Mengenang Kaktus yang Murung
Hari ini, 18 Januari 2003, kalau sastrawan Iwan Simatupang masih hidup, umurnya 75 tahun. Novelnya Ziarah, yang dipersembahkannya buat Cory memenangkan sayembara Unesco/Ikapi tahun 1968. Tahun 1977, novel Ziarah menggondol hadiah lagi, kali ini untuk Hadiah Sastra Asean, yang saat itu pertama kali diselenggarakan.
Nama lengkap sastrawan yang oleh lingkungannya dianggap aneh ini adalah Iwan Maratua Dongan Simatupang. Ia dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928. Setamat SMA, dia masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian, akhir 1954 dia menuju Amsterdam, Belanda untuk belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden, lalu masuk jurusan Filsafat Barat Universitas Sorbonne, Paris.
Ketika di negeri Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di Amsterdam, Iwan pun mengarang drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya (1958), dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu dijuduli Petang di Taman. Penulisan drama oleh Iwan Simatupang, menurut Dami N. Toda dari Hamburg, pada 28 Desember 1981 dalam pengantarnya untuk penerbitan buku kumpulan cerpen karya Iwan Tegak Lurus dengan Langit ada hubungan erat dengan salah satu kegiatannya di Amsterdam saat itu, yakni seni drama, selain studi Antropologi dan Sosiologi.
Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi, selain menulis esai, drama dan novel. Justru kegiatan awal Iwan di bidang sastra menulis puisi. Puisinya yang pertama dipublikasikan berjudul "Ada Dukacarita di Gurun", dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah "Ada Dewa Kematian Tuhan", "Apa kata Bintang di Laut", dan "Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang". Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah "Monolog Simpang Jalan", "Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi", "Kereta Api Lewat di JauhanI", "Patates Frites", "Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu", "Tegak Lurus dengan Langit", "Tak Semua Tanya Punya Jawab " dan lain-lain.
Sebagai wartawan (terakhir pengasuh harian Warta Harian, ku), Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih terpinggirkan. Misalnya, Iwan menulis di kolomnya itu, Oleh-oleh untuk Pulau Bawean, Prasarana; Apa Itu Anakku?, Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!, Husy! Geus! Hoechst!, Di Suatu Pagi, Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan, dan Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.
Sketsa-sketsa atau kolom khusus Iwan itu oleh Dami N. Toda dihimpun bersama dengan delapan cerpen Iwan yang lain di dalam satu buku kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit, diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982.
Ada kesan aneh di dalam karya-karya Iwan, baik cerpen, novel maupun drama. Ada kritikus yang menyebut karya avant garde terhadap buah pena Iwan. Iwan sendiri menyebut dirinya manusia marginal, manusia perbatasan. Dalam novel-novel Iwan: Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya: Petang di Taman, RT 0 RW 0, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, tidak rasional.
Iwan pun mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla (Filipina), dan hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee dari Singapura.
Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung. Ketika mengenang Iwan Simatupang, tahun 1973, tiga tahun kepulangannya ke negeri Khalik-nya, saya terkenang saat pementasan dramanya Kaktus dan Kemerdekaan di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1968.
Aktor Kusno Sudjarwadi yang memainkan tokoh lelaki dalam lakon melankolis, tetapi setegar kaktus padang pasir itu. Ada kerinduan di dada para tokoh. Ada rasa sunyi. Ada harapan. Banyak sikap aneh menurut kacamata kaum awam. Sesuai latar belakang Iwan (studi filsafat), tokoh,-tokohnya perenung dan cenderung murung, juga muram. Tokoh-tokoh Iwan memang kebanyakan manusia-manusia kecil, bukan para hero yang ingar-bingar, dan gegap gempita, dan senang retorika. Tokoh-tokoh Iwan menurut Iwan sendiri adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.
Pada tanggal 4 Agustus 1970, saya lupa harinya, di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta Pusat, saya memegang terali besi pintu gerbang rumah tahanan. Terdengar siaran pagi RRI di rumah luar RTM. Penyiar mengabarkan berita duka cita. Katanya, sastrawan terkemuka Indonesia, Iwan Simatupang telah tiada, dalam usia 42 tahun, meninggalkan dua anak lelaki. Kaktus yang murung, yang lama menetap di Hotel Salak, Bogor, dan terakhir tinggal di Jalan Kencana, Jakarta itu, benar-benar telah pergi. Rasanya, ya serasa baru kemarin, saya menyalaminya seusai pementasan drama Kaktus dan Kemerdekaan di TIM, yang diiringi gerimis itu. ***
K. Usman.
Penulis adalah pengarang dan pengamat sosial budaya, menetap di Jakarta.
Sinar Harapan, 2003
0 comments:
Post a Comment