(Turut Melepaskan Seniman Besar Tanah Air & Bangsa: Asrul Sani)
Mengapa Asrul bisa membuat kehidupan dan kematiannya indah? Jika memperhatikan lika-liku jalan kesenimanannya, maka kudapatkan jawabannya pada kenyataan bahwa Asrul merupakan seniman-pemikir yang selalu mencoba mencari jawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan zaman kepadanya. Asrul adalah seorang penanya dan pemimpi besar. Mimpi yang dibangunnya dengan membuka diri di hadapan dunia sehingga memungkinkan rupa-rupa acuan masuk leluasa memperkaya khazanah pengetahuannya. Kemudian ia menyusun dan membangun rumah mimpinya.
Berangkat dari rumah mimpi inilah, Asrul mencoba menjawab segala pertanyaan zaman yang tak pernah henti mengusik dan menggelitik. Jawaban-jawaban yang antara lain ia tuangkan dalam sanjak, esai dan rupa-rupa bentuk karya seni. Jalan pemimpi tentulah jalan sunyi dan bukanlah jalan lurus dan bertabur bunga, tapi justru lika-liku dan pergulatan ini pula yang menguji.
Mimpi bukanlah untuk mimpi. Mimpi seorang pemikir dan seniman sesungguhnya adalah mimpi untuk mewujudkan dunia baru yang manusiawi. Dengan segala kemampuan, Asrul dalam waktu hidup 76 tahun mencoba mewujudkan mimpinya jadi kenyataan dengan tidak menabukan bidang apa pun, termasuk berorganisasi dan berpolitik. Kegiatan berorganisasi dan berpolitik Asrul menunjukkan bahwa ia melihat jelas hubungan antarmimpi, sastra-seni, organisasi dan politik tanpa merumuskan dengan jelas misalnya ”politik sebagai panglima” dan sebagainya. Tapi, berangkat dari rumah mimpinya, ia praktikkan filsafat budaya dan politik. Jadi, tidak mengherankan jika ia melakukan politik praktis dengan menerima kedudukan sebagai anggota DPR dari tahun 1966 sampai 1982.
Jelas, Asrul bukanlah seniman-pemikir yang hanya bergelut dengan buku-buku di menara gadingnya. Terhadap mimpi dan jalan untuk mewujudkannya, orang bisa setuju atau tidak setuju, orang bisa sepakat atau menolak bahkan mengutuknya. Namun, Asrul sudah memberikan pilihannya. Pilihan ini menjadi sangat penting dalam tatanan masyarakat yang bhinneka sehingga memungkinkan dialog ide untuk mencapai jalan yang bisa ditempuh bersama dengan tenggang-menenggang terhadap hal-hal belum bisa disamakan. Kebhinnekaan akan sirna jika dialog ide tidak dimungkinkan. Dialog ide akan jadi omong kosong jika tidak disertai dengan rupa-rupa tawaran konsep dan diberlakukannya pikiran tunggal (pensée unique).
Dialog pun akan jadi pensée unique terselubung dengan meniadakan ruang bagi kebenaran pihak lain dan mengurung diri di satu ruang sempit berwarna hitam-putih. Dunia pensée unique dan kebhinekaan tidak pernah bisa mendamaikan diri. Agaknya sejarah selalu memperlihatkan diri bahwa cepat atau lambat akhirnya dunia pensée akan diruntuhkan oleh hakikat kemanusiaan. Dibandingkan dengan masa pemerintah Orde Baru Soeharto, boleh jadi periode tertentu pada pemerintah Soekarno memungkinkan kita melakukan dialog ide yang hidup dan cepat menumbuhkan pendewasaan pikiran.
Asrul dan Angkatannya
Asrul dan Angkatannya, aku kira justru tumbuh dan membesar dalam dialog ide ini. Antologi puisi tiga sekawan Chairil-Asrul-Apin Tiga Menguak Takdir (1950), bisa dipandang sebagai ”kuakan” terhadap pendapat-pendapat Angkatan Takdir Alisjahbana (Pujangga Baru). Sementara itu, ”Surat Kepercayaan Gelanggang” adalah jawaban terhadap kenyataan yang dihadapi oleh bangsa dan tanah air pada saat Republik Indonesia yang masih muda berada dalam keadaan gawat. Jawaban lain diberikan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang juga berdiri pada Agustus 1950 melalui Mukadimah-nya.
