G O D L O B
Karya Danarto
Dinaskahkan Uje Lelono
Karya Danarto
Dinaskahkan Uje Lelono
SEBUAH PEMANDANGAN CARUT MARUT DI TENGAH-TENGAH SISA PEPERANGAN, SEORANG LELAKI TUA MENGIBAS-NGIBASKAN BAJUNYA UNTUK MENGUSIR BURUNG-BURUNG GAGAK.
1. LELAKI TUA
(membentak) Bangsat! Sinting! Kau kira, kami ini bangkai, hah?! Pergi!!! (mendekat kepada seseorang yang masih bergerak) Anakku. (memapah ke arah gerobak) Kau lihat… kau lihat, baru sekarang aku takjub atas pemandangan ini.
2. LELAKI MUDA
(mengeliat dan mengaduh karena sakit) Ayah, cukuplah. (merebahkan badan) Bukankah aku kemarin juga seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan diriku?
3. LELAKI TUA
Yah, seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan kau. Berhari-hari tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung gagak yang mengerumunimu karena mengira kau sudah jadi bangkai. Hidungmu yang mewarisi hidung ibumu itu sudah kebal untuk bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu Dan, udara mengantarkan kuman-kuman untuk mengunyah sedikit demi sedikit luka yang parah itu.
4. LELAKI MUDA
(mengerang) Ayah, cukuplah.
5. LELAKI TUA
(mendekat) Kau masih ingat sajak Sang Politikus?
1. LELAKI TUA
(membentak) Bangsat! Sinting! Kau kira, kami ini bangkai, hah?! Pergi!!! (mendekat kepada seseorang yang masih bergerak) Anakku. (memapah ke arah gerobak) Kau lihat… kau lihat, baru sekarang aku takjub atas pemandangan ini.
2. LELAKI MUDA
(mengeliat dan mengaduh karena sakit) Ayah, cukuplah. (merebahkan badan) Bukankah aku kemarin juga seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan diriku?
3. LELAKI TUA
Yah, seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan kau. Berhari-hari tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung gagak yang mengerumunimu karena mengira kau sudah jadi bangkai. Hidungmu yang mewarisi hidung ibumu itu sudah kebal untuk bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu Dan, udara mengantarkan kuman-kuman untuk mengunyah sedikit demi sedikit luka yang parah itu.
4. LELAKI MUDA
(mengerang) Ayah, cukuplah.
5. LELAKI TUA
(mendekat) Kau masih ingat sajak Sang Politikus?
6. LELAKI MUDA
(tak menjawab)
7. LELAKI TUA
(berdiri dan merentangkan tangannya)
Oh, bunga penyebar bangkai
Di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi
(termangu kemudian tertawa) Sajak itu cukup baik, cukup bermutu bukan? Anakku, kau tahu bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dengan seorang penyair? (mengamati sekeliling) Kalau ada seseorang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu hingga orang itu berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang kepada seorang penuair, luka itu akan dielus-elusnya hingga orang itu merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Jadi, tak seorangpun dari kedua macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka itu. Bagaimana pendapatmu, Anakku?
8. LELAKI MUDA
(mengeluh) Ayah, cukuplah.
LELAKI TUA KEMBALI MENGIBAS-NGIBASKAN BAJUNYA UNTUK MENGUSIR BURUNG-BURUNG GAGAK
9. LELAKI TUA
(membentak) Bangsat, kamu sinting! (melemparkan kaleng) Kau kira kami ini bangkai, hah?! (mendekati anaknya) Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum kenyang. Kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi, apakah besok matahari sanggup menembusnya. Siang berganti siang, malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin… rutin.
10. LELAKI MUDA
(menngangkat tubuhnya) Ayah, cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun keadaan rutin…, rutin belaka. Semuanya sudah ada yang mengatur. Tanpa kuminta dan di luar pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan ayah (berhenti karena nafasnya tersenggal-senggal). Aku anak bungsu. Kenapa tidak meminta anak sulung? Aku kagum kepada tentara? Aku ingin memasukinya, aku dilarang. Perang pecah dan membawaku ke sana. Sekarang aku luka parah, mungkin bisa hidup terus, mungkin sebentar nanti mati. Tapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia percaya kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorongnya untuk mengorbankan segala-segalanya, harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.
11. LELAKI TUA
Ya, manusia yang mulia di mata Tuhan
12. LELAKI MUDA
Ayah, kenapa aku tak memilih lapangan yang lain? Seandainya pilihanku itu suatu bencana bagiku, sang nasiblah yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang juga.
13. LELAKI TUA
Apa yang ada ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalau sesuatu meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya. Satu centi meleset mengakibatkan melesetnya seratus centi yang lain. Sebagaimana perang ini terjadi, umpamanya. Bukankah begitu, Anakku? Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas yang mengakibatkan, puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki betul-betul. Mungkin perkara sepuluh persen komisi atau membela celana kolor yang cengeng. Atau kebenaran tentang bibir perempuan.
14. LELAKI MUDA
(menahan sakit) Ayah, cukuplah. Mungkin. Seratus satu kemungknan. Tetapi seseuatau yang sudah menjadi bubur, tidak guna disesali. Yang terang, aku sudah bekerja sebaik-baiknya. O, nasibku…!
15. LELAKI TUA
Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkanku bicara, sehingga tidak cukup sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anakku kepada Sang Politikus dan tidak ada seseuatu apapun yang kuterima. Sekarang ia merenggut anakku yang terakhir dan nyawa yang paling kusayangi, kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk kebenaran macam apakah menghalalkan itu semuanya? Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi….
16. LELAKI MUDA
Ayah, cukuplah! Cukuplah!
17. LELAKI TUA
Belum cukup! Aku harus memutuskan seseuatu yang hebat, biar aku tidak dirugikan habis-habisan! Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Saking gelapnya hampir-hampir aku tak bisa melihat tubuhku sendiri. Tak ada setitik cahaya pun. Florence Nightngale telah digondol gagak-gagak. Lembah kebenaran telah diganti padang kurus kesangsian. Kau lihat di sana, katedral telah di sapu habis rata dengan tanah dan sekarang ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana masjid digerayangi cacing-cacing dan ulat-ulat. Kau lihat di sana, perawan-perawan telah disekap di kamar-kamar,. Kau lihat di sana, kursi-kursi pemerintahan sudah digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi, Anakku?
18. LELAKI MUDA
Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul menyusul, kita telah mampu menyumbangkan tenaga kita.
19. LELAKI TUA
Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus memutuskan seseuatu yang hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan. Anakku, aku minta sumbanganmu? (diam) Lukamu cukup parah, bukan?
20. LELAKI MUDA
Aku tidak tahu ….
21. LELAKI TUA
Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari pagi hingga petang atau dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-kalau suaminya, saudaranya, anaknya, kawannya, pulang dari pertempuran. Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa yang terjadi sesungguhnya di padang gundul ini! Ibumu akan menyambutmu, juga kawan-kawanmu, juga para tetangga. Engkau sejenak akan dikagumi untuk kemudian dilupakan selama-lamanya.
22. LELAKI MUDA
(gelisah) Ayah! Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua kejadian ini?
23. LELAKI TUA
Tidak! Aku tidak melihatnya, sebab di situ memang tidak ada apa-apanya! (diam) Supaya aku tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit baik, aku minta seumbanganmu.
24. LELAKI MUDA
(terkejut) Apa maksud Ayah sebenarnya?
25. LELAKI TUA
Anakku. Aku ingin engkau menjadi pahlawan.
26. LELAKI MUDA
(tercengang) Ayah??? Ayah ingin aku jadi pahlawan?
27. LELAKI TUA
Begitu bukan sajak Sang Politikus?
Oh, bunga penyebar bangkai
di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi
Betapa lezatnya sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunuhan dalam sajak itu?
28. LELAKI MUDA
(gelisah) Ayah???
29. LELAKI TUA
(mendekat) Anakku, maafkan Ayahmu. Kau harus kubunuh!
30. LELAKI MUDA
(marah) Ayah! Dengan demikian Ayah hendak menjadikanku pahlawan? Ayah menghalalkan? Aku dan Ayah adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah diatur oleh orang lain!
31. LELAKI TUA
Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!
32. LELAKI MUDA
Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!
33. LELAKI TUA
Tidak selalu! Sekali-sekali Ia boleh menyeleweng!
34. LELAKI MUDA
Ayah!!!
35. LELAKI TUA
Anakku!!! (menggapai dan menarik kepala anaknya)
36. LELAKI MUDA
Ayah….
37. LELAKI TUA
Anakku…. (mencekik leher anaknya).
TEMBANG GUGUR BUNGA MENGGEMA DAN TANGISAN TELAH MENGIRINGI KEPERGIAN SEORANG PAHLAWAN. TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN MEMBOPONG MAYAT DI DEPAN BALAI KOTA, HINGGA SUASANA MENJADI HIRUK PIKUK.
38. PENDUDUK
(saling berceloteh) Siapakah wanita aneh itu? Tidak jijikkah ia? Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar? Mayat pahlawan kemarin? Ya…, betul! Digali lagikah ia?
39. PEREMPUAN
(dengan menangis) Anakku, mengapa engkau harus mengalami nasib seperti ini? Aku, sebagai ibumu, tak terima atas perlakuan ini semua. Aku protes atas kesewenang-wenangan yang menimpamu!
40. PENDUDUK
(saling berceloteh)Ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi yang membopong itu ibunya sendiri? Mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?
41. PEREMPUAN
(menunjuk seseorang lelaki yang datang) Ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraikan. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang dengan membawa tipuan-tipuan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Aku tahu tabiat anak-anakku. Dialah! (mendekati) Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia menipu kita!
42. LELAKI TUA
(menunjuk seseorang pembesar yang datang) Sebaliknya, aku kena tipu oleh mereka! (yang ditunjuk berhenti) Kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada sesuatu pun yang kudapatkan!
43. PEMBESAR
(lantang) Pengkhianaaat!!!
44. LELAKI TUA
Menurut huklum yang bagaimanakah seseorang berhak menyebut orang lain pengkhianat atau pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya. Dalam sekejap mata mayat ini diangkat menjadi pahlawan. Aku sudah mengira, aku sudah menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pingkal melihatnya!
45. PEMBESAR
Dengan berpijak pada nilai-nilai objektip, tidak akan ada tipuan-tipuan.
46. LELAKI TUA
Adakah nilai-nilai objektip? Semuanya adalah subjektip
47. PEMBESAR
Apa yang kau harapkan sekarang?
48.LELAKI TUA
Apa yang bisa aku harapkan dari kalian? (memandang sekeliling dan menatapi wajah demi wajah). Kalian orang-orang kecil, sekali-sekali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga berbicara tentang perang! Lihatlah, Sang politikus! Ia bicara tentang negara, tentang kebun binatang, tentang perempuan, tentang ekonomi, tentang sajak. Semuanya sudah diborongnya. Lantas kita disuruh bicara tentang apa?
49. PEREMPUAN
(menggeliat) Oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja! (mencabut pistol)
SEBUAH TEMBAKAN MEROBOHKAN LELAKI TUA. PERLAHAN PEREMPUAN, PENEMBAK, BERJONGKOK DI HADAPANNYA DENGAN AIR MATANYA MELELEH.
50. LELAKI TUA
(mengeliat dan menoleh) Perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu. (meraih mayat anaknya dan jatuh mati)
51. PEREMPUAN
(berdiri dengan wajah termangu memandang ke atas) Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.
SUASANA HENING, SEMUANYA TERPAKU DI TEMPATNYA.