Thursday, July 29, 2010

Contoh Mithe: Malin Deman

Malin Deman
(Mithe)

Raja Gombang Malin Dewa berputra seorang bernama Malin Deman. Pada suatu hari Malin Deman bermimpi disuruh pergi ke hulu sungai Bandar Muar. Di situ ia tinggal bersama Nenek Kabayan tua. Tidak jauh dari rumah Nenek Kabayan ada sebuah tasik (danau kecil di,kaki gunung atau kaki bukit) tempat ketujuh, putri kayangan bersiram (mandi-mandi).

Pada suatu hari Putri Bungsu mendesak kakak-kakaknya supaya mereka turun ke Tasik untuk mandi-mandi. Kakaknya melarang sebab bukan waktunya untuk mandi-mandi dan ayah mereka akan marah. Tetapi Putri Bungsu di kayangan mendesak juga. Dikatakannya bahwa kepalanya pusing dan hanya akan sembuh bila mandi di tasik dekat pondok Nenek Kabayan. Karena alasan itu maka berangkatlah mereka ke bumi menuju tasik tersebut menggunakan baju songsong barat (selendang untuk terbang).

Sedang asyik mereka mandi, secara diam-diam Malin Deman mengintai di balik sebatang pohon, dan dengan ranting kayu diambilnya satu di antara baju songsong barat itu.
Setelah puas berkecimpung mandi di tasik, naiklah putri-putri itu ke darat, pinggir tasik, mengenakan pakaian masing-masing. Ternyata baju terbang kepunyaan Putri Bungsu tidak ada. Dengan cemas mereka mencari ke sana kemari, tapi tetap tidak dapat ditemukan. Karena hari sudah senja terbang-pulanglah saudara-saudaranya dan tinggallah Putri Bungsu sendiri di pinggir tasik, menangis ketakutan. Kesempatan itu dipergunakan Malin Deman untuk memikat hati sang putri yang cantik. Dibujuknya Putri Bungsu untuk pulang bersama-sama. Karena tidak ada pilihan lain bagi Putri Bungsu, maka ajakan Malin Deman itu diterimanya dan ia mengikuti Malin Deman pulang ke Bandar Muar. Di sana mereka dinikahkan secara resmi dan terjalinlah rasa cinta kasih antara keduanya.

Setelah setahun menikah, mereka mendapatkan seorang putra yang mereka beri nama Malin Dewana. Kelahiran Malin Dewana mereka rasakan sangat membahagiakan. Tetapi
kemudian terjadi perubahan pada Malin Deman. Ia tidak menampakkan kasih sayang lagi kepada istrinya, Putri Bungsu. Tinggallah Putri Bungsu berhari-hari dalam kesedihan.

Suatu hari ketika ia melihat-lihat barang dalam lemari pakaian, terlihatlah olehnya baju songsong barat yang hilang beberapa tahun yang lampau. Segera didukungnya Malin Dewana, dikenakannya selendang terbang dan terbanglah ia pulang ke negeri ayahnya di atas kayangan.

Dicarinya Putri Bungsu ke hulu sungai Bandar Muar kalau-kalau ada di pondok Nenek Kabayan, Nenek Kabayan mengatakan bahwa sejak Malin Deman tidak pernah pulang putri-putri kayangan mandi di tasik dekat pondoknya. Malin Deman menyesal atas kelengahannya sehingga menyebabkan istrinya pulang ke kayangan.

Melihat kesedihan Malin Deman, akhirnya Nenek Kabayan menasihatkan supaya Malin Deman minta pertolongan kepada Putri Terus Mata yang mempunyai alat terbang. Putri Terus Mata mau meminjamkan alat terbang kepada Malin Deman dengan syarat supaya Malin Deman mau menikah dengan dia setelah pulang dari kayangan.

Setelah sampai di kayangan Malin Deman bertambah gusar, karena ternyata Putri Bungsu akan dinikahkan dengan Mambang Molek. Dicarinya upaya agar dapat membinasakan Mambang Molek. Dalam peristiwa adu ayam Malin Deman dapat membinasakan Mambang Molek yang sebelumnya telah menghina dia. Para saksi melihat bahwa Molek-lah yang sebenamya mendahului kerusuhan itu.

Malin Deman ditangkap dan dihadapkan kepada raja, untuk dihukum. Dalam keadaan terbelenggu di rumah raja, Malin Deman berkesempatan berjumpa dengan istrinya, yang sebenarnya tetap setia kepadanya. Putri Bungsu dengan gembira segera memberitahukan kepada ayahnya bahwa pesakitan adalah suaminya sendiri, ayah Malin Dewana. Karena memang bukan dia yang bersalah, maka Malin Deman dibebaskan dari hukuman. Untuk menyambut menantunya itu, ayah Putri Bungsu mengadakan perayaan, meresmikan dan merestui pernikahan Putri Bungsu dengan Malin Deman.

Download Mythe/Cerita ini?
Silakan KLIK DI SINI

Sunday, July 25, 2010

Ranggalawe Gugur Cerpen Gunawan Maryanto

Ranggalawe Gugur

Cerpen Gunawan Maryanto


Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta [1]

Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri—bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.

“Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.” Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.

Lalu pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk menyampaikan simpati—sejumla puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya—tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa. Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan ketoprak tobong yang tersisa.

Ratu Kencana Wungu duduk di atas singgasananya. Kursi kayu bercat merah yang terlambat dibawa masuk ke panggung. Kelihatan karena tak ada layar untuk menutup pergantian. Semuanya diputuskan untuk dibuka malam itu. Termasuk kegagalan mereka untuk bertahan sebagai seniman. Kencana Wungu lantas menembang menyapa yang datang. Patih Logender duduk di hadapannya, manggut-manggut menerima kenyataan bahwa suara Kencana Wungu terlalu lirih untuk sebuah pertunjukan di tengah lapang. Yang riuh rendah oleh suara kendaraan dan pasangan-pasangan muda yang pacaran di atas sepeda panjang. Rarasati si Patih Dalam tak kebagian kursi. Ia berdiri saja di samping Kencana Wungu. Sementara para ksatria duduk di bawah, bersesakan dan saling menutupi: Layang Seta, Layang Kumitir, Menak Koncar, dan beberapa prajurit tanpa nama alias bala depak yang senantiasa terdepak. Panggung sudah terlalu sempit untuk menampung tubuh-tubuh mereka. Negeri dalam keadaan baik-baik saja, demikianlah yang kutangkap samar-samar dari percakapan mereka. Rakyat hidup makmur kerta raharja. Tak kurang suatu apa. Mereka tampak gembira dengan sandiwara itu. Bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Patih Logender memamerkan kesaktian sepasang anaknya, Seta dan Kumitir. Hanya Adipati Tuban, Ranggalawe, yang tak kelihatan batang hidungnya. Adipati paling sakti itu konon sedang bertapa di rumahnya. Mungkin pula tak punya ongkos berangkat ke Majapahit. Bisa saja.

Kulihat ke belakang. Cukup banyak juga yang datang. Orang-orang yang sekadar lewat. Atau sejumlah orang yang melayat. Kabar kematian kelompok ini memang sudah disebar di koran-koran dan facebook. Seorang anak kecil yang duduk di belakangku bertanya pada bapaknya. Itu apa? Ketoprak, jawab bapaknya. Lalu Menak Jingga di samping panggung memukul kepraknya. Rupanya malam itu ia merangkap sebagai dalang sekaligus tukang keprak. Bunyi keprak itu membangunkan Angkat Buta yang sejak awal tiduran di belakang gamelan. Ia pun bergegas masuk ke dalam panggung untuk menyampaikan pesan junjungannya, Menak Jingga. Si Adipati buruk rupa itu menagih janji sang Ratu Ayu. Dulu semasa ia masih bernama Jaka Umbaran yang berwajah tampan ia pernah dijanjikan untuk mendapatkan Kencana Wungu jika berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, pemberontak yang sakti mandraguna. Sang pemberontak berhasil dikalahkan, tapi Jaka Umbaran terpaksa pulang dengan wajah dan tubuh babak belur. Jika tak ada Dayun yang menolong mungkin ia sudah lama mati.

Rarasati merobek-robek surat itu. Layang Seta dan Layang Kumitir tanpa perintah selain karena pongah menghajar utusan dari Blambangan itu. Angkat Buta berlari ke alun-alun. Angkat Buta selalu menantinya di sana selama bertahun-tahun. Perang tak terhindarkan. Gantian para bala dupak mendapatkan ruang. Dengan gagah berani mereka berperang. Melakukan adegan-adegan berbahaya. Beberapa kali mereka terlontar ke luar panggung. Terkapar di tanah lapang lalu dengan cepat bangun lagi mengejar sang lawan. Ada juga prajurit yang kedua tangannya buntung. Ialah yang paling kerap terlontar keluar panggung. Penonton terbahak dan bersorak meski adegan perkelahian ini sama sekali tak menawan. Ada pula yang malah jatuh kasihan.

Bisa ditebak, mereka telah mengulanginya beratus kali, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah. Logender menolongnya dan membiarkan utusan-utusan Blambangan itu pulang.

Di Lumajang enam perempuan menari-nari. Menari sejadi-jadinya.

Mas mas mas aja diplerok
(Mas mas mas jangan dipelototin)
Mas mas mas aja dipoyoki
(Mas mas mas jangan digodain)
Karepku njaluk diesemi [2]
(Pinginnya minta disenyumin)

Ruang pecah berkeping-keping. Mereka menyebar ke segenap penjuru membawa piring. Mendatangi penonton satu per satu, menjual cendera mata: gantungan kunci bertuliskan Ketoprak is the place where we live and where we die… berlatar orang sendirian mendirikan atap tobong di langit yang biru cerah. Mereka terus beredar dalam kegelapan. Ada pula yang membawa bonang dan meminta uang. Lagu berlanjut. Apa saja yang penting berirama dangdut. Beberapa penonton naik ke panggung dan bergoyang. Lalu lampu tiba-tiba mati. Gamelan terus dibunyikan. Lagu terus dinyanyikan. Beberapa orang tampak sibuk mencari kesalahan. Menyusuri kabel demi kabel. Memeriksa bensin di dalam generator. Berkali-kali mereka pernah mengalaminya, mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Berkali-kali mereka ngebut di jalanan masih dengan pakaian wayang untuk membeli bensin agar pertunjukan tetap bisa dilanjutkan. Alhamdulillah, lampu mati tak lama. Lampu yang semenjana itu menyala kembali. Perempuan-perempuan itu sudah kembali ke panggung dan menjadi istri-istri dari Adipati Menak Koncar. Lalu adegan domestik di tengah lapangan, bocor-bocor tak karuan. Percakapan yang lamat-lamat itu terus berlangsung hingga Menak Jingga menabuh keprak untuk menandai kedatangannya sendiri. Ia masuk ditemani Dayun, abdinya yang setia.

