Puisi dan Tradisi Kritik
Oleh Cecep Syamsul Hari
Oleh Cecep Syamsul Hari
Kegairahan berpuisi dalam perspektif tradisi sastra dapat dilihat sebagai gejala embrional dari tumbuhnya apresiasi puisi di berbagai-bagai lapisan masyarakat. Peran komunitas-komunitas sastra nonakademik yang bergerak dalam jaringan informasi yang kuat, dan peran media massa dengan kolom-kolom budaya yang dapat menjangkau jumlah pembaca yang luas, boleh dikatakan sangat besar terutama ketika dinamika sastra pada komunitas-komunitas sastra akademik mengalami stagnasi. Persoalannya adalah sejauh mana tradisi kritik ikut menjalankan fungsinya dalam proses apresiasi itu. Untuk menumbuhkan tradisi sastra yang kuat, sangat penting untuk selalu mempertanyakan apakah kita telah berhasil membangun tradisi kritik yang kuat pula.
Di luar fungsi-fungsi eksposisif, apresiatif, dan evaluatifnya, kritik dapat bersifat presence maupun absence. Para penulis kritik akademik maupun nonakademik yang mempublikasikan kritiknya melalui karya-karya akademik (skripsi, tesis, disertasi), media massa, media khusus atau buku, melakukan kritik yang bersifat presence. Tradisi kritik yang mereka bangun secara literat itu apabila ditopang oleh kehidupan sastra yang dialogis dan intelektualistis akan menumbuhkan penghargaan masyarakat sastra pada umumnya terhadap referensi bersama yang menjadi basis dari tradisi kritik mereka. Referensi bersama ini akan mencegah kegairahan berpuisi jatuh ke dalam nonsensitas karena berada di dalam ruang-ruang publik yang minus kritik. Dalam kehidupan sastra yang dialogis dan intelektualistis ini semua karya dapat didiskusikan, dinilai, dan diuji dengan mengacu pada referensi bersama. Sementara itu, para redaktur budaya di koran-koran, majalah atau jurnal dan para redaktur penerbitan buku menjalankan fungsi kritik mereka secara absence. Dengan tetap mengacu pada referensi bersama, mereka mempertimbangkan kualifikasi estetik puisi (dan karya sastra lain) seseorang. Tidak jarang kritik para redaktur yang absence menjadi presence dalam bentuk bocoran komunikasi di dalam lingkungan dan kalangan yang terbatas. Seandainya mekanisme tradisi kritik ini dapat berjalan, puisi-puisi (dan karya sastra lain) yang dilemparkan ke ruang publik diandaikan telah lolos dari suatu pengujian atas referensi bersama. Referensi bersama itu adalah parameter estetik.
Di luar fungsi-fungsi eksposisif, apresiatif, dan evaluatifnya, kritik dapat bersifat presence maupun absence. Para penulis kritik akademik maupun nonakademik yang mempublikasikan kritiknya melalui karya-karya akademik (skripsi, tesis, disertasi), media massa, media khusus atau buku, melakukan kritik yang bersifat presence. Tradisi kritik yang mereka bangun secara literat itu apabila ditopang oleh kehidupan sastra yang dialogis dan intelektualistis akan menumbuhkan penghargaan masyarakat sastra pada umumnya terhadap referensi bersama yang menjadi basis dari tradisi kritik mereka. Referensi bersama ini akan mencegah kegairahan berpuisi jatuh ke dalam nonsensitas karena berada di dalam ruang-ruang publik yang minus kritik. Dalam kehidupan sastra yang dialogis dan intelektualistis ini semua karya dapat didiskusikan, dinilai, dan diuji dengan mengacu pada referensi bersama. Sementara itu, para redaktur budaya di koran-koran, majalah atau jurnal dan para redaktur penerbitan buku menjalankan fungsi kritik mereka secara absence. Dengan tetap mengacu pada referensi bersama, mereka mempertimbangkan kualifikasi estetik puisi (dan karya sastra lain) seseorang. Tidak jarang kritik para redaktur yang absence menjadi presence dalam bentuk bocoran komunikasi di dalam lingkungan dan kalangan yang terbatas. Seandainya mekanisme tradisi kritik ini dapat berjalan, puisi-puisi (dan karya sastra lain) yang dilemparkan ke ruang publik diandaikan telah lolos dari suatu pengujian atas referensi bersama. Referensi bersama itu adalah parameter estetik.
Seorang penyair yang dibesarkan melalui tradisi kritik yang kuat dalam lingkungan tradisi sastra yang kuat pula tidak memerlukan beatifikasi (pembaptisan atau legitimasi) dari siapa pun. Puisinyalah yang membeatifikasi dirinya. Inilah pula yang menjelaskan mengapa di dalam lingkungan tradisi-tradisi sastra yang berumur panjang seperti Inggris (dihitung dari masa pra-Romantik hingga pasca-Romantik usianya telah lebih dari 450 tahun) para penyair yang diperhitungkan karena ketangguhan puisi-puisinya tidak lebih dari 140 orang. Begitu pula apabila kita melihat lingkungan tradisi sastra lain, seperti Jepang, Perancis, Jerman, Amerika dan negara-negara Skandinavia.
Kegairahan berpuisi di Indonesia yang muncul sejak tahun 1990-an dapat dipandang sebagai gerak dinamis dari dialektika kultural. Sangat disayangkan apabila kegairahan berpuisi itu hanya dilemparkan ke luar kosong, ke dalam ruang publik minus kritik. Kegairahan berpuisi itu sebenarnya dapat dipersepsikan sebagai kecenderungan alamiah dan hanya waktu yang akan dapat membuktikan apakah kegairahan itu semata-mata bersifat temporal sebagai bentuk komunikasi sosial untuk menunjukkan spirit kemajemukan dan keberbagaian, atau lebih substantif sifatnya sebagai gejala embrional dari telah tumbuhnya situasi apreasiasi sastra yang lebih baik yang pada perkembangannya di kemudian hari akan mendorong tumbuhnya tradisi sastra Indonesia yang kuat. ***
(Pikiran Rakyat, 23 Februari 1997)
0 comments:
Post a Comment