Telur Merah Sanie B Kuncoro: Lahir dan Mati
Perkembangan sastra yang mengarah kepada eksplorasi budaya, terus saja bermunculan. Budaya-budaya lokal terus dianggkat. Bukan sekadar mengangkat nilai-nilai yang ada di dalamnya, namun sekaligus melihatkan bagaimana konflik yang terjadi. Di sini, tampaknya mulai ada kesadaran seorang pengarang untuk melihat realitas yang berada di sekitar mereka itu dengan lebih intents. Semangat multikulturalisme mulai bergenderang.
Keuntungan yang diberikan oleh tradisi penulisan seperti ini sangat banyak. Di antaranya adalah memberikan informasi seputar nilai-nilai apa yang terdapat dalam budaya yang diangkat pengarang. Lalu, kerap juga disuguhkan bagaimana konflik yang mengintarinya. Dengan demikian, sesungguhnya, apa yang disajikan dalam karya sastra, dapat menjadi sebuah data. Data tersebut dapat diolah sedemikian rupa sehingga dapat menyelesaikan persoalan sosial-kemasyarakatan yang terjadi sebenarnya dalam dunia nyata.
Tentu, fakta karya sastra adalah fakta imajinasi. Akan tetapi, karya sastra adalah sebuah mimesis. Karya sastra adalah cermin dari realitas sosial masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Dengan demikian, persoalan yang disuguhkan dalam karya sastra tidak akan pernah bertentangan dengan realitas yang sesungguhnya. Hanya saja, yang perlu disadari bahwa artikulasi seorang pengarang dalam menunjukkan nilai budaya beserta persoalannya itu perlu disadar benar. Sebab, ada pengarang yang lebih menunjukkan kritik terhadap nilai budaya yang ditulisnya dengan sangat fulgar. Mengkritik secara tersurat sehingga akan mudah terbaca dengan langsung. Namun, ada pula yang mengkritik dengan sindirian. Umumnya, gaya yang kedua inilah yang banyak digunakan oleh pengarang.
Apa yang dapat dilihat dari Tradisi Telur Merah Sanie B Kuncoro menunjukkan hal demikian. Cerpen itu mengulas persoalan budaya, soal tradisi. Ada semangat multikulturalisme yang ditunjukkan oleh pengarangnya. Kisahnya hanya soal sederhana, yakni soal ponakan yang bertanya tentang sejarah masa lalu sang ibu, saudara bibinya itu. Bertanya tentang sang ibu yang melahirkan tokoh perempuan dalam cerita. Ternyata, sang tokoh perempuan lahir di dunia dengan penuh usaha sang orang tuanya. Dan ketika tokoh perempuan itu mulai pandai berlari, dia diminta oleh seseorang. “Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya.”
Nilai budaya yang diangkat dalam cerpen yang dimuat Kompas, 27 Maret 2011, sangat jelas, yakni tradisi telur merah itu sendiri. Hal itu disebutkan dengan baik melalui teks berikut. “Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah.” Apa yang ditunjukkan oleh kutipan di atas membeirikan pengetahuan tentang tradisi telur merah kepada pembaca. Pembaca yang tidak tahu tentang tradisi itu, dapat mengetahui apa dan bagaimana perayaan tradisi khas Tionghoa itu dilakukan.
Namun, seperti yang telah diungkapkan di atas. Setiap eksplorasi selalu akan menghadirkan persoalan juga. Tradisi Telur Merah juga begitu. Cerpen tersebut tidak sekadar memberikan informasi mengenai perayaan hari kelahiran, namun juga persoalan yang menyebabkan adanya tradisi telur merah. Ternyata, tradisi itu bukan sekadar tradisi yang dilakukan dengan senyum lebar. Ternyata, memiliki anak pada sebagaian orang bukan perkara gampang. Bukan perkara mudah. Akan tetapi sebuah soal yang kerap dipertukarkan. Sebuah usaha yang berat untuk mendapatkannya. Di sinilah soal itu ditekankan. Bahwa kelahiran, kesenangan tidak selamaya akan membawa bahagia, malah sebaliknya, kematian, kesengsaraan.***
Eva Dwi Kurniawan
0 comments:
Post a Comment