Sunday, January 30, 2011

Jalan Asmaradana Kuntowojoyo

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”

Cerpen Kuntowijoyo


Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.”

Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.”

Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.

Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.

“Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.

Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.

“Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang.

“Gotong-royong kita sangat bagus.”

“Kita masih punya semangat empat-lima.”

Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.”
Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya.

Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah.

Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal.

“Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.”

“Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon.

“Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar.

“Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.”

“Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami.

Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa.

Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus.

Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar.

Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.

Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab.

“Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.”

“O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya.

“Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.”

“Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk.

Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi.

“Pagi-pagi sekali, dari mana?”

“Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”.

“Lho, kok?”

“Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.”

Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman.

“Di mana kalian? Kami kalah.”

Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali.

“Di mana?”

“Sini!”

Berulang-ulang.

Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam 
meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.

Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu.

“Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.”

“Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.”

“Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan.

Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar.

“Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.”

Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.

Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.

Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih.

Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.

“Kok menyapu sendiri, Pak?”

“He-eh, tidak ada yang disuruh.”

Lain hari perempuan itu lewat lagi.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”

“He-eh, habis bagaimana lagi.”

Lain hari perempuan itu sengaja lewat.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”

“Ya tidak ada.”

Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.

“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”

“Mau saja.”

Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.

Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. 

“Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya.

Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!

Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.”

Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri.
Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.

Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain.

Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. *

Yogyakarta, 23 Februari 2004
Sumber: Kompas Minggu, April 2004

Tuesday, January 25, 2011

Cakra Punarbhawa: Kisah Lima Penjelmaan

Cakra Punarbhawa
(Kisah Lima Penjelmaan)

Cerpen Wayan Sunarta

Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.

Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah.

Aku belia dalam kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja-ayah yang dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.

Ruh berputar. Cakra punarbhawa. Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang haus, ganas dan beringas.

Aku tumbuh menjadi penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.

Ketika musim pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.

Aku menjadi juru warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke mana.

Koran mengabarkan aku lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu arah.

Aku lahir kembali di lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang mencintai malam.

Ayahku raja pasar gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada tujuh lubang luka yang membiru di tubuh.

Aku dipelihara ibu, penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit: “aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.

O, di mana rahim hangat ibu yang melahirkanku?

Aku mengadu pada senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.

Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang kurindu, yang memeram kelam topan.

Maka, cerita baru pun kubuka:

Di pantai aku merayu, seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi.

Agak ragu kau membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun yang kalah.

Malam melata. Dinding kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer seperti roti kering tercelup cappucino hangat.

Upacara dimulai. Gaun kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di muka gapura permata camar- camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.

Lalu, igaumu menyusur malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu kelabu.

Usai upacara kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.

Come on, honey! The night is very nice!”

Setengah memaksa, setengah dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub.

Agak mengerak dalam benakku, waktu itu puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas- meski kau dari negeri salju-memberangus lidahku yang bau hujan tropis.

Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti.

Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas samudra.

Pada parak pagi, kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan berhamburan tak tahu arah.

Kemudian, hari, minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima! Gelandangan lusuh itu, aku sendiri!
Hanya baju-baju kaus pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada semua penjuru mata.

Mungkin pernah seorang relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol bercampur sisa embun.

Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya gemintang.

Tak ada lagi mantra penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar kusam.

Kaukah ruh, asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?

Kau beri aku kembara tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayaiMu?

Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.

Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu!
Kuta-Denpasar, 2003
Sumber: Kompas Minggu, Desember 2003

Sunday, January 16, 2011

Mimpi-mimpi Jakob Sumardjo

MIMPI-MIMPI
Cerpen Jakob Sumardjo

Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.

Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu. “Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan. “Apa yang akan kamu lakukan?” “Romo…. Romo, saya bermimpi.” “Mimpi bukan dosa.” “Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.” “Ceritakan.” “Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”

“Kamu sudah menikah?”

“Sudah Romo.”

“Lanjutkan.”

“Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”

“Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.”

“Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.”

“Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?”

“Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?”

Romo Wijoyo diam saja.

“Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.”

“Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”

“Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.”

“Hah?”

“Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.

Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan.

“Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”

“Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?”

“Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”

“Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”

“Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”

“Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”

“Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.”

“Tetapi uangnya kan masih ada?”

“Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.”

“Hah? Kan itu hanya mimpi.”

“Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”

“Ke mana?”

“Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.”

Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil.

“Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”

Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu.

Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.

Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.

“Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.”

Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu.

“Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.”

Romo Wijoyo amat kaget.

“Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”

Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya.

“Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”

Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.

“Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas.

Ibu Lukas tersipu malu.

“Bukan jatuh Romo.”

“O, ya?”

Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.

“Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”

Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.

“Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”

“Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.”

Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.

Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.

Sumber: Kompas Minggu, September 2003

Wednesday, January 12, 2011

Analisis Sastra Struktural: Kelemahan

Kelemahan Analisis Sastra Struktural

Oleh Gunoto Saparie


MEMBACA sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan kegiatan apresiasi sastra secara langsung. Maksudnya adalah kegiatan memahami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis yang baik terhadap karya sastra tersebut. Sastra, atau kesusastraan, menurut Swingewood, merupakan suatu rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian dimunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang bersifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan amanat tertentu.

Menurut Abrams, teori struktural adalah bentuk pendekatan yang obyektif karena pandangan atau pendekatan ini memandang karya sastra sebagai suatu yang mandiri. Ia harus dilihat sebagai obyek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri, oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya sastra merupakan kajian intrinsik semata. Teori struktural memandang teks sastra sebagai satu struktur dan antarunsurnya merupakan satu kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait, yang membangun satu kesatuan yang lengkap dan bermakna.

Abrams menambahkan, bahwa suatu karya sastra menurut kaum strukturalisme merupakan suatu totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di suatu pihak struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagiannya yang menjadi komponennya secara bersama-sama membentuk kebulatan yang indah.

Sependapat dengan hal itu, Teeuw mengungkapkan bahwa bagaimanapun analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum dia melangkah kepada hal-hal lain. Cara kerja dari teori struktural adalah membongkar secara struktural unsur-unsur intrinsik, yaitu dengan mengungkapkan dan menguraikan unsur-unsur intrinsik.

Karya sastra dibentuk dari sejumlah unsur. Unsur-unsur itu dalam karya sastra terjalin secara erat satu dengan yang lainnya. Unsur yang dimaksud dalam hal ini adalah unsur intrinsik, yaitu tema, tokoh, alur, dan latar. Karena itu, karya sastra disebut sebagai sebuah bangunan yang berstuktur atau bersistem. Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur akan mengakibatkan hubungan antarunsur berubah pula.

Kita tahu, strukturalisme adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis model lingusitik Saussure. Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai "bahasa" seperti yang dilakukan Levy-Strauss dan mitos, keteraturan hubungan dan totemisme, Lacan dan alam bawah sadar, serta Barthes dan Greimas dengan grammar pada narasi. Mereka melakukan suatu pencarian untuk suatu struktur yang tersembunyi yang terletak di bawah permukaan yang tampak dari suatu fenomena.

Social semiotics kontemporer telah bergeser di bawah concern para strukturalis yang menemukan relasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang terkandung dalam suatu sistem. Mereka melakukan eksplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi tertentu. Teori semiotik modern suatu ketika disatukan dengan pendekatan Marxis yang diwarnai oleh aturan ideologi. Strukturalisme memiliki asumsi bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-tanda. Penelitian dengan strukturalisme mensyaratkan kemampuan memandang keterkaitan inner structure, agar mampu memberi makna yang tepat pada fenomena yang tengah menjadi studi. Dalam perkembangannya strukturalisme memasuki berbagai ranah dalam disiplin ilmu dan berbagai aspek kehidupan. Perkembangan langsung dari strukturalisme adalah fungsionalisme yang melihat relasi sistemis menjadi relasi fungsional.

A. Teeuw mengatakan, bahwa pendekatan struktur tidak lain merupakan gerakan otonomi karya sastra. Kendatipun aliran struktural ini berkembang pesat, Teeuw menilai, gerakan otonomi sastra ini memiliki dua kelemahan pokok yaitu, melepaskan karya sastra dari kerangka sejarah sastra, dan mengasingkan karya sastra dari lingkungan sosial budaya. Dalam otonomi karya sastra, yang menekankan kajian strukturalisme, potensi-potensi budaya diabaikan, bahkan boleh dikatakan ditolak. Hanya mementingkan struktur yaitu unsur-unsur pembangunan karya sastra seperti alur cerita, latar, penokohan, pengisahan serta gaya bahasa. Komponen karya sastra ini lebih populer diistilahkan sebagai unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik seperti terkait dengan sejarah, agama, filsafat psikologi, ekonomi, sosial dan budaya yang sering muncul dalam karya sastra, tidak pernah disentuh dalam setiap analisis. Semata-mata yang diperhatikan adalah teks sastra, sehingga hasil kajiannya agak terbatas dan kurang memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sastrasebagai cermin kehidupan masyarakat.

Analisis struktural yang menekankan otonomi teks sastra, menurut Teeuw, ternyata belum merupakan teori sastra. Bahkan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap sehingga dapat membahayakan pengembangan teori sastra. Analisis berdasarkan konsep otonomi karya sastra juga menghilangkan konteksnya dan fungsinya. Akibatnya, karya sastra itu terasing dan akan kehilangan relevansi sosial budayanya.

Makna karya sastra (puisi, cerpen, novel) tidak hanya ditentukan oleh struktur itu sendiri, tetapi juga latar belakang pengarang, lingkungan sosial budaya, politik, ekonomi dan psikologis pengarangnya. Faktor-faktor ekstrinsik yang disebutkan tadi memberikan andil yang besar kepada pengarang untuk melahirkan karyanya. Mengingat sastra tidak bisa dilepaskan dengan realitas kehidupan masyarakat, maka faktor-faktor lingkungan, kebudayaan dan semangat zaman, tak bisa diabaikan. Dengan demikian, gerakan otonomi karya sastra sesungguhnya berarti menempatkan pada ruang yang terpencil. Dalam kaitan inilah pendekatan struktural kemudian digugat, karena ternyata bukannya tanpa tanpa kelemahan. ***

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 6 November 2010

Saturday, January 08, 2011

Puisi Eka Fendri

Puisi-puisi
Eka Fendri Putra

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 22 Mei 2010

Nyanyian Kata

Berapa usia kata-kata? Pepatah dan petitih?
Tua betapa pun tak renta, tak mengenal ajal
Jajaran rumah sepanjang lorong, sawah di lereng,
ladang di bukit dan munggu pemakaman bertanda batu
Dan bunga puding hitam, tanah, kerikil di atasnya
Selalu ada yang bisa lain, padanglah puputan angin
Jawaban, sepertinya, ada di sana
Siapa nenek moyangnya, asal kaumnya?
Di mana tiang rumahnya pertama ditancapkan?
Dari rimba mana pohon pilihannya?
Di mana tunggul penebangannya?
Di mana sawah ladangnya, sosok jeraminya?
Di mana pandam pekuburan kaumnya?
Di sini kata bertahta tanpa aksara
Bermahkota tanpa raja
Begitulah konon, lantas silsilah pun bermula
Dalam rentang waktu, diucapkan dan dihafalkan
Tak ada kata yang dapat diganti, bagai pahatan
Siapa pun lahir, Tuhan menempatkannya, dengan cahaya
Di bumi. Kaum dan negeri menimangnya dalam tatanan
Kata, memberi mereka mahkota, menandai jalan ke sorga

Januari, 2009


Dinding

"siapa bikin dinding begini?"
"bagaimana meruntuhkannya?" dinding bertiang berlangit
katabatasnya tak bertandameski di luar bagitu dekat
di dalam jauh dan siangdi sana tersimpan riwayat
ikwal segala namatak seorang pun tahu
bagaimana namanya terteradi dinding itu

Februari, 2009



Surat Tua

"Kembalilah Iwan, pohon cengkeh berbuah emas
Di lereng bukit sebelah barat
Wangi kulit manis dan pala lebat buahnya
Pulanglah, perawan muda ceria bermekaran
Akan ada tujuh belas perhelatan lepas lebaran
Bibah dapat suami ketigabelas, orang rantau tentu
Si Badut pun akhirnya dapat jodoh, si Kiah
Janda si Jibun yang cerai mati di Takengon"
Surat itu terlipat dalam sebuah buku lama
Bertahun satu sembilan lima lima, bulan dua, tanggal tiga
Dari Sulaiman, temanku,yang mati waktu perang saudara
Tahun satu sembilan lima sembilan
Waktu subuh mayatnya ditemukan
Tubuhnya memagut batu, terkulai dalam air di tepi danau
Degan satu setengah kaki. Setengahnya lagi, hilang
"Hentakan alu di lesung tingkah bertingkah
Ditumbukkan tiga perawan mudaIwan, pulanglah,
Pulanglah Iwan" Kinantan putih, merah ranggahnya
Ia berkokok sambil terbang
Di sepanjang lorong kampung. Oh abang Leman
Ketika ia tertembak, menjelang subuh itu
Perawan desa kami merasa jadi janda karena duka
Gema perbukitan, gaung puput tanduk
Di kampung pedalaman, gelak cekikikan
Semua sudah lama, terasa jauh, kian sayup
Dalam kenangan, bayangan riang jadi lara
Aku tak bisa pulang, perang saudara belum usai
Hingga kini, nama Sulaiman abadi dalam cinta
Tersimpan dalam pantun, mengalun dalam salung
Umur sembilan belas ia mati, di tepi danau yang sepi
Ketika perang saudara, 50 tahun yang lalu

Maret, 2009

Cerpen Wisran Hadi: Pembisik

Judul: Pembisik
Cerpen Wisran Hadi


Keterlibatanku dalam dunia sandiwara dimulai dan berakhir sebagai pembisik. Membisiki dialog para aktor yang sedang bermain di panggung, sekiranya mereka lupa naskah agar sandiwara itu berjalan sesuai apa yang diinginkan oleh sutradara. Sebab, banyak sekali aktor yang tidak setia pada naskah. Bukan karena mereka menolak dominasi sutradara, tetapi banyak di antara mereka yang lemah ingatan, tidak dapat menghafal dialog yang ada pada naskah dengan baik. Tetapi ada juga yang karena terlalu kreatif, mereka menciptakan dialog sendiri saat mereka lupa pada dialog sesungguhnya.

Sebagai pembisik aku selalu duduk di pojok, di wing pentas, di belakang layar. Dengan sebuah senter kecil aku ikuti semua dialog para pemain yang ada dalam naskah. Bila mereka lupa naskah, biasanya mereka pura-pura berjalan ke samping pentas, ke dekatku. Lalu aku membisikinya. Setelah itu mereka kembali berlakon sesuai dengan kata atau kalimat yang kubisikkan.

Menjadi pembisik memang tidak pernah terkenal. Yang selalu disanjung penonton adalah pemain yang tampak dan berakting di panggung. Tapi aku menyadari juga, memang tidak semua orang harus terkenal. Alasan begitu sebenarnya hanya untuk menentramkan hatiku sendiri, karena aku tidak mampu berakting seperti yang lain. Aku hanya mampu sebagai pembisik. Apalagi ketika aku dipuji-puji sutradara, bahwa aku adalah penyimak teks yang sangat teliti. Kenyataannya memang, kalau tidak ada pembisik para pemain atau sutradara akan selalu dikurung kecemasan. Mereka takut kalau-kalau pertunjukan tidak lancar. Betapa konyol sebuah pertunjukan, bila para pemain lupa naskah. Lalu, apa yang akan diucapkannya?
Sebelum pertunjukan, biasanya aku ditraktir sutradara minum kopi dan dipuji-puji tapi selesai pertunjukan, jangankan ditraktir menyalami aku pun mereka sering lupa. Dan segi itu memang malang menjadi seorang pembisik. Tapi dan segi lain, aku justru yang paling banyak mendapat rezeki. Aku dapat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Pemain-pemain wanita, biasanya pemain-pemain pembantu dan cantik-cantik, yang sedang menunggu giliran muncul biasanya mereka berdiri di samping pentas sambil memperhatikan permainan yang sedang herlangsung. Mereka tidak peduli berdiri berdempet-dempet. Aku sering kebagian dempetan itu. Bahkan lebih rapat lagi. Apalagi kalau sayap panggung pertunjukan itu sempit sekali. Siapa pun tentu dapat membayangkan bagaimana rasanya kalau seorang pembisik seperti aku berdiri berdempetan dengan gadis-gadis pemain begitu rapat dan begitu lama. Apalagi hari malam dan gelap gulita pula. Aku sering ganti celana bila sampai pondokan setelah pertunjukan.
Yang menjengkelkan sebagai pembisik bila membisiki pemain yang tidak setia pada naskah. Sewaktu latihan dia begitu setianya pada naskah. Tapi dalam pertunjukan dia bicara semaunya. Mereka memperlihatkan kehebatannya di luar kontrol sutradara. Sebab mereka menyadari, tidak mungkin sutradara akan menstop seorang pemain bicara dalam sebuah pertunjukan yang sedang berlangsung. Bila sudah demikian, aku tidak dapat lagi menyimak naskah dan mengikuti apa yang dikatakannya. Aku jengkel dengan pemain-pemain seperti itu. Dengan alasan kreativitas, mereka mengubah naskah semaunya. Tapi kalau sudah kehabisan kata, mereka mendekatiku minta dibisiki.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, aku sengaja mempergunakannya dengan baik melepas sakit hatiku pada mereka. Ketikan Leon berperan sebagai Nimrod, seorang penguasa dunia yang berlagak ingin menandingi Tuhan, dia bicara sesuka hatinya. Aku bingung. Namun ketika dia lupa teks dan seharusnya mengucapkan: “Hai, spada! Di manakah Tuhan?” dia mendekatiku minta dibisiki. Inilah kesempatan bagiku. Kubisiki, “Hai, Tuhan. Bukankah kau setan?” Leon tak sempat lagi berpikir karena dia sudah gugup karena lupa naskah. Kata itu diucapkannya dengan lantang. Penontot kaget dan gelisah. Bahkan ada yang berteriak memprotes, menyamakan Tuhan dengan setan. Cerita jadi berubah karena pemain lain juga bingung mendapat protes tiba-tiba dari penonton.
Ketika pertunjukan selesai, aku dimaki sutradara. Dikatakannya aku telah menjerumuskannya. Aku dituduk sebagai pemutar balik cerita dan musuh kesenian. “Dalam ketentaraan kau disebut desersi. Hukumannya hanya satu, termbak mati!” kata sutradara. “Penonton kita sekarang bukan orang bodoh lagi. Mereka tahu kata-kata yang masuk akal dan yang tidak,” lanjut sutradara itu lagi.
Sebaliknya Leon dan para pemain lainnya memuji-mujiku. “Kau hebat!” kata Leon dengan bangga. “Bisikan yang salah itu telah membuat aku menemukan permintaanku yang sesungguhnya,” lanjutnya lagi.
“Memang aku tidak berniat sama sekali menjerumuskan siapa pun,” kataku pelan. Dalam hati aku berkata sendiri; “Mampuslah kau! Kau selalu tidak mengacuhkanku. Menghinaku. Kini rasakan, aku robah kalimat-kalimatmu. Aku plesetkan dialogmu.”
Ketika akan mementaskan drama Tuanku Imam Bonjol, aku dibujuk lagi untuk jadi pembisik oleh sutradara. Celakanya, aku juga suka dibujuk seperti itu. Mulanya aku pura-pura menolak, tapi sutradara mengatakan kepadaku bahwa aku harus jadi pembisik.
“Kalau sempat posisi itu diambil orang lain, aku tidak tahu apa yang akan mereka bisikkan pada pemain-pemain kita. Mungkin pertunjukan bisa kacau.”
“Tapi aku tidak dipercaya lagi sebagai pembisik.”
“Siapa bilang? Ah kau! Kau jangan ikut-ikutan sentimentil seperti aktor-aktor yang banyak itu. Kau pembisik, kawan! Hanya kau yang akan dapat menentukan apa yang akan dikatakan seorang aktor. E, Bung! Semakin hebat scorang aktor, semakin dia tergantung pada pembisik. Ingat kawan, tidak semua orang yang mampu jadi pembisik. Secara filosofis, pembisik itu penyampai suara Tuhan! Ah, kau.”
Empat hari lamanya sutradara itu meyakinkanku betapa pentingnya seorang pembisik terutama dalam pertunjukan yang akan datang. Sebuah pertunjukan kolosal, melibatkan banyak pemain dan figuran. Pertunjukan akan berdarah-darah. Kisah tentang Perang Paderi. Perang saudara, perang antarsuku dan antaragama. Perang antara pribumi penganut Islam dengan penjajah yang beragama Kristen.
“Kau kan tahu, bagaimana kesulitan Tuanku Imam ketika dia harus memilih kata apakah perang Paderi itu sebuah perang saudara atau perang antaragama? Kau bisa bayangkan kawan, bila Leo, aktor kita yang memerankan Tuanku Imam itu tidak dibisiki. Dia terlalu kreatif. Dia suka bicara semaunya. Sementara naskah menuntut agar dia tetap setia pada teks. Kesalahan membaca teks sama dengan kesalahan mengungkapkan data. Jika dia tidak dibisiki, perang Paderi itu pasti akan berubah bentuk menjadi perang kemerdekaan. Padahal waktu itu belum ada niat sama sekali untuk merdeka secara sendiri-sendiri.”
Memang harus diakui, Leon yang akan memerankan Tuanku Imam Bonjol itu seorang pemain yang berbakat tapi suka uring-uringan. Kalau soal akting, wibawa, ya bolehlah. Tapi kebiasaanya memplesetkan teks, lupa, tidak suka dengan kalimat yang ada dalam naskah lalu digantinya dengan kalimatnya sendiri, sering membuat latihan jadi kacau. Di dalam naskah jelas-jelas tertulis; “Kita harus mencari penyelesaian terhadap perselisihan paham antara masyarakat Lubuk Sikaping dengan masyarakat Agam yang sudah hampir satu setengah tahun berjalan dan memakan korban banyak sekali,” tapi Leon mempersingkatnya dengan nada suatu yang penuh irama dan wibawa; “Urusan orang Lubuk Sikaping dan orang Agam harus diselesaikan oleh mereka sendiri.”
Gila! Sutradara mana pun pasti akan marah. Tapi sutradara yang sedang menangani persiapan pementasan itu hanya diam saja. Dia takut, kalau-kalau Leon yang uring-uringan itu menarik diri sementara jadwal pertunjukan ke Jakarta sudah semakin dekat.
“Coba bayangkan Bung. Sekiranya hal seperti itu dilakukannya sewaktu pertunjukan berlangsung,” kata sutradara menarik napas panjang setelah selesai latihan yang kacau itu padaku.
“Tapi apakah ada jaminan kalau aku akan membisiki secara jujur dan sesuai dengan teks naskah?”
“Aku percaya padamu. Itulah sebabnya kau kupercaya sebagai pembisik. Tugasmu hanya satu. Membisiki Tuanku Imam. Yang lain tak perlu dibisiki karena mereka harus mengikuti apa yang dimainkan Tuanku Imam.”
Pertunjukan pun berlangsung. Aku sudah siap menjadi pembisik. Aku tidak akan mau seperti membisiki Leon seperti dulu lagi. Aku sudah berjanji untuk jujur sebagai pembisik. Dengan senter kecil bersinar merah, aku duduk di balik layar merah yang membatasi korsi singgasana Tuanku Imam dengan benteng Bonjol yang terkenal ampuh dan tangguh itu.
Huru-hara terjadi. Tembakan-tembakan bertubi-tubi, siang dan malam. Teriakan-teriakan, gemerincing suara pedang beradu, tombak melayang-layang melintasi panggung sejarah, jerit dan rintihan bertahan para suhada yang dibantai tentara penjajah, pidato-pidato berapi-api dan berbagai tokoh, pengkhianat dan provokator. Asap mengepul membumbung tinggi. Berpuluh masjid, surau dan sekolah-sekolah agama dibakar. Ribuan jenazah tergeletak. Ketika jenazah-jenazah itu diusung ke luar untuk dimakamkan, semua orang menangis.
Leon yang memerankan Tuanku Imam benar-benar aktor sialan! Dia juga ikut terharu dengan adegan itu. Semestinya dia harus berdiri di atas benteng Bonjol menyaksikan dengan tegar dan semangat membara atas tragedi yang telah menimpa rakyatnya, memberi komando jihad dan menghancurkan musuh. Dia harus memperlihatkan sosok sebagai pahlawan Indonesia sejati. Tanpa mengenal air mata dan sentuhan hati! Tapi Leon, Leon. Dia ikut menangis ketika semua penontot tersedu menyaksikan pembantaian dan pembunuhan para pejuang oleh penjajah tanpa mengenal belas kasihan. Kemudian Leon maju ke depan prosenium dan berbisik dengan suara serak; “Jangan sedih. Yang terbunuh hanya lima orang.”
Gerr! Gedung pertunjukan meledak oleh tawa penonton yang tiba-tiba. Leon gugup kenapa tiba-tiba penonton tertawa, padahal bagian itu adalah bagian yang memilukan.
Selesai pertunjukan aku kembali dimaki sutradara. “Kau telah menghancurkan data sejarah! Did alam naskah yang terbunuh itu tiga ribu orang! Tiga ribu! Kau bisikkan pada Leon hanya lima orang! Gila! Kau musuh sejarah, musuh kesenian,” katanya dengan suara melengking.
Aku sakit hati dengan tuduhan itu. Padahal aku tidak membisiki apa-apa padanya. Sejak Leon berperan menjadi Tuanku Imam, dia tidak peduli denganku. Dia maju ke prosenium, artinya dia tidak lupa naskah. Kalau lupa, pasti dida mendekatku, ke pinggir pentas. Aku harus membalas makian sutradara itu pada sang Tuanku Imam.
“E, Bung! Akuk kan tidak pernah membisikimu berapa orang yang terbunuh. Kenapa kau ucapkan yang terbunuh hanya lima orang. Padahal yang mati tiga ribu! Sutradara memaki aku karena kesalahanmu. Aku tidak suka memikul dosa orang lain, bung! Kau harus klarifikasikan persoalan ini dengan sutradara!”
“Yang diusung ke luar pentas waktu pertunjukan tadi benar lima orang kan?”
“lya! Tapi kenyataan yang sesungguhnya tiga ribu! Yang lima itu hanya simbol! Masa kau tidak tahu simbol?”
“Tunggu. Apa iya aku bilang lima orang?”
“Jadi, kau tidak sadar waktu mengucapkan bilangan itu?”
Tuanku diam. Ditolakkannya gagang kacamata yang melorot di pipinya ke atas dengan punggung tangannya.
“Tenang saja, Bung,” katanya setelah lama diam. “Apa bedanya bila kusebut lima, sepuluh, seratus, atau berapa saja. Toh angka-angka yang mati itu tidak akan dapat mengubah jumlah sesungguhnya,” lanjutnya.
“Lalu, menurut pemahamanmu, berapa jumlah yang sesungguhnya itu?”
“Menurut teks dalam naskah kan tiga ribu. Ya sebanyak itu.”
“Lalu, kenapa kau ucapkan lima orang!”
“Waktu itu aku lupa, Bung. Lalu aku dibisiki — Jangan sedih. Yang mati hanya lima orang! — Aku harus mengucapkan kata itu, sebab aku sedang dalam terharu berat.”
“Dibisiki? Siapa yang membisikimu? Kan aku satu-satunya yang jadi pembisik.”
“Ah masa,” jawab Tuanku ringan. “Ada pembisik lain, tapi kau tidak tahu.”
“Siapa yang mengangkat pembisik lain? Sutradara?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Aku. Aku kan juga punya banyak pembisik, Bung!”
Aku pulang tanpa menoleh lagi. Sepanjang jalan aku menyumpah-nyumpah. Ternyata pertunjukan yang berdarah-darah itu sudah tidak terkendali lagi. Sutradara menunjukku sebagai pembisik. Ternyata diam-diam Tuanku Imam telah menunjuk beberapa orang pembisik lain tanpa
sepengetahuan sutradara dan tidak memberitahukan pula kepadaku. Ada pembisik lain yang lebih dipercaya Tuanku Imam daripada aku.
Sejak malam itu aku berhenti jadi pembisik, sementara Tuanku Imam terus mengadakan pertunjukan ke mana-mana.
“Selamat jalan sandiwara,” bisikku ketika kulihat Tuanku melambaikan tangan dan balik kaca buram bus yang berangkat membawa mereka ke gedung-gedung pertunjukan lain.
“Kami keliling dunia, Bung!” seru sang Tuanku. (***)

Harian Republika, 20 Februari 2000
DOWNLOAD cerpen ini KLIK di sini

Sunday, January 02, 2011

Suman HS: Percobaan Setia

SINOPSIS ROMAN 
PERCOBAAN SETIA

Percobaa Setia merupakan roman karya sastrawan Balai Pustaka, Suman H.S. Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1931. Roman ini berkisah tentang kesabaran, ketakwaan, kejujuran, dan perbuatan baik lainnya yang pasti akan mendapat ganjaran yang baik pula. Demikian pula halnya dengan perbuatan buruk pun akan mendapatkan ganjaran yang buruk pula. Dengan kata lain, perbuatan buruk akan dikalahkan oleh perbuatan baik.

Peristiwa-peristiwa dalam roman ini terjadi di Sumatra Barat (Sungai Kampar dan Taratak Buluh), dan Malaka, dengan melibatkan tokoh-tokoh sebagai berikut: Syainsuddin, seorang pemuda yatim yang taat beragama, jujur, sabar. Haji Djamin, seorang detektif. Abdul Fatah, seorang penipu. Haji Salwah, wanita saleh, anak seorang saudagar kaya tempat Syamsuddin bekerja. Ia juga merupakan orang tua angkat Syamsuddin.

Syamsuddin sejak kecil telah menjadi anak yatim. Ayahnya meninggal dunia ketika ia baru berumur 4 tahun. Bersama ibunya ia tinggal di Sungai Kampar. Ketika ia menginjak usia 8 tahun, ibunya menikah lagi, namun untung baginya karena ayah tiriya sangat mencintai dan menyayanginya. Ayah tirinya kemudian membawa Syamsuddin, ibu, dan adiknya yang baru berumur satu tahun ke Tatarak Buluh. Di tempat yang baru inilah, Syamsudin dididik belajar agama oleh ayah tirinya dan ia pun belajar mengaji kepada seorang guru agama.

Ketika Syamsuddin menginjak usia 16 tahun, ia meminta izin kepada orang tuanya untuk pergi merantau. Permintaan itu dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Pada awal-awal perantauannya, nasib Syamsuddin sangat beruntung karena ia langsung mendapat pekerjaan dan majikannya mengangkatnya sebagai anak. Namun, ia harus meninggalkan rumah orang tua angkatnya ketika ada seorang gadis teman sekerja yang menaruh hati kepadanya. Gadis itu berusaha menggoda Syamsuddin untuk melakukan perbuatan terlarang. Namun, karena keimanan dalam diri pemuda itu tidak mudah tergoyahkan. Syamsuddin berhasil mencegah dirinya dan godaan nafsu. Karena merasa sakit hati, wanita itu kemudian memfitnah Syamsuddin, sehingga pemuda itu dikeluarkan dari pekerjaannya.

Syamsuddin meneruskan perantauan ke Malaka. Di tempat ini pun ia mempunyai majikan yang menyayanginya. Bahkan, mereka menganggap Syamsuddin seperti anaknya sendiri. Majikannya Semakin mempercayai dan menyayangi dirinya ketika ia berhasil menyelamatkan Haji Salwah, anak gadis majikannya dari kobaran api. Setelah kejadian itu, Haji Salwah menaruh hati kepadanya dan majikannya pun menyetujuinya. Namun, karena anak mereka sudah menjadi haji, maka majikannya memerintahkan Syamsuddin untuk menunaikan ibadah haji, ke Mekah. Hal itu dilakukan untuk menghindari gunjingan orang.

Syamsuddin pun berangkat ke Mekah dengan menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan menuju kota tersebut, ia bertemu dengan Jamin, salah seorang sahabatnya. Sejak saat itu, keduanya selalu tampak bersama-sama dalam keadaan susah dan senang. Ketika dompet Jamin hilang dicuri orang, Syamsuddin membantu sahabatnya dengan berjualan rujak di atas kapal agar uang Jamin terkumpul kembali untuk melanjutkan perjalanannya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Mekah dan sampai di kota itu sebulan kemudian.

Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, Syamsuddin harus berpisah dengan Jamin karena pemuda itu bermaksud untuk menuntut ilmu di kota Mekah. Syamsuddin menginap di Pulau Pinang. Di penginapan ini, ia bertemu dengan Abdul Fatah yang mengenal keluarga Haji Salwah. Syamsuddin menceritakan rencana pernikahannya dengan Haji Salwah kepada lelaki itu. Ternyata Abdul Fatah pun mencintai Haji Salwah dan ia bermaksud untuk menggagalkan rencana pernikahan Syamsuddin. Ia mengatakan bahwa Haji Salwah telah menikah dengan orang lain beberapa saat setelah kepergian Syamsuddin. Namun, Syamsuddin tidak mempercayai kabar itu.

Mengetahui siasatnya tidak berhasil, Abdul Fatah kemudian menjalankan siasatnya yang kedua. Ia berusaha merekayasa sebuah tabrakan yang menyebabkan Syamsuddin mengalami luka parah dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, sedangkan ia sendiri hanya mengalami luka ringan. Ia kemudian membawa barang-barang milik Syamsuddin dan mengatakan kepada keluarga Haji Salwah bahwa Syamsuddin telah meninggal. Dengan demikian, rencana pernikahannya dengan Haji Salwah akan berjalan mulus.

Siasatnya itu hampir berhasil kalau saja Jamin tidak segera pulang ke tanah air dan menerangkan perihal yang sebenarnya kepada keluarga Haji Salwah. Pemuda itu telah mengetahui semua akal bulus Abdul Fatah dan sahabatnya, Syamsuddin. Pada mulanya ia juga mempercayai kabar kematian Syamsuddin, namun salah seorang temannya memberitahukan bahwa Syamsuddin sedang dirawat di rumah sakit. Ia pun segera menengok Syamsuddin dan saat itulah ia mengetahui permasalahan yang sebenarnya.

Atas penipuan yang dilakukannya, Abdul Fatah, dijatuhi hukum penjara selama 6 tahun. Sementara itu, setelah sembuh, Syamsuddin kembali ke tanah airnya dan melangsungkan pernikahan dengan Haji Salwah.

download sinopsis roman ini?
silakan KLIK di sini

Saturday, January 01, 2011

Cerpen Umar kayam: Mbok Jah

Judul: Mbok Jah
Cerpen Umar Kayam

Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang dan tentram.

Buat seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya.

Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semuanya itu. Orang desa semua tulus hatisnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.

Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang dapat bikin sambel trasi yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.

Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.

Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang datang. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali dia datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten di masjid itu.

“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian.” Nanti rak kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan kehebatan mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya. Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon, bubuk kedela, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji itu datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya kesana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah.
Desa itu tidak lndah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceriterakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-apanya.
“Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faifin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.
“Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak spagetti atau sup makaroni di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dan kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, mbok?”
Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di sini itu apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka. “Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!” Mbok Jah tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara, rumah si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya pasti datang. Betul.”
Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya kalau hujan begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.


Sumber: Harian Republika, 23 Maret 1994.

Download cerpen ini KLIK di sini

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook