Sastra Kontekstual vs Sastra Universal
Sastra kontekstual yang “berperang sengit” dengan paham sastra universal pada era 80-an membuat catatan sejarah tersendiri dalam kesusateraan Indonesia modern. Sastra kontekstual yang dicetuskan kali pertama oleh Arif Budiman pada era tersebut menimbulkan pro dan kontra terhadap pendapat yang dicetuskannya itu. Banyak yang mengatakan bahwa konsep sastra kontekstual yang dicetuaskannya itu adalah sebuah sensai belaka. Tidak lain karena konsep sastra kontekstual merupakan konsep sastra multikultural dalam arti sempit.
Artinya, bahwa untuk mengapresiasi atau memahami karya sastra hanya pada saat karya sastra itu dilahirkan, berarti juga bahwa mengapresiasi tentang konsep budaya yang mendasari kelahiran karya sastra tersebut. Sedang untuk mengetahui konsep budaya pada lingkungan karya sastra lahir, perlu juga diketahui tentang konsep-konsep atau nilai-nilai budaya pada semua bangsa. Tidak lain dan tidak bukan karena karya sastra tidak pernah terlepas dari unsur pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat.
Kemuculan sastra kontekstual juga tidak bisa dinafikkan dari acara Sarasehan Kesenian 1984 di Solo. Tepatnya pada tanggal 28 s.d 29 Oktober 1984. Sarasehan Kesenian 1984 dianngap sebagai tempat kelahiran atau tempat tercetusnya paham tersebut (hal:4).
Buku yang berupa kumpulan artikel mengenai perdebatan sastra kontektual ini meliputi artikel-artikel yang mendukung maupun yang hanya sekadar memberi ucapan sindiran yang terkesan melecehkan. “Sekadar mencari sensai.” Tetapi kedua pendapat yang pro maupun yang kontra memiliki argumen-argumen yang patut diperhitungkan. Artinya kedua pendapat tersebut benar adanya.
Sastra kontekstual dianggap sebagai sastra kiri dan hanya memihak atau memberi perlindungan pada sastrawan lokal. Maka tidak mengherankan jika konsep ini banyak didukung oleh sastrawan lokal yang masih belum bisa menembusan tingkat dunia. Seperti misal pada konsep sastra multikulturalisme yang memberikan penilaian terhadap karya sastra baik atau buruk dengan hanya melihat kandungan nilai-nilai budaya yang universal.
Kelahiran buku tentang perdebatan sastra kontekstual ini bukanlah pembulatan atas apa yang dinamakan sebagai sastra kontekstual. Seperti yang diutakan Heryanto dalam pengantarnya bahwa seorang rekan, sastrawan dan ahli sastra, telah ikut berjasa pada usaha menulikan awal catatan pada pengantarnya. Menurut mereka, naskah buku ini tidak menyajikan suatu gagasan yang “bulat” tentang “sastra kontekstual” (hal:v). Namun, “ketidakbulatan” ini yang tanpaknya asyik untuk menambah referensi tentang sejarah sastra. Bahwa sastra konseptual memang pernah muncul dan menjadi isu hangat dalam dunia kesusasteraan kita.
Selain hal itu, Heryanto juga memberikan alasanya tentang ketidakbulatannya tentang gagasan sastra kontekstual ini. Dia mengatakan pada pengantarnya bahwa secara pribadi dia tidak mengharapkan tercapainya suatu hasil akhir (apalagi kata sepakat) dalam pemikiran tentang “sastra kontekstual” dari seseorang atau beberapa orang belaka. Saya berminat menyajikan suatu rangkaian proses pemikiran yang berkesinambungan, yang dinamis, yang sewaktu-waktu bisa saja disela-selkai oleh masa istirahat, dan masa meriah, yang melibatkan banyak fihak yang tak harus sependapat (hal:vi)***
Eva Dwi Kurniawan
0 comments:
Post a Comment