Menak Koncar menyambutnya dengan hangat meski tahu tak berapa lama lagi mereka akan bertengkar dan ia akan kehilangan Mentarwati, istrinya yang pertama. Pertengkaran dimulai ketika Menak Jingga meminta bantuan Menak Koncar untuk mengawinkannya dengan Kencana Wungu. Menak Koncar meledak marah. Ia tak sanggup membayangkan ratunya yang jelita bersanding dengan manusia buruk rupa. Mentarwati bersedia mencarikan jodoh untuk Menak Jingga. Tapi Menak Jingga keras kepala. Sambil menyembah-nyembah kaki Mentarwati, Menak Jingga terus menyebut-nyebut nama Kencana Wungu. Mentarwati sebal dan memukul kepala Menak Jingga. Pertarungan kembali terjadi di atas panggung sempit itu. Kali ini yang tampil adalah prajurit-prajurit perempuan. Dengan gerak yang luar biasa kikuk—jangan dibayangkan pertarungan antara Lasmini versus Mantili dalam film Saur Sepuh—mereka saling pukul dan tusuk. Penonton yang jumlahnya sudah jauh berkurang kembali terbangun. Bertepuk tangan menyemangati pertempuran prajurit Lumajang dan Blambangan. Pertempuran itu berakhir dengan tewasnya Mentarwati. Menak Jingga menusuk tubuh perempuan itu berali-kali dengan kerisnya. Menak Koncar datang terlambat. Ia hanya mendapati tubuh istrinya yang dingin dan berlumuran darah. Ia menangis dan pelan-pelan mengangkat tubuh istrinya. Adegan yang direncanakan dramatis itu hancur berantakan. Menak Koncar ternyata tak kuat membopong tubuh perempuan itu. Makan nasi sehari sekali dengan selingan mie instan ternyata membuat Adipati Lumajang itu kekurangan tenaga. Tak ada yang datang membantunya. Penonton kembali bersorak. Mereka menyemangati Menak Koncar dengan tepuk tangan. Akhirnya dengan susah payah, juga didorong rasa malu, ia berhasil membawa istrinya keluar panggung. Dan buru-buru dijatuhkannya begitu sampai di tepian panggung.

Lalu lagu gembira mencoba membangkitkan suasana. Gending Badutan Sragen: Rewel. Omonga terus terang yen pancen kowe bosen. Ora perlu kakehan alasan…. (Bicaralah terus terang jika kamu bosan. Tidak perlu banyak alasan….)

Seorang pelawak masuk ke panggung dan me nari sekenanya. Ia pelawak karena kumisnya mirip Hitler. Entah sejak kapan pelawak-pelawak kita memakai kumis macam itu. Mungkin sejak mereka menonton Charlie Chaplin. Mungkin pula suatu kali seorang pelawak pendahulu secara tak sengaja mengusapkan jelaga di atas bibirnya. Lalu dua kawannya datang menyusul. Penonton menanti kelucuan apa yang akan mereka munculkan. Tapi tak ada. Mereka sudah terlalu lelah untuk mencari bahan lawakan. Mereka hanya bercanda tentang lapar. Mereka pura-pura makan sampai kenyang. Mereka memesan makanan-makanan terenak yang mereka impikan. Dua bungkus rokok dilemparkan kepada mereka. Seorang pelawak pun turun ke panggung, memungutnya. Ia melempar satu bungkus ke arah para penabuh gamelan. Di tengah mereka berkhayal makan sate kambing datang seorang penonton memberi amplop. Minta lagu Prau Layar, katanya. Am plop itu pun dibuka. Berisi duit yang langsung me reka hitung satu per satu. Lembaran-lembaran uang berwarna merah itu berjumlah tujuh lembar. Semua orang bertepuk tangan. Mungkin itu adalah saweran paling banyak yang pernah mereka dapatkan. Sayang mereka mendapatkannya di pertunjukan terakhirnya.

Malam ini mungkin mereka akan mendapat lebih dari 2.000 rupiah per orang, tidak seperti malam-malam biasanya. Mereka memanggil juragan mereka naik ke atas panggung. Sang juragan, lekaki berkaos hitam yang tadi membuka acara mengucapkan terima kasih atas bentuk simpati tersebut. Dan ia pun menyanyikan Caping Gunung karya maestro keroncong Gesang yang baru saja meninggal dunia. Para pelawak mengingatkan bahwa mereka seharusnya menyanyi Prau Layar. Tapi lelaki itu mungkin tak mendengarnya. Ia menyanyi Caping Gunung. Ia meminta para pelawak menari. Tapi tak ada yang menari. Setelah lagu selesai kembali ia mengulang kata pamitnya. Malam ini kami pamit mati. Seperti syair sebuah lagu, katanya.

Lilanana pamit mulih….
(Relakanlah aku pamit pulang….)
Lilanana pamit mulih
(Relakan aku pamit)
Pesti kula yen dudu jodhone
(Aku memang bukan jodohmu)
Muga enggal antuk sulih
(Semoga segera mendapat ganti)
Wong sing bisa ngladeni slirane
(Orang yang bisa mendampingimu)
Pancen abor jroning ati
(Memang berat rasanya)
Ninggal ndika wong sing ndak tresnani
(Meninggalkan orang yang kucintai)
Nanging badhe kados pundi
(Tapi mau bagaimana lagi)
Yen kawula saderma nglampahi [3]
(Aku cuma sekadar melakoni)

Lelaki itu kemudian memanggil seorang tamu yang datang dari Jakarta. Seorang aktivis perempuan yang cantik. Ia meminta perempuan itu menyampaikan orasinya. Sang perempuan dengan berapi-api mengutuk kematian-kematian seni tradisi. Ia menyalahkan masyarakat yang tak lagi menghargainya. Ia menyalahkan pemerintah yang tak pernah merawatnya. Ia menyalahkan organ dangdut yang mematikan sawah para seniman tradisi. Lalu ia turun dan pertunjukan kembali berlangsung.

Malam sudah larut. Sebagian besar penonton sudah pulang. Sudah larut malam pula di Kadipaten Tuban. Sang Adipati Ranggalawe tengah bercakap-cakap dengan istrinya. Ia merisaukan keadaan Majapahit yang tak lagi tentram. Percakapan tampak dipercepat. Mungkin karena penonton yang semakin sedikit. Ranggalawe buru-buru ke sanggar pamujan. Berdoa dan membakar kemenyan. Ia bersila membelakangi penonton. Sebuah tembang palaran mengalun keras dari mulutnya. Menak Koncar datang menemuinya. Melaporkan kebrutalan Menak Jingga yang makin menjadi-jadi. Menak Koncar menangisi kematian istrinya, menangisi Lumajang yang sudah berada di genggaman Menak Jingga. Bergetar dada Ranggalawe mendengar tangisan Menak Koncar, kemenakannya. Segera ia memanggil Wangsapati ajudannya. “Ambil Payung Tunggul Naga, malam ini aku akan berangkat ke Lumajang!”

Adegan pertemuan Ranggalawe dan Menak Jingga segera disusun. Menak Jingga menyambut kedatangan Ranggalawe dengan baik. Ia menghaturkan hormat pada orang yang paling disegani di Majapahit itu. Ranggalawe dengan tenang mendengarkan kisah Menak Jingga. Ia bisa mengerti perasaan Menak Jingga yang kecewa karena ditolak oleh Ratu Kencana Wungu. Dalam hal ini ia menyalahkan Kencana Wungu yang mengingkari janjinya. Tapi ia juga mengutuk Menak Jingga yang telah membuat huru-hara di Majapahit. Maka, dengan segala hormat ia minta Menak Jingga menghentikan pemberontakannya. Menak Jingga menggelengkan kepalanya. Ia meminta maaf tak bisa menghentikan semuanya. Maka keduanya pun berhadapan.

Tak ada yang bisa menandingi kesaktian Ranggalawe selama Payung Tunggul Naga tetap memayunginya. Menak Jingga yang terdesak segera menghujani Wangsapati si pembawa payung dengan panahnya. Pengawal nahas itu pun terjungkal dengan beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ranggalawe terus maju. Ia tak peduli dengan apa-apa lagi. Kematian Wangsapati begitu melukai hatinya. Dengan cepat ia berhasil menangkap Menak Jingga. Ia injak kepala adipati yang berwarna merah itu. Menak Jingga tak bisa bergerak sama sekali. Ia bahkan harus merelakan Gada Wesi Kuning andalannya direbut oleh Ranggalawe. Tetapi saat Ranggalawe mengangkat gada itu tiba-tiba tubuhnya kaku. Ia mati. Tubuhnya tanpa Payung Tunggul Naga adalah tubuh paling lemah yang pernah ada. Ia kehilangan nyawa karena mengangkat Gada Wesi Kuning. Bidadari-bidadari dengan rambut panjang terurai segera berlari mengelilinginya. Menak Jingga me me rintahkan agar tubuh pahlawan itu dibawa pulang ke Blambangan. “Makamkan ia dengan upacara kehormatan!”

Pertunjukan selesai. Pertunjukan terkahir mereka. Dengan cepat mereka mengemasi barang-barangnya dan pulang. Aku juga. Malam menunjuk pukul 12 tepat. Di jalan aku berpapasan lagi dengan mereka. Ranggalawe berjalan sendirian lengkap dengan pakaian kebesarannya. Beberapa pemain lain menyusul di belakangnya. Aku tak tahu ke mana mereka akan pulang malam ini. Tobong yang sudah 10 tahun mereka diami telah mengusir mereka. ***


2010

Catatan:

[1] Nisan, puisi karya Chairil Anwar, 1941
[2] Aja Dipleroki, lagu karya Ki Nartosabdho
[3] Pamitan, lagu karya Gesang, 1940

Sumber: Jawa Pos 18 Juli 2010

Tuesday, July 20, 2010

Si Dul Anak Jakarta: Roman Anak-Anak

Si Dul Anak Jakarta - Sinopsis
(Roman Anak-anak Karya Aman)


Si Dul (yang nama lengkapnya Dul Hamid) seorang anak yang baik. Ia hormat kepada orang tuanya. Senang bermain dengan teman sebayanya baik laki-laki maupun perempuan.
Ketika bermain jual-beli rujak dengan uang pecahan genting, Sapii mengganggu dan merusakkan dagangan (rujak) Asnah. Asnah menangis dibuatnya. Demi membela Asnah yang tidak bersalah Dul menampik tantangan Sapii. Walaupun Sapii berbadan lebih besar dan dibantu oleh Saari, namun Si Dul tidak kalah dalam perkelahian itu.

