), artinya raja kota. Kobat Syahrial dipakai juga sebagai nama kerajaan dalam hikayat-hikayat Melayu. Sebagai nama raja dalam "Hikayat Syah Kubad".
11. Bunga teratai.
12. Tamu; tanam-tanaman, bangsa kunyit; misalnya tamu (temu) lawak
13. Sekarang biasanya disebut; tiada dapat lagi. Tiada boleh artinya sekarang biasanya tidak diizinkan. Boleh asal oleh; beroleh = mendapat

Tuesday, May 13, 2008

Maria Amin

Puisi Maria Amin

AKU MENYINGKIR


Terlintas ingatan mengenang hari
Masa aku menyingkir diri
Tenaga yang telah kuberi
Mundur karena kata hati.

Bukan timbangan rada di luar
Tetapi pertempuran rasa di dalam
Tidak hendak alah bertengkar
Biar patah hancur terpendam.

Mendering banyak yang di pinggang
Alah, dek miskin rasa hati
Harta di luar dapat ditenggang
Harta di dalam di mana cari.


KEKASIHKU SEMUA

Perjuangan dunia masih beriaku
Gegar gempar suara mesin
Gemuruh menyerbu menghantam musuh
Tapi batinku kosong miskin

Gelombang masa membubung tinggi
Menghancur iman, merusak pekertf
Tapi beruntung kamu seniman
Menang dalam perjuangan batin

Sebab tiap soal masa
Seni bagi seniman juga.


KAPAL UDARA


Gegar gentar suara mesin
Raja udara menguasai angkasa
Menderu gemuruh berpusing miring
Bagai burung mengintai mangsa

Raksasa udara melaju jauh
Berbalik pula puluh menyerbu
Terdahulu satu,
Puluhan menderu.

Mata bersinar
Semangat berkobar
Kapan zamanku menghadapi pula
Raksasa dunia kepunyaan kita?

Sunday, May 11, 2008

Sapardi Di Bawah Bulan

Cerpen Sapardi Djoko Damono

Dl BAWAH BULAN

Tidak terlihat apa pun di bawah bulan yang sedang purnama dan memancarkan sinar keputih-putihan, teramat menyilaukan, di sebuah taman kota. Kecuali seorang tukang sulap yang duduk di bangku taman, yang sore tadi main di sebuah pasar malam. Kecuali seekor ular hijau yang sama sekali diam, yang tidak pemah mengenal sulapan, melingkarkan tubuhnya di tepi taman dekat selokan itu sementara kepalanya tegak seperti menunggu sesuatu. Dan seekor katak, yang tidak pemah percaya kepada cahaya bulan, yang meloncat-loncat di rumputan menuju selokan itu. Dan juga sekuntum bunga rumput, sekuntum saja, yang diam tidak digoyangkan angin karena udara mendadak berhenti kena sihir cahaya bulan itu.

Cahaya bulan tidak pemah meramal. Itu janji yang tetap dipegangnya. Ia juga tidak pernah mengingatkan atau member! awas-awas. Ia hanya menerima sinar matahari yang kemudian dipantulkannya ke bumi: kilau-kemilau. Tidak ada seorang pun, kecuali si tukang sulap yang agak mengantuk itu, ketika tiba-tiba ular itu melesat menangkap katak yang sedang melompat itu, keduanya kemudian jatuh ke rumputan dan lenyap dalam gelombang bunga rumput yang entah kenapa mendadak mekar bersama-sama dan bergoyang-goyang diterpa angin yang berhasil membebaskan diri dari sihir cahaya bulan.

Tukang sulap kebetulan menyaksikan peristiwa yang mirip sulapan itu, dan sadar bahwa ia tidak sedang main sulap, dan tentu saja ia yakin sekali bahwa pasti ada tukang sulap lain di taman itu. Di bawah bulan yang sedang pumama yang memancarkan sinar yang sangat menyilaukan itu tidak ada seorang pun, kecuali si tukang sulap itu.

Friday, May 09, 2008

Maria Amin-Penuh Rahasia

PENUH RAHASIA


Jauh di sana terhampar rumput hijau.

Pada beberapa tempat lalang berbunga putih beralun-alun sama berayun dengan rumput diembus udara petang. Di bawah lingkungan pembatasan bumi dengan langit, segaris hyau kebiruan pohon-pohonan Langit yang kuning muda, bersisik putih, di antaranya terjalin warna sepuhan emas perada. Dari balik garis yang hijau kebiruan naik memancar warna merah bernyala yang makin ke atas hilang melayang warnanya. Jauh sedikit dari sana, tumpukan awan berbagai bentuk yang terhalus puspawarna. Di antara langit kebiruan bersisikkan putih, tersenyum simpul kemalu-maluan, bulan sabit. Cahaya masih pucat pasi, belum berani mengalahkan si Mega. Ta' jauh darinya bintang sebuah kerlip-mengerlip seakan mata masih rungau*. Terkadang-kadang benda kecil itu hilang disembunyikan awan putih yang selaku anak muda menutup mata kecintaannya dengan sutera putih, takut cahaya mata kasihnya itu memikat hati pemuda lain

Dingin... hhh, seluk membelai kenangan impian masa silam. Membangkit, mengorek perbendaharaan di kalbu. Benda 'lah usang dibaharui lagi...

Hei, puspawarna berangsur, menghilang lenyap di balik garis hijau tadi, serta pancaran emas gagah perkasa itu diselimuti oleh awan tipis berbecak-becak

Mengapa gelap? Mengapa berganti warna semacam ini, selaku sayu pandangan? Mengapa matahari ‘kan sembunyikan diri?

