Memahami Teori Kesusastraan
Wellek & Warren dalam buku aslinya yang berjudul Theory of Literature ini lebih banyak memfokuskan pembahasannya dalam pengkajian puisi. Ini terlihat dari berbagai penjelasan yang digunakan selalu mengambil contoh genre puisi dalam menjelaskan teorinya.
Ambil contoh saja pada bagian keempat yaitu studi sastra dengan pendekatan intrinsik. Wellek & Werren mencoba memasukkan unsur genre sastra seperti gaya dan stilistika, citra, metafora, dan simbol. Kalau kita berhenti mengklasifikasikan puisi berdasarkan isi dan temanya, dan mulai menayakan jenis wacananya: kalau kita berhenti menguraikan puisi dalam bentuk prosa dan mulai mempelajarai “makna” puisi dari keseluruhan strukturnya yang kompleks, berarti kita mulai berhadapan dengan inti struktur puitis: citra, metafora, simbol dan mitos (hal:235).
Tampak jelas bahwa Wellek & Werren memfokuskan pengkajiannya pada gengre puisi. Contoh lain adalah pada bab duabelas tentang modus keberadan karya ssatra. Dituliskan bahwa sebelum kita menganalisis strata karya sastra, kita perlu mengajukan sebuah pertanyaan epistemologis yang sulit mengenai modus keberadaan atau “situs ontologis” karya sastra. (Untuk menghemat ruangan, kata karya ssatra dalam pembicaraan ini kita sebut juga dengan puisi (hal:175).
Dalam buku ini disinggung juga kaitan antara teori sastra, sejarah sastra, dan juga teori sastra. Tak mungkin kita menyususn; teori sastra tanpa kritik ssatra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra (hal:39). Selain itu, juga disinggguung tentang definisi dan batasan sastra.
Yang tak kalah menarik dalam buku ini, pembahasan tentang fiksi naratif juga dihadirkan. Maka tidak sulit dalam mengkaji prosa fiksi yang tidak lain adalah fiksi naratif ini. Sebelumnya, Wellek & Werren juga menjelaskan tentang imajinasi atau fiksi dalam sastra di bagian awal buku ini. Istilah sastra sebagai karya “imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imajinasi (citra) (hal:20). Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa pencitraan tidaklah identik dengan rekaan; jadi, bukan merupakan ciri khusus karya sastra (hal:20). Realitas dalam karya fiksi, yakni ilusi kenyataan dan kesan menyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari (hal:278).
Wellek & Werren juga pandai mengajak pembaca untuk berdiskusi. Misalnya pada pembahasan pada fiksi naratif. Bagaimana hubungan fiksi dengan kehisupan? Aliran klasik atau Neo-Klasik akan menjawab bahwa fiksi menampilkan sesuatu yang khas, yang universal-seperti tipe orang pelit (Moliere, Balzac), tipe anak perempuan yang tidak berbelas kasihan (Lear, Gariot) (hal:278).
Buku ini mengutamakan pengkajian sastra pada unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Maka masalah di luar sastra pun menjadi bahasan. Biografi, psikologi, masyarakat, dan pemikiran, menjadi bahasan tersendiri dalam mennjelaskan unsur ekstrinsik karya sastra. Sayangnya pengkajian yang hanya pada salah satu genre sastra, yaitu puisi yang menjadi bahasannya, menjadikan buku ini kurang menaraik untuk mengkaji genre sastra lainnya, semisal novel atau cerpen atau naskah drama. Meskipun pengkajian novel, cerpen, dan drama disinggung, namun sangat sedikit.***
Eva Dwi Kurniawan
0 comments:
Post a Comment