Esoknya ia dilarang ibunya keluar rumah. Dicarinya akal membuat panah-panahan dan mengadu semut. Datang ke rumahnya Asnah, Patmah dan 2 orang anak kecil. Mereka bermain sedekah-sedekahan (hajatan) dan Si Dul menjadi haji, memimpin doa selamatan. Ia kekenyangan karena sebagai haji memimpin doa ia leluasa menikmati kue dan buah-buahan yang dibawa Asnah dan Patmah untuk selamatan itu.

Pengalamannya mencarikan makanan kambing Wak Salim, kakeknya, sekaligus guru mengajinya, membuat ia berkelahi dengan Hamzah yang berbadan lebih besar, karena Hamzah, Mamat, dan Dadek berbuat curang kepadanya. Atas keberaniannya itu ia dipuji oleh ayahnya.

Nasib malang menimpa keluarga Si Dul, ayahnya meninggal dunia karena bus yang dikemudikannya menabrak pohon. Mereka jatuh miskin.

Untuk membantu ibunya (Mpok Amna) mencari nafkah Si Dul yang masih kecil berjualan nasi ulam (nasi uduk), masuk kampung ke luar kampung.

Karena semangat dan kemauannya menjajakan nasi ulam Si Dul berhasil dan cukup banyak tabungannya. Uang itu dapat digunakan membeli pakaian dan petasan untuk Hari Lebaran.

Pada Hari Lebaran Si Dul berpakaian lain dari teman-temannya. Dipakainya setelan (celana, baju), dasi dan topi pandu yang lebar pinggirnya. Sedang teman-temannya berpakaian kain sarung, baju dan berkopiah. Karena pakaian Si Dul yang lain dari teman-temannya, banyak temannya yang merasa aneh, asing, atau lucu. Bahkan kakeknya sendiri mengejek.

Hari yang dinanti-nanti Si Dul menjadi kenyataan. Si Dul girang dan gembira karena cita-citanya untuk sekolah tercapai. Ia disekolahkan ayah tirinya bersama-sama saudara tirinya, Mardjuki.

Masuk sekolah pada waktu itu masih merupakan hal yang asing bagi teman-teman di lingkungan tetangganya. Tapi Si Dul yang masih kecil telah menyadari Bahwa kemajuan hanya dapat dicapai melalui pendidikan.

Semua yang didapatkan Si Dul di sekolah diceritakan nya kepada ibunya, termasuk kebaikan ibu gurunya. Namanya pun di sekolah tidak lagi Si Dul, melainkan Abdul Hamid.***

Download sinopsis ini?
Silakan KLIK di sini

Sunday, July 18, 2010

Novel Anak-Anak: Imung

Imung: Jangan Sakiti Foxi Terri

(Novel anak-anak Arswendo Atmowiloto)

(Imung terdiri atas beberapa buku yaitu: Imung — Matinya Raja Batik; Imung — Operasi Lintah; Imung — Selamatkan Bayi Kami,  Imung — Jangan Sakiti Foxi Terri)

Jangan Sakiti Foxi Terri.

Imung, seorang anak yang berbadan kurus dan korengan bersahabat dengan Pak Jayus, seorang sopir kolonel polisi bernama Suyatman. Pak Jayus juga seorang ketua RT yang aktif membimbing remaja warga RT-nya di Depok.

Melalui persahabatan dengan Pak Jayus ini Imung memperlihatkan kecerdasannya dan ia dapat berkecipung di lingkungan kepolisian.

Berkat saran Imung vocal grup pimpinan Pak Jayus berhasil dalam pertandingan. Imung menyarankan agar pertandingan vocal grup diadakan tidak lama sesudah pertandingan voli, agar suara lawan berubah (terganggu karena berteriak-teriak pada waktu menjadi supporter.)

Dengan ketajaman analisis Imung ia menjelaskan tidak ada hantu di rumah Betti. Bunyi yang ada disebabkan oleh ayam tetangga. Kecelakaan dan tewasnya Edward (suami Betti) adalah karena kelalaiannya ketika hendak buang air kecil. Begitu pula malapetaka yang dialami Ferdi (anak Mayor Polisi Sulaiman Wibowo) adalah disebabkan oleh kaca mata berkaret, bukan karena kesalahan tukang gerobak. Hasil temuan Imung ini mengalahkan kecerdasan Kapten Situmeang dan Dr. Budi Pattikawa.

Imung si cendekiawan cilik dapat menyadarkan dan menyembuhkan adik Dokter Budi Pattikawa, seorang deklamator yang telah ketagihan minum obat penenang. Padahal Dokter Budi sendiri tidak dapat mengatasinya.

Imung si detektif cilik dapat menemukan sebab kematian Suratna (50 tahun). Mayat Suratna ditemukan dalam lubang tanah yang telah diratakan untuk pembangunan perumahan. Imung dapat menandingi Kolonel Polisi Suyatna dan Kapten Polisi Situmeang.

Dengan mudah Imung menentukan bahwa Foxi Terri (anjing kecil) dicuri oleh pengahtar susu dari rumah Drh. Sani. Dari se kolahnya Imung menelepon Kapten Situmeang agar menggeledah rumah pengantar susu, karena menurut analisisnya pengantar susulah yang mengambilnya. Hal ini menjadi kenyataan.

Beberapa kali Mpok Minah, pembantu rumah Mayor Yatman kecopetan. Dua kali mendengar cerita Mpok Minah bahwa cucunya, M. Husni Tamrin (3 tahun) Selalu kesundut api rokok di pasar tempat ia belanja. Imung berkesimpulan bahwa pencopet menyundut Husni agar ia berteriak dan karena itu Mpok Minah lengah terhadap dompetnya. Tidak keliru pendapat Imung ini, dan ia berhasil menangkap pencopetnya yang mengenakan kaca mata gelap.

Imung tetap menjalin persahabatan dengan Syahbudin, bekas letnan polisi yang dipecat karena terlibat penjualan ganja. Kini Syahbudin telah mengganti nama Pak Adam dan bertugas sebagai penjaga malam di Kebun Anggrek milik David Komala. Dengan kecerdikan detektif Imung mereka berhasil menjebak dan menangkap Suhaeri, seorang penipu dan pemeras Komala.***

Download sinopsis ini?
Silakan KLIK di sini

Friday, July 16, 2010

AA Navis Dari Masa ke Masa

Dari Masa ke Masa

Cerpen AA. Navis

Waktu saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orang tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang akan kami lakukan selalu kena tuntut agar minta nasihat dulu, minta restu dulu ada orang tua-tua. Memang tidak ada paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakan kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak Tahu, atau
pada bapak sekalian bapak. Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu
disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat risikonya.

"Siapa tahu kalau yang kalian kerjakan keliru," kata yang selalu suka memberi saran.

"Itu risiko kami," kata saya menimpali.

"Saya tahu. Tapi kan lebih baik kalau risikonya tidak ada," katanya pula.

"Tapi kenapa teman-temannya yang mau pergi perang itu tidak disuruh minta nasihat dulu?" tanya saya karena masih dongkol.

"Proklamasi telah lebih dulu merestui mereka. Malah menganjurkannya," kilah orang yang selalu suka memberi saran itu.

Biasanya kami jadi bimbang. Lalu terpaksa jugalah kami boyong ke rumah semua orang-orang tua yang patut-patut itu.

Anak-anak muda waktu saya muda dulu punya kegiatan yang macam-macam jika tidak ikut memanggul senjata. Misalnya bikin sandiwara, ikut diskusi, mengadakan kursus, pameran. Bahkan juga pasar malam. Untuk setiap jenis kegiatan itu selalu saja ada orang tua-tua yang dikatakan ekspert untuk memberi nasihat dan restu sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Macam-macam cara masing-masing mereka menyambut kedatangan kami. Ada yang hangat sambutannya. Misalnya dengan salaman pakai guncangan tangan atau tepuk-tepuk di bahu kami. Ada yang lagi asyik menulis terus setelah tahu kami datang. Juga ada yang baru muncul setelah sejam kami menunggunya di ruang tamu.

Pada umumnya oleh orang tua-tua itu kami diberi wejangan yang tak pernah pendek-pendek, selalu panjang berjela-jela sampai pantat kami gelisah, bukan karena penat saja, tapi juga karena digigit kepinding, sejenis kutu busuk yang dikatakan bangsat oleh orang Jakarta. Bukan main dongkolnya kami. Lebih-lebih saya yang memang pendongkol nomor satu di antara teman-teman. Betapa tidak. Sudah menunggu begitu lama, lalu diberi wejangan panjang-panjang yang sering tidak ada sangkut-pautnya dengan umsan kami, lalu digigit kepinding pula. Sungguh jahanam bangsat itu. Kata saya dalam hati, kalau teman-teman kami yang prajurit itu harus menerima wejangan sepanj ang itu bila hendak pergi ke front, pastilah serdadu musuh sudah menanti di balik pintu.

Lama-lama, setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu. Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya. Betapa tidak enaknya diperlakukan demikian, namun prosedur memuliakan orang tua- tua itu tak dapat dihindarkan, kalau kami mau aman dalam kegiatan kami. Bertahun-tahun kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan mereka. Lebih susah lagi, kalau kami berhasil dengan gemilang dalam melaksanakan kegiatan kami. Kami akan selalu direpotkan orang tua-tua itu. Malah tambah sering kami sukses, tambah repotlah kami. Mereka pada mendesak kami agar memintanya menjadi penasihat kamilah, pelindung kamilah. Bahkan ada di antara mereka yang bergembar-gembor ke mana-mana, bahwa kami adalah anak-asuhannyalah, kadernyalah. Claim mereka itu bukan menyenangkan, malahan sangat menyulitkan kami. Sebab pada waktu saya muda dulu, partai-partai sangat banyak. Dan mereka semua saling sengit dalam berjor-joran. Kalau satu orang telah kami minta jadi penasihat kami, atau biarkan mereka "meng-claim" kami, maka orang lain yang berlainan partai akan membilang kami sebagai "mantel" partai anu, sehingga orang partai lain bisa sakit hati. Tak jarang terjadi kami terkena intrik dari pihak yang tidak suka. Hal-hal yang memang membingungkan, menyusahkan, bahkan juga menimbulkan kecewa dan mematahkan semangat. Dan saya jadi tambah dongkol lagi. 

Waktu saya muda dulu, suatu sukses bukanlah hal yang menyenangkan. Kalaupun ada kesenangan, saatnya sangatlah pendek sekali. Yaitu hanya ketika sukses itu terjadi. Habis itu, kesukaranlah yang datang bertalu. Kesukaran yang menyakitkan. Karena setiap sukses yang kami peroleh selalu mengundang perpecahan di kalangan kami sendiri. Mulanya saya tidak tahu, kenapa setiap sukses selalu membawa bencana. Tapi lama-lama saya mengerti juga. Dan itu mencengangkan saya benar. Menurut analisanya ialah begini. Setiap anak muda yang berhasil atau suatu organisasi yang sukses, selalu ada tangan orang-orang tua itu ingin mencaplok untuk memasukkan kami ke dalam mantelnya. Kalau organisasi kami tidak bisa mereka caplok secara utuh, maka anggota kamilah yang mereka preteli seorang demi seorang. Terutama anggota yang potensial, kalau tidak anggota pengurus. Ada banyak yang berhasil dicaplok atau dimanteli.

Setelah sukses demi sukses tercapai, organisasi yang waktu didirikan berdasar semangat kesatuan hati untuk mencapai cita-cita bersama, lalu menjadikan organisasi itu sebagai wadah tempat kami saling cakar-cakaran. Setiap rapat selalu menghasilkan kesepakatan untuk tidak sepakat lagi. Setiap pengurus, lebih-lebih ketua, selalu menjadi bulan-bulanan serangan anggota. Kesatuan hati semula, akhirnya membentuk hati yang satu-satu. Ada yang ngambek, lalu mundur tanpa teratur. Organisasi yang mulanya menimbulkan kebanggaan di dalam hati kami masing-masing, lalu berubah menjadi tempat melampiaskan segala kutukan. Beberapa orang yang gigih mencoba untuk bertahan, tapi praktisnya organisasi kami tidak berdarah lagi. Kegiatan lama-lama sirna. Yang tinggal hanya nama yang tertera pada papan yang tergantung dan terbuai-buai bila ditiup angin.

Saya termasuk orang yang menangisi keadaan itu. Dan, dalam hati saya, bila saya telah menjadi orang tua kelak, apa yang tidak saya sukai ketika saya muda, takkan saya lakukan seperti apa yang dilakukan orang tua-tua ketika saya masih muda dulu. Begitu menyentak datangnya, ketika orang-orang muda secara bergelombang menemui saya minta restu, minta nasihat, minta pendapat, dan juga minta bantuan uang dan tanda tangan. Saya menoleh ke sekeliling, terutama pada teman sebaya saya, yang dulu sama giatnya dengan saya. Saya boleh mengembangkan dada menjadi orang yang dikagumi, dihormati. Memang menyenangkan bila punya status demikian. Tapi lebih menyenangkan lagi apabila menjadi tempat hidup orang menggantung, menjadi setiap kata yang dikatakan menjadi hukum yang tak boleh disanggah. Namun lebih nikmat rasanya apabila secara diam-diam saya mendengar orang- orang muda itu berkata pada teman-temannya, "Sudah bicara pada Pak Navis? Belum? Jangan bikin apa-apa dulu sebelum bicara padanya?"

Akan tetapi orang-orang muda sekarang berbeda jauh dari orang-orang muda masa dulu. Pendidikan orang muda sekarang lebih tinggi, ayah-ayah mereka lebih kaya bahkan lebih berkuasa. Karenanya fasilitas mereka lebih punya. Omongan mereka lebih ceplas-ceplos. Bagaimana saya harus menghadapi mereka agar saya kelihatan tetap potensial? Lalu saya teringat pada orang tua-tua masa saya muda dulu. Gaya ramah-tamah Pak Tamin yang orang partai itu, sekarang tak laku lagi karena partai pun tidak laku. Gaya orang pandai seperti Guru Munap juga tak mungkin lagi, sebab sekarang sudah banyak sekali orang yang lebih pandai dari segala orang pandai-pandai dulu. Jika memakai gaya pejabat, tapi saya bukan pejabat dan karenanya saya tidak mungkin menggunakan peran sebagai orang yang berwibawa tinggi.

Saya  juga mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri. Sedangkan kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi otak dan keahliannya. Dan itu tidak mudah diperolehnya karena bersifat sangat individual. Karena itulah barangkali umur orang-orang muda sekarang lebih panjang, sampai berusia empat puluh tahun. Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang. Pada waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi komandan batalyon.

Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju.

"Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang menyebabkan saya dongkol melihat tingkah laku orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku orang tua-tua terhadap orang-orang muda, tidak akan saya lakukan," kata saya pada sobat itu setelah lama kami merenung-renung.

"Apa janji itu Bung lakukan?" tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.

"Ya. Saya lakukan."

"Kenapa?"

"Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang."

"Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat kekanak-kanakannya."

"Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?" tanya saya membalikkan alasannya.

"Coba Bung renungkan. Apabila orang-orang muda sekirang diberi peran yang sama seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?" .tanya sobat saya itu seraya membelalakkan matanya.

Tiba-tiba ketawa saya meledak, sehingga air mata saya pun berderai-derai. Lalu matanya yang membelalak jadi menyipit sebelum bertanya kenapa saya ketawa.

"Kinilah saya baru tahu, kerjaan kita yang terutama sekarang ialah membenahi akibat kerja kita masa lalu," kata saya yang masih belum dapat menghentikan ketawa. Dan sobat saya itu memang diplomat, karena ia tersenyum saja oleh kata-kata saya itu. Seperti senyum anak-anak saya bila melihat bintang favoritnya tampil dalam acara

"Dari Masa ke Masa" di televisi.

Download cerpen ini?

Wednesday, July 14, 2010

Cerita Candra Kirana dan Raden Panji

Putri Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati 


Galuh Nawang Cendera, Raden Wirantaka, putri Nila Wati, 
Puspa Juwita dan Puspa Sari, Ken Bayan
Ken Sanggit, Jerude, Punta, Kartala dan Persanta


Hari cerah. Langit biru. Matahari belum lagi tinggi. Mendengung-dengung bunyi canang kedengaran di alun-alun. Menggema, mengumandang bunyinya sekitar alun-alun Gagelang. Punggawa istana berhenti menabuh canang, lalu berseru-seru kepada orang-orang yang lalu lintas, menyampaikan berita dari istana. Kabar penting tentang Putri Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati yang hendak meninggalkan Gagelang. Rakyat dianjurkan agar supaya beramai-ramai menghormati keberangkatan kedua kemenakan Baginda Raja. Ia berhenti bicara, lalu canang ditabuhnya lagi. Berita istana itu disampaikan orang-orang dari mulut
ke mulut — secara beranting — akhirnya dimaklumi orang sampai ke pelosok-pelosok negeri. Rakyat Gagelang yang patuh itu pada meninggalkan rumah lalu berdiri di tepi jalan yang bakal dilalui Cendera Kirana dan para penginngnya.

Di pelataran istana tampak berpuluh-puluh kuda. Kuda tunggang dan kuda beban. Si Rangga Ringgit kedengaran meringkik-ringkik girang. Senang hatinya, oleh karena ia hendak pulang kandang ke Kuripan.

Para abdi, para emban, para panakawan dan para prajurit, yang hendak mengiringkan putri Cendera Kirana tampak girang dan tampak sibuk. Berjalan mondar-mandir. Mengangkat dan mengangkut barang-barang, pakaian, makanan, serta perkakas-perkakas yang hendak dibawa.

Di balairung tampak Baginda Raja, permaisuri, Cendera Kirana, Raden Inu Kartapati, Galuh Nawang Cendera, Raden Wirantaka, putri Nila Wati, Puspa Juita dan Puspa Sari, para temenggung dan bupati. Baginda Raja dan permaisuri tampak sedih wajahnya, oleh karena hendak melepas kedua kemenakan yang dicintainya itu.

Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati kedua-duanya kelihatan sedang diselimuti suasana kasih sayang mesra. Kadang-kadang tampak kedua merpati itu lirik melirik atau saling melontarkan senyum kasih. Tiada banyak kata-kata yang mereka ucapkan dengan mulut, selain dalam kalbu.

Selesai Baginda Raja bersabda tentang maksud pertemuan, maka bangkitlah Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati dari kursi masing- masing. Kemudian bersembah sujud di hadapan Baginda Raja dan permaisuri. Maksudnya tiada lain hanya hendak mohon diri dan mohon restu pangestu. Baginda Raja dan permaisuri mendum ubun-ubun kepala kedua kemenakannya itu. Air mata bertetesan.

Kemudian, setelah upacara perpisahan di istana itu selesai, maka Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati naiklah kuda masing-masing. Bunyi-bunyian ditabuh orang.

Iring-iringan Cendera Kirana didahului oleh barisan berkuda para perwira dan prajuril Gagelang, yang hendak mengantarkan sampai perbatasan negeri.

Hiruk-pikuk, sorak-sorai rakyat Gagelang mengiringkan Cendera Kirana yang hendak pulang. Penonton berdesak-desakan oleh karena ingin lebih dekat melihat. Ingin mengagumi kecantikan putri Cendera Kirana, putri Daha yang beberapa hari yang lalu dikenal rakyat Gagelang dengan nama samaran Warga Asmara.

"Aduh cantiknya!" "Emh, ayunya seperti bidadari!" Demikian kedengaran kata-kata pujian dari mulut anak-anak muda dan gadis-gadis. Gadis-gadis saling melirik, saling menyenggol sambil tak henti-hentinya mengeloceh memuji-muji. Ibu-ibu mengusap muka anaknya yang digendong sambil berkata, "Moga-moga gadisku kelak secantik putri Cendera Kirana." Ibu yang duduk perut mengusap-usap kulit perut seraya mengucap, "Jabang bayi, jabang bayi! Moga-moga mukamu molek seperti putri ayu Cendera Kirana. Jika kau anak laki, moga-moga bagus-bergas seperti Raden Inu Kartapati."