Mengapa mega kau ta' bersolek lagi? Mengapa langit melengkung putih kebiruan menolak warna? Mengapa isi ‘alam sunyi diam menyambut perubahan siang dan malam? Bukankah di balik perubahan yang dingin mati disambut angina bayu menyegar tubuh? Bukankah caya kuning sepuhan emas nyala bernyala bergantikan sepuhan perak putih berseri merayukan hati? Akh, bukankah si Raja Siang yang gagah perkasa yang memerintah selama siang itu, diganti oleh si Dewi Malam? Si Cantik manis akan memerintah semalaman dengan belaian sinar yang lembut itu. Dan di sisi sepuhan perak, berkilau keriipan permata terhampar di beledu biru, bersukaria bermain caya

Bukankah, bukankah ribuan permata intan berlian, tanding bertanding menguji caya, siapa terindah di antara berjuta? Memanglah. Tiap-tiap perubahan mengandung penuh rahasia.

*kurang tidur

Thursday, May 08, 2008

Bentuk-bentuk Sastra Indonesia

Bentuk-Bentuk Karya sastra Indonesia

------------------------------------
mantra – bidal – pantun – seloka – gurindam – syair – dongeng – tambo – kaba – hikayat – roman – novel – kisah – biografi – esei – kritik – syair – masnawi – rubai – kit’ah – gazal – elegi – romance – balada – idylle – satire – epigram – himne – ode – sonata – distichon – tersina – quatrain – quint – sektet – septime – oktaf – stanza – parable – fabel – legenda – mythe – jenaka – sage – roman – novel – tragedy – komedi – pantomime – opera – sendratari – tableau

------------------------------------


Karya sastra Indonesia dapat dirinci dari sisi zaman dan bentuknya. Menurut zamannya, sastra Indonesia data dibedakan menjadi (1) sastra lama/melayu, (2) sastra peralihan/sastra jaman Abdullah, dan (3) sastra Indonesia baru. Sedangkan menurut bentuknya, sastra Indonesia dapat dibedakan menjadi (1) puisi, (2) prosa, dan (3) drama. Di antara puisi dan prosa masih terdapat satu bentuk sastra yang sering disebut dengan prosa lirik. Ingin melihat lembih jelas, silakan download di sini.

Puisi Indonesia secara lebih spesifik bisa dibedakan menjadi dua, yakni (1) puisi lama dan (2) puisi baru. Ada berbagai bentuk puisi lama/Melayu, yaitu (a) mantra, (b) bidal, (c) pantun, (d) seloka, (e) gurindam, (f) syair, (g) puisi pengaruh Arab/Parsi. Sedangkan puisi Indonesia baru dapat dirinci menjadi (a) jenis puisi sesuai banyaknya baris, (b) jenis puisi sesuai isi), dan (c) puisi bebas/puisi modern. Ingin lebih jelas silakan download di sini.

Genre prosa Indonesia menurut jamannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) prosa lama/Melayu dan (2) prosa Indonesia baru. Prosa lama/Melayu masih bisa dirinci menjadi (a) dongeng, (b) tambo, (c) kaba, (d) cerita, (e) hikayat, (f) sejarah, dan (g) silsilah. Sedangkan prosa baru dapat dirinci menjadi (a) roman, (b) novel, (c) kisah, (d) biografi, (e) otobiografi, (f) esei, dan (g) kritik

Seperti pernah ditulis di postingan lain di sini, salah satu bentuk puisi lama adalah bidal. Menurut pemakaiannya, bidal dapat dibedakan menjadi peribahasa, ungkapan, perumpamaan, pepatah, ibarat, tamsil, amsal, dan pemeo.

Beberapa bentuk puisi Arab. Parsi yang menjadi bagian dalam puisi lama antara lain syair, masnawi, rubai, kit’ah, dan gazal. Tentang pengertian dan contoh-contoh puisi ini silakan lihat di sini, atau di sini, atau juga di sini

Puisi Indonesia baru menurut isinya dapat dibedakan menjadi elegi, romance, balada, idylle, satire, epigram, himne, dan ode. Pengertian dan contoh-contoh puisi ini silakan lihat di postingan lain di sini, di sini, dan juga di sini

Puisi Indonesia Baru menurut bentuknya dapat dibedakan menjadi sonata, sajak bebas, distichon, tersina, quatrain, quint, sektet, septime, dan oktaf/stanza. Contoh-contoh distichon sampai oktaf silakan lihat di postingan lain di sini. Sedangkan pembahasan lebih rinci tentang soneta silakan lihat di postingan lain di sini.

Salah satu bentuk puisi lama yang cukup popular adalah pantun. Ingin melihat macam-macam pantun silakan download di sini. Postingan lain juga pernah membicarakan contoh-contoh pantun secara lengkap. Silakan lihat di sini.

Pantun sering dibedakan dan dibandingkan dengan syair. Perbedaan pantun dengan syair secara lebih jelas bias didownload di sini.

Di Indonesia juga pernah dikenal roman dan novel. Apa perbedaan roman dengan novel? Ingin tahu? Silakan download di sini.

Prosa lama Indonesia berbentuk dongeng. Dongeng sering dibedakan menjadi fabel, legenda, mythe, jenaka/lelucon, sage, dan parabel. Di blog ini banyak sekali diposting berbagai macam dongeng. Silakan surfing sendiri. Atau silakan klik menu dongeng dan silakan pilih sendiri dongeng mana yang ingin diketahui.

Masih banyak lagi informasi tentang bentuk-bentuk sastra Indonesia. Capek nih nulis terus. Kalau ingin mengetahui secara rinci silakan download di sini.

Wednesday, May 07, 2008

Teater, Tubuh, dan Sutradara

Teater Indonesia, Teater dengan Tubuh Empiris?
Sutradara adalah Segala-galanya

Asrul Sani pernah mengatakan bahwa teater Indonesia lahir dari adanya semacam urbanisasi yang kemudian membentuk kata-kata, dan dari kata-kata itu membentuk masyarakat yang berkembang sedemikian rupa, yang akhirnya mereka membutuhkan semacam teater. Dan yang menarik, dari pembentukan kata-kata dan teater ini adalah bahwa urbanisasi itu datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, akibatnya kita masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen.

Hal lain yang juga menonjol dalam pertumbuhan teater kita adalah miskinnya kontribusi kalangan akademisi. Afrizal Malna pernah mencatat bahwa sekitar 80 persen dari kelompok-kelompok teater yang ada di Indonesia, mungkin tidak pernah mendapatkan pendidikan teater.

Lalu, mungkinkah membuat standardisasi dari sesuatu yang centang perentang dalam pembicaraan teater kita seperti itu? Mungkinkah membuat sebuah kesepakatan bila kita bicara tentang teater? Dan mencoba memahami teater lewat lewat pentas dan aktor mereka? Afrizal mencoba mengurai tentang teater kita itu berikut ini. Saya tidak membawa suatu kerangka baku, tentang teater maupun aktor dari luar. Saya selalu berada sebagai seorang penonton yang terus-terusan berada dalam posisi yang dinamis dalam menyaksikan pertunjukkan.

Saya posisikan diri kembali setiap menyaksikan pertunjukan sebagai penonton, karena saya menolak adanya standardisasi berdasarkan kedua hal itu. Itu membuat saya tidak setuju kalau misalnya Asrul sani beranggapan bahwa eksistensi teater terletak pada aktor, sebagaimana juga Nirwan Dewanto beranggapan eksistensi teater berada pada seni peran. Itu berdasarkan kedua hal itu.


Kedua saya agak kecewa dengan adanya anggapan bahwa teater Indonesia, tumbuh sebagai teater sutradara. Dan terus-terusan kesimpulan seperti ini dipertahankan tanpa ada kajian lebih detail. Kasus per kasus bagaimana penelitian terhadap aktor-aktor. Karena saya anggap, sebutan bahwa teater Indonesia tumbuh sebagai teater sutradara itu berangkat dari dua hal. Pertama, budaya kita dibentuk oleh semacam wacana kepemimpinan.

Dalam otak kita ada semacam pola kepemimpinan yang terus-terusan bekerja dalam menilai sesuatu. Maka ketika berhadapan dengan teater sebagai sebuah tim, wacana kepemimpinan itu bekerja, kita selalu mencari siapa yang menjadi komandan di teater ini. Siapa yang menjadi pemimpinnya. Itu yang membuat sutradara dikukuhkan sebagai segala-galanya dalam teater.

Kedua, kebanyakan kritik teater, atau ulasan-ulasan mengenai teater, laporan mengenai teater, aktor hampir selalu dinomor sekiankan. Penulis-penulis teater lebih banyak membecarakan sutradara, dan setelah itu gagasan. Aktor tidak. Artinya, hampir seluruh kritik teater kita, ulasan-ulasan teater kita, sebenarnya adalah sebuah laporan tanpa teater.

Seringkali, pembicaraan kita adalah pembicaraan tanpa teater sebenarnya. Dan saya ingin mengisi sisi yang kosong ini. Kita harus mengambil contoh yang lebih dekat dengan kita, sehingga banyak hal yang bisa kita bicarakan. Dalam bahasa Afrizal, ‘’ada satu hal yang saya sampaikan, ketika saya melepaskan semua standar sesuatu yang baku dalam teater, saya punya suatu pijakan yang menurut saya sangat penting bagi kita semua. Yaitu sejauh mana kita punya semacam toleransi ketika berhubungan dengan teater, kita memberikan toleransi kepada pertunjukkan. Kita mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara kita berdemokrasi, dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teman-teman teater dalam pertunjukkannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, Mereka telah memberikan repot, kita mencoba memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting, yang mereka sampaikan.

Sekarang marilah kita mencoba mengidentifikasi lewat fenomena tubuh dalam dunia teater. Apa yang terjadi dalam fenomena tubuh aktor dalam dunia teater. Apakah fenomena tubuh itu bisa untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan? Dalam dunia teater aktor berdiri tegak berhadapan dengan penonton, tetapi apa sebenarnya yang diubah oleh teater. Inilah terutama yang menarik pada teater. Teater telah mengubah dua hal secara institusional.

Pertama, teater telah mengubah teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca, menjadi teks yang dinyatakan. Kedua, teater mengubah pembaca, menjadi penonton, perubahan ini radikal. Lebih lagi tubuh bisa dilihat sebagai kebudayaan, dengan relasi sosial politik, dan ekonomi yang berlangsung di sekitarnya. Akting dalam fenomena ketubuhan seperti ini, berada dalam tantangan di dalam kisi mata sebagai suatu personifikasi untuk menjalankan pemeranan.

Tetapi lebih dari itu, menemukan dalam tubuh teks dengan cara baru. Lewat gambaran itu pula, aktor sebenarnya menurunkan aktingnya dalam ketegangan antara tubuh nature dengan tubuh budaya yang dihadapinya. Yang satu berada pada dirinya sendiri, yang lain di luarnya dan ikut juga membentuknya.

Keduanya kadang-kadang berhubungan sebagai rejim kekuasaan wacana, yang melakukan personifikasi dengan cara keras. Pertunjukkan-pertunjukkan itu jaya, yang banyak menggunakan aksi-aksi manusia bergerombol misalnya, memperlihatkan kekerasan personifikasi seperti itu. Kemampuan individu telah dicurigai sedemikian rupa sebagaimana naskah Aduk, Putu Wijaya yang mempresentasikan manusia gerombolan yang telah mempermainkan dunia individu yang sedang sakit.

Dalam pertunjukkan-pertunjukkan Putu dengan Teater Mandiri-nya, manusia memang telah menjadi gerombolan. Menggunakan kostum berlapis-lapis, dan warna-warni mengeluarkan suara keras dan bloking-bloking yang bergulir di atas bidang pentas pertunjukkannya. Representasi seperti ini memperlihatkan, bagaimana manusia telah kehilangan kepercayaannya untuk didengar dan dilihat.

Mereka harus bersuara lebih keras lagi. Dan menggunakan kostum berlapis-lapis untuk itu. Akting di sini menjadi semacam senirupa pernyataan diri dilakukan justru melalui hilangnya kepercayaan diri, ketika personifikasi telah menjadi neraka pernyataan itu sendiri.

Sementara pertunjukan-pertunjukkan Teater Koma berusaha mencairkan tubuh dengan pendistribusian elemen-elemen akting hampir rata antara tubuh, kata, musik dan penataan panggung. Peran Ratna Riantiarno dan Salim bungsu cukup besar dalam pencairan ini dan menjadi sangat kontras apabila membandingkan Ratna Riantiarno dengan Reny Jayusman yang bermain penuh dengan beban pada tubuh, vokal, dan kostum.

Akhirnya manusia memang patut dilepaskan dari keluarganya, dari negara dan tanah airnya. Lalu dimasukkan dalam gudang sumpek yang menjadi manifestasi dari kebanyakan pentas Teater Mandiri.

Aktor bukan lagi manusia-manusia tampan dan cantik. Seperti pada teater-teater opera bangsawan. Manusia juga bukan lagi aktor yang memerankan tokoh-tokoh besar dari sejarah besar, yang memiliki kerajaan atau partai-partai. Sebagian besar manusia di Indonesia adalah petani dan buruh tanpa partai.

Akting seakan-akan memang diturunkan dari masyarakat tanpa kerajaan dan tanpa partai. Bahkan sebagian besar dalam naskah-naskah Arifin C Nur adalah tokoh-tokoh yang cacat pincang, idiot, kudisan, bisu, gembel, pelacur atau perampok. Semacam akting juga yang diciptakan tidak jauh dari manusia cacat. Warna-warna muram hitam, gelap, coklat tua, dan pencahayaan muram

Manusia yang hidup dalam masyarakat yang setia terhadap materialisme karena kemiskinan, korup, hidup di pinggiran, tidak bisa lebih ke tengah lagi secara sosial, ekonomi maupun politik. Atau berada dalam kehidupan pabrik yang buruk.

Akting di sini seakan-akan telah menjadi pernyataan, bahwa manusia telah cacat. Dalam kebanyakan pertunjukkan-pertunjukkan teater kecil yang disutradai oleh Arifin C Noer sendiri, prosedur akting seperti ini cenderung diturunkan dalam dua pola. Membara atau menghanyutkan, yang diturunkan dalam irama-irama kontras, penuh konflik sakartis. Amak Barjun adalah aktor Teater Kecil yang banyak memberikan warna pada akting yang membara dan menghanyutkan itu. Yang sering sangat eksotis pada warna vokalnya yang bergetar.

Dengan mata belalakan, atau gerakan kepala di antara punggung yang membungkuk. Akting yang pasti tidak ditemukan pada manusia Barat, dunia keraton, dunia dalam gedung, melainkan akting dari masyarakat pinggiran yang cenderung kasar dan terbuka. Akting yang sangat berbeda dengan Slamet Raharjo, lebih banyak bermain untuk Teater Populer, yang lebih normal, bersih seperti akting-akting akademi teater, tetapi terasa dingin, angkuh, terluka dan kebarat-baratan, kendati ia bermain dalam tradisi pakaian Jawa sekali pun.

Keduanya antara Amak Barjun dan Slamet Raharjo, seakan-akan dibedakan oleh pilihan dan lingkungan budaya yang berbeda. Hal ini mengesankan bahwa akting tidak bebas dengan adanya semacam determinisme budaya, yang hidup dalam sebagian primodial dalam tubuh aktor.

Personikasi baru berlangsung dalam tubuh aktor dalam pemeranan teater menjadi tubuh budaya yang melampaui tubuh naturalnya sendiri, dalam melakukan personifikasi. Maka personifikasi untuk akting yang berlangsung pada pertunjukkan, yang menuntaskan naskah dengan kandungan besar. Terutama pada drama-drama epik, politik atau mistik. Narasi-narasi besar itu biasanya didistribusi oleh sejarah maupun legenda yang melampaui penglaman empiris aktor maupun penonton.

Apapun pilihanku, toh aku akan ditembak, yang diucapkan Monserat dalam drama Emanuel Robert, untuk drama ini terbayangkan tubuh empiris aktor yang tidak pernah mengalamai situasi tersebut, dan banyak pertunjukkan bagi teater-teater yang pernah mementaskan naskah ini. Tubuh dalam gambaran itu seperti naskah buihnya Akhudiat. Yang setiap saat berusaha menghadirkan tubuh-tubuh bebas ada di luar penjara untuk tetap bisa menghayati kebebasan.

Sementara tubuh empirisnya sendiri berada dalam sel tahanan dipaksa menyesuaikan diri mengikuti dunia pemikiran. Yang lebih mampu melakukan transedensi keluar bilik penjara. Sementara dia tertahan sebagai tubuhnya sendiri dalam penjara. Tubuh dalam gambaran terpenjara ini, adalah tubuh yang tidak mampu memasuki pengalaman orang lain. Sumber eksistensinya, seakan-akan tidak berada melalui transedensi yang abstrak. Tetapi melalui imanensi yang kongkrit dan memesis. Teater Indonesia adalah teater yang perkembangannya banyak dilampui narasi besar itu. Tubuh orang Barat, sejarah orang Barat, kebudayaan orang Barat, pikiran orang Barat, adalah satu bentangan neraka personifikasi bagi kebanyakan aktor yang memerankannya.

Akting teater yang lebih banyak memerankan manusia Barat tidak hanya melalui teater, tetapi juga melalui wacana-wacana budaya lainnya. Indonesia memiliki sekitar 400 naskah teater yang sebagian adalah naskah saduran , yang sebagaian besar tidak populer juga tidak banyak menawarkan tantangan untuk mementaskannya. Sementara naskah asing yang telah diterjemahkan dan sebagian besar sangat populer berjumlah sekitar 154 naskah teater dari pengarang-pengarang terkenal. (afrizal/mik)
Cited from JAWA POST ONLINE, Minggu, 22 februari 1998

Ciri Periodisasi Sastra Indonesia

Perbandingan Ciri Periodisasi Sastra Indonesia


Berikut ini adalah ciri-ciri periodisasi sastra Indonesia. Jika Anda ingin lebih jelas melihat perbandingan cirri-ciri ini dalam bentuk table silakan klik di sini.

Bahasa yang digunakan oleh Angk. 20 adalah bahasa Indonesia tetapi masih sangat terpengaruh oleh bahasa Melayu. Sedangkan Angk. 30 sudah menggunakan bahasa Indonesia. Lain lagi dengan Angk. 45, meski sudah menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bahasa ini digunakan sebagai alat ucap sastra yang sebebas-bebasnya. Angk. 66 tetap menggunakan bahasa tetapi tidak memperhatikan keindahan bahasa. Bagus tidaknya sastra tidak pada penggunaan bahasa tetapi bahasa dipakai sebagai alat untuk menyampaikan misi/pesan. Sedangkan Angk. 70 bahasa lebih digunakan sebagai alat ucap sastra/ide/gagasan pengarang.

Dari sisi bentuk dan isi. Angk. 20 lebih mementingkan bentuk daripada isi. Struktur cerita / gaya bercerita masih sederhana. Bentuk dan isi Angk. 30 sama-sama penting. Angkatan 45 lebih mementingkan isi dari pada bentuk. Sementara Angkatan 66 lebih mementingkan tujuan/misi sedangkan bentuk tidak diperhatikan. Angkatan 70 mulai beragam. Ada sementara sastrawan yang mengandalkan isi tetapi ada pula yang mengeksploitasi bentuk.

Dari segi tema dan persoalan yang diangkat. Angk. 20, persoalan yang diangkat adalah persoalan adapt kedaerahan dan kawin paksa. Angkatan 30 sudah mulai mengalihkan perhatian pada persoalan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi wanita. Dari sisi struktur cerita/konflik sudah mulai berkembang. Angkatan 45 kebanyakan bertema perjuangan, baik perjuangan fisik (perang melawan penjajah) maupun perjuangan menegakkan eksistensi dan pencarian diri. Angkatan 66 lebih banyak berbicara tentang struktur social, konflik social dan politik, kritik terhadap pemerintah yang korup, kemiskinan, dan keadilan. Sementara Angk. 70 sudah mulai mengangkat persoalan kehidupan sebagai ide sastra. Kegelisahan batin, kritik social, ketuhanan, filsafat, dan warna local mulai banyak disentuh.

Dilihat dari sisi pengaruh (yang mempengaruhi), Sastra Angk. 20 banyak dipengaruhi oleh tradisi sastra daerah/local. Angkatan 30 sudah mulai dipengaruhi pola pikir barat dalam kerangka mengembangkan budaya nasional. Angkatan 45 dipengaruhi oleh budaya universal dalam rangka mencari identitas diri. Angkatan 66 banyak dipengaruhi pujangga dunia (universal) dalam rangka mempertahankan martabat bangsa. Sedang Angkatan 70 dipengaruhi oleh persoalan local dan universal sebagai imajinasi untuk menciptakan pembaharuan.

Dilihat dari aliran sastra yang berkembang, Angk 20 lebih banyak karya sastra beraliran romantis, Angkt. 30 sudah mulai muncul aliran idealis. Sedang Angkatan 45 mulai muncul sastra beraliran ekspresionis (Chairil), naturalisme (Idrus) dan simbolik (ingat cerpen-cerpen Maria Amin). Ingin tahu cerita-cerita Maria Amin silakan klik di sini, atau di sini. atau juga di sini. Atau jika Anda ingin tahu aliran-aliran karya sastra romantisme, idealisme, simbolik dan seterusnya, silakan klik di sini atau download di sini.

Dari segi proses karya sastra, Angk. 20 hanya berubah sedikit dari karya sastra Melayu (lama), masih terikat oleh aturan-aturan sastra. Angkatan 30 sudah mulai meramu persoalan-persoalan lama dengan sesuatu yang baru. Angkatan 45 berusaha membentuk sesuatu yang baru (menyiasati situasi) dan menghilangkan pengaruh lama). Angkatan 66 berusaha mencipta dengan sejujur-jujurnya (sesuai dengan situasi sosial yang senyatanya (lihat novel-novel Pramudya, Mochtar Lubis, dll.) Sedangkan Angk. 70-an sudah mulai mengandalkan kreativitas, kebaruan dalam bersastra, inovasi menjadi dasar penciptaan sastra.

Anda ingin melihat perbandingan ini lebih jelas dalam bentuk table? Silakan klik di sini

Periodisasi Sastra Indonesia

Periodisasi Sastra Indonesia
Menurut Para Ahli

Ada berbagai macam periodisasi sastra Indonesia menurut para ahli. Secara umum, periodisasi sastra Indonesia dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Sastra lama (2) Sastra peralihan, dan (3) Sastra Indonesia Baru. Sastra Lama dibedakan menjadi tiga (a) sastra jaman purba, (b) sastra pengaruh Hindu, dan (c) sastra pengaruh Islam. Sementara sastra peralihan sering disebut dengan sastra jaman Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia baru bias dibedakan menjadi (a) sastra balai pustaka (angkatan 20), (b) sastra Pujangga Baru (angk. 30), (c) Sastra Angk. 45, (d) Sastra Angk. 66, dan (e) Sastra kontemporer (angk. 70-an).

Menurut B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu (1) Sastra lama.purba, (2) Sastra pengaruh Hindu dan Arab, (3) Sastra Indonesia baru, dan (4) Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih bias dirinci menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, dan (c) Pujangga Baru

Menurut Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi 2. yaitu sastra lama dan (2) sastra baru. Sastra lama mencakup (a. dinamisme, (b) Hinduisme, (c) Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru dibedakan menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, (c) Pujangga Baru, dan (c) Sastra angkatan 45.

Menurut JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Sastra Melayu, dan (2) Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu dibedakan menjadi 3 (a) Purba, (b) Hindu/Islam, (c) Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi (a) Balai Pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angk. 45, dan (d) sesudah Angk. 45.

Menurut Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni (1) sastra lama (…. – 1920), (2) Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan (3) Sastra Indonesia Modern (1945 - …..)

Menurut HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni (1) Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan (2) Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian (a) Balai pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angkatan 45, dan (d) Angkatan 66.

Lain Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia menjadi 2, yakni (1) sastra Melayu atau sastra lama, dan (2) sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi 2 yaitu (a) masa kebangkitan, dan (b) masa perkembangan. Masa kebangkitan masih dirinci menjadi 3 (i) periode 20, (ii) periode 33, dan (iii) periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2, yaitu (i) periode 45 dan (ii) periode 50

Ajib Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu (1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan. Masa kelahiran dirinci menjadi 3 yaitu (a) awal abad XX s/d 1933, (b) 1933-1942, dan (c) 1942 – 1945. Sedangkan masa perkembangan dibedakan juga menjadi 3, yaitu (a) 1945 – 1953, (b) 1953 – 1960, dan (c) 1960 - ….

Ingin melihat periodisasi secara lebih jelas dalam bentuk TABEL?
Silakan klik di sini

Tuesday, May 06, 2008

Mereka Bilang Saya Monyet!

Mereka Bilang Saya Monyet!

Cerpen Djenar Maesa Ayu


Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai.

Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.

Waktu saya menyatakan bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya pun punya otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang mereka maksudkan adalah akal.

Saya benar-benar tidak mengerti maksud mereka. Yang saya tahu saat itu hanya hati saya terasa ngilu bagai disayat-sayat sembilu. Mungkinkah ini yang disebut perasaan? Tapi saya sudah terlanjur kehilangan keberanian untuk mengatakan apa yang saya rasakan. Dan saya tambah tidak mengerti jika benar ini adalah perasaan yang mereka maksudkan, lalu mengapa mereka bisa menertawakan saya tanpa mempedulikan perasaan saya sama sekali?

Pada saat otak saya dipenuhi pertanyaan ini, saya pun berpikir. Apakah ini yang mereka maksud dengan akal? Lalu mengapa akal mereka tidak sampai pada pikiran bahwa saya tidak senang dijadikan bahan tertawaan?

Saya meninggalkan mereka diam-diam. Suara tawa mereka makin lama makin menghilang seiring dengan bertambah jauh kaki saya melangkah. Saya tahu saya tidak perlu pergi dengan cara diam-diam. Kepergian saya toh tidak akan mengundang perhatian. Tapi mungkin itulah cara saya untuk menghibur diri sendiri dari keterasingan.

Tanpa saya sadari kaki saya sudah mengantarkan saya sampai di depan pintu kamar mandi. Kamar mandi itu terkunci dari dalam. Maka saya menunggu sambil berdiri di depan sebuah cermin besar.

Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!

Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan. Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan. Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan. Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, "Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!"

Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu. Tapi saya memang tidak cepat bereaksi jika diserang tanpa ada persiapan. Atau mungkin saya memang tidak akan pernah mampu melawan walaupun sudah tahu akan diserang. Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu. Saya sudah terbiasa kalah dan menelan kepahitan. Karena itu saya hanya terlongong-longong sambil menyaksikan mereka berdua berlalu.

***


Mereka masih duduk mengelilingi tiga meja bundar. Saya menghampiri dan duduk di kursi paling ujung. Kursi yang saya duduki sebelum saya pergi ke kamar mandi sudah terisi. Seperti biasa mereka tidak terlalu peduli akan kehadiran saya.

Laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking duduk tepat di seberang saya. Perempuan yang tadi bersamanya di dalam kamar mandi duduk agak jauh dan sedang menyenderkan kepala ulamya di atas dada laki-laki berkepala buaya yang lain. Saya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sengaja. Laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking menyeringai sambil mengedipkan mata ke arah saya. Sungguh, kali ini saya merasa benar-benar ingin menghajarnya.

Malam semakin larut. Botol-botol bir kosong dan gelas-gelas yang setengah terisi memadati meja. Ketika mereka berbicara, suara mereka setengah berteriak seperti hendak mengalahkan suara penyanyi dengan keyboard-nya. Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali mereka datang ke kafe ini. Hanya rona wajah mereka saja yang mulai memerah. Yang berkepala gajah, wajah abu- abunya berubah jadi merah.Yang berkepala harimau, wajah warna cokelatnya berubah merah. Yang berkepala serigala, wajah warna hitamnya berubah merah. Meja kami dikelilingi wajah-wajah berwarna merah dan mata yang mulai sayu.Tawa mereka mulai lepas. Tapi sikap mereka tetap pada batas-batas kewajaran. Apakah itu yang mereka namakan akal dan perasaan?

Saya mulai jengah. Saya mulai mengangkat kaki saya ke atas meja. Kepala saya menghentak-hentak keras mengikuti irama lagu. Si Kepala Gajah menghentakkan belalainya ke pipi saya dengan keras. Saya menatapnya sejenak lalu kembali asyik dengan diri saya sendiri. Si Kepala Serigala menendang kaki saya di bawah meja hingga saya menjerit kesakitan. Secara bersamaan yang lainnya melotot ke arah saya. Saya tetap tidak peduli. Saya malah beranjak dari kursi lalu menuju ke panggung dan merampas mike dari tangan penyanyi.

Saya mengisyaratkan pemain keyboard untuk memainkan La Bamba. Dengan terpaksa pemain keyboard mengikuti permintaan saya. Saya mulai berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dan suara saya yang terdengar tidak merdu. Saya berputar ke kiri, berputar ke kanan, bergerak maju, bergerak ke belakang bertepuk tangan, berteriak kencang, duduk di atas pangkuan pemain keyboard dan semua yang ada di kafe itu ikut bersorak-sorai dan bertepuk tangan.

Saya menyanyikan beberapa lagu lagi hingga puas dan kelelahan. Akhirnya saya kembali ke meja dan menenggak satu gelas bir besar dalam satu kali tegukan. Semua yang berada di meja itu tambah mengacuhkan saya. Saya tahu mereka yang mengaku berperasaan itu mungkin sedang diserang perasaan yang mereka namakan malu. Atau akal merekakah yang sedang memerintah hati untuk membohongi perasaannya sendiri?

Akhirnya saya tidak tahan juga dan bertanya ke Si Kepala Gajah di sebelah saya, "Sebenarnya apa sih yang sedang terlintas di kepala gajahmu?"

Si Kepala Gajah diam saja. Saya melayangkan pertanyaan yang sama kepada Si Kepala Serigala. Seperti Si Kepala Gajah, ia diam saja. Akhirnya saya menanyakan kepada semua yang berada di meja itu. Si Kepala Babi dan Si Kepala Kuda mendengus acuh tak acuh. Si Kepala Kuda meringkik. Si Kepala Sapi melenguh. Hanya Si Kepala Anjing yang berani menggonggong.

"Bagaimana kamu mau disebut manusia? Wujudmu boleh manusia, tapi kelakuanmu benar-benar monyet!"

"Tapi bukankah kalian ikut bergoyang? Bukankah kalian ikut bertepuk tangan? Bahkan saya juga mlihat sebagian dari kalian tertawa-tawa."

Ia kembali menggonggong tertahan.

"Susah bicara dengan makhluk yang tidak punya otak! Sudahlah, kamu tidak akan pernah bisa mengerti apa yang saya katakan dan maksudkan. Kamu tidak punya perasaan malu. Kamu tidak punya akal untuk membedakan mana yang tidak dan mana yang pantas untuk kamu lakukan."

Saya malas bertanya lagi. Percuma bicara kepada seseorang — atau tepatnya makhluk — yang senang dan mampu berbohong pada diri sendiri. Saya menuang bir ke dalam gelas saya dan meminumnya dalam satu kali tegukan. Saya menuang bir untuk kedua kalinya dan segera menuntaskannya kembali dalam satu kali tegukan. Ketika saya hendak menuang bir ke gelas saya untuk ketiga kalinya, Si Kepala Anjing menahan tangan saya.

Saya heran, tidak biasanya ia memperhatikan saya seperti sekarang ini. Biasanya tidak ada yang mau peduli pada saya. Keheranan saya berkembang menjadi kecurigaan. Mungkin ia tidak peduli berapa banyak saya minum. Mungkin ia tidak peduli andaikan saya mampus sekalipun! Ia hanya sedang menyelamatkan dirinya dari rasa malu. Ia hanya tidak ingin saya melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan akalnya di muka umum. Ya, di muka umum.

Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami. Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si Kepala Serigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.Tapi tidak di depan umum.

Di depan umum ia hanyalah wanita berkepala anjing dan berbuntut babi yang kerap menyembunyikan buntutnya di kedua belah paha singanya. Di depan umum ia hanya penggemar orange juice dan tidak merokok seperti saya. Tapi ketika ia tidak di depan umum, saya tahu ia mengisap ganja, minum cognac dan menyerepet cocaine lewat kedua lubang hidungnya yang selalu basah.

Saya mengibaskan tangan Si Kepala Anjing hingga terlepas dari tangan saya dan mengambil bir lalu menenggak langsung dari botolnya.

***


Mata saya bertubrukan dengan mata Si Kepala Buaya yang berekor kalajengking itu. Perempuan berkepala ularnya masih berasyik masyuk dengan laki-laki berkepala buaya lain. Mungkin laki-laki itu gigolo, pikir saya. Mana mungkin laki-laki sejati rela menyerahkan kekasihnya ke dalam pelukan laki-laki lain?

Saya melihat laki-laki berkepala buaya yang sedang dimesrai oleh perempuan itu lebih mentereng ketimbang laki-laki berkepala buaya yang memaki saya di depan kamar mandi. Secara fisik, laki-laki berkepala buaya di depan saya ini memang lebih menarik dan jauh lebih muda.

Namun seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah berbudayanya jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak ada yang mengira kelakuan Si Kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan mungkin semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum. Mungkin saya harus mencolok mata mereka hingga buta supaya mereka bisa melihat dunia lewat pintu hati mereka, dan mereka tahu apa yang sebenamya disebut perasaan!

Tiba-tiba saya terpanggil untuk iseng. Saya meminta selembar kertas dan meminjam pen dan pelayan. Saya mulai menulis di secarik kertas itu dan meremasnya di dalam tangan saya. Lalu saya mengedipkan mata ke arah laki-laki berkepala buaya di depan saya sambil mengisyaratkannya untuk mengikuti saya ke kamar mandi. Si Kepala Buaya mengerti maksud saya dan menyeringai senang sambil menganggukkan kepala. Saya berjalan ke arah kamar mandi, sambil dengan diam-diam menyelipkan secarik kertas di balik kerah baju si perempuan berkepala ular.

Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehemya dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalkan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya menghajarnya tadi.

***

Si Kepala Serigala memanggil pelayan dan meminta bon untuk segera dibayar. Si Kepala Serigala selalu mengeluarkan uang untuk kesenangan kami dan mungkin karena itulah Si Kepala Anjing mengendus-endus kemaluannya. Saya tahu pesta mereka sebentar lagi usai. Tapi saya juga tahu, pesta kemerdekaan saya baru akan dimulai....
Jakarta, 7 November 2001,12:19:34 AM
Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 1, Februari 2002

Friday, May 02, 2008

Robohnya Surau kami

ROBOHNYA SURAU KAMI

Cerpen A.A. Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. la lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa peryaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain. memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.


Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpal gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini lalah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku. karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek; Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek: "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi Aku senang mendengar bualannya. AJO Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi inijarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi: "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia." Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek: "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku. "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri. "Sedan mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak Kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. 'Alhamdulillah' kataku bila aku menerima karunia-Nya. 'Astagafirullah' kataku bila aku terkejut. 'Masya-Allah', kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku: "la katakan Kakek begitu, Kek?"
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.

"Pada suatu waktu,' kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangnya di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan 'selamat ketemu nanti'. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
'Engkau?'
'Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.'
'Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.'
'Ya, Tuhanku.'
'Apa kerjamu di dunia?'
'Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.'
'Lain?'
'Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.'
'Lain?'
'Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan ibiis laknat itu.'
'Lain?'
'Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.'
'Lain?'
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
'Lain lagi?' tanya Tuhan
'Sudan hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.' Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: 'Tak ada lagi?'
'0, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.'
'Lain?'
'Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.'
'Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?'
'Ya, itulah semuanya, Tuhanku.'
'Masuk kamu.'
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dihhatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendin. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, 'Bukankah kita disuruhnya-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.'
‘Ya kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.” kata salah seorang di antaranya.
'Ini sungguh tidak adil.'
'Memang tidak adil.' kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
'Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.'
'Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.'
'Benar. Benar. Benar.' Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
'Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?' suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
'Kita protes. Kita resolusikan,' kata Haji Saleh.
'Apa kita revolusikan juga?' tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
'Itu tergantung pada keadaan,' kata Haji Saleh. 'Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.'
'Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,' sebuah suara menyela.
'Setuju. Setuju. Setuju.' Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya. 'Kalian mau apa?' Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: 'O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut .nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, tnempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.'
'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya, benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.'
Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
'Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia neeeri kami.'
'Negeri yang lama diperbudak orang lain?'
'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'
'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.'
'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'
'Engkau rela tetap melarat, bukan?'
'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'
'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'
'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'
'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?'
'Ada, Tuhanku.'
'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.'
Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
'Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?' tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’"
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. la menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"la sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggungjawab, "dan sekarang ke mana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya. Dia pergi kerja." ***

Tertarik dengan cerpen ini? Silakan download di sini

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook