Wednesday, December 24, 2008

A

A

Ada air ada ikan. =
di manapun seseorang itu berusaha, tentu ada rezeki.

Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang. = Bila sedang berhadapan bermulut manis, tetapi bila berbelakang lain perkataannya.

Ada asap ada api. = beberapa hal di dunia ini amat sulit atau bahkan mustahil disembunyikan. Atau, jikalau sesuatu perkara dibicara oleh ramai orang, pastinya ada kebenarannya.

Ada gula ada semut. = beberapa hal di dunia ini amat sulit atau bahkan mustahil disembunyikan. Dapat juga berarti, beberapa hal di dunia ini selalu diikuti oleh konsekuensinya yang mustahil dihindari.

Ada nyawa ada rezeki. = selama masih hidup maka seseorang akan tetap mendapat rezeki

Ada nyawa, nyawa ikan. = seseorang dalam kondisi payah; masih hidup belum mati, tetapi salah sedikit nyawa melayang.

Ada sama dimakan, tak ada sama ditahan. = segala kesusahan dan kesenangan ditanggung bersama.

Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang. = kalau orang yang dicintai/dikasihi dapat rezeki maka orang tersebut akan dikasihi, dibelai, dimanja dan kalau rezeki berkurang dan tidak ada penambahan bahkan tidak ada maka orang tersebut tidak lagi dihiraukan (tidak disayang, dimanja lagi).

Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. = Setiap perbuatan baik selalu ada ganjaran kebaikannya; setiap perbuatan pasti ada balasannya.

Ada udang di balik batu. = jika seseorang kelihatannya berbuat baik, belum tentu hatinya tulus. Bisa jadi ia memiliki maksud-maksud tertentu atau tersembunyi.

Ada umur ada rezeki. = selama masih hidup rezeki dari Tuhan selalu ada

Adakah air dalam tong itu berkocak, melainkan air yang setengah tong itu juga yang berkocak. = orang yang pandai, tidak akan sombong hanya orang yang bodoh jua yang mau berbuat demikian.

Adakah dari telaga yang jernih mengalir air yang keruh. = adakah dari mulut orang yang baik keluar perkataan-perkataan yang keji?




Saturday, December 20, 2008

Mengenang Dami N. Toda

Mengenang Kritikus Sastra Dami Toda

Penulis terhenyak ketika memperoleh berita bahwa Dami N Toda telah meninggal pada bulan November 2006 yang lalu. Perkenalan pertama kami terjadi di Sanggar Wowor milik pematung Michael Wowor di Jalan Kalibata Raya pada tahun enam puluhan ketika Menteri Perkebunan waktu itu, Frans Seda, memberi oder kepada Michael untuk membuat patung Irama Revolusi. Dami masih kuliah di UI ketika itu dan karena ia masih punya hubungan keluarga dengan Michael (kakak perempuan Michael kawin dengan famili Dami seorang yang bergelar 'raja muda' atau bangsawan Manggarai yang kemudian menjadi bupati) maka sudah tentu Michael membantu Demi sekadarnya. Kami bertiga selalu berdiskusi tentang seni-budaya termasuk bagaimana membangun NTT melalui kesenian khususnya pariwisata budaya umumnya.

Lalu saya menulis di Kompas dan Dami menulis di Suara Karya dan sebuah majalah di Flores mengenai tema pembangunan budaya 'kampung' dan pendidikan non formal yang dalam perkembangan studi kami selanjutnya mungkin mirip apa yang ditulis oleh Paulo Fraire, Ivan Ilich dll, tetapi tidak mengaitkannya dengan revolusi fisik-berdarah.

Ada teman yang mengatakan kampung itu mirip Taman Mini tetapi kami membantah karena terbayang, kalau ada proyek maka ada pimpro dari pihak birokrasi yang mudah terserang virus KKN dengan pengusaha (pengembang-pemborong) dsb. Kami ingin agar disamping birokrasi ada adhokrasi yang sehat-bermoral di atas segalanya lebih baik kalau dimulai dari rakyat secara swakarya.

Michael membuat gambar maket mengenai kampung, tersebut dan saya membawanya ke Kupang. Gubernur menganjurkan saya ke kantor humas provinsi untuk bantu-bantu di sana. Tampaknya beliau mengira saya ingin menjadi pegawai negeri. Maka saya pun kembali 'merantau' ke Jakarta.

Ketika Demi menulis skripsi tentang Iwan Simatupang ia datang ke rumah untuk berdiskusi tentang eksistensialisme. Seingat saya, saya hanya mengoceh tentang absurditas, tentang kesadaran sebagai tokoh pertama dan dunia (alam, isteri, anak, orang lain, teman, massa, pemerintah) sebagai tokoh kedua Tokoh pertama penuh kerinduan untuk menyatu dengan tokoh kedua tetapi tidak mungkin dan hanya timbul kontroversi yang disebut absurd walls. Pemeliharaan atau pembiaran atas ketiga tokoh tersebut diperlukan dalam panggung kehidupan. Ide mutlak dibenak yang melahirkan aksi mutlak untuk membunuh salahsatu tokoh berarti bunuh diri secara metafisik dan historis. Yang diperlukan adalah program yang moderat-samaritan, jalan tengah yang dituntun oleh hati nurani. Walaupun dunia ini absurd, banyak anak kecil, perempuan dan lelaki sipil dan militer terkapar menjadi mayat, namun sikap moderat-samaritan perlu dipertahankan. Akan tetapi Dami tidak menyertakannya dalam skripsinya. Sya sangat merasa bersalah karena tidak memberikan buku-buku tentang eksistensialisme yang dibeli ketika tinggal di Amerika karena takut hilang. Semuanya merupakan emas. Walaupun demikian, tidak lama kemudian, muncullah buku kumpulan eseinya yang berjudul Hamba-Hamba Kebudayaan, yang isinya menunjukkan kecerdasan eksistensial Dami.

Setelah ia lulus dari UI, jami bertemu beberapa kali, antara lain di rumah kontrakannya di Matraman (dekat gedung Gramedia) dan saya di seberangnya (di sebuah lorong sempit di samping pasar Pal Meriam, ditepi sungai yang penuh sampah). Pernah ketika saya mengunjungi dia penyair Abdul Hadi WM ada di sana. Keduanya akrab sejak lama, pernah bersama-sama menulis sebuah refererat berjudul Catatan Teoretik Sekitar Penciptaan Novel 70-an. Akan tetapi Dami lebih suka menulis tentang Sutarji Calzoum Bachri. Penyair ini adalah sekali gus fenomena dan noumena. Akan tetapi dia menolak fenomena dalam berpuisi dan ingin iseng sendiri dalam dirinya sendiri yang noumenal itu dengan mantra yang hanya mempunyai arti misterius dan kemagisan yang merdu.

Untungnya Mbah Dukun Mantra Riau yang membawa-bawa naluri kekuasaan ke atas panggung sastra dengan mengangkat diri sebagai Presiden Puisi, dianggap main-main saja oleh Gunawan Muhamad. (Dami Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan, hal 26). Dami dalam satu ceramahnya di TIM menyinggung 'bahasa diam'. Maksudnya orang yang berdiam saja bisa merupakan kawah yang berisi informasi yang penting.

Akan tetapi kalau sumber informasi dalam batin yang tidak diketahui oleh orang lain itu, tidak mendorong terjadinya bentuk (poem atau bentuk seni pada umumnya), mana bisa terjadi internalisasi puitis pada orang lain yang berhadapan dengan orang yang diam itu? Memang, menurut Kant kehidupan keseharian kita merupakan bahagian dari dunia fenomena dengan substrata noumena yang bebas tidak terbuka (apiori) bagi pengentahuan kita Dunia fenomen dapat dikenal oleh logika rasional sedangkan dunia noumena hanya dapat diketuk pintunya yang tertutup itu dengan logika irasional (logika hatinurani, logika analogis-metaforis). Atau mungkin seperti yang disebut oleh Maritain, poetry intuition adalah spiritual energy yang tak berbentuk yang mendorong terjadinya art (bentuk).

Suatu malam ketika selesai makan malam dirumah saya, saya mengantarkan dia sampai ke jalan. Di tengah jalan Matraman Raya yang sunyi lengang di dini hari itu kami berbicara tentang apa saja, termasuk tentang teater sehingga kami bergerak bebas-teatrikal di jalan yang lengang itu. Kemudian ia menghilang ke gangnya.

Lalu tidak lama kemudian dia ke Jerman sedang saya menghilang dari gang tersebut dengan memakai tiga celana dan tiga kemeja sekali gus bersama buku-buku emas saya, mengembara di tanah air sendiri. Rasanya seperti memakai pakaian astronaut di bulan, malah lebih berat karena membawa buku-buku.

Setelah harian Sinar Harapan terbit kembali, ia mengirim e-mail berisi niatnya untuk kami berdua menulis buku riwayat hidup Benedictus Mboi, mantan gubernur NTT dan tulisannya yang panjang tentang Nietzsche. Saya tidak menolak dan tidak menerima karena walaupun nama saya tercantum dalam box namun hanya sebagai anggota dewan redaksi diluar 'garis komando' yang konon kalau harian ini sudah maju barulah ada imbalannya.

Tiba-tiba ada teman yang menghadiahkan sebuah buku tebal tentang sejarah Manggarai. Buku yang tebal yang menunjukkan kemampuan raksasa seorang Dami N. Toda!. Ia mempergunakan waktu dan tenaga sebaik-baiknya di negeri Jerman dan Belanda untuk meneliti buku sejarah kampung halamannya.

Ketika saya ke Flores dalam rangka pembuatan video sastrawan Indonesia prakarsa Yayasan Lontar (dibiayai Ford Foundation), saya ke kota Ruteng kota dimana saya menghabiskan masa kecil saya. Seperti William Saroyan yang kembali ke mata airnya untuk melepaskan rindu dengan minum sambil mencium bau tanah kesayannya, saya mencari mata air saya yang dahulu dan ternyata masih ada, masih membersitkan air yang bisa diminum langsung, air yang membesarkan saya.

Maka timbullah niat menulisi bupati untuk membuatkan sebuah kolam dan sebuah perpustakaan dimana buku-buku dan potret putra-putri terbaik Manggarai, seperti Dami N Toda, Ben Mboi, Thoby Mutis (rector Trisakti) para pastor dan uskup asal Manggarai, yang berjasa dalam dunia pendidikan yang moderat-samaritas. Saya ingin mengirimi Dami video saya itu serta novel saya 'Enu Molas di Lembah Lingko' tetapi selalu tertunda karena selalu menderita 'kanker'.

Dami hanya menerima salam saya lewat seorang pemuda Jerman bernama Thomas Zschocke yang mengadakan penelitian selama dua tahun di Indonesia dan kembali ke Jerman dengan bibliografi dan tesis S2 masing-masing mengenai tulisan dan sastra saya serta S3 mengenai program pendidikan non formal di kampong budaya yang saya kembangkan menjadi program desa informasi (millennium ketiga) di mana sarjana dan seniman belajar dari petani dan petani belajar dari sarjana dan seniman menghadapi alam (pulau dan laut), bekerja dengan tool teknologi tepat guna seperti computer/internet, taktor tangan, gergaji mesin dsb dalam wadah koperasi di atas lahan lingko (kebun di Manggarai yang berbentuk roda sepeda atau sarang laba-laba) modern. Sayang doktor muda Jerman tsb bekerja pada program PBB mengenai perkebunan kentang di Peru, bukan di lembah lingko, kampung halaman kami.

Padahal dia pernah berkomenter bahwa program tsb menentukan masa depan Indonesia, Ide desa budaya kami men Doktor-kan (menghidupkan) orang asing.

(Gerson Poyk dalam Suara Karya, 30 Desember 2006)

Monday, December 15, 2008

Puisi mBeling Remy Sylado

Remy Sylado: Puisi mBeling

Kalau/ Chairil Anwar/ binatang jalang/ Di blok apa/ tempatnya/ di Ragunan?//

PETIKAN puisi mBeling (puisi nakal) di atas ditulis oleh penyair Remy Sylado entah tahun berapa. Puisi yang diberi judul "Di Blok Apa" itu, membuat kita tertawa, manakala kita ingat puisi "Semangat" yang ditulis oleh almarhum penyair Chairil Anwar. Dua larik dari sekian larik puisi yang ditulis oleh penyair yang dikenal sebagai tokoh Angkatan 45 itu antara lain berbunyi: Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulan terbuang//.

Dalam antologi "Deru Campur Debu" puisi tersebut oleh Chairil Anwar diberi judul "Aku". Entah dengan alasan apa, dalam antologi "Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus" judul puisi "Aku" diubah oleh Chairil Anwar jadi "Semangat" dengan antara lain menghilangkan diksinya dari larik puisinya yang berbunyi: Dari kumpulannya terbuang, jadi: Dari kumpulan terbuang.