Kakek-kakek yang sudah ompong dan berambut putih seperti kapas. yang harus berdiri bertopangkan tongkat, matanya tanpa kedip memandang kepada putri nan ayu. Boleh jadi kakek ingat kepada masa jejakanya yang telah lewat ketika ia dimabuk perasaan rindu kasih kepada si dia, kepada si nenek yang kini berdiri di sampingnya. Jika kaki kakek masih kuat, maulah ia mengikuti kuda yang ditunggangi putri cantik itu. Maksud hati hendak mengejar si cantik molek, apa daya jika kaki mogok jalan. Kakek terpaksa harus mengukur baju diri sendiri, dan menurut nenek yang menggandeng mengajak pulang.

Para jejaka yang sedang menanggung rindu, pada berlomba jalan cepat mengikuti iring-iringan putri Daha nan jelita. Terkadang ada yang jatuh terguling-guling, lantaran kaki terserandung, lantaran mata terus melihat kepada si juita putri, tanpa melihat jalan.

Ada pula orang-orang yang merasa malu oleh karena merasa pernah tergila-gila hatinya oleh Cendera Kirana sewaktu putri menyamar menjadi Warga Asmara. Ya, pendek kata Cendera Kirana meninggalkan banyak kesan pada rakyat Gagelang.

Sementara itu iring-iringan Cendera Kirana tibalah di perbatasan negeri Gagelang. Cendera Kirana mengucap terima kasih dan selamat tinggal kepada rakyat Gagelang, lalu meneruskan perjalanan.

Kuda dilecut agar supaya berlari agak cepat untuk memburu waktu. Jerude, Punta, Kartala, dan Persanta mengawal iring-iringan. Jerude dan Punta di depan; Kartala dan Persanta di belakang barisan. Jalan yang ditempuh, melalui hutan rimba, bukit dan lembah. Kadang kadang mereka pun harus menyeberangi sungai. Malam hari atau jika hari hujan, maka kemah pun ditegakkan.

"Wahai adinda Cendera Kirana. Kita ke Daha dahulu ataukah terus ke Kuripan?'' Raden Inu Kartapati bertanya.

Cendera Kirana berpikir sejenak, lalu menjawab, "Terus saja ke Kuripan. Daha sama sekali tak menarik hati adinda. Bagi adinda, Daha merupakan sumber kesedihan hati dan pangkal hidup sengsara. Selama Paduka Liku dan Galuh Ajeng ada di sana, Daha merupakan tempat bersarang ular-ular berbisa, tempat yang sangat berbahaya. Akan tetapi .... "

Raden Inu Kartapati memandang keheran-heranan oleh karena Cendera Kirana berhenti bicara. Seolah-olah ada soal yang sukar untuk dikemukakan

"Tetapi bagaimana dinda?" Raden Inu Kartapati minta keterangan.

Cendera Kirana tidak lekas menjawab oleh karena ia sedang berpikir hendak memancing isi hati Raden Inu Kartapati.

''Ah, rupanya dinda punya rahasia," kata Raden Inu Kartapati sambil memandang kepada Cendera Kirana.

"Maksud dinda begini. Jika kakanda hendak pulang ke istana Daha karena kakanda hendak bertemu decgan Galuh Ajeng, istri kakanda silakanlah. Adinda tak hendak mengalang-halangi kehendak kakanda. Tetapi adinda hendak terus menuju Kuripan." Demikian kata Cendera Kirana sambil bernapas panjang seolah-olah melepaskan rasa berat dalam hati.

"Wahai adinda Cendera Kirana, Galuh Ajeng bukan istri kakanda lagi. Dia sudah kanda cerai. Sebab kanda merasa ditipu. Ibarat orang membeli emas, diberi loyang. Ccbalah adinda pikir. Adinda bertunangan Cendera Kirana, dinikahkan dengan Galuh Ajeng, perempuan yang tak tahu adat, yang sekali-kali tak patut disebut putri raja. Mana dapat kakanda memperistrikan dia. Malam itu, selesai upacara nikah, hati kakanda sangat kecewa dan marah. Kakanda tak pedulikan Galuh Ajeng.

Sampai larut malam kanda tidak mau tidur. Hati kanda senantiasa mengembara di tempat jauh, seolah-olah mencari tempat berpantul pada orang yang tak diketahui ke mana perginya — menghilang tanpa meninggalkan bekas. Di ruang mata kanda terbayang selalu wajah Raden Panji Semirang yang menurut firasat kanda tentu seorang putri raja yang kanda rindukan."

Cendera Kirana tersenyum manis sambil menggigit bibir. Teringat kembali olehnya saat-saat yang mengesankan di masa sedang menyamar menjadi Raden Panji Semirang Asmarantaka; di saat sedang bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati; di saat tangannya dijamah oleh tunangannya itu. Betapa aneh perasaan hatinya pada detik-detik itu. Perasaan cintakah itu namanya ? Entah, Cendera Kirana tidak tahu. Namun nyata bahwa darah bertambah deras mengalir sekujur badan; jantung berdetak-detak senang. Rasa bahagia, meresap, menyelinap sampai ke dalam lopak-lopak kecil dalam hati.

"Di malam larut itu, dinda." Raden Inu Kartapati meneruskan. "Tiba-ttiba kanda dikejutkan oleh suara ingar-bingar di ruang istana bekas pesta nikah. Kanda dengar ringkik kuda. Suara kuda yang tak asing bagi telinga kanda, namun lupa kuda siapa gerangan. Kuda itu rupanya dilecut oleh si penunggang, dipaksa melanda segala perkakas yang ada di ruang bekas pesta itu. Meja, kursi, piring, mangkuk, lampu, gelas, pendek kata segala barang yang ada di situ, dihancurkan. Segera kanda ke luar. Terus masuk ruang istana itu. Namun, ah, terlambat! Kanda hanya melihat perkakas yang rusak binasa dan hanya mendengar derap kuda yang bertambah jauh mengtulang ditelan sunyi malam. Baik Raja maupun kakanda menduga, bahwa itu bukan perbuatan orang yang bermaksud jahat, melainkan perbuatan orang yang panas hati atau cemburu akan pernikahan kanda dengan Galuh Ajeng. Malam itu kanda tak dapat tidur. Esok harinya kanda meninggalkan istana Daha. Terus menuju istana Raden Panji Semirang. Maksud kanda tak lain, hanya hendak menyelidiki benar tidaknya duga persangka kanda kepada Raden Panji Semirang yang memabukkan benar pikiran dan perasaan kanda. Jika Raden Panji Semirang benar putri tunangan kanda, hendak segera kanda bawa ke Kuripan untuk dinikah."

Cendera Kirana geli hatinya. Raden Inu Kartapati meneruskan ceritanya, "Akan tetapi hati kanda amat kecewa! Kanda tidak bertemu dengan Raden Panji Semirang. Dia meninggalkan istana di malam larut. Demikian Mahadewi berkata sambil menangis sedih. Dugaan kanda tidak meleset setelah mendengar keterangan dari Mahadewi tentang Raden Panji Semirang. Mahadewi kanda antarkan kembali ke istana Daha. Dengan senang hati Baginda Raja menerima Mahadewi kembali. Ya, malahan Mahadewi diangkat Baginda menjadi pernaisur. Kanda puji tindakan Baginda Raja demikian, oleh karena Mahadewi berbudi. Rupanya Baginda Raja sudah mulai sadar akan kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuatnya di masa lalu. Sadar akan kelemahan hatinya terhadap Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Baginda Raja menyesali diri akan tingkah lakunya yang kejam terhadap Cendera Kirana. Betapa sedih hati Baginda Raja jika ingat akan nasib buruk mendiang permaisuri Puspa Ningrat yang menjadi korban kejahatan Paduka Liku."

Air mata meleleh di pipi Cendera Kirana. Hatinya serasa ditusuk-tusuk janun jika Cendera Kirana ingat akan nasib mendiang ibunda. Hatinya geram, marah kepada Paduka Liku dan Galuh Ajeng, kedua iblis yang berbadan perempuan-perempuan cantik itu. Maulah ia me menggal batang leher kedua manusia jahat itu!

Raden Inu Kartapati melanjutkan bicaranya, "Baginda tidak menjadi gusar dan paham mengapa kanda menceraikan Galuh Ajeng. Kemudian Baginda mendoakan supaya kanda berhasil menemukan adinda Cendera Kirana. Kanda meninggalkan Daha dengan maksud hendak berkelana. Hendak mencari buah hati kanda Cendera Kirana."

Raden Inu Kartapati memutuskan ceritanya. Memandang ke langit. Tampak awan hitam bergumpal-gumpal bertebaran. Alamat hari hendak hujan. Oleh karena itu Raden Inu Kartapati menyuruh Jerude dan kawan-kawannya segera mendirikan kemah.

“Kalau kanda tak salah lihat, kita sudah hampir sampai di perbatasan kerajaan Daha. Lihat gunung itu." Raden Inu Kartapati berkata sambil menunjuk ke gunung. “'Kabarnya di puncak gunung itu berdiam seorang pertapa sakti."

Cendera Kirana melepaskan pandangan matanya agak lama ke puncak gunung itu. Seolah-olah ada daya-gaib yang menarik perhatian Cendera Kirana. Tidak aneh, sebab pertapa sakti yang berdiam di puncak gunung itulah yang dulu pemah memberi Menteri sepah sirih bagi Paduka Liku. Sepah sirih atau guna-guna yang berhikmat besar bagi Paduka Liku guna menundukkan Baginda Raja Daha.

Sementara itu hujan turun. Langit kelihatan kehitam-hitaman karena awan kelabu. Bunyi guruh bergelombang-gelombang seolah-olah bunyi air samudra yang sedang mengamuk ditiup badai.

Samar-samar kelihatan seseorang sedang berjalan di lereng gunung itu menuju puncaknya. Dari jauh orang itu kelihatan seperti semut rangrang yang sedang merayap-rayap.

Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana memandang dengan penuh perhatian kepada tingkah laku orang yang sedang mendaki gunung itu.

Tiba-tiba cahaya tampak melejang di langit dan segera disusul oleh bunyi petir kemudian disusul pula oleh jerit orang yang mendaki gunung itu. Dan tampaklah orang itu jatuh, kemudian terguling-guling seperti batu. Anehnya! Hujan berhenti, lalu langit pun menjadi cerah.

"Ajaib !" kata Raden Inu Kartapati dalam hati. Kemudian ia segera menyuruh Jerude dan Punta memeriksa orang yang disambar petir itu. Kedua prajurit itu melecut kudanya masing-masing lalu menuju tempat orang itu.

Oleh karena hujan telah berhenti dan langit terang lagi, maka kemah dibongkar. Raden Inu Kartapati bermaksud hendak meneruskan perjalanan, setelah Jerude kembali dari lereng gunung itu.

Derap kuda Jerude dan Punta semakin jelas, semakin mendekat kedengaran. Dan tampak pulalah kedua utusan itu mengangkut mayat orang yang disambar petir itu. Persanta dan Kartala menolong kawan-kawannya. Mayat diletakkan di tanah untuk diperiksa. Sekujur badan mayat itu hangus.

"Ketika hamba tiba di tempat dia menggeletak, dia masih bisa berkata-kata. Dia mengaku Menteri dari Daha, paman Paduka Liku. Dia disuruh Paduka Liku mengunjungi tempat pertapa di puncak gunung." Jerude memberi keterangan.

Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana saling memandang. Kedua mereka menaruh curiga pada maksud Paduka Liku.

"Apa yang sebaiknya kita kerjakan dengan mayat Menteri ?" Raden Inu Kartapati bertanya. "Kita kubur di sini atau kita serahkan dia kepada Padaka Liku ?"

"Dia minta agar supaya tidak dikuburkan di Daha," sembah Jerude,

"Dia merasa takut dan berdosa kepada Baginda Raja Daha."

Cendera Kirana bertambah keras syak wasangkanya, bahwa Paduka Liku tentu hendak berbuat jahat lagi dan menyuruh Menteri meminta bantuan pertapa sakti. Jantung Cendera Kirana berdebar-debar. Hatinya mual. Terlintas dalam pikiran Cendera Kirana semua kejahatan Paduka Liku.

Raden Inu Kartapati segera menyuruh kuburkan mayat Menteri. Setelah selesai dikerjakan upacara penguburan, kemudian iringan-iringan Cendera Kirana bergerak maju, meneruskan perjalanan.

Kerajaan Daha dilalui dan sampailah Cendera Kirana di tempat bekas dia dahulu memulai berkelana. Tersirap darah Cendera Kirana melihat bangunan-bangunan bekas istana dan bekas rumah-rumah para panakawan dan prajurit-prajuritnya. Berbagai macam perasaan bersimpang siur dalam hati Cendera Kirana. Perasaan rindu, sedih, geli saling menjalin. Ken Bayan dan Ken Sanggit pun terkenang kembali kepada lakon hidupnya dahulu. Kedua emban yang setia dan pemberani itu tersenyum geli sambil saling memandang.

Iring-iringan Cendera Kirana berhenti berjalan. Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati turun dari kuda. Maksudnya hendak melepaskan lelah sebentar sambil mengenangkan kejadian-kejadian di masa lalu.

Tanpa disuruh. Ken Bayan dan Ken Sanggit mengadakan acara hiburan. Maksudnya untuk sekedar menggembirakan suasana.

Ken Bayan dan Ken Sanggit berbisik-bisik kepada Jerude, Punta, Kartala dan Persanta. Apa yang mereka percakapkan tak jelas kedengaran. Yang tampak hanyalah angguk kepala dan senyum-senyum senang.

Ken Bayan dan Ken Sanggit membetulkan pakaian, menyelipkan keris, lalu berdiri di depan pintu gerbang. Tingkah kedua emban itu seperti ketika mereka menyamar menjadi Kuda Perwira dan Kuda Peranca dahulu itu. Kartala ica-icanya menjadi Raden Inu Kartapati dan Persanta memainkan peran sebagai Cendera Kirana. Raden Wirantaka, Galuh Nawang Cendera dan Nila Wad pun turut main.

Kartala, Punta, Jerude dan Raden Wirantaka naik, kuda hendak melintasi pintu gerbang. Ditegur oleh Ken Sanggit dengan gaya seperti prajurit yang gagah berani.

"Berenti! Kalian dari mana? Mau pergi ke mana?" Ken Sanggit menegur. Tangannya pura-pura memelintir kumis.

"Kami utusan Raja Kuripan. Hendak mempersembahkan uang jujuran ke hadapan Raja Daha." Jerude menjawab samibil bertolak pinggang. Katanya pula, "Kamu siapa ? Gadis atau janda ? Ataukah emban yang kesasar kemari ?"

"Hus ! Jangan sembrono! Aku prajurit pilihan." Ken Sanggit mengusap bibir dan pura-pura memelintir kumis.

"Siapa pula yang memilih kamu menjadi prajurit ? Apa pula yang Kau pelintir? Kumis? Ah, kumis-palsumu rupanya ketinggalan di bakul!"

Cendera Kirana, Raden Inu Kartapati tertawa senang. Pengiring-pengiringnya yang menonton tertawa gelak-gelak, melihat Ken Sanggit mencari-cari kumis-palsunya dalam lepitan setagen. Nah ! Kedapatan oleh Ken Sanggit tembakau susur, lalu dipasangnya di bawah hidung. Bibir atasnya melipat ke atas untuk menahan supaya susur tidak jatuh.

"Kamu buta, hah ! Ini bukan kumis namanya ?" Ken Sanggit suaranya sengau. "Hacih ! Hacih'" Tiba-tiba ia bersin. Tembakau susurnya meloncat.

Serentak penonton tergelak-gelak.

Ken Sanggit memungut tembakau susurnya lalu diselipkannya dalam lipatan setagen. Dan katanya, "Berikan uang jujuran itu kepadaku."

"Aih, aih ! Kau ingin kulamar rupanya. Baik, gadisku sayang!" sahut Jerude. "Tapi nanti kalau sudah menerima gaji. Sekarang tanggung bulan."

"Cis tidak malu ! Lagaknya seperti orang kaya, tapi kantongnya kosong." Ken Sanggit berkata sambil mencibir dan berjalan berlenggang-lenggok dengan genitnya.

Penonton tertawa-tawa lagi.

Ken Bayan tampil ke depan. Segera ditegur Jerude. Katanya, "Aduh ayunya! Kau juga minta kulamar, gadis cantik?"

"E, e! Jangan kurang ajar, ya! Jelek-jeiek aku ini prajurit Daha. Serahkan uang jujuran itu kepadaku. Jangan dibawa ke Daha," kata Ken Bayan.

"Sedang mengapa di sini prajurit Daha yang molek ini?"

"Kau tak tahu. Putri Daha yang hendak dilamar ada di sini. Tuh lihat istananya!" Ken Bayan menunjuk.

Jerude melihat tercengang kepada Kartala. Lalu katanya, "Betul?"

"Aku tak biasa berbohong. Aku berani sumpah. Biar kepalamu disambar geledek kalau aku berdusta!"

"Aduh biung, biung! Kepalaku cuma satu. Jangan! Jangan disambar geledek. Disambar bidadari aku mau!" Jerude meratap sambil memegang-megang kepala.

Persanta tampil ke muka. Disambut oleh Ken Sanggit dan Ken Bayan. Kata Ken Bayan, "Na, ini putri Daha bakal menantu Raja Kuripan."

Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati geli hatinya. Penonton yang lain tertawa-tawa gembira.

"Sebaiknya putri kita ajak ke Kuripan saja. Jadi kita tak perlu susah payah pergi ke Daha," kata Kartala.

"Baik, baik-baik ! Kita kembali ke Kuripan!" Para pemain berseru bersama-sama. Permainan bubar.

Penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorak gembira.

"Kakanda, pikir adinda lebih baik bekas istana adinda itu dibakar saja sebelum kita meneruskan perjalanan ke Kuripan," kata Cendera Kirana.

Raden Inu Kartapati menganggukkan kepala tanda setuju, lalu menyuruh Punta dan Persanta membakar bekas istana Panji Semirang itu.

Disuruhnya Jerude lekas mengabarkan kedatangan Cendera Kirana dan rombongannya kehadapan Baginda Raja Kuripan. Dan Kartala harus mengabari Baginda Raja Daha tentang keadaan Cendera Kirana.

Keempat prajurit itu segera melakukan tugasnya masing-masing. Dan api pun segera berkobar, membakar bekas istana Panji Semirang beserta perumahan para prajurit. Bergeretak suara bambu dan kayu dimakan api. Asap menjulang ke angkasa lalu hilang ditiup sang Bayu. Yang tinggal hanyalah reruntuh-reruntuh, arang hitam dan abu, yang kemudian akan hilang pula dari tempatnya. Istana Panji Semirang hilang dari pandangan mata, namun kisah asmara yang pernah berlangsung di sana masih tetap hidup dalam kalbu Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati. Jika reruntuh-reruntuh istana itu tidak bisu, tetapi bias bicara sendiri, maka ia kiranya akan sanggup berkisah kepada orang-orang yang lalu lintas ke tempat itu tentang dua makhluk yang berkelana, berkasih-kasihan, dimabuk asmara.

Setelah selesai sekaliannya, maka iring-iringan Cendera Kirana itu melanjutkan perjalanannya menuju Kuripan. Rakyat Kuripan pada ke luar rumah, pada menyambut kedatangan Raden Inu Kartapati.

Meriam dipasang. Dan kedengaranlah bergelegar-gelegar dua puluh satu kali dentuman sebagai tanda menghormat kedatangan Raden Inu Kartapati beserta putri Galuh Cendera Kirana.

Di istana tampak hadir Baginda Raja dan permaisuri serta para temenggung, para bupati, para menteri, dan demang. Baginda Raja dan permaisuri yang sudah lanjut usianya itu tampak agak gugup oleh karena hatinya sangat terharu. Mudah dimengerti, sebab mereka sama sekali tak menduga bahwa Raden Inu Kartapati masih hidup dan bakal bertemu lagi.

Sorak-sorai rakyat makin ramai gemuruh berselingan dengan bunyi tetabuhan, ketika iring-iringan Raden Inu Kartapati sampai di alun-alun. Baginda Raja dan permaisuri makin berdebar-debar hatinya, makin tak kuasa menahan air mata mengalir, membasahi pipi.

Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana dengan khidmat bersembah sujud di hadapan Baginda Raja dan permaisuri.

"Ayahanda Raja dan ibunda permaisuri. Sudi apalah kiranya ayahanda dan ibunda menerima sembah bekti anakanda berdua. Semoga ayahanda dan ibunda sudi mengampuni dosa anakda berdua dan sudi menganugerahi restu pangestu," sembah Raden Inu Kartapati.

Baginda Raja dan permaisuri mencium ubun-ubun kepala Raden Inu Kartapati dan Candera Kirana.

Baginda Raja bersabda, "Sembah bakti kalian berdua ayah terima. Dan terima pulalah doa salam bahagia ayahanda. Semoga Dewa yang mulia senantiasa melindungi anakda berdua dari segala azab di dunia dan di akhirat."

Raden Inu Kartapati dipersilakan duduk di samping Baginda Raja dan Cendera Kirana di samping permaisuri. Kemudian Raden Inu Kartapati memperkenalkan putra-putra dan putri-putri yang ikut, kepada Baginda Raja. Yaitu: putri-putri Raja Mentawan, Puspa Juita dan Puspa Sari ; putri Raja Sedayu, Galuh Nawang Cendera ; putri Raja Jaga Raga, Nila Wati; dan akhirnya putra Raja Jaga Raga yang bernama Raden Wirantaka.

Selesai bercakap-cakap, kemudian santapan dan minuman yang lezat-lezat dtarasanya diedarkan. Bunyi-bunyian ditabuh dan pesinden pun memperdengarkan lagu-lagunya yang serba merdu lagi menyenangkan hati para hadirin.

Beberapa hari kemudian rakyat Kuripan tampak sibuk bekerja; membersihkan pekarangan, mengapur rumah dan pagar, membuat gapura di mulut lorong dan di persimpangan jalan. Para pedagang mendirikan gubuk-gubuk di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Para pendeta pada memanjatkan doa, mohon lindungan para dewa agar supaya perayaan itu tidak beroleh aral melintang.

Bendera-bendera, panji-panji, ular-ular berwarna merah putih berkibaran di pelataran istana, di tepi-tepi jalan, di depan rumah-rumah. Pendek kata rakyat Kuripan hendak sekuat tenaga turut meriahkan pesta pernikahan dan penobatan Raden Inu Kartapati menjadi raja Kuripan, menggantikan Baginda Raja yang sudah tinggi usianya itu.

Berpuluh-puluh ekor kambing, beratus-ratus ekor ayam dan itik disembelih. Berbagai macam sayuran dan buah-buahan didatangkan; berpuluh-puluh gerobak. Laki perempuan ramai menumbuk padi, membelahi kayu bakar. Sibuk benar perempuan-perempuan yang masak di dapur; atau menyusun piring-piring, gelas-gelas, baskom-baskom dan basi-basi. Orang-orang laki yang menghiasi istana dan pintu gerbang tidak kurang sibuk pula. Masing-masing bekerja menurut tugasnya sendiri-sendiri. Di luar benteng istana para pedagang mendirikan gubuk untuk tempat berjualan. Pendek kata rakyat Kuripan sibuk bekerja semua. Semua orang ingin turut merayakan hari yang mulia itu. Siang malam mereka bekerja keras. Para pendeta dengan saksama mencari hari yang paling baik ; memanjatkan doa agar supaya tidak ada alangan apa pun di hari yang akan dirayakan itu.

Kaum kerabat Baginda Raja yang jauh tempat tinggalnya, beberapa hari sebelumnya, sudah datang. Demikian pula Baginda Raja Daha dengan permaisuri. Pertemuan kembali antara Raja Daha dengan Cendera Kirana diliputi suasana sedih, mengingat akan kejadian-kejadian yang serba pahit getir yang menyebabkan keraton Daha menjadi berantakan. Yang menyebabkan permaisuri menjadi korban guna-guna Paduka Liku, yang menceraikan ayah dan anak. Ya, kiranya sudah kehendak Dewa yang mulia, maka Raja Daha harus mengalami hidup sepahit itu — maka Cendera Kirana harus hidup berkelana dahulu sebelum mencapai kebahagiaan hidup.

Permaisuri Daha yang dahulu dipanggilkan Mahadewi, melipur hati Cendera Kirana, katanya, "Anakku sayang! Lupakanlah segala kepahitan dalam kehidupan yang telah lalu. Dan semoga hidupmu selanjutnya senang bahagia di samping suamimu Raden Inu Kartapati — suami yang kau sangat cintai itu. Boleh dikatakan anakku sudah lulus dari cobaan hidup yang maha berat. Tinggal lagi menerima upahmu yang setimpal."

"Ah, alangkah senang hati hamba, jika ibunda masih hidup dan menyaksikan peristiwa pernikahan hamba." Cendera Kirana berkata seraya terisak-isak sedih.

Air mata permaisuri Daha dan Cendera Kirana membasahi pipi dan haribaan.

"Paduka Liku dan Galuh Ajeng akan hadir, ibunda?" tanya Cendera Kirana.

Permaisuri menggelengkan kepala dan katanya, "Tidak. Paduka Liku menderita hukuman batin sejak ibu kembali ke istana Daha. Raja tidak lagi menghiraukan Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Paduka Liku kiranya akan merasa beruntung jika dia lekas mati dan lepas dari derita hukuman batinnya. Dan ia pun sebenarnya dapat saja sewaktu-waktu bunuh diri. Akan tetapi ia kuatir akan nasib buruk Galuh Ajeng, jika anaknya itu ditinggal mati sebelum bersuami. Paduka Liku masih juga main guna-guna sebab sepah sirih yang dahulu itu sudah tak berdaya lagi. Disuruhnya Menteri, pamannya sendiri, meminta lagi guna-guna sepah sirih pertapa sakti untuk Galuh Ajeng. Namun celaka! Kabarnya Menteri disambar petir sampai dia mati seketika itu juga."

"Hamba sendiri melihat mayat Menteri. Hangus sekujur badannya," kata Cendera Kirana.

"Nah, itulah hukumannya yang setimpal bagi Menteri," kata permaisuri.

“Tetapi mengapa orang-orang jahat seperti Paduka Liku dan Galuh Ajeng masih juga dihidupi oleh Dewa yang mulia?'' tanya Cendera Kirana.

"Perkara hidup mati makhluk bukanlah manusia yang menentukan, anakku. Serahkan sajalah perkara itu kepada Dewa yang mulia. Dan kita manusia wajib berbuat kebajikan bagi sesama manusia agar supaya tidak mendapat murka Dewa yang mulia." Permaisuri mengakhiri wejangannya, oleh karena emban-emban hendak membaluri badan penganten.

Seminggu lamanya Cendera Kirana dipingit di istana. Ia tak boleh bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati. Hanya beberapa orang emban dan pendeta sajalah yang boleh bertemu dengan Cendera Kirana. Mereka itulah yang harus mengurus segala-galanya yang diperlukan oleh Cendera Kirana, bakal pengantin itu. Misalnya membuatkan jamu-jamu untuk diminum ; membuatkan boreh atau bedak. Dan juru rias harus mengatur semuanya yang diperlukan untuk mempercantik dan memperindah pakaian penganten.

Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu, tibalah. Para tamu dan kaum kerabat, dari tempat-tempat yang dekat ataupun jauh, sudah hadir semua di ruangan istana.

Dengan khidmat tamu-tamu agung mengikuti gerak gerik pendeta yang melakukan upacara pernikahan. Selesai nikah, maka Raden Inu Kartapati dinobatkan sekali menjadi Raja Kuripan.

Dentuman meriam dua puluh satu kali menandakan upacara sudah selesai. Kemudian kedengaran rakyat bersorak-sorai dengan suka hatinya. Bunyi-bunyian ditabuh dan pesta pun mulailah. Tujuh hari tujuh malam rakyat Kuripan bersuka-ria. Berangsur-angsur tamu-tamu dan kaum kerabat Baginda Raja pada pulang ke tempat masing-masing. Dan akhirnya Baginda Raja Daha beserta permaisuri pun meninggalkan istana Kuripan.

Dengan kasih mesra permaisuri dan Cendera Kirana berpeluk-pelukan sebelum berpisah. Dan setelah mencium ubun-ubun kepala Cendera Kirana sebagai tanda memberi restu, maka Baginda Raja Daha beserta permaisuri berangkat menuju negerinya.

Di suatu pagi cerah, bertelau-telau cahaya matahari menyinari tamansari Kuripan. Bunga-bunga warna-warni yang semerbak harum baunya, burung-burung yang ramai berkicau bersahut-sahutan, menambah asri keadaan taman, menambah perasaan bahagia dua sejoli penganten baru yang sedang bercengkerama.

Kupu-kupu kuning bertengger di bahu Cendera Kirana seolah-olah ingin berkata, "Selamat bahagia putri Cendera Kirana." Kupu-kupu terbang lagi, turun naik di udara, menggelepar-geleparkan sayap seperti mengajak Cendera Kirana menari-nari, menarikan lagu irama hidup burung kenari kuning manis, bercuit-cuit mengajak Cendera Kirana menyanyikan lagu hidup bahagia.

Cendera Kirana tersenyum manis.***

Download cerita ini

Monday, July 12, 2010

Balada Cinta Jujur Pranoto

Balada Cinta Ferdi dan Firda

Cerpen Jujur Pranoto

Di ketinggian kamar di lantai delapan hotel berbintang lima, Firda menyibak vitrage, memandang ke luar jendela kaca yang sebagian permukaan luarnya berembun. Nampak di bawah sana lidah-lidah air laut menghantam garis pantai, berdebur-debur keras, tapi suaranya tak mampu menyusup ke dalam kamar, hingga kesunyian suite room ini sama sekali tak terusik. Sampai suatu saat terdengar suara seorang pria bertanya dengan nada lembut.

Nggak suka ya, menginap di sini?”

Firda menoleh sesaat, tersenyum tipis dan kembali melihat ke luar. ”Suka juga,” jawabnya datar.

”Suasana di sini hampir sama dengan yang di pantai Kuta.”

”Ya.”

”Bedanya waktu itu kamu enjoy sekali….”

Firda terdiam sesaat. Ia merasa bahwa Ferdi telah membaca suasana hatinya secara tepat. Sementara Ferdi sendiri lalu bangkit dari tempat tidur, mengencangkan tali kimono dan berjalan menghampiri Firda. Memeluknya dari belakang. Di luar penglihatan Ferdi, Firda memejamkan mata dan menghela napas panjang. Dan Ferdi ternyata merasakannya. ”Ada apa, Firda?”

Firda tidak segera menjawab. ”… Kenapa kamu mengajak aku ke sini?”

”Kamu sendiri pernah bilang bosan terus-terusan ke motel murahan.”

”Tapi kata orang hotel, kamar ini biasa disewa pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.”

”So what ?”

”… Bukan berarti kamu mau mengajak aku berbulan madu, kan?”

Ferdi tersenyum lebar. ”Setiap ketemu kita berbulan madu.”

”Aku serius.”

Senyum Ferdi memudar. Perasaannya lembut berdesir. Dan dalam pikirannya pun muncul berbagai dugaan dan kecurigaan. ”Kamu bosan ya, kita begini-begini aja ?”

Firda menggeleng.

”Jadi kenapa…?”

”… Bulan depan aku mau nikah.”

Tangan Ferdi perlahan merenggang, melepaskan pelukan pada pinggang Firda. Dan Firda tak berusaha mencegahnya. Juga ketika Ferdi perlahan berjalan menjauh, duduk di sofa depan pesawat televisi yang menyiarkan CNN dengan volume suara rendah, nyaris tak terdengar. Rangkaian berita pengeboman kereta bawah tanah di London, berikut bursa saham yang terguncang, berlalu begitu saja tanpa perhatian. Di luar penglihatan Firda ia mengambil sebuah amplop coklat dari dalam laci, yang sesungguhnya akan diberikannya kepada Firda sebagai kejutan tengah malam. Hati-hati isi amplop itu dikeluarkannya sebagian. Dan nampaklah sebuah sertifikat rumah atas nama Firda.

”Sudah lama kamu pacaran sama calon suamimu?”

”Nggak pernah pacaran. Tapi sudah lama kenal. Tetangga dekat.”

”Kerja apa dia?”

”Guru SMP.”

”Oh…. Guru yang beruntung.”

”Kenapa beruntung?”

”Karena bisa mendapatkan istri secantik kamu.”

Firda terdiam. ”Mungkin aku yang beruntung masih ada laki-laki yang mau jadi suamiku,” bisiknya dalam hati.

”Setelah kamu kawin kita masih bisa ketemu lagi?”

Firda tak menjawab. Karena ia begitu takut memberikan jawaban yang salah.

Ferdi lalu hati-hati mengembalikan sertifikat tadi ke dalam laci. Ia tak berminat mengulangi pertanyaannya, sebab ia tak ingin memojokkan Firda untuk harus mengungkap sebuah janji. Sebuah janji yang pada gilirannya akan membelenggu diri Ferdi pula. Maka pertanyaan itu pun dibiarkannya mengambang dan tak pernah terjawab. Sampai Firda mengajak pulang meski kamar sudah telanjur di-booking untuk dua malam. Sampai keduanya berada di satu mobil dalam perjalanan pulang.

Sedan Mercy warna abu-abu metalik bermesin 3.600 cc berhenti di tempat gelap, beberapa belas meter menjelang sebuah halte bus yang sepi. Di dalam mobil ini Firda hendak membuka pintu, tapi tertahan oleh sentuhan tangan Ferdi berikut pertanyaan yang diucapkannya.

”Kali ini boleh aku antar kamu sampai rumah?”

”Jangan…!”

”Aku ingin berkenalan dengan orangtua kamu.”

”Kita sudah sepakat untuk membatasi hubungan hanya antara kita saja.”

”Meskipun ada kemungkinan setelah ini kita… akan lebih jarang bertemu?”

”Apalagi.”

Ferdi terdiam. Ia agak menyesal telah mengucap pertanyaan yang salah. Sementara itu Firda lalu mencium pipi Ferdi dan berbisik lembut. ”Maafin aku, ya….”

Ferdi merasa ada sesuatu yang tertahan di kerongkongannya. Sampai ia tak mampu berkata apa-apa dan membiarkan Firda keluar dari mobil. Baru setelah Firda menjauh dan nyaris tiba di ujung sebuah gang kecil, Ferdi seperti tersadar dari keterpukauannya, buru-buru membuka laci dashboard, mengambil amplop kecil berisi selembar cek dan lari ke luar mengejar Firda. ”Tunggu!”

Firda menahan langkah dan menoleh.

Ferdi menghampirinya dan menyerahkan amplop kecil itu kepada Firda. ”Tolong kamu terima. Kemarin aku sudah janji mau ngasih ini ke kamu.”

”Nggak usah…. Kontrak rumah sudah lunas sampai tahun depan.”

”Kalau begitu bisa kamu pakai buat apa saja. Cetak undangan, sewa gedung, biaya katering…. Semuanya pasti perlu biaya yang nggak sedikit.”

Firda terdiam. Dan tetap terdiam ketika Ferdi memasukkan amplop itu langsung ke saku belakang celana hipster-nya.

”Jangan segan-segan kontak aku kalau masih perlu bantuan.”

Firda menjawab dengan pelukan erat. Dan Ferdi menyambutnya sepenuh hati. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu berapa lama mereka berpelukan seperti itu. Sampai kemudian keduanya berpisah, saling melambaikan tangan, dan Firda berjalan lunglai meninggalkan Ferdi, berbelok memasuki gang, dan akhirnya lenyap selepas tikungan. Beberapa saat kemudian mobil yang dibawa Ferdi pun perlahan bergerak menjauh dan menjauh….

Malam itu suasana di rumah Firda tidak seperti biasanya. Beberapa sepatu dan sandal bertebaran di teras, sementara pintu ruang tamu masih terbuka meski jam sudah menunjuk pukul sebelas. Rupanya ada beberapa paman dan bibi Firda datang dari kampung bersama anak-anak mereka, ingin mengikuti acara lamaran keluarga calon suami Firda yang rencananya akan berlangsung lusa.

”Firda biasa pulang kerja jam berapa?” si paman bertanya.

”Minggu ini dia dapet giliran masuk sore, pulangnya antara jam dua belas jam satu,” jawab ibu Firda.

”Malam sekali, ya.”

”Namanya juga kerja di restoran. Restoran di hotel berbintang lagi, yang bukanya dua puluh empat jam.”

”Yang penting gajinya lumayan,” si bibi menimpali.

”Bukan lumayan lagi,” kata ibu Firda. ”Dia sudah mampu jadi pengganti ayahnya. Semua keperluan sehari-hari dia yang biayain. Termasuk kontrak rumah dan uang sekolah adik-adiknya.”

”Memang gajinya berapa?”

”Gajinya mah sekitar delapan ratus. Tapi uang lemburnya tinggi, katanya. Waktu baru dua bulan kerja saja saya lihat tabungannya sudah lima juta lebih. Jauh betul dengan ayahnya yang sampai pensiun nggak pernah bisa nabung.”

”Jangan-jangan dia sudah jadi manajer.”

”Ah, belum. Karyawati biasa. Tapi kelihatannya dia memang sedang dipersiapkan atasannya untuk naik pangkat buat pegang jabatan. Tiga bulan terakhir ini dia sering ikut macam-macam training. Manajemen, bahasa Inggris, komputer, kepribadian…. Kadang di Jakarta, tapi lebih seringnya di Bandung.”

”Berat juga ya, sampai harus ke Bandung segala.”

”Berat sekali juga enggak. Soalnya kalau training di Bandung pasti menginap barang semalam. Jadi masih ada waktu buat rekreasi, belanja-belanja, beli oleh-oleh buat yang di Jakarta. Bulan lalu malah di Bali sampai seminggu.”

”Semuanya dibiayai kantor?”

”Bukan cuma dibiayai, tapi juga dikasih uang saku!”

”Hebat sekali!!?”

”Makanya saya sendiri suka terharu, nggak mengira Firda sekarang sudah jadi tulang punggung keluarga. Saya cuma bisa bersyukur dan bersyukur pada Yang Mahakuasa, ’Ya, Alloh… terima kasih atas segala kemudahan yang sudah Kau berikan kepada kami…’.”

Pagi hari Ferdi membuka mata dan kecewa menemukan dirinya tergolek di ranjang di kamar rumahnya. Jam dinding menunjuk setengah tujuh, yang berarti sebentar lagi istrinya akan memanggilnya untuk sarapan. Ia pun bangkit hendak keluar kamar, tapi lalu tertahan oleh dering telepon yang terletak di meja lampu. ”Halo?”

”Bisa bicala sama eyang Feldianto?”

Ferdi tersenyum. ”Ini siapa, sih, pagi-pagi sudah nelpon pakai suara genit?”

”Aku Icha, cucunya eyang Feldi.”

Ferdi tertawa. ”Ada apa, sayang?”

”Ental siang jangan lupa, ya, dateng ke lumahku. Aku kan ulang tahun.”

”Oh, ya. Pasti. Eyang nggak mungkin lupa.”

”Dah, eyaaang.”

”Dadaah.” Ferdi menutup gagang telepon. Senyumnya seketika memudar. ”Hampir lupa…!” katanya dalam hati.

”Siapa yang nelpon?”

Ferdi kaget dan menoleh, melihat istrinya yang baru saja muncul di pintu kamar. ”Icha. Ngundang ke ulang tahunnya nanti siang.”

”Icha sendiri yang nelpon???”

”Iya.”

”Ya, ampun! Baru mau tiga tahun sudah pinter banget.”

”Anak sekarang….”

”Eh, Astrid sudah nemuin Papa?”

”Belum. Ada apa?”

Belum lagi ibunya menjawab, seorang gadis cantik berumur dua puluh lima tahun muncul dan langsung masuk ke kamar. ”Hai, Pa!”

Si ibu tersenyum penuh arti dan pergi meninggalkan ayah-anak ini. ”Minta sendiri gih sama Papa.”

Ferdi bertanya-tanya. ”Mau minta apa, sih?”

”Mmm…. kado perkawinan.”

”Kado kok minta. Tergantung papa dong, mau ngasih apa.”

”Soalnya gini, Pa. Mathias sudah pasti mau dikasih kado mobil sama orangtuanya. Maksudku, Papa jangan ngasih aku mobil juga.”

”Terus, kamu pengin dikasih kado apa?”

”Mmm… rumah.”

Ferdi tertegun. ”Rumah…?”

”Soalnya aku sama Mathias sudah sepakat setelah kawin nanti nggak mau tinggal di pondok mertua indah.”

Setelah berpikir beberapa saat, berangsur wajah Ferdi kembali cerah dan bahkan kemudian tertawa. ”Tenang aja. Sudah papa siapin.”

”Ah yang bener, Pa.”

”Kamu suka, kan, rumah di Bukit Kayangan?”

”Suka banget! Memang papa sudah beli???”

”Sudah.”

Astrid sesaat terkesima, lalu menghambur mendekati ayahnya dan mencium pipinya berkali-kali. ”Thanks, Pa! Makasih banget!!!”

”Buat kamu, apa sih yang nggak papa kasih.”

”Tapi rumahnya sudah ada atau kita harus nunggu dibangun dulu?”

”Sudah ada. Tinggal masukin furniture sama ngurus balik nama.”

Astrid heran. ”Kok pakai balik nama segala…?”

Jakarta, 26 Juli 2005

Download cerpen ini?

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook