Memahi Dasar-Dasar Sastra
Dalam buku ini, masalah teks sastra paling banyak mendapat perhatian dari penulisnya. Hal ini karena karya sastra merupakan karya seni yang bermediumkan bahasa. sedang bahasa sastra tulis tidak akan mungkin pernah terlepas dari teks. Maka tak mengherankan jika ketiga penulis memberikan perhatian yang lebih intens kepada masalah teks. Yang dimaksud dengan teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan suatu kesatuan (hal:86). Teks yang dikaji meliputi teks puisi, drama, dan naratif.
Sebelum memasuki pembahasan tentang teks, pembaca dihadapkan pada masalah dasar tentang sastra. Bagaimanakah pandangan-pandangan para filsuf terhadap sastra pada era yunani kuno hingga pandangan masyarakat modern saat ini tentang ssatra. Kita dapat mengetahui alasan dari pendapat Plato yang menganggap bahwa sastrawan tidak akan lebih berguna dari tukang kayu menjadi tumbang oleh pendapat muridnya. Menurut Plato maka tukang-tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu (hal:16). Dan lewat buku ini pula kita bisa mengetahu bahwa pendapat Plato itu mendapat sanggahan.
Aristoteles, sebagai murid Plato menyanggah pendapat gurunya itu. Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain; dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tak dapat dilepas dari obyek itu (hal:17).
Lebih lanjut lagi dituliskan dalam buku ini bahwa: bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupkan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis, penyair menciptakaan kembalikenyatan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada “ (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, kenyakinan, cita-cita) (hal:17).
Tentang kefiksian sebuah karya sastra, dalam buku ini juga sempat disinggung. Poin yang lebih fokus dijabarkan dalam masalah cerita rekaan dalam buku ini terletak pada masalah fokalisator. Hubungan antara unsur-unsur peristiwa dan visi yang disajikan kepada kita disebut fokalisasi (fokus=kacah perhatian). Fokalisasi merupakan obyek langsung bagi teks naratif (hal:131). Yang dimaksudkan dengan teks-teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa (hal:119). Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang termasuk jenis naratif tidak hanya sastra, melainkan juga setiap bentuk warta berita, laporan dalam surat kabar atau lewat televisi, berita acara, sas-sus, dan sebagainya (hal:119).
Sayangnya, untuk memahami buku ini sangat sulit bagi pemula yang suka sastra. Pasalnya buku terjemahan ini seakan langsung menerjemahkan begitu saja ke dalam bahasa indonesia. Tanpa melihat proses gramatikal dan semantik tata bahasa Indonesia.***
Eva Dwi Kurniawan
0 comments:
Post a Comment