Pertanyaan Remy tentang Chairil Anwar termasuk binatang apa tempatnya di Ragunan, sesungguhnya tidak hanya mengundang tawa, tetapi menonjok kesadaran kita untuk merenung. Mempertanyakan kembali makna kejalangan dalam hidup kita. Boleh jadi pada sisi yang lain, Remy hendak membongkar sebuah tirai gelap yang selama ini selalu melindungi sifat-sifat kebinatangan di dalam diri kita. Salah satu dari sifat kebinatangan itu adalah ingin memuaskan nafsu seks sebebas-bebasnya. Demi apa yang ingin dicapainya itu, tak jarang rambu-rambu hidup dalam agama pun sering dilanggar oleh manusia.

Lepas dari semua itu, Remy Sylado adalah salah seorang tokoh gerakan puisi mBeling yang dikreasinya bersama pelukis Jeihan Sukmantoro pada awal tahun 1970-an di Bandung. Gerakan puisi mBeling untuk pertama kalinya dipublikasikan di majalah Aktuil pada bulan Agustus 1972, dan kemudian di majalah Pop. Di majalah ini, penyair Abdul Hadi W.M. pernah pula duduk sebagai redakturnya, bersama Remy dan Jeihan. Kemudian puisi tersebut hidup di majalah Top. Sementara itu, menurut pengamat sastra Bakdi Soemanto, puisi mBeling pada tahun-tahun tersebut bisa juga diperoleh di majalah Yunior, Astaga, Midi, Gadis dan Semangat juga di harian Eksponen (Yogyakarta), Waspada (Medan) bahkan di Suara Karya dan Pelita (Jakarta). Majalah Aktuil itu sendiri pada saat itu terbit di Bandung.

Lewat gerakan puisi semacam itu dunia perpuisian Indonesia ketika itu menjadi geger, karena ia menentang penulisan puisi lirik ala majalah sastra Horison. Lewat gerakan puisi tersebut, kita bisa membaca bahwa kesan main-main menjadi hal yang sangat penting dalam penciptaan puisi.

Remy selain menulis puisi yang berjumlah lebih dari seribu judul puisi sebagaimana terkumpul dalam dua antologi puisi tunggalnya berjudul Kerygma & Martyria (Gramedia, 2004) dan Puisi Mbeling (KPG, 2004) juga menulis sejumlah novel, yang beberapa novelnya ditulis lebih dari 500 halaman dengan ukuran buku, 14,5 cm x 21,5 cm. Sebuah novelnya berjudul Kerudung Merah Kirmiji mendapat hadiah sastra Khatulistiwa Award. Novelnya yang baru saja terbit, yang diberi judul Boulevard de Clychy (Gramedia, 2006). Tebal novel ini pun lebih dari 500 halaman.

Selain itu, Remy menulis pula sejumlah naskah drama, esai sastra dan bahasa Indonesia serta ensiklopedia musik. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seniman yang berpengetahuan luas. Selain itu ia juga melukis dan bahkan mencipta lagu, lantas main teater, film, dan sinetron. Atas daya kreatifnya semacam itu, tak aneh kalau pemerintah pusat memberi Penghargaan Satya Lancana Kebudayaan kepada dirinya.

"Di Bandung lah daya kreativitas saya diasah pada tahun 1970-an, sebelum saya merantau ke Jakarta. Hingga kini saya tetap masih orang Bandung. Saya berharap Bandung menjadi kota budaya yang banyak melahirkan seniman tidak hanya dalam bidang musik saja tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya yang lebih menggemparkan dari tahun-tahun sebelumnya," ujar Remy Sylado dalam percakapannya dengan "PR" pada Sabtu lalu (1/4/06) dalam acara Malam Apresiasi Atas Penghargaan Seni Remy Sylado" yang digelar di Gedung AACC, Jln. Braga Bandung.

Menyinggung soal puisi-puisi yang ditulisnya, Remy mengatakan, bahwa puisi yang punya napas panjang, yang dibaca secara tetap oleh khalayak, adalah puisi yang memberikan faedah penghiburan dan pengharapan kini dan esok.

Atas apa yang dikatakannya itu, tak aneh kalau puisi-puisi Remy sering membuat kita tertawa sekaligus merenung. Tema-tema puisi yang ditulisnya banyak juga yang bernapaskan religius, disamping cinta dan sosial. Puisi lainnya yang mengundang tawa, ketika ia memainkan nama sekaligus makna caterina dalam puisinya yang diberi judul Caterina yang berbunyi: Caterina dari Alexandria/ pelindung Universitas Sorbonne/ dia santa/ Caterina dari Siena/ pelindung lembaga amal/ dia santa/ Caterina dari Indonesia/ pelindung aurat doang/ dia tekstil//

Begitulah Remy Sylado hadir di hadapan kita. Ia telah memberi warna bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia kini, baik dalam bidang puisi, novel, maupun naskah drama. (Soni Farid Maulana)***

Saturday, December 13, 2008

Novel Melati van Java

Dari Boedak Sampe Djadi Radja

Nama Untung Surapati tentu tidak asing lagi bagi kebanyakan orang. Meski mungkin tidak mengetahui persis secara detail siapa gerangan Untung Surapati, bagi mereka yang pernah mengecap bangku pendidikan formal, dipastikan pernah mendengar nama tersebut dari ilmu sejarah.

Kisah tentang Untung Surapati tidak hanya bisa ditemukan dalam buku-buku tentang sejarah Indonesia saja. Di dalam naskah kuno, setidaknya telah ditemukan tiga kisah kepahlawan Surapati, yaitu babad Surapati dari Jawa Barat, Jawa Timur, dan Balambangan. Dan, dibandingkan dengan kisah-kisah peperangan "semasa" lainnya, sepak terjang Untung Surapati memiliki suatu keunikan. Kisah diwarnai berbagai tragedi dalam kehidupan pribadi Untung Surapati.

Seorang penulis bernama Melati van Java mengangkat kisah Untung Surapati dalam sebuah roman berbahasa Belanda. Roman tersebut berjudul Van Slaaf Tot Vorst, terbit pada tahun 1887. Melati van Java adalah nama samaran dari Nicolina Maria Sloot, seorang Belanda yang dilahirkan dan pernah menetap selama 18 tahun di Semarang. Selain Melati van Java, penulis lokal, Abdoel Moeis, juga mengangkat kisah tentang Untung Surapati dalam bentuk roman. Karya Melati van Java pada tahun 1898 terbit di tanah Hindia, diterjemahkan oleh FH Wiggers. Wiggers dikenal sebagai jurnalis peranakan Eropa yang memelopori produksi karya-karya sastra di negeri ini. Terjemahan dari Van Slaaf Tot Vorst, yaitu Dari Boedak Sampe Djadi Radja disebut-sebut sebagai karya terpenting dari FH Wiggers.

Kisah dimulai dengan tugas Oentoeng atau Soerapati pada tahun 1684 mencari pangeran Banten yang melarikan diri ke hutan di kawasan Gunung Gede, di tanah Preangan. Oentong adalah seorang budak pelarian yang ingin mengabdi kepada pemerintahan Belanda. Penyebabnya adalah ia telah jatuh cinta pada seorang nona Belanda bernama Suzanna (pada buku, nama ini memang tertulis Suzanna).

Akibat perbedaan status sosial, hubungan asmara Oentoeng dan Suzanna tidak mendapat restu. Ayah dari nona Suzanna, setelah mengetahui pernikahan diam-diam kedua sejoli tersebut, berusaha keras memisahkan. Suzanna dibuang ke sebuah pulau dekat Batawi, dan Oentoeng masuk bui. Kemudian, Oentoeng melarikan diri dari penjara dan sempat menjadi perampok sebelum akhirnya bekerja pada Belanda. Hanya satu keinginan Oentong, yaitu bisa diterima dengan layak di kalangan Belanda dan hidup bahagia bersama istri dan anaknya tercinta.

Setelah berhasil menemukan Pangeran Poerbaija dari Kerajaan Banten, jalan hidup Oentoeng berubah. Salah seorang istri Poerbaija, Raden Goesik Koesoema, jatuh cinta pada Oentoeng Soerapati. Berbeda dengan Oentoeng, Raden Goesik, putri Mangkoeboemi Amirang Koesoema dari kerajaan Karta-Soera, begitu membenci Belanda. Ia begitu kecewa ketika tahu Oentoeng begitu tunduk dan pasrah ketika dihina salah seorang serdadu rendahan Belanda. Akhirnya, setelah bersekongkol dengan Kiai Hemboong, orang tua kepercayaan Oentoeng, Raden Goesik berhasil memisahkan Oentoeng dan Suzanna. Ia pun akhirnya menjadi istri Oentoeng Soerapati. Raden Goesik jugalah yang akhirnya mengantar sang suami menjadi seorang raja.

Suzanna diceritakan mati muda. Anaknya dengan Oentoeng Soerapati, yaitu Robert, dipungut oleh keluarga Jacob van Reijn. Robert diceritakan jatuh cinta pada Digna yang ternyata adalah puteri dari Commissaris Toewan Tak yang tewas dibunuh Oentoeng Soerapati. Tak beda dengan kisah cinta Oentoeng dan Suzanna, Robert dan Digna juga sempat terpisah. Robert melarikan diri setelah mengetahui bahwa dirinya hanya anak pungut dan menjadi serdadu Belanda di tanah Hindia.

Intrik seputar peperangan dan politik juga mewarnai roman dua jilid ini, meski kalah bobotnya dengan kisah tragedi asmara maupun kehidupan Oentoeng Soerapati. Pemerintahan Kolonial Belanda diceritakan begitu berambisi untuk menguasai kerajaan-kerajaan besar. Kerajaan Mataram, Cirebon, dan Banten berhasil dikuasai ataupun dipecah Belanda. Kerajaan-kerajaan tersebut akhirnya menjadi boneka yang sedikit-banyak menguntungkan Belanda. Awalnya, Kerajaan Karta-Soera (pecahan dari Mataram) merupakan kerajaan yang anti-Belanda. Namun, dikisahkan kelemahan Soenan Karta-Soera, perempuan muda dan cantik, menjadi "senjata" ampuh Belanda dalam menguasai kerajaan tersebut. Oentoeng Soerapati, setelah dikhianati oleh sang Soenan, akhirnya mendirikan kerajaan sendiri bersama sang istri, Raden Goesik, dan pengikut- pengikut yang setia.

Pada beberapa edisi sebelumnya, dua roman sastra berbahasa non-Melayu Tinggi, yaitu Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo) dan Siti Akbari (Lie Kim Hok) pernah diulas sebagai buku yang juga "dilupakan". Kedua roman ini, termasuk Dari Boedak Sampe Djadi Radja, oleh beberapa kalangan disebut sebagai bacaan liar. Salah satu penyebab tergolong sebagai bacaan liar- seperti telah disinggung sebelumnya-karena bahasa yang digunakan dalam menuturkan cerita.

Kini, beberapa buku yang tegrolong bacaan liar tersebut bisa dinikmati dalam sebuah buku berjudul Antologi Sastra Pra-Indonesia yang disusun Pramoedya Ananta Toer. Kisah Dari Boedak Sampe Djadi Radja pun ada dalam buku ini, meski hanya berupa cuplikan. Dalam mengutip cerita, Pramoedya tidak mengubah bahasa yang digunakan sehingga pembaca tetap bisa menikmati bahasa Melayu Rendah. Setidaknya, kini ada upaya menyelamatkan roman sejenis Dari Boedak Sampe Djadi Radja yang telah sekian lama "tenggelam".

diambil dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0308/16/pustaka/493021.htm

Download? Silakan klik di sini

Wednesday, December 10, 2008

Dongeng Karang Bolong

Beberapa abad yang lalu tersebutlah Kesultanan Kartasura. Kesultanan sedang dilanda kesedihan yang mendalam karena permaisuri tercinta sedang sakit keras. Pangeran sudah berkali-kali memanggil tabib untuk mengobati sang permaisuri, tapi tak satupun yang dapat mengobati penyakitnya. Sehingga hari demi hari, tubuh sang permaisuri menjadi kurus kering seperti tulang terbalutkan kulit. Kecemasan melanda rakyat kesultanan Kartasura. Roda pemerintahan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Hamba sarankan agar Tuanku mencari tempat yang sepi untuk memohon kepada Sang Maha Agung agar mendapat petunjuk guna kesembuhan permaisuri," kata penasehat istana.