Dua jawaban dua arah yang membuka dialog ide yang serius. Dialog ini di mana Asrul turut
aktif bahkan menjadi salah seorang penggagas ”Surat Kepercayaan Gelanggang” mengajak seluruh anak bangsa berpikir dan memilih jalan. Dialog yang dimunculkan oleh keadaan memungkinkan kita untuk mencari jalan bersama. Tentu saja Republik dengan nilai-nilai republikennya menetapkan konsepnya sendiri yang tentu saja tidak akan memilih konsep yang melikuidasi diri secara sukarela. Dialog ide tidak bisa lepas dari kepentingan politik. Dan dialog kebudayaan merupakan bagian dari dialog ide.
Di antara ide-ide itu, tentu ada yang tidak tanggap terhadap nilai-nilai republiken pada zamannya. Dialog memungkinkan kita menemukan jalan bersama, sanggup hidup dalam perbedaan. Boleh jadi inilah salah satu kebesaran Asrul dan Angkatannya. Sikap terbuka Asrul jelas-jelas tampak dari ”Surat Kepercayaan Gelanggang” yang antara lain mengatakan:”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri....”. Bagaimana mungkin jadi ”ahli waris” kalau bersikap tertutup. ”Kebudayaan dunia” yang bagaimana yang akan diteruskan adalah masalah lain. Karena kebudayaan dunia pun bermacam-macam. Ini pun satu masalah polemis. Hanya yang paling pokok di sini adalah adanya sikap terbuka untuk dialog ide. Dan memang dialog ide pada masa Asrul dan Angkatannya sangat hidup. Polemik antara Harian Rakjat dan Harian Merdeka tentang Gerakan Aksi Sepihak, kukira merupakan contoh polemik bermutu yang jarang terjadi di negeri ini.
Lepas dari persetujuan dan penolakan, adanya gagasan-gagasan demikian dalam sejarah bangsa Indonesia merupakan satu kekayaan ide dan konsep budaya negeri ini. Manifes Kebudayaan pun, lepas dari kita setujui atau tidak, adalah salah satu kekayaan milik bangsa dan negeri. Republiken tidaknya konsep yang dibawanya adalah soal lain yang bisa diperdebatkan. Bisa tidaknya kita menghormati para penggagas konsep budaya merupakan petunjuk bisa tidaknya kita menghargai kebudayaan sendiri dan eksistensi sebagai bangsa. Satu contoh yang mencolok adalah bagaimana Prancis tetap memberikan penghargaan kepada Celine, penulis roman dan pemikir yang sangat menyokong ide fasisme. Tapi Celine sebagai budayawan tetap diakui kalangan sastrawan dan tetap dicatat dalam sejarah sastra Prancis. Dianggap sebagai milik Prancis sekalipun ide Celine bertentangan dengan ide-ide republiken: liberté, égalité dan fraternité (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan). Tentu saja Celine tidak dinilai sebagai sastrawan-pemikir Republik tapi salah seorang sastrawan-pemikir Prancis. Di negeri kita, sayangnya kemampuan menghargai budayawan dan sastrawan masih minim apalagi jika sudah berbeda pandang. Jangankan menghargai, para sastrawan-seniman dan budayawan tidak sedikit yang dihadapi dengan penglikuidasian fisik, pemenjaraan, pembuangan dan dibatasi dengan rupa-rupa larangan.
Sadar atau tidak sadar cara-cara kekerasan menghadapi perbedaan ide demikian, sebenarnya merupakan lanjutan logis dari pensée unique yang bertolakbelakang dengan kebhinnekaan
Asrul dan Karya-Karyanya
Untuk memahami karya-karyanya, kukira patut disimak cermat filsafat politik dan budaya Asrul. Karena boleh jadi segalanya bermula dari filsafat politik dan budaya yang kusebut rumah mimpi Asrul. Bidang-bidang yang dia kecimpungi tidak lain merupakan pernyataan dan usaha nyatanya mewujudkan filsafat politik dan budaya tersebut karena Asrul selain pemimpi, ia juga seorang praktisi-pencinta kemanusiaan yang tidak memisahkan ide dan praktik. Dari memahami isi rumah mimpi Asrul lalu bisa direntangkan deretan panjang segala kegiatan dan karya-karyanya di berbagai bidang. Kegiatan-kegiatan dan karya-karya Asrul tidak lain dari terjemahan nyata isi rumah mimpinya.
Yang menarik dan patut diteladani adalah dalam berkarya Asrul selalu menuangkan isi rumah mimpinya ke tingkat artistik yang tinggi. Sejak puisi-puisinya dalam ”Tiga Menguak Takdir” sampai karya-karya terakhir, Asrul selalu mencoba mencapai taraf artistik yang maksimal dan mengelak kemungkinan merosot ke taraf slogan atau propaganda mentah. Ini pun tampak dari karya-karya filmnya yang kemudian mendapat penghargaan nasional dan internasional.
Misalnya diberikannya Bintang Mahaputera Utama dan perolehan piala Golden Harvest dalam Festival Film Asia tahun 1970 untuk Apa Yang Kau Cari Palupi. Sejak film pertamanya Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959), ia kemudian menghasilkan sekitar 12 film dan menulis lebih dari 50 skenario film bioskop, televisi dan panggung. Ada di antara skenario ini yang belum dipublikasikan. Kuantitas dan kualitas karyanya di bidang perfilman, panggung dan televisi saja memperlihatkan tingkat tak terbantah bahwa Asrul adalah seorang seniman besar bangsa, merupakan kekayaan dan salah seorang pembangun budaya bangsa ini. Kenyataan ini diperkuat oleh bagaimana kegiatan Asrul membentuk barisan penerus sastra-seni yang berwawasan melalui membangun ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Salah seorang anak asuhnya adalah dramawan N. Riantiarno. Saban Asrul memberi kuliah, ruangan selalu ramai mahasiswa yang ingin mendengar kuliah Asrul.
Soalnya, mereka ingin mendengar ungkapan-ungkapan Asrul yang disampaikan dalam bahasa Indonesia yang sangat bagus, ujar Riantiarno dalam mengenang sang guru. Begitu pula dalam penulisan skenario, yang disebut Riantiarno ”sangat bagus, sampai sulit di-breakout”.
Dalam konteks membangun barisan sastrawan-seniman penerus ini, Asrul juga telah menemukan dan mengangkat penyair-dramawan Rendra. Mengenang sang penemunya Rendra berkata: Asrul Sani sebagai seorang penyair dan esais yang menonjol. Dia mengaku bahwa Asrul Sani-lah yang ”menemukannya”. Kata Rendra, ”Saya masih kelas II SMA. Asrul memuat sajak saya di lembaran ‘Gelanggang’ dari majalah Siasat. Baru setelah itu tokoh seperti HB Jassin tertarik pada sajak saya.” Sajak-sajak pertama Rendra yang dimuat di Gelanggang antara lain ”Telegram Tiba Senja”, ”Gerilya”, ”Balada Petualang”, ”Balada Kasan”, dan ”Fatima”. (Lihat: Kompas, Jakarta, 13 Januari 2004).
Asrul melakukan semua ini dengan kesadaran. Sadar pula bahwa ia cepat atau lambat akan pergi. Karena itu ia menyiapkan tenaga baru agar rumah mimpinya tetap berpenghuni dan melanjutkan pelaksanaan mimpi yang tak sempat ditunai, yakin pula bahwa penghuni rumah mimpinya akan memberi pengayaan. Kesadaran akan pentingnya membangun barisan sastrawan-seniman penerus ini menunjukkan pula bahwa Asrul tahu pekerjaannya belum selesai, ”belum apa-apa”.
Asrul ”memburu arti”
Meninggalnya Asrul berarti Indonesia kehilangan seorang besar dalam bidang sastra-seni dan pemikiran. Baris-baris ini adalah salam hormat penghabisan kepada Asrul yang telah mengisi hidup 76 tahunnya dengan ”arti” sehingga membuat kematian jadi indah. Tapi kematian ini pula yang oleh Chairil Anwar bermakna: ”… adalah karena kesementaraan segala yang mencap tiap benda, lagi pula terasa matikan datang merusak” (dari: Chairil Anwar, ”Kepada Pelukis Affandi”, dalam: Deru Campur Debu, Dian Rakyat, Jakarta, 1993, hlm. 31).
Benarkah kematian merusak mimpi? Penghuni baru rumah mimpilah yang paling bisa menjawabnya. Indonesia pun menanyakan para penghuni baru itu, sedang Asrul telah pergi! Akankah kepergian Asrul juga tanda kepergian kebhinnekaan dan berkuasanya kembali pensée unique yang membuat Indonesia merupakan rumah mimpi yang kosong dan lengang?!
Paris, Januari 2004.
JJ Kusni, Sinar Harapan, 2004