Tidak berapa lama, Pangeran Kartasura melaksanakan tapanya. Godaan-godaan yang dialaminya dapat dilaluinya. Hingga pada suatu malam terdengar suara gaib. "Hentikanlah semedimu. Ambillah bunga karang di Pantai Selatan, dengan bunga karang itulah, permaisuri akan sembuh." Kemudian, Pangeran Kartasura segera pulang ke istana dan menanyakan hal suara gaib tersebut pada penasehatnya. "Pantai selatan itu sangat luas. Namun hamba yakin tempat yang dimaksud suara gaib itu adalah wilayah Karang Bolong, di sana banyak terdapat gua karang yang di dalamnya tumbuh bunga karang," kata penasehat istana dengan yakin.

Keesokannya, Pangeran Kartasura menugaskan Adipati Surti untuk mengambil bunga karang tersebut. Adipati Surti memilih dua orang pengiring setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur. Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya mereka tiba di karang bolong. Di dalamnya terdapat sebuah gua. Adipati Surti segera melakukan tapanya di dalam gua tersebut. Setelah beberapa hari, Adipati Surti mendengar suara seseorang. "Hentikan semedimu. Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi harus kau penuhi dahulu persyaratanku." Adipati Surti membuka matanya, dan melihat seorang gadis cantik seperti Dewi dari kahyangan di hadapannya. Sang gadis cantik tersebut bernama Suryawati. Ia adalah abdi Nyi Loro Kidul yang menguasai Laut Selatan.

Syarat yang diajukan Suryawati, Adipati harus bersedia menetap di Pantai Selatan bersama Suryawati. Setelah lama berpikir, Adipati Surti menyanggupi syarat Suryawati. Tak lama setelah itu, Suryawati mengulurkan tangannya, mengajak Adipati Surti untuk menunjukkan tempat bunga karang. Ketika menerima uluran tangan Suryawati, Adipati Surti merasa raga halusnya saja yang terbang mengikuti Suryawati, sedang raga kasarnya tetap pada posisinya bersemedi. "Itulah bunga karang yang dapat menyembuhkan Permaisuri," kata Suryawati seraya menunjuk pada sarang burung walet. Jika diolah, akan menjadi ramuan yang luar biasa khasiatnya. Adipati Surti segera mengambil sarang burung walet cukup banyak. Setelah itu, ia kembali ke tempat bersemedi. Raga halusnya kembali masuk ke raga kasarnya.

Setelah mendapatkan bunga karang, Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya kembali ke Kartasura. Pangeran Kartasura sangat gembira atas keberhasilan Adipati Surti. "Cepat buatkan ramuan obatnya," perintah Pangeran Kartasura pada pada abdinya. Ternyata, setelah beberapa hari meminum ramuan sarang burung walet, Permaisuri menjadi sehat dan segar seperti sedia kala. Suasana Kesultanan Kartasura menjadi ceria kembali. Di tengah kegembiraan tersebut, Adipati Surti teringat janjinya pada Suryawati. Ia tidak mau mengingkari janji. Ia pun mohon diri pada Pangeran Kartasura dengan alasan untuk menjaga dan mendiami karang bolong yang di dalamnya banyak sarang burung walet. Kepergian Adipati Surti diiringi isak tangis para abdi istana, karena Adipati Surti adalah seorang yang baik dan rendah hati.

Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya untuk pergi bersamanya. Setelah berpikir beberapa saat, Sanglar dan Sanglur memutuskan untuk ikut bersama Adipati Surti. Setibanya di Karang Bolong, mereka membuat sebuah rumah sederhana. Setelah selesai, Adipati Surti bersemedi. Tidak berapa lama, ia memisahkan raga halus dari raga kasarnya. "Aku kembali untuk memenuhi janjiku," kata Adipati Surti, setelah melihat Suryawati berada di hadapannya. Kemudian, Adipati Surti dan Suryawati melangsungkan pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia di Karang Bolong. Di sana mereka mendapatkan penghasilan yang tinggi dari hasil sarang burung walet yang semakin hari semakin banyak dicari orang.

Sunday, December 07, 2008

Sastra Perbandingan

Studi Banding dalam Sastra Bandingan

Istilah studi banding yang dikenal secara luas oleh masyarakat ternyata juga menjadi salah satu studi dalam kesuksesan. Dalam karya sastra, studi banding atau studi komparatif menjadi fenomena yang menarik dan khas yang diistilahkan dengan sastra bandingan.

Jangkauan sastra bandingan ini tidak saja dalam lingkungan sastra suatu daerah, tetapi juga hubungan sastra daerah dengan daerah lain, dengan sastra nasional bahkan dengan sastra negara lain. Produk-produk kesusastraan antarwilayah dan antarnegara itu sering dijumpai memiliki pertalian dan kemiripan cerita. Fenomena itu kian menarik sebab tumbuh dan berkembangnya karya sastra itu dipisahkan oleh letak geografis yang berjauhan serta latar bduaya masyarakat yang sangat berbeda.

Awal munculnya sastra bandingan sebagai suatu teori dan pendekatan ilmiah, agak meragukan dan kurang sukses dari segi akademik. Hal ini berbeda dengan pendekatan sosiologi sastra, strukturalisme, psikologi sastra, feminisme, hegemoni dan lain-lain yang sudah bisa diterima oleh masyarakat sastra. Walaupun harus diakui pendekatan-pendekatan tadi masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri. Istilah sastra bandingkan memiliki batasan makna yang bervariasi, namun mengacu pada studi perbandingan terhadap dua karya sastra atau lebih.

Buku klasik Theory of Literature oleh Renne Wellek dan Austin Warren yang sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia, menyebutkan berbagai versi mengenai sastra bandingan. Dalam praktIknya istilah sastra bandingan menyangkut studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Pengertian sederhana itu juga dapat diartikan sebagai studi dengan masalah-masalah lain di dalam sastra. Hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan atau kelainan, di samping persamaan atau pertalian antara dua atau lebih teks sastra. Studi banding ini umumnya membahas mengenai relasi di antara dua buah karya sastra yang berbeda budaya, tetapi memiliki kesejajaran baik dari segi bentuk maupun isi.

Dalam kesusastraan Indonesia, kajian sastra bandingan belum begitu populer, dibandingkan negara lain. Dari segi teori, ilmu ini belum mendapat perhatian serius, padahal objek garapannya cukup banyak tersedia dan terbentang luas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa dan sastranya masing-masing. Tidak sedikit, sastra daerah di tanah air menampakkan kemiripan karena beberapa cerita memiliki motif yang sama. Banyak dijumpai cerita rakyat yang hampir sama tentang seorang pemuda beristrikan bidadari. Contohnya, cerita Raja Pala (Bali), Jaka Tarub (Jawa), Malem Diwa (Aceh), Fefo Kakar Ritu atau Tujuh Orang Putri Bersaudara (Nusa Tenggara Timur), Datu Unjum atau Telaga Bidadari (Kalimantan Selatan) dan Lahilote (Sulawesi Utara). Cerita tentang laki-laki yang bodoh-bodoh pintar juga banyak dijumpai di tanah air seperti Pan Balang Tamak (Bali), Pak Belalang (Sumatera) dan Si Kabayan (Jawa Barat).

Tidak saja dalam bentuk cerita rakyat, hasil kesusastraan yang lebih maju juga banyak memiliki unsur persamaan. Cerita-cerita panji yang berkembang di Jawa juga terdapat pertalian dengan di Bali. Demikian juga karya sastra bentuk babad mempunyai kemiripan antara babad di Bali, Jawa, Sasak dan Sunda. Artinya Jawa dan Bali memiliki hasil-hasil kesusastraan yang tidak jauh berbeda seperti cerita rakyat Bawang Merah dengan Bawang Putih, Si Kaya dengan Si Miskin, legenda tentang Bhatari Shri dan Tujuh Bidadari, serta yang lainnya. Kisah-kisah yang disebutkan itu hidup dan berkembang di Jawa dan Bali dengan versi yang sedikit berbeda. Intisari ceritanya menunjukkan pertalian yang erat. Kedekatan secara geografis serta latar orang Jawa yang beragama Hindu, maka sastra tradisional antara Jawa dan Bali mengandung banyak kesamaan.

Bukan Plagiator

Dalam perkembangan selanjutnya, studi banding dalam sastra bandingan semakin melebar dengan mengkaji dan menganalisis teks sastra. Prinsip kerja ini pernah dilakukan oleh HB Jassin ketika membela pengarang Hamka dan Chairil Anwar dari tuduhan sebagai palgiat. Pengarang Hamka dituduh sebagai plagiat ketika menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Novel ini memiliki kemiripan dengan karya seorang pengarang Mesir, Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Hal yang sama juga dilakukan Jassin ketika Chairil Anwar dituduh menjiplak karya-karya penyair manca negara.

Setelah mengkaji dengan sastra bandingan, Jassin, kritikus sastra Indonesia itu menegaskan, Hamka bukan plagiat. Tetapi dia mengadaptasi karya pengarang Mesir tersebut. Mengenai Chairil Anwar, Jassin juga menilai, penyair angkatan 45 itu hanya menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra asing itu. Pembelaan yang berpihak kepada Hamka dan Chairil itu akhirnya terungkap bahwa tuduhan sebagai palgiator itu hanya mengada-ada. Justru tuduhan itu banyak bermuatan politis. Tuduhan itu datangnya dari sekelompok orang yang beraliran komunitas yang bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lembaga yang ingin menghantam kaum nasionalis ini kemudian dibubarkan seiring dengan pelarangan partai komunis di Indonesia.

Analisis melalui sastra bandingan dapat mengantarkan kehidupan sastra dalam posisi yang lebih bergengsi. Citra dunia kesusastraan akan dapat terangkat dari posisinya yang terputuk. Sastra sudah lama berada di ruang terpencil dan jarang mendapat perhatian dibandingkan dIsiplin ilmu lain. Sastra bandingan merupakan mediator untuk membandingkan dua teks sastra atau lebih. Perbandingan itu tidak saja antarkarya sastra dalam suatu daerah, tetapi juga dengan daerah lain, sastra daerah dengan nasional, atau sekaligus antara, sastra lokal dengan sastra nasional dan dengan sastra dunia. Dengan jangkauan seperti itu sastra akan mendapat perhatian yang lebih luas lagi. Sebab melalui sastra bandingan, akan melibatkan pengarang yang berbeda, masyarakat yang berlainan identitas seperti perbedaan sosial budaya, agama, politik dan lain-lain. Terlebih lagi kajian sastra bandingkan itu ingin mengetahui proses penciptaan serta perkembangan sastra di suatu daerah dan negara.

Usaha-usaha ke arah itu tampaknya sudah dirintis melalui kerja sama kesusastraan negara-negara Asia Tenggara yang terhimpun dalam wadah Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera). Salah satu program kerja Mastera itu adalah menyusun antologi sastra bandingan dari masing-masing negara anggota (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Muangthai dan Filiphina). Malahan lembaga Mastera itu ingin membudayakan sastra bandingan. Artinya, studi sastra bandingan kesusastraan Asia Tenggara dapat diangkat menjadi mata kuliah wajib bagi perguruan tinggi yang membuka program studi kesusastraan di wilaah Asia Tenggara.

Dengan membuka diri terhadap kesusastraan milik orang lain, dari daerah dan dari negara yang berlainan pula, maka sastra bandingan merupakan jembatan budaya untuk mengetahui sistem pErilaku, agama, adat istiadat, politik dan unsur budaya lainnya. Jembatan budaya ini akan lebih dapat dipupuk karena dibalik perbedaan, ternyata unsur persamaan karya sastra sangat menojol, walaupun dalam wujud karya fiksi. Melalui sastra bandingan dengan cerita-cerita yang bermotif sama, maka rasa persaudaraan itu akan semakin tebal dan kokoh. Sebab cerita yang dimiliki dan dipelajari oleh masyarakat disuatu daerah sebagai warisan budaya mereka, ternyata juga dipahami dan dipelajari oleh masyarakat di daerah lain, bahkan di negara yang letak geografisnya berjauhan juga dipelajari. Dengan demikian, maka sesama warga negara dan warga dunia, akan terjadi rasa saling menghargai, saling memiliki dan saling mencintai melalui sastra.

Masyarakat Indonesia yang berbeda agama, budaya, bahasa dan suku bangsa sangat relevan untuk menggairahkan studi sastra bandingan. Identitas yang beragam ini dapat dipertemukan melalui hasil-hasil kesusastraan dengan melakukan studi banding antarteks sastra. Sementara ini kajian seperti itu sangat langka. Kalaupun ada lebih banyak dalam bentuk tulisan singkat berupa esai atau artikel yang muncul di media massa. Objek garapan sastra bandingan cukup tersedia baik dalam bentuk sastra tradisional maupun modern. Untum mempertebal dan memperkokoh rasa nasionalisme dan rasa kebangsaan Indonesia yang kian memudar itu, sastra dapat mengambil peran melalui sastra bandingan.

i nyoman suaka
diambil dari Bali Post, Minggu, 23 Mei 2004

Friday, December 05, 2008

Regionalisme Sastra Indonesia

Regionalisme Sastra Indonesia


Pembicaraan mengenai regionalisme sastra dapat ditemui secara implisit dalam sejumlah kritik sastra Indonesia. Nilai positif dari pembicaraan ini memberikan kemungkinan baru dalam melakukan kajian terhadap sastra Indonesia. Untuk beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, baik secara tematik maupun geografis, sebenarnya tema seperti ini menjadi lokus-lokus yang dapat dirangkai menjadi kajian yang komprehensif atau setidaknya sebagian besar peluang penelitian atau penulisan kritik sastra Indonesia dapat diidentifikasi.

Para sastrawan Indonesia telah melampaui batasan-batasan latar belakang budaya dan geografis. Mereka berkarya dalam sebuah ranah yang bernama Indonesia, baik dalam artian bahasa, pemikiran, maupun semangat penjelajahan sumber penciptaannya. Meski demikian, memang dapat ditemui sejumlah kesan dan ciri budaya yang melekat dan hingga saat ini dijadikan acuan dalam penulisan sejumlah leksikon sastra Indonesia.

Beberapa buku leksikon dan bibliografi memuat sejumlah sastrawan yang hidup dan berkarya di wilayah tertentu, seperti di Jabodetabek, Kalimantan, atau Sumatera Barat. Meski demikian, data base yang dimiliki masing-masing daerah belum selengkap yang diharapkan banyak pihak. Karya-karya yang pernah dihasilkan banyak yang belum didata. Persoalan yang juga menjadi kendala adalah bagaimana kita dapat mengakses informasi dan menemukan karya-karya yang pernah dihasilkan dalam perjalanan sastra Indonesia. Saya menduga banyak kritikus yang menyimpan karya-karya para penulis sastra, baik dari penelusuran di berbagai tempat, kiriman penerbit, maupun hadiah dari para penulisnya sendiri.


Selain itu juga masih ada sejumlah perpustakaan, koleksi, dan taman bacaan yang menyimpan karya-karya sastra. Hanya saja, sistem kataloginya masih sederhana, belum bisa diakses secara umum, kecuali beberapa perpustakaan yang sudah melakukan perbaikan dalam sistem katalogi ini. Seandainya hal ini dapat diperbaiki, tentu akan memberikan angin segar dalam kajian sastra Indonesia.

Regionalisasi dan pusat penelitian

Mungkin kita dapat melakukan perbandingan dengan Perpustakaan KITLV Leiden yang menjadi rujukan penting dalam kajian Indonesia, termasuk sastranya. Selain program penelitian, penerbitan, dan seminar, perpustakaan ini menyediakan layanan perpustakaan yang lebih dari cukup. Dengan demikian, ia menjadi salah satu lokus penting bagi peminat kajian sastra Indonesia. Nilai pentingnya tak hanya dinikmati para pengkaji, tetapi juga para pengelolanya.

Berkaitan dengan hal ini, kajian yang dilakukan para peneliti kita masih terbatas dalam pergerakannya, baik karena masalah finansial dalam melakukan penelitian maupun karena alasan lain. Mereka lebih banyak melakukan penelitian dalam lingkung akademis dan wilayahnya masing-masing. Dilihat dari obyek kajian, memang teks karya sastra dapat dilepaskan dari batasan-batasan geografis. Namun, dalam kebutuhan yang lebih dari itu, seperti kondisi sosiologis dan perkembangan budaya, diperlukan adanya keleluasaan dalam penjelajahan yang lebih luas dan makro.

Dari kondisi seperti inilah diperlukan semacam regionalisasi dalam melakukan kajian sastra Indonesia, dalam kerangka yang lebih luas untuk kajian sastra Indonesia. Para pengkaji sastra Indonesia dapat memfokuskan diri menggali kekayaan sastra Indonesia dalam sebuah lingkungan tertentu, dengan tidak melupakan konstelasi sastra Indonesia secara umum. Selain kajian, pendokumentasian karya sastra dan sumber-sumber referensi penting dalam sebuah wilayah juga menjadi agenda penting, terutama dalam berbagi informasi mengenai referensi apa saja yang tersedia dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada.

Rumah Puisi Taufiq Ismail

Taufiq Ismail berencana untuk membangun Rumah Puisi di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam launching Rumah Puisi yang dilakukan berkaitan dengan acara 55 tahun Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia, dugaan saya ada kaitan Rumah Puisi dengan program SBSB Horison, keberadaan majalah Horison, dan pilihan pembangunan ini yang berada di luar Jakarta serta penempatannya yang bukan di Padang sebagai pusat Sumatera Barat, tetapi di tempat yang relatif berada di tengah-tengah Sumatera Barat sehingga memberikan akses yang lebih bagi seluruh masyarakat di Sumatera Barat.

Di luar rencana dan inisiatif pilihan tempat, sebenarnya di Sumatera Barat ada beberapa lokasi yang sudah tersedia dan memadai untuk dijadikan kantong sastra ini. Sastrawan Indonesia tentu sudah mengenal INS Kayutanam yang pernah digunakan sebagai tempat Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. Selain itu juga ada Genta Budaya dan Taman Budaya di Kota Padang atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi yang diobsesikan menjadi salah satu pusat intelektual di Sumatera Barat.

Sampai saat ini saya hanya membayangkan apakah nanti Rumah Puisi ini akan menjadi sebuah tempat yang hidup dengan berbagai aktivitas dan program sastra dan intelektualnya, tempat sastrawan tinggal beberapa bulan dan menulis karya, melakukan dialog dan seminar, tempat sastrawan dan peneliti sastra membaca buku-buku koleksi Taufiq Ismail yang akan dipindahkan ke sana, tempat kunjungan para guru dan siswa, sastrawan dan artis yang meramaikan SBSB akan datang dan menulis atau berlatih kesenian, para sastrawan mempertunjukkan karya, dan sebagainya.

Jika dulu STA menghibahkan uang asuransi kecelakaan pesawatnya untuk membangun Toyabungkah, maka sekarang Taufiq Ismail menghibahkan uang dari Habibie Award untuk Rumah Puisi ini. Apakah dari rencana ini kemudian juga akan membawa resonansi lain dalam kajian sastra Indonesia, dengan mengalihkan pandangan ke berbagai daerah lain, mendalami fenomena sastra di daerah, mengapresiasi kehidupan sastra di daerah, dan menjadikan daerah sebagai basis dalam kajian yang akan dilakukan. Regionalisasi sastra Indonesia, karena itu, menjadi sebuah wacana yang perlu diperhatikan.

Sudarmoko Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang
Diambil dari Kompas Minggu, 29 Juni 2008

Wednesday, December 03, 2008

Durian Djenar

Durian

Cerpen Djenar Maesa Ayu



Sudah hampir genap sebulan Hyza tidak berselera makan. Berat badannya menurun drastis, keceriaannya hilang, jantung berdebar-debar tanpa sebab pasti, dan kerap terserang rasa panik secara tiba-tiba. Hyza sudah menemui seorang psikiater yang ternyata hanya mampu memberikannya obat penenang dan penambah nafsu makan sebagai solusi tunggal.

Hyza memang tidak pernah secara terbuka menceritakan kepada psikiater penyebab kegundahannya. Ia malu dan sangat takut jika psikiaternya menyatakan bahwa dia gila dan harus mendapat perawatan di dalam rumah sakit jiwa. Ia tidak mampu mengatakan bahwa penyebab semua ini adalah sebuah durian.

Satu bulan yang lalu Hyza bermimpi. Seorang laki-laki datang padanya membawa sebuah durian berwarna keemasan. Tidak ada yang istimewa pada durian itu kecuali warnanya yang keemasan dan aromanya yang sangat menggiurkan. Ia memohon dengan suara parau kepada laki-laki itu untuk membaginya sedikit saja.



Namun, laki-laki itu berkata, "Hyza, durian ini milikmu ketika kau terbangun dari mimpimu."
Hyza menolak. Ia hanya ingin mencicipi durian itu sedikit saja dalam mimpi. Laki-laki itu bersikeras akan memberikan durian keemasan itu hanya jika Hyza bangun dari tidurnya, lalu ia bergegas pergi.


Sepanjang hidupnya Hyza tidak pernah sudi makan buah durian. Sewaktu ia masih sangat kecil, ia pernah bermimpi makan durian dengan sangat lahap. Ketika durian itu habis, perutnya lantas membesar. Tidak lama kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan berpenyakit kusta. Ia tidak pernah menceritakan kepada siapa pun perihal mimpinya. Tapi ia bersumpah untuk tidak pernah makan durian dan menjaga keturunannya dari kutukan penyakit kusta.


Hyza bercinta dengan banyak laki-laki. Ia tidak pernah malu-malu menyatakan keinginan seksualnya kepada siapa pun yang diinginkannya. Sewaktu Hyza berumur dua belas tahun, ia mengajak teman sekelasnya yang bernama Stefan untuk menginap di rumahnya.


Hyza hanya tinggal bersama dengan tiga orang pembantu. Sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa kedua orangtuanya semenjak ia berumur tujuh tahun. Sebagai anak tunggal, ia mewarisi hampir seluruh kekayaan keluarga dan sebagian kecil lainnya dihibahkan kepada kakak laki-laki tertua ayahnya yang juga ditunjuk sebagai wali. Wali yang ternyata meniduri Hyza semenjak Hyza berumur sembilan tahun.


Ketika Stefan tertidur, Hyza mulai memperkosa Stefan. Ia mengunyah bibir Stefan, melucuti baju, dan memuaskan kehendaknya di atas tubuh Stefan yang tetap pura-pura tertidur.


Keesokan harinya Hyza berkata, "Stefan, saya tahu kamu tidak tidur."


Stefan tidak menjawab. Ia hanya bertanya tanpa melihat ke mata Hyza, "Bagaimana kalau kamu hamil?"


Hyza tertawa, "Stefan saya tidak akan hamil. Saya tidak makan durian...."

***

Tapi, sudah hampir genap sebulan ini Hyza ingin sekali memakan durian. Durian keemasan dengan aroma yang sangat menggiurkan. Setelah laki-laki dalam mimpinya pergi, ia terbangun dari tidurnya dan durian itu ada bersamanya, bersinar terang di dalam kegelapan kamar.
Anaknya yang berumur lima tahun ikut terbangun dan sambil mengantuk berkata, "Mama, matikan lampunya... Ma...."


"Itu bukan lampu, sayang... itu... sudahlah tidur lagi ya sayang, Mama matikan lampunya."
Gadis kecil itu mengangguk lalu kembali tertidur pulas di samping kedua saudara kembar perempuannya yang lain. Hyza bergegas keluar kamar sambil membawa durian keemasan itu lalu menyimpannya di dalam gudang.


Ketika Hyza kembali ke dalam kamar, wangi durian keemasan itu masih tinggal. Ia tidak dapat memejamkan mata. Wangi durian itu merasuki jiwanya. Memanjakan penciumannya. Membawa khayalnya melayang tinggi menembus langit-langit, beterbangan bersama kelap-kelip gemintang.


Ia ingin mengiris durian keemasan itu dengan sebilah pisau berkilat tajam. Ia ingin membelah durian itu dengan kedua belah tangannya perlahan hingga durian itu merenggang terbelah jadi dua bagian. Ia ingin menjilati tangannya yang sedikit berdarah tergores duri dan terkena daging buah durian, yang sedikit meyeruak ketika ia membukanya, lalu mengambil sebuah di dalam tangannya dan memasukkan perlahan di dalam mulutnya yang basah dan mengisapnya penuh dengan lidah hingga yang tertinggal hanya bijinya yang kini sudah sangat bersih.
Hyza mengerang pelan, lalu orgasme.

***

Pagi-pagi sekali Hyza bangun. Ia berjalan menuju gudang lalu mengeluarkan durian keemasan itu lalu membuangnya ke dalam bak sampah di depan rumah. Kemudian ia membangunkan ketiga anak kembarnya untuk bersiap-siap sekolah.


Ketika sedang sibuk memandikan ketiga anaknya satu per satu, hidungnya mencium bau yang sangat ia kenal. Tidak salah lagi, bau durian keemasan telah mengepung seisi rumah besar itu. Ia berteriak kepada pembantunya yang sudah sangat setia bekerja bersamanya semenjak ia masih kecil.

"Bi Inah.... bau durian dari mana ini?"

"Anu... Non... tadi waktu saya nyapu halaman ada buah durian di dalam tong sampah. Baunya wangiii deh Non... bersinar lagi, pasti ini bukan durian sembarang durian Non... ini pasti pertanda baik, durian keberuntungan! Jadi saya bawa masuk ke dalam. Mungkin malaikat yang sengaja taruh di depan tong sampah rumah kita... Non...."

"Aduh Bi Inah... itu durian ndemit! Dibuang aja Bi...."

"Lo, kok dibuang Non... Bi Inah nggak mau. Mohon maaf Non... kalau si Non nggak mau, Bi Inah yang mau simpan. Berarti ini durian keberuntungan buat Bi Inah."

"Bi Inahhh...!" Ketiga anak Hyza tiba-tiba menangis mendengar ibunya dan Bi Inah bertengkar.

Hyza kembali sibuk mengurus mereka bertiga. Menggantikan baju, menyiapkan sarapan lalu bergegas mengantar ke sekolah. Di dalam mobil sebelum Hyza berangkat, ia masih sempat berteriak mengingatkan Bi Inah, "Bi Inah, kalau saya pulang saya nggak mau durian itu masih ada di rumah. Ini perintah!"

Bi Inah diam saja. Ia menutup pintu pagar dengan wajah sedih.

***

Sesampainya Hyza di rumah, ia melihat durian keemasan itu di ruang tamu bersama dengan koper Bi Inah. Anak-anaknya berlarian mengerubuti durian itu.

"Mama... ini buah apa... kok bisa bersinar...."

"Siti...! Bawa anak-anak masuk ke dalam. Panggil Bi Inah sekarang!"

Bi Inah muncul sebelum dipanggil lalu duduk bersila di lantai. Dengan keras hati ia pamit pulang dengan membawa durian keemasan itu jika tidak diberi izin menyimpan. Hyza menghela napas dalam. Ia tidak dapat membayangkan hidup tanpa Bi Inah. Menjadi orangtua tunggal sama sekali bukan hal yang mudah. Apalagi menjadi orang tua tunggal dari tiga anak kembar.Hyza tidak tahu persis siapa yang paling pantas untuk dimintai pertanggungjawaban. Ketika ia mengandung, pikirannya lebih dibuat sibuk oleh pertanyaan seputar durian dibanding ayah dari janinnya. Ia tidak mengerti mengapa bisa mengandung padahal ia tidak pernah sekalipun makan durian. Selama sembilan bulan ia menunggu dengan penuh kekhawatiran akan penyakit kusta yang mungkin menjangkiti janinnya. Ketika proses persalinan, ia duduk sambil memandangi bayinya keluar satu per satu untuk memastikan apakah bayinya normal. Dan, ketika bayi-bayinya dinyatakan sehat, ia menerjemahkan mimpinya dengan jika ia makan durian, maka anak-anaknya yang kini lahir sehat walafiat kelak akan terjangkit penyakit kusta.

Hyza sangat mencintai anak-anaknya. Untuk pertama kali dalam sembilan belas tahun hidupnya, ia merasa kehadirannya di dalam dunia mempunyai makna. Kini ia dapat merasakan bagaimana rasanya dibutuhkan dan membutuhkan. Ia meninggalkan pergaulannya, juga laki-laki. Ia ingin anak-anaknya mempunyai kehidupan yang jauh lebih baik dari apa yang pernah ia dapatkan. Ia menghidupi anak-anaknya dari bunga deposito warisan keluarga dan sepenuhnya mengerahkan waktu dan tenaga untuk anak-anaknya.Namun, ia sadar benar, keberhasilannya menjadi orangtua tunggal di usia yang sangat muda ini tidak lepas dari jasa Bi Inah. Bi Inah tidak pernah dikaruniai anak maka ia ditinggal oleh suaminya. Ia mencintai Hyza sebagai anaknya sendiri dan mencintai anak Hyza layaknya cucu-cucunya sendiri. Tidak pernah sekalipun Bi Inah pulang kampung, bahkan pada saat Lebaran. Bi Inah tidak ingin pulang, ia malu kepada keluarga dan tetangganya di kampung karena ditinggal suaminya dengan alasan tidak dapat memberikan anak. Maka melihat keteguhan Bi Inah untuk pergi kali ini membuat hati Hyza gentar juga. Ia tidak siap kehilangan Bi Inah. Ia sangat membutuhkan Bi Inah.

Akhirnya Hyza mengalah. "Bi Inah. Bibi boleh menyimpan durian itu, Tapi jauhkan dari anak-anak. Taruh di dalam karung supaya baunya tidak ke mana-mana dan warnanya tidak memancing perhatian anak-anak. Taruh di kamar Bi Inah."

"Terima kasih Non... sebenarnya Bi Inah enggak mau pulang...." Bi Inah mulai menangis.

"Sudah... Bi Inah... saya nggak mau ikut-ikutan nangis. Sudah bawa duriannya ke dalam." Bi Inah membawa barang-barangnya kembali ke dalam sambil masih menangis. Hyza menghela napas dalam.

***

Sudah hampir genap sebulan durian itu tersimpan di dalam kamar Bi Inah. Seisi rumah sudah melupakannya, bahkan Bi Inah sendiri. Namun, Hyza tidak pernah melupakannya. Ia tidak pernah merasa tenang. Ia sangat ketakutan jika suatu saat anak-anaknya bermain di kamar Bi Inah lalu menemukan durian itu dan memakannya. Selain itu Hyza sangat menginginkan durian itu. Walaupun Bi Inah menyajikan masakan-masakan kesukaan Hyza, ia tidak merasa bernafsu memakannya. Pikirannya hanya terpaku pada durian. Durian keemasan dengan aroma yang sangat menggiurkan.

Selain penenang dari psikiater, Hyza mulai minum minuman keras. Ia kembali pada pergaulannya yang dulu. Banyak laki-laki mulai mendekati, namun yang Hyza inginkan hanyalah durian dalam kamar Bi Inah. Ia menginginkan durian keemasan yang dibawa oleh seorang laki-laki di dalam mimpinya dan ia temukan dalam kehidupannya yang nyata. Ia mulai membenci durian itu. Ia mulai membenci dirinya sendiri.Pada suatu hari dalam keadaan mabuk ia mengambil durian dari dalam kamar Bi Inah dan menukarnya dengan durian palsu yang sudah ia lapisi emas. Kali ini ia membungkusnya dengan berlapis-lapis koran, memasukkannya ke dalam kantong plastik sampah hitam bersama dengan kotoran-kotoran lain, lalu membuangnya ke dalam tong sampah.

Namun, pagi-pagi sekali Hyza sudah bangun lalu mengais-ngais tong sampahnya sendiri dan membawa masuk durian keemasan itu dengan hati lega dan gembira. Tapi, ketika hari-harinya lagi-lagi dirisaukan dengan keinginannya untuk mencicipi durian itu, ia mulai membenci durian dan dirinya sendiri kembali. Maka ia membulatkan tekadnya, lalu kembali mencuri durian dari dalam kamar Bi Inah dan kali ini membuangnya ke kali. Namun, baru beberapa menit setelah ia membuang durian itu, ia mengemudikan mobilnya kembali ke kali.

Durian itu sudah tidak ada. Hyza merasa persendian kaki-kakinya lumpuh, hatinya gundah, air matanya bercucuran membasahi pipinya. Ia berlari menyusuri sepanjang kali di kegelapan malam. Segerombolan laki-laki yang sedang mabuk di tepi kali menghadangnya dan memerkosanya bergantian habis-habisan. Hyza tidak peduli, ia melayani nafsu segerombolan laki-laki itu dan ketika mereka semua selesai kelelahan Hyza kembali berlari menyusuri kali itu.

Dari kejauhan ia melihat sinar redup dari sebuah karung yang tersangkut ranting menjurai. Tanpa berpikir panjang Hyza terjun ke dalam kali penuh tahi berseliweran dan berenang ke arah karung berisi durian keemasan itu. Ketika ia berhasil menggapai karung berisi durian keemasan, seorang laki-laki membantunya naik ke atas.

Lalu laki-laki itu berkata, "Aku yang melihat karung itu lebih dulu. Aku yang memilikinya. Wilayah kali ini adalah milikku. Jika kamu menginginkan karung itu, kau harus menyetubuhiku."

Hyza mengabulkan permintaan laki-laki itu. Sama seperti dirinya yang mengalah untuk memiliki durian itu, namun tetap berjanji untuk manahan keinginannya untuk tetap tidak mencicipinya.

***

Sudah hampir genap sebulan Hyza tidak berselera makan. Ia hanya menginginkan durian berwarna keemasan dan beraroma sangat menggiurkan. Lalu ia kembali bermimpi. Laki-laki itu datang padanya dan bertanya, "Sudahkah kamu mencicipi durian itu?"

"Itu bukan durian. Itu durian berbuah kuldi. Dan, saya tetap tidak mau memakannya"

"Lalu mengapa kamu menginginkannya?"

"Karena saya manusia biasa yang dikaruniai rasa untuk menginginkan, namun saya juga dikaruniai akal untuk memutuskan apa yang tidak dan harus saya lakukan."

"Lalu mengapa kamu tetap menyimpannya?"

Hyza tertegun sejenak tanpa dapat menjawab pertanyaan laki-laki itu.


Ketika Hyza terbangun, ia bergegas kembali ke kamar Bi Inah dan menemukan karung berisi durian keemasan itu sudah tidak ada. Dalam keadaan masih bingung ia berlari kembali ke kamarnya dan membangunkan anak-anaknya untuk bersiap-siap sekolah. Ia sangat terkejut ketika melihat ketiga anaknya sudah terjangkit penyakit kusta. Hyza terpaku di tempatnya.

Hanya kata-kata terakhir laki-laki dalam mimpinya saja yang masih terngiang-ngiang di dalam telinganya, "Dalam mengaku pun Hyza, seseorang mungkin masih munafik!"

Monday, December 01, 2008

Rumah Kardus

Rumah Kardus

Cerpen Effendy Wongso


Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
"Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!"

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
tiga kali empat meter,
terlalu sempit buat meniup nyawa!

- Chairil Anwar, Sebuah Kamar (1946)


Sinar itu selalu mengusiknya. Sebelum segalanya sempurna dalam dekapan tidurnya yang damai. Tujuh tahun, entah. Mungkin lebih. Delapan barangkali. Ia tidak menghitung persisnya. Sinar itu mengiring langkahnya beranjak dewasa. Kadang-kadang membuainya dengan hangat seperti selimut. Tapi juga mengusiknya. Seperti pagi ini.

Ia menguap setelah mengucek-ucek mata. Dipannya masih terasa hangat. Dan ada ketidakrelaan ketika sepasang kaki telanjangnya itu menyentuh lantai tanah yang dingin. Disibaknya sarung usang yang biasa dipakainya sebagai selimut. Ada cabikan kecil pada tepinya. Tidak terlalu jelek. Sarung itu konon dibuat di pedalaman Sulawesi Selatan. Dirajut secara tradisional dari kepompong ulat sutra. Lebih dikenal dengan nama sarung sutra Bugis.


Kisah tentang sarungnya itu sebenarnya tidak terlalu bagus. Ayahnya yang memberikannya tiga tahun lalu. Sehari sebelum Idul Fitri. Sarung itu merupakan benda terbaik dan paling berharga yang pernah ia miliki. Tidak disangka merupakan pemberian terakhir dari lelaki yang sehari-hari menjadi tukang tambal ban itu. Mengingat semua itu ia seolah dihadapkan pada layar kenangan dengan skenario lara. Bukan hal yang menyenangkan memang. Tapi kisah itu kerap hadir dalam kesendiriannya. Ketika Ibu berangkat kerja sebagai binatu keliling. Ketika Lanang, kakak laki-lakinya pergi mengamen, atau sekali-kali menjadi pengemis dengan menyewa bayi tetangga dengan upah satu nasi bungkus.

Di luar sudah terdengar gaduh rutinitas. Ada derit roda pada katrol timba parigi. Ada bunyi desau air dari kamar mandi berdinding lepa. Ada debum kasur yang ditepuk-tepuk karena baru saja malam tadi diompoli oleh sang orok. Juga bunyi berirama kayuhan patah-patah becak gerobak pedagang sayur. Setiap melewati jalan becek di depan rumahnya, lelaki tua bermata cekung itu selalu kerepotan. Ia harus turun dari sadel. Mendorong becak gerobaknya, sesekali menghindari tanah yang berlubang-lubang dan berlumpur. Lalu setelah berhasil melewati jalan yang selalu menyusahkannya itu, ia akan mengumpat-umpat dengan kalimat yang tidak jelas. Tidak ada yang pernah mengerti. Termasuk perempuan gemuk penjual jamu gendong yang selalu berpapasan dengannya.

Atau, seorang perempuan muda dengan pakaian norak berwarna manyala separo terbuka yang baru pulang dengan mata sembap. Perempuan itu biasa dipanggil Tin si Kupu-kupu Malam. Tin adalah kependekan dari Tinneke. Sebetulnya bukan itu nama sebenarnya. Menurut orang-orang kampung di dekat Kalijodo, perempuan itu aslinya bernama Tinah Suhartin. Dari Jawa. Namun setelah beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, seperti bunglon ia pun mengganti namanya. Juga penampilannya.

Dari jalan masuk sinar matahari itu pula ia dapat mengintip semua kejadian pagi yang menjadi ritual harian orang-orang pinggiran. Lubang sobekan pada dinding kardus rumah itu sebesar bola tenis. Samar masih tertangkap buram gambar dan tipografi iklan sebuah rokok di sampingnya. Ada tambalan poster di sana-sini. Wajah lama Michael Jackson yang masih berkulit hitam tampak menguning. Sementara gambar klasik pasangan bintang Nike Ardilla dan Hengky Tornando berlubang-lubang belel dan bolong tersundut api rokok.

Lubang itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Kalau malam, ia dapat mengintip bintang-bintang di langit. Untuk rutinitas malam orang-orang kampung, ia tidak dapat lagi melihat apa-apa lagi selain kekelaman. Tidak ada apa-apa selain suara kodok atau sesekali gonggongan anjing buluk milik seorang pemulung kayu peti asal Madura di kelokan gang sana.
Dari kejauhan terdengar pula ritme gerit roda besi pada sambungan-sambungan rel. Kereta api jurusan Jakarta-Depok seperti tidak ada habis-habisnya. Setiap lima belas atau dua puluh menit sekali bunyi itu mengirama pada gendang telinganya. Suara itu juga kadang-kadang diimbuhi dengan bunyi serak dari sebuah radio tua milik tetangganya yang berjarak dua meter dari rumahnya. Pukul lima pagi tepat, siaran luar negeri BBC London pasti terdengar dari gelombang pendek radio transistornya. Tetangganya itu seorang purnawirawan tentara pada zaman Orde Lama. Semua bunyi tersebut mengirama seiring dengan usianya yang jalan tiga belas. Dan menjadi litani pada kehidupannya yang tawar.

Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan yang sekian belas tahun diakrabinya.

***

Siang tadi ia mendadak kedatangan tamu penting dari sebuah SMA yang berlokasi di Selatan Jakarta. Seorang siswi. Cantik. Kelihatannya anak orang kaya di kota. Sebetulnya, bukan sengaja. Secara acak siswi itu mendatangi rumah-rumah yang dianggap paling kumuh. Tidak layak untuk ditinggali. Termasuk di rumahnya.

"Kamu sendiri?" ia bertanya, membuka pembicaraan setelah gadis tiga belas itu hanya menundukkan kepala dengan rupa gelisah. Ia duduk di amben belakang, menghadap keluar berseberangan dengan sebuah kanal dengan airnya yang keruh.

"Orangtua kamu?"

"Bapak sudah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu lagi kerja, nyuci baju di rumah ibu-ibu di kampung sebelah. Saya ditinggal sampai sore. Tidak boleh ikut. Mesti jaga rumah."

Siswi itu mengerutkan keningnya. Melongokkan kepala ke arah dalam rumah kardus yang disinggahinya. Diedarkannya matanya ke sekeliling ruangan yang tidak lebih besar ketimbang toilet utama rumahnya di 'Pondok Indah'. Ini tidak layak disebut rumah. Di mana-mana beterbangan lalat dari tumpukan sampah tidak jauh dari tempat ia sekarang berada. Ia sama sekali tidak menyebut kata 'rumah' untuk tempat ini. Karena menurutnya, rumah yang ideal adalah 'home'. Dalam rumah kategori itu ada keharmonisan dan kedamaian suasana. Tidak seperti di tempat ini. Sangat jorok dan tidak sehat!

"Kamu tidak sekolah?"

"Tidak. Tapi, diajari baca sama Bang Lanang."

"Siapa dia?"

"Kakak. Bang Lanang pernah sekolah. Tapi cuma sampai kelas lima SD saja. Tidak sampai tamat."

"Kenapa?"

Gadis itu kembali menundukkan kepala. Binar di matanya meredup. Ia nampak gelagapan.

"Bapak keburu meninggal, Kak."

Siswi itu terhenyak sesaat. Tapi diuraikannya sebuah senyum paksa, menggebah rasa iba yang menyeruak mendadak. Ia sangat prihatin dengan kondisi yang dilihatnya.

"Kamu boleh panggil nama saya. Wulan. Kalau kamu?"

"Lintang, Kak."

"Hm, Lintang pernah kepikiran untuk sekolah tidak?"

"Ingin sekali. Tapi, biaya sekolah mahal...."

Wulan menghela napas. Kalimat lugu yang disampaikan Lintang barusan memang merupakan refleksitas kehidupan yang sebenar-benarnya. Bahwa betapa banyak kepincangan yang membumi di Nusantara ini.

"Lintang pernah menabung untuk dapat sekolah. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

Gadis berambut kusam itu menggigit pelepah bibirnya. "Tapi Ibu marah. Ibu bilang, Lintang jangan berkhayal dapat sekolah. Karena untuk makan sehari-hari saja susahnya minta ampun."

"Ibumu bilang begitu?"

"Ya."

"Lintang kecewa?"

Gadis kecil itu menggeleng. "Tidak, Kak. Lintang sadar, setelah Bapak meninggal, untuk makan nasi bungkus saja kadang-kadang Ibu mesti mengemis ngutang di Mpok Minah, pemilik warung nasi di sebelah rumah."

"Jadi, selama ini apa Lintang tidak punya cita-cita?"

Gadis itu tersenyum samar. "Cita-cita Lintang hanya satu, Kak. Pingin jadi orang kaya!"

Wulan meneguk ludahnya yang terasa memahit. Ini tugas paling berat untuk bahan makalah Lingkungan Hidup yang dipilihnya. Seharusnya ia tidak boleh terbawa perasaan begitu. Sebab hal itu dapat mengganggu konsentrasinya. Bahan tulisannya bakal tidak obyektif lagi.

"Kak Wulan anak gedongan, ya?"

Wulan membeliak. Terkejut dengan pertanyaan dadakan dari Lintang. Ia kemekmek. Entah harus menjawab apa.

"Tidak juga. Tapi, keluarga Kak Lintang tidak susah-susah banget seperti...."

"Aduh, enak ya jadi orang kaya?"

"Ti-tidak selamanya...."

"Siapa bilang tidak enak? Buktinya Bapak meninggal karena ingin menjadi orang kaya...."

"Se-sebenarnya, bagaimana kematian Bapak kamu itu...."

"Persisnya, Lintang tidak tahu, Kak! Tapi, seminggu sebelum Bapak meninggal, Lintang pernah dengar Ibu bertengkar dengan Bapak. Kalau tidak salah dengar, Ibu bilang tidak setuju kalau Bapak ikut Kelompok Kapak Merah!"

Wulan nyaris kelengar. Kelompok Kapak Merah?! Bukankah....

"Dari Ibu, Lintang tahu kalau Kelompok Kapak Merah itu merupakan perkumpulan orang-orang yang sering merampok dan memalak orang-orang kaya bermobil di jalanan."

"Tapi, kenapa Bapak Lintang sampai terlibat?"

"Kata Ibu, Bapak terpengaruh. Waktu Lintang masih bayi, rumah gubuk kami di Kedungumbo kena gusur secara paksa. Bapak marah, menyimpan dendam sampai sekian tahun. Beserta beberapa sahabatnya, Bapak bergabung dengan Kelompok Kapak Merah. Bapak bilang sama Ibu sebelum meninggal, bahwa dia berjanji hanya akan merampok para pejabat korup saja, yang sudah diincar cermat jauh-jauh hari."

"Tapi, pada kenyataannya Kelompok Kapak Merah itu semakin meresahkan masyarakat Jakarta, Lintang! Semuanya disikat. Tanpa pandang bulu. Bukannya hanya para pejabat korup saja."

"Hal itu Lintang tidak mengerti, Kak. Tapi, kata Ibu, sampai di akhir hidupnya pun Bapak tidak pernah mengingkari janjinya. Setiap melaksanakan aksinya, Bapak selalu berusaha menghindari melukai, terlebih-lebih membunuh korbannya. Lagipula, uang hasil rampasan itu pun tidak pernah dipakai untuk berfoya-foya lazimnya perampok lain. Lintang pernah melihat sendiri Bapak membagi-bagikan jatah uangnya untuk tetangga-tetangga yang tidak dapat makan hari itu, kok!"

"Ta-tapi...."

"Bapak seperti Robin Hood ya, Kak?"

"Tapi...."

"Lintang tahu dari Bang Lanang, katanya, menurut koran-koran, apa yang dilakukan Bapak itu salah besar menurut hukum. Tapi, kalau begitu, kenapa tidak ada sanksi untuk para pejabat korup itu? Bukankah kejahatan mereka lebih besar ketimbang aksi Bapak yang dilakukan cuma demi sesuap nasi?"

"Ta-tapi...."

"Kadang-kadang Lintang tidak habis pikir, Kak. Dunia ini rasanya tidak adil. Bapak yang berjuang demi keluarga dan sesuap nasi, akhirnya mati mengenaskan, kena tembak polisi dalam sebuah aksinya. Sementara para koruptor itu melenggang bebas...."

Wulan terlongong mendengarkan ulasan gadis yang baru tumbuh remaja itu. Mulutnya seolah dibekap. Membungkam setiap perbendaharaan kalimat yang hendak terlontar. Ia mematung dengan beragam pikiran yang berkecamuk di benak. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kerah putih yang terjadi di Tanah Air. Sebegitu parahkah penyakit lama bangsa besar ini?!

Ia menggigit bibir. Ini refleksitas!

Lalu gadis tiga SMA itu pamit undur. Ia berjanji akan datang esok. Bahan untuk makalahnya memang masih jauh dari cukup. Dirasakannya langkahnya memberat ketika melewati gugusan rumah kardus di perkampungan kumuh tersebut.

Hatinya gamang.***

Friday, November 28, 2008

Mengenang Asrul Sani

Rumah Mimpi Asrul
(Turut Melepaskan Seniman Besar Tanah Air & Bangsa: Asrul Sani)



Pada tanggal 11 Januari 2004, Asrul Sani yang lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1927, meninggal dunia di Jakarta. Selama 76 tahun, seniman-pemikir ini telah memberikan waktu hidupnya dengan isi yang padat, kaya-raya dan makna maksimal. Dengan isi waktu hidup yang demikian, Asrul yang dikenal sebagai ”pelopor sastra Angkatan ‘45” bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, seperti sudah mewujudkan apa yang dikatakan Chairil Anwar: ”sekali berarti sudah itu mati”, sehingga kematian akhirnya, jika menggunakan istilah sastrawan Slamet Sukirnanto, merupakan suatu ”kematian yang indah” (lihat: Kompas, Jakarta, 13 Januari 2004).

Mengapa Asrul bisa membuat kehidupan dan kematiannya indah? Jika memperhatikan lika-liku jalan kesenimanannya, maka kudapatkan jawabannya pada kenyataan bahwa Asrul merupakan seniman-pemikir yang selalu mencoba mencari jawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan zaman kepadanya. Asrul adalah seorang penanya dan pemimpi besar. Mimpi yang dibangunnya dengan membuka diri di hadapan dunia sehingga memungkinkan rupa-rupa acuan masuk leluasa memperkaya khazanah pengetahuannya. Kemudian ia menyusun dan membangun rumah mimpinya.


Berangkat dari rumah mimpi inilah, Asrul mencoba menjawab segala pertanyaan zaman yang tak pernah henti mengusik dan menggelitik. Jawaban-jawaban yang antara lain ia tuangkan dalam sanjak, esai dan rupa-rupa bentuk karya seni. Jalan pemimpi tentulah jalan sunyi dan bukanlah jalan lurus dan bertabur bunga, tapi justru lika-liku dan pergulatan ini pula yang menguji.

Mimpi bukanlah untuk mimpi. Mimpi seorang pemikir dan seniman sesungguhnya adalah mimpi untuk mewujudkan dunia baru yang manusiawi. Dengan segala kemampuan, Asrul dalam waktu hidup 76 tahun mencoba mewujudkan mimpinya jadi kenyataan dengan tidak menabukan bidang apa pun, termasuk berorganisasi dan berpolitik. Kegiatan berorganisasi dan berpolitik Asrul menunjukkan bahwa ia melihat jelas hubungan antarmimpi, sastra-seni, organisasi dan politik tanpa merumuskan dengan jelas misalnya ”politik sebagai panglima” dan sebagainya. Tapi, berangkat dari rumah mimpinya, ia praktikkan filsafat budaya dan politik. Jadi, tidak mengherankan jika ia melakukan politik praktis dengan menerima kedudukan sebagai anggota DPR dari tahun 1966 sampai 1982.

Jelas, Asrul bukanlah seniman-pemikir yang hanya bergelut dengan buku-buku di menara gadingnya. Terhadap mimpi dan jalan untuk mewujudkannya, orang bisa setuju atau tidak setuju, orang bisa sepakat atau menolak bahkan mengutuknya. Namun, Asrul sudah memberikan pilihannya. Pilihan ini menjadi sangat penting dalam tatanan masyarakat yang bhinneka sehingga memungkinkan dialog ide untuk mencapai jalan yang bisa ditempuh bersama dengan tenggang-menenggang terhadap hal-hal belum bisa disamakan. Kebhinnekaan akan sirna jika dialog ide tidak dimungkinkan. Dialog ide akan jadi omong kosong jika tidak disertai dengan rupa-rupa tawaran konsep dan diberlakukannya pikiran tunggal (pensée unique).

Dialog pun akan jadi pensée unique terselubung dengan meniadakan ruang bagi kebenaran pihak lain dan mengurung diri di satu ruang sempit berwarna hitam-putih. Dunia pensée unique dan kebhinekaan tidak pernah bisa mendamaikan diri. Agaknya sejarah selalu memperlihatkan diri bahwa cepat atau lambat akhirnya dunia pensée akan diruntuhkan oleh hakikat kemanusiaan. Dibandingkan dengan masa pemerintah Orde Baru Soeharto, boleh jadi periode tertentu pada pemerintah Soekarno memungkinkan kita melakukan dialog ide yang hidup dan cepat menumbuhkan pendewasaan pikiran.

Asrul dan Angkatannya

Asrul dan Angkatannya, aku kira justru tumbuh dan membesar dalam dialog ide ini. Antologi puisi tiga sekawan Chairil-Asrul-Apin Tiga Menguak Takdir (1950), bisa dipandang sebagai ”kuakan” terhadap pendapat-pendapat Angkatan Takdir Alisjahbana (Pujangga Baru). Sementara itu, ”Surat Kepercayaan Gelanggang” adalah jawaban terhadap kenyataan yang dihadapi oleh bangsa dan tanah air pada saat Republik Indonesia yang masih muda berada dalam keadaan gawat. Jawaban lain diberikan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang juga berdiri pada Agustus 1950 melalui Mukadimah-nya.

Dua jawaban dua arah yang membuka dialog ide yang serius. Dialog ini di mana Asrul turut
aktif bahkan menjadi salah seorang penggagas ”Surat Kepercayaan Gelanggang” mengajak seluruh anak bangsa berpikir dan memilih jalan. Dialog yang dimunculkan oleh keadaan memungkinkan kita untuk mencari jalan bersama. Tentu saja Republik dengan nilai-nilai republikennya menetapkan konsepnya sendiri yang tentu saja tidak akan memilih konsep yang melikuidasi diri secara sukarela. Dialog ide tidak bisa lepas dari kepentingan politik. Dan dialog kebudayaan merupakan bagian dari dialog ide.

Di antara ide-ide itu, tentu ada yang tidak tanggap terhadap nilai-nilai republiken pada zamannya. Dialog memungkinkan kita menemukan jalan bersama, sanggup hidup dalam perbedaan. Boleh jadi inilah salah satu kebesaran Asrul dan Angkatannya. Sikap terbuka Asrul jelas-jelas tampak dari ”Surat Kepercayaan Gelanggang” yang antara lain mengatakan:”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri....”. Bagaimana mungkin jadi ”ahli waris” kalau bersikap tertutup. ”Kebudayaan dunia” yang bagaimana yang akan diteruskan adalah masalah lain. Karena kebudayaan dunia pun bermacam-macam. Ini pun satu masalah polemis. Hanya yang paling pokok di sini adalah adanya sikap terbuka untuk dialog ide. Dan memang dialog ide pada masa Asrul dan Angkatannya sangat hidup. Polemik antara Harian Rakjat dan Harian Merdeka tentang Gerakan Aksi Sepihak, kukira merupakan contoh polemik bermutu yang jarang terjadi di negeri ini.

Lepas dari persetujuan dan penolakan, adanya gagasan-gagasan demikian dalam sejarah bangsa Indonesia merupakan satu kekayaan ide dan konsep budaya negeri ini. Manifes Kebudayaan pun, lepas dari kita setujui atau tidak, adalah salah satu kekayaan milik bangsa dan negeri. Republiken tidaknya konsep yang dibawanya adalah soal lain yang bisa diperdebatkan. Bisa tidaknya kita menghormati para penggagas konsep budaya merupakan petunjuk bisa tidaknya kita menghargai kebudayaan sendiri dan eksistensi sebagai bangsa. Satu contoh yang mencolok adalah bagaimana Prancis tetap memberikan penghargaan kepada Celine, penulis roman dan pemikir yang sangat menyokong ide fasisme. Tapi Celine sebagai budayawan tetap diakui kalangan sastrawan dan tetap dicatat dalam sejarah sastra Prancis. Dianggap sebagai milik Prancis sekalipun ide Celine bertentangan dengan ide-ide republiken: liberté, égalité dan fraternité (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan). Tentu saja Celine tidak dinilai sebagai sastrawan-pemikir Republik tapi salah seorang sastrawan-pemikir Prancis. Di negeri kita, sayangnya kemampuan menghargai budayawan dan sastrawan masih minim apalagi jika sudah berbeda pandang. Jangankan menghargai, para sastrawan-seniman dan budayawan tidak sedikit yang dihadapi dengan penglikuidasian fisik, pemenjaraan, pembuangan dan dibatasi dengan rupa-rupa larangan.

Sadar atau tidak sadar cara-cara kekerasan menghadapi perbedaan ide demikian, sebenarnya merupakan lanjutan logis dari pensée unique yang bertolakbelakang dengan kebhinnekaan

Asrul dan Karya-Karyanya

Untuk memahami karya-karyanya, kukira patut disimak cermat filsafat politik dan budaya Asrul. Karena boleh jadi segalanya bermula dari filsafat politik dan budaya yang kusebut rumah mimpi Asrul. Bidang-bidang yang dia kecimpungi tidak lain merupakan pernyataan dan usaha nyatanya mewujudkan filsafat politik dan budaya tersebut karena Asrul selain pemimpi, ia juga seorang praktisi-pencinta kemanusiaan yang tidak memisahkan ide dan praktik. Dari memahami isi rumah mimpi Asrul lalu bisa direntangkan deretan panjang segala kegiatan dan karya-karyanya di berbagai bidang. Kegiatan-kegiatan dan karya-karya Asrul tidak lain dari terjemahan nyata isi rumah mimpinya.

Yang menarik dan patut diteladani adalah dalam berkarya Asrul selalu menuangkan isi rumah mimpinya ke tingkat artistik yang tinggi. Sejak puisi-puisinya dalam ”Tiga Menguak Takdir” sampai karya-karya terakhir, Asrul selalu mencoba mencapai taraf artistik yang maksimal dan mengelak kemungkinan merosot ke taraf slogan atau propaganda mentah. Ini pun tampak dari karya-karya filmnya yang kemudian mendapat penghargaan nasional dan internasional.

Misalnya diberikannya Bintang Mahaputera Utama dan perolehan piala Golden Harvest dalam Festival Film Asia tahun 1970 untuk Apa Yang Kau Cari Palupi. Sejak film pertamanya Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959), ia kemudian menghasilkan sekitar 12 film dan menulis lebih dari 50 skenario film bioskop, televisi dan panggung. Ada di antara skenario ini yang belum dipublikasikan. Kuantitas dan kualitas karyanya di bidang perfilman, panggung dan televisi saja memperlihatkan tingkat tak terbantah bahwa Asrul adalah seorang seniman besar bangsa, merupakan kekayaan dan salah seorang pembangun budaya bangsa ini. Kenyataan ini diperkuat oleh bagaimana kegiatan Asrul membentuk barisan penerus sastra-seni yang berwawasan melalui membangun ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Salah seorang anak asuhnya adalah dramawan N. Riantiarno. Saban Asrul memberi kuliah, ruangan selalu ramai mahasiswa yang ingin mendengar kuliah Asrul.

Soalnya, mereka ingin mendengar ungkapan-ungkapan Asrul yang disampaikan dalam bahasa Indonesia yang sangat bagus, ujar Riantiarno dalam mengenang sang guru. Begitu pula dalam penulisan skenario, yang disebut Riantiarno ”sangat bagus, sampai sulit di-breakout”.

Dalam konteks membangun barisan sastrawan-seniman penerus ini, Asrul juga telah menemukan dan mengangkat penyair-dramawan Rendra. Mengenang sang penemunya Rendra berkata: Asrul Sani sebagai seorang penyair dan esais yang menonjol. Dia mengaku bahwa Asrul Sani-lah yang ”menemukannya”. Kata Rendra, ”Saya masih kelas II SMA. Asrul memuat sajak saya di lembaran ‘Gelanggang’ dari majalah Siasat. Baru setelah itu tokoh seperti HB Jassin tertarik pada sajak saya.” Sajak-sajak pertama Rendra yang dimuat di Gelanggang antara lain ”Telegram Tiba Senja”, ”Gerilya”, ”Balada Petualang”, ”Balada Kasan”, dan ”Fatima”. (Lihat: Kompas, Jakarta, 13 Januari 2004).

Asrul melakukan semua ini dengan kesadaran. Sadar pula bahwa ia cepat atau lambat akan pergi. Karena itu ia menyiapkan tenaga baru agar rumah mimpinya tetap berpenghuni dan melanjutkan pelaksanaan mimpi yang tak sempat ditunai, yakin pula bahwa penghuni rumah mimpinya akan memberi pengayaan. Kesadaran akan pentingnya membangun barisan sastrawan-seniman penerus ini menunjukkan pula bahwa Asrul tahu pekerjaannya belum selesai, ”belum apa-apa”.

Asrul ”memburu arti”

Meninggalnya Asrul berarti Indonesia kehilangan seorang besar dalam bidang sastra-seni dan pemikiran. Baris-baris ini adalah salam hormat penghabisan kepada Asrul yang telah mengisi hidup 76 tahunnya dengan ”arti” sehingga membuat kematian jadi indah. Tapi kematian ini pula yang oleh Chairil Anwar bermakna: ”… adalah karena kesementaraan segala yang mencap tiap benda, lagi pula terasa matikan datang merusak” (dari: Chairil Anwar, ”Kepada Pelukis Affandi”, dalam: Deru Campur Debu, Dian Rakyat, Jakarta, 1993, hlm. 31).

Benarkah kematian merusak mimpi? Penghuni baru rumah mimpilah yang paling bisa menjawabnya. Indonesia pun menanyakan para penghuni baru itu, sedang Asrul telah pergi! Akankah kepergian Asrul juga tanda kepergian kebhinnekaan dan berkuasanya kembali pensée unique yang membuat Indonesia merupakan rumah mimpi yang kosong dan lengang?!

Paris, Januari 2004.

JJ Kusni, Sinar Harapan, 2004

Thursday, November 27, 2008

Calon Arang

Pada suatu masa di Kerajaan Daha yang dipimpin oleh raja Erlangga, hidup seorang janda yang sangat bengis. Ia bernama Calon Arang. Ia tinggal di desa Girah. Calon Arang adalah seorang penganut sebuah aliran hitam, yakni kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan memakai ilmu gaib. Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena puterinya telah cukup dewasa dan Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali tidak mendapatkan jodoh, maka ia memaksa beberapa pemuda yang tampan dan kaya untuk menjadi menantunya. Karena sifatnya yang bengis, Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda pun yang mau memperistri Ratna Manggali. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia berniat membuat resah warga desa Girah.

“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang anak gadis hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam anak gadis itu harus dibawa ke candi Durga!“ perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya. Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang anak gadis. Suatu perkerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.

Sebelum matahari terbit, anak gadis yang malang itu sudah berada di Candi Durga. Ia meronta-ronta ketakutan. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!“ teriaknya. Lama kelamaan anak gadis itu pun lelah dan jatuh pingsan. Ia kemudian di baringkan di altar persembahan. Tepat tengah malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan anak gadis itu untuk dipersembahkan kepada Betari Durga, dewi angkara murka.


Kutukan Calon Arang menjadi kenyataan. “Banjir! Banjir!“ teriak penduduk Girah yang diterjang aliran sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air sungai Brantas pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya. “He, he... siapa yang berani melawan Calon Arang ? Calon Arang tak terkalahkan!” demikian Calon Arang menantang dengan sombongnya. Akibat ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore meninggal. Tidak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu..

“Apa yang menyebabkan rakyatku di desa Girah mengalami wabah dan bencana ?” Tanya Prabu Erlangga kepada Paman Patih. Setelah mendengar laporan Paman Patih tentang ulah Calon Arang, Prabu Erlangga marah besar. Genderang perang pun segera ditabuh. Maha Patih kerajaan Daha segera menghimpun prajurit pilihan. Mereka segera berangkat ke desa Girah untuk menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan ditangkap. Para prajurit menjadi bangga dan merasa tugas suci itu akan berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.

Prajurit kerajaan Daha sampai di desa kediaman Calon Arang. Belum sempat melepaskan lelah dari perjalanan jauh, para prajurit dikejutkan oleh ledakan-ledakan menggelegas di antara mereka. Tidak sedikit prajurit Daha yang tiba-tiba menggelepar di tanah, tanpa sebab yang pasti.

Korban dari prajurit Daha terus berjatuhan. Musuh mereka mampu merobohkan lawannya dari jarak jauh, walaupun tanpa senjata. Kekalahan prajurit Daha membuat para cantrik, murid Calon Arang bertambah ganas. “Serang! Serang terus!” seru para cantrik. Pasukan Daha porak poranda dan lari pontang-panting menyelamatkan diri. Prabu Erlangga terus mencari cara untuk mengalahkan Calon Arang. Untuk mengalahkan Calon Arang, kita harus menggunakan kasih saying”, kata Empu Barada dalam musyawarah kerajaan. “Kekesalan Calon Arang disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia menikahi puteri tunggalnya.“

Empu Barada meminta Empu Bahula agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan Calon Arang. Empu Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali. Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat sekaligus memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.

Akhirnya rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna Manggali. “He he … aku sangat senang mempunyai menantu seorang Empu yang rupawan.” Calon Arang terkekeh gembira. Maka, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Pesta pora yang berlangsung itu sangat menyenangkan hati Calon Arang. Ratna Manggali dan Empu Bahula juga sangat bahagia. Mereka saling mencintai dan mengasihi. Pesta pernikahan telah berlalu, tetapi suasana gembira masih meliputi desa Girah. Empu Bahula memanfaatkan saat tersebut untuk melaksanakan tugasnya.

Di suatu hari, Empu Bahula bertanya kepada istrinya, “Dinda Manggali, apa yang menyebabkan Nyai Calon Arang begitu sakti?“ Ratna Manggali menjelaskan bahwa kesaktian Nyai Calon Arang terletak pada Kitab Sihir. Melalui buku itu, ia dapat memanggil Betari Durga. Kitab sihir itu tidak bisa lepas dari tangan Calon Arang, bahkan saat tidur, Kitab sihir itu digunakan sebagai alas kepalanya.

Empu Bahula segera mengatur siasat untuk mencuri Kitab Sihir. Tepat tengah malam, Empu Bahula menyelinap memasuki tempat peraduan Calon Arang. Rupanya Calon Arang tidur terlalu lelap, karena kelelahan setelah selama tujuh hari tujuh malam mengumbar kegembiraannya. Empu Bahul berhasil mencuri Kitab sihir Calon Arang dan langsung diserahkan ke Empu Baradah. Setelah itu, Empu Bahula dan istrinya segera mengungsi.

Calon Arang sangat marah ketika mengetahui Kitab sihirnya sudah tidak ada lagi, ia bagaikan seekor badak yang membabi buta. Sementara itu, Empu Baradah mempelajari Kitab sihir dengan tekun. Setelah siap, Empu Baradah menantang Calon Arang. Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belah telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca sebuah mantera untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang. Karena Kitab sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, desa Girah menjadi aman tenteram seperti sediakala.

Diambil dari: http://www.e-smartschool.com

Tuesday, November 25, 2008

Tradisi Kritik

Puisi dan Tradisi Kritik

Oleh Cecep Syamsul Hari


Kegairahan berpuisi dalam perspektif tradisi sastra dapat dilihat sebagai gejala embrional dari tumbuhnya apresiasi puisi di berbagai-bagai lapisan masyarakat. Peran komunitas-komunitas sastra nonakademik yang bergerak dalam jaringan informasi yang kuat, dan peran media massa dengan kolom-kolom budaya yang dapat menjangkau jumlah pembaca yang luas, boleh dikatakan sangat besar terutama ketika dinamika sastra pada komunitas-komunitas sastra akademik mengalami stagnasi. Persoalannya adalah sejauh mana tradisi kritik ikut menjalankan fungsinya dalam proses apresiasi itu. Untuk menumbuhkan tradisi sastra yang kuat, sangat penting untuk selalu mempertanyakan apakah kita telah berhasil membangun tradisi kritik yang kuat pula.

Di luar fungsi-fungsi eksposisif, apresiatif, dan evaluatifnya, kritik dapat bersifat presence maupun absence. Para penulis kritik akademik maupun nonakademik yang mempublikasikan kritiknya melalui karya-karya akademik (skripsi, tesis, disertasi), media massa, media khusus atau buku, melakukan kritik yang bersifat presence. Tradisi kritik yang mereka bangun secara literat itu apabila ditopang oleh kehidupan sastra yang dialogis dan intelektualistis akan menumbuhkan penghargaan masyarakat sastra pada umumnya terhadap referensi bersama yang menjadi basis dari tradisi kritik mereka. Referensi bersama ini akan mencegah kegairahan berpuisi jatuh ke dalam nonsensitas karena berada di dalam ruang-ruang publik yang minus kritik. Dalam kehidupan sastra yang dialogis dan intelektualistis ini semua karya dapat didiskusikan, dinilai, dan diuji dengan mengacu pada referensi bersama. Sementara itu, para redaktur budaya di koran-koran, majalah atau jurnal dan para redaktur penerbitan buku menjalankan fungsi kritik mereka secara absence. Dengan tetap mengacu pada referensi bersama, mereka mempertimbangkan kualifikasi estetik puisi (dan karya sastra lain) seseorang. Tidak jarang kritik para redaktur yang absence menjadi presence dalam bentuk bocoran komunikasi di dalam lingkungan dan kalangan yang terbatas. Seandainya mekanisme tradisi kritik ini dapat berjalan, puisi-puisi (dan karya sastra lain) yang dilemparkan ke ruang publik diandaikan telah lolos dari suatu pengujian atas referensi bersama. Referensi bersama itu adalah parameter estetik.


Seorang penyair yang dibesarkan melalui tradisi kritik yang kuat dalam lingkungan tradisi sastra yang kuat pula tidak memerlukan beatifikasi (pembaptisan atau legitimasi) dari siapa pun. Puisinyalah yang membeatifikasi dirinya. Inilah pula yang menjelaskan mengapa di dalam lingkungan tradisi-tradisi sastra yang berumur panjang seperti Inggris (dihitung dari masa pra-Romantik hingga pasca-Romantik usianya telah lebih dari 450 tahun) para penyair yang diperhitungkan karena ketangguhan puisi-puisinya tidak lebih dari 140 orang. Begitu pula apabila kita melihat lingkungan tradisi sastra lain, seperti Jepang, Perancis, Jerman, Amerika dan negara-negara Skandinavia.

Kegairahan berpuisi di Indonesia yang muncul sejak tahun 1990-an dapat dipandang sebagai gerak dinamis dari dialektika kultural. Sangat disayangkan apabila kegairahan berpuisi itu hanya dilemparkan ke luar kosong, ke dalam ruang publik minus kritik. Kegairahan berpuisi itu sebenarnya dapat dipersepsikan sebagai kecenderungan alamiah dan hanya waktu yang akan dapat membuktikan apakah kegairahan itu semata-mata bersifat temporal sebagai bentuk komunikasi sosial untuk menunjukkan spirit kemajemukan dan keberbagaian, atau lebih substantif sifatnya sebagai gejala embrional dari telah tumbuhnya situasi apreasiasi sastra yang lebih baik yang pada perkembangannya di kemudian hari akan mendorong tumbuhnya tradisi sastra Indonesia yang kuat. ***

(Pikiran Rakyat, 23 Februari 1997)

Sunday, November 23, 2008

Mengenang Iwan Simatupang

Iwan Simatupang, 18 Januari 1928 - 18 Januari 2003
Mengenang Kaktus yang Murung

Hari ini, 18 Januari 2003, kalau sastrawan Iwan Simatupang masih hidup, umurnya 75 tahun. Novelnya Ziarah, yang dipersembahkannya buat Cory memenangkan sayembara Unesco/Ikapi tahun 1968. Tahun 1977, novel Ziarah menggondol hadiah lagi, kali ini untuk Hadiah Sastra Asean, yang saat itu pertama kali diselenggarakan.


Nama lengkap sastrawan yang oleh lingkungannya dianggap aneh ini adalah Iwan Maratua Dongan Simatupang. Ia dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928. Setamat SMA, dia masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian, akhir 1954 dia menuju Amsterdam, Belanda untuk belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden, lalu masuk jurusan Filsafat Barat Universitas Sorbonne, Paris.


Ketika di negeri Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di Amsterdam, Iwan pun mengarang drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya (1958), dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu dijuduli Petang di Taman. Penulisan drama oleh Iwan Simatupang, menurut Dami N. Toda dari Hamburg, pada 28 Desember 1981 dalam pengantarnya untuk penerbitan buku kumpulan cerpen karya Iwan Tegak Lurus dengan Langit ada hubungan erat dengan salah satu kegiatannya di Amsterdam saat itu, yakni seni drama, selain studi Antropologi dan Sosiologi.

Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi, selain menulis esai, drama dan novel. Justru kegiatan awal Iwan di bidang sastra menulis puisi. Puisinya yang pertama dipublikasikan berjudul "Ada Dukacarita di Gurun", dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah "Ada Dewa Kematian Tuhan", "Apa kata Bintang di Laut", dan "Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang". Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah "Monolog Simpang Jalan", "Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi", "Kereta Api Lewat di JauhanI", "Patates Frites", "Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu", "Tegak Lurus dengan Langit", "Tak Semua Tanya Punya Jawab " dan lain-lain.

Sebagai wartawan (terakhir pengasuh harian Warta Harian, ku), Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih terpinggirkan. Misalnya, Iwan menulis di kolomnya itu, Oleh-oleh untuk Pulau Bawean, Prasarana; Apa Itu Anakku?, Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!, Husy! Geus! Hoechst!, Di Suatu Pagi, Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan, dan Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.

Sketsa-sketsa atau kolom khusus Iwan itu oleh Dami N. Toda dihimpun bersama dengan delapan cerpen Iwan yang lain di dalam satu buku kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit, diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982.

Ada kesan aneh di dalam karya-karya Iwan, baik cerpen, novel maupun drama. Ada kritikus yang menyebut karya avant garde terhadap buah pena Iwan. Iwan sendiri menyebut dirinya manusia marginal, manusia perbatasan. Dalam novel-novel Iwan: Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya: Petang di Taman, RT 0 RW 0, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, tidak rasional.

Iwan pun mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla (Filipina), dan hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee dari Singapura.

Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung. Ketika mengenang Iwan Simatupang, tahun 1973, tiga tahun kepulangannya ke negeri Khalik-nya, saya terkenang saat pementasan dramanya Kaktus dan Kemerdekaan di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1968.

Aktor Kusno Sudjarwadi yang memainkan tokoh lelaki dalam lakon melankolis, tetapi setegar kaktus padang pasir itu. Ada kerinduan di dada para tokoh. Ada rasa sunyi. Ada harapan. Banyak sikap aneh menurut kacamata kaum awam. Sesuai latar belakang Iwan (studi filsafat), tokoh,-tokohnya perenung dan cenderung murung, juga muram. Tokoh-tokoh Iwan memang kebanyakan manusia-manusia kecil, bukan para hero yang ingar-bingar, dan gegap gempita, dan senang retorika. Tokoh-tokoh Iwan menurut Iwan sendiri adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.

Pada tanggal 4 Agustus 1970, saya lupa harinya, di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta Pusat, saya memegang terali besi pintu gerbang rumah tahanan. Terdengar siaran pagi RRI di rumah luar RTM. Penyiar mengabarkan berita duka cita. Katanya, sastrawan terkemuka Indonesia, Iwan Simatupang telah tiada, dalam usia 42 tahun, meninggalkan dua anak lelaki. Kaktus yang murung, yang lama menetap di Hotel Salak, Bogor, dan terakhir tinggal di Jalan Kencana, Jakarta itu, benar-benar telah pergi. Rasanya, ya serasa baru kemarin, saya menyalaminya seusai pementasan drama Kaktus dan Kemerdekaan di TIM, yang diiringi gerimis itu. ***

K. Usman.
Penulis adalah pengarang dan pengamat sosial budaya, menetap di Jakarta.
Sinar Harapan, 2003

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook