Percakapan-Percakapan yang Tak Selesai
Cerpen Marhalim Zaini
GELAP bangkit seperti kelelawar raksasa yang merentangkan sayap di atas kampung ini. Agaknya, malam di mana-mana, selalu menanggungkan kecemasan yang tak mudah diuraikan. Terasa berat, memekat, misterius, itulah hitam. Kalaupun ada gangguan kosmis yang secara tak disangka-sangka bersilang sengkarut di depan mata telanjang kita, apalagi di belakang punggung kita, tak ada yang bisa diperbuat selain diam. Membiarkan ia lewat, atau kalaupun singgah sebagai hantu jembalang, cukuplah kita berkomat-kamit melafazkan beberapa baris ayat, memberi dinding bagi tubuh kita yang rumpang. Apa sesungguhnya yang paling kita takutkan dari hidup yang tak seberapa lama ini? Kampung yang telah lama mati suri ini, hutan-hutan yang kian meninggi dan berbiak dengan rambut daunnya yang kacau, akan menyembunyikan dari mata langit tentang apa pun yang sedang bernapas di bawahnya. Orang-orang adalah makhluk yang kadang ada sebagai sebuah kenyataan yang ganjil, dan kadang tiada dalam bayang-bayang aneh tentang masa lalu, juga masa depan. Masa kini, adalah dunia yang pikun, bahkan tanpa ingatan. Jadi, seraplah kolase waktu yang bergerak kadang cepat, terlampau cepat, kadang lambat, terlampau lambat, kadang malah bagai bandul jam yang ke sana kemari dalam kebimbangan yang konstan. Atau, kita melihatnya hanya sebagai sebentuk benda mati yang bergoyang, dan tak mampu lagi mencatat suhu tubuh dalam musim apa pun.
***
Kolase 1:TAK jauh dari kampung ini, di ujung pelabuhan internasional yang ambisius, yang tersadai di tepi pantai yang dangkal, sebuah mobil menghadap ke selat besar sedang menyembunyikan sepasang manusia yang memadu kasih di dalam tubuhnya. Mobil itu bergoyang seperti sedang berjoget mengikuti irama empasan ombak yang gusar. Angin bernapas tersengal-sengal dalam gelap malam yang menyungkup. Apakah sepasang manusia itu sedang berbahagia? Sedang tak berpikir tentang apa pun selain kenikmatan? Siapakah mereka? Apakah mereka anak seorang pejabat? Atau anak seorang guru, anak ustaz, anak bandit, anak para koruptor, anak penegak hukum, dan anak siapa pun? Tidak. Tak ada status atau identitas untuk sebuah kenikmatan, bukan? Ia serupa pakaian yang kapan pun bisa dilepaskan, dan diganti dengan pakaian yang lain, atau malah tak berpakaian sekalipun. Telanjang kadang membuat orang lebih bebas untuk membiarkan rasa malunya bergerak dalam wujudnya yang natural. Jadi untuk apa memelihara rasa malu? Bukankah, kedua insan ini memang sedang berkuasa atas tubuhnya sendiri ketika mereka memilih untuk telanjang? Atau mereka sedang saling menguasai atas yang lain?
Tapi mari kita dengarkan cuplikan percakapan mereka sehabis pergumulan:
“Kita baru saja selesai berperang.”
“Apakah kita sama kuatnya?”
“Tidak tahu. Mungkin ya.”
“Bukankah Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB 1967 menyatakan: Semua manusia dilahirkan bebas dan sederajat?”
“Tapi itu kan pernyataan tentang prinsip moral? Bukan tentang fakta empiris!”
“Berarti kita berbeda?”
“Ya, jelas. Para ilmuwan banyak yang bilang, bahwa perbedaan-perbedaan biologis-genetik, hormonal, juga menentukan perbedaan gender dalam tingkah laku, pikiran, agresi, pola-pola seksual, dan semua aktivitas manusia! Dan secara lebih riil, lihat saja pakaianmu pakaianku, tata riasmu, gaya rambutmu, bentuk tubuhmu, jelas ada simbolisasi yang bertentangan.”
“Tapi gender bukan sekadar biologis kan?”
“….”
“Bisa sosial, kultural, ekonomi, historis, dan lain-lain!”
“Ya, tapi semuanya relatif.”
“Aku setuju sama Aristoteles dalam satu hal, pria dan wanita itu berlawanan, tapi bukan sebagai spesies yang berbeda. Mereka memang berbeda dalam tubuh, tapi tidak dalam substansi.”
“Tapi kau jangan lupa, ketika Aristoteles bicara dalam konteks politik, ia bahkan menyimpulkan begini, laki-laki itu pada hakikatnya lebih unggul dan wanita lemah: yang satu memerintah, yang lain diperintah….”
“Ah, itu kan ego lelakinya Aristoteles yang bilang….”
“Kau ini!”
“Kau juga!”
“Melawan ya?”
“Kita kan memang sedang perang?”
“Dasar, perempuan!”
“Dasar laki-laki!”
“Kita putus!”
“Ya, sudah, putus saja….”
***
Kolase 2:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, di sebuah rumah panggung yang renta, seorang lelaki tua sedang mengasah pisau sadap karet. Matanya tiba-tiba berlinangan air mata, dan air mata itu jatuh satu-satu di atas batu asah. Kenapa ia menangis. Kalau ditanya pada semua orang di seluruh dunia ini pun, tak kan tahu apa penyebabnya. Sebab dia sendiri pun tak tahu kenapa setiap kali dia mengasah pisau sadap karet ini, air matanya leleh. Apakah Tuhan tahu? Setiap orang ber-Tuhan pasti bilang, bahwa tak ada sesuatu pun yang tersembunyi di mata Tuhan. Tapi siapakah yang tahu bahwa Tuhan itu tahu tentang sejarah air mata seorang lelaki tua sebatang kara? Ya, mungkin sebatang kara-lah yang membuat lelaki tua ini tak malu menangis setiap malam, setiap kali ia mengasah pisau sadap karet, karena tak kan ada yang melihat ia menangis, bukan? Dan kenapa pula sebatang kara? Karena itu pilihan hidup. Bukankah setiap orang berhak memilih pilihan hidupnya sendiri, meski kemudian harus menyesali dan menangisinya sendiri? Yang pasti lelaki tua ini memang sedang berkuasa atas kesedihannya sendiri, atas air matanya sendiri, sebab memang hanya itu yang sekarang ia miliki. Apakah menjadi miskin adalah juga pilihan?
Tapi ada baiknya kita simak percakapan lelaki tua ini dengan air matanya:
“Kenapa kau menetes lagi?”
“Biar kau tak sepi. Aku kan sahabatmu….”
“Tapi aku akan jadi orang tua yang cengeng.”
“Tidak semua menangis itu cengeng. Nyatanya kau kuat selama ini. Sekian puluh tahun ditinggal anak istri, tak punya harta benda, kau tetap bisa hidup.”
“Hidup dengan air mata?”
“Kau malu punya sahabat macam aku ya?”
“Tak hanya aku, semua orang akan malu….”
“Kenapa?”
“Tak usahlah tanya-tanya. Lebih baik kau diam saja!”
“Kau egois!”
“Diamlah!”
“Apa karena kau merasa berkuasa atas aku?”
“Diam!”
“Kalau aku pergi bagaimana?”
“Pergilah!”
“Kau tak menyesal, kalau nanti kau tak lagi punya air mata?”
“Air mata tak berguna!”
“Kalau kau tak bisa menangis lagi baru tahu!”
“Aku benci menangis!”
“Ya, sudah, aku pergi….”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiii!”
“Tapi ingat, jangan bunuh diri ya!”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!”
***
Kolase 3:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, seorang perempuan muda yang bunting sedang mendodoi anaknya berumur satu tahun setengah dalam buaian. Buaian itu terbuat dari kain sarung yang diikat dengan tali yang menggantung di kayu broti tengah rumah. Tak jauh darinya, tiga orang anaknya yang lain sedang terbaring terlentang melihat cahaya bulan dari lubang-lubang atap rumbia yang bocor. Setiap musim hujan tiba, anak-anaknya itu paling girang menampung air hujan yang menetes dari atap rumbia itu dengan besen. Bunyi air yang jatuh itu seperti bunyi tut-tut piano yang tak beraturan. Kadang mereka juga bernyanyi layaknya seorang biduan yang kehilangan panggung. Apa sesungguhnya yang sedang mereka pikirkan tentang hujan yang jatuh menetes dari lubang bocor atap rumahnya itu? Mungkin mereka ingin menjadi hujan yang dengan berani turun dari langit yang jauh. Atau mereka tak sedang memikirkan apa pun selain bermain dan bermain. Mereka memang sedang berkuasa dengan permainannya sendiri, dengan imajinasinya sendiri. Karena mereka memang punya dunianya sendiri. Tapi di manakah Ayah anak-anak ini? Pedulikah mereka ke mana Ayahnya pergi. Sang istri, perempuan yang bunting itu, agaknya pun sudah tak begitu peduli ke mana suaminya pergi malam-malam begini. Sebab siapa yang bisa berkuasa atas pilihan orang lain?
Mari kita ikuti percakapan tiga anak yang terbaring itu:
“Bintangnya banyak….”
“Tiap malam langit dipenuhi bintang….”
“Langit rumah kita….”
“Ya, di luar langit tak berbintang.”
“Berarti rumah kita indah?”
“Ya, seperti surga.”
“Kau pernah ke surga?”
“Pernah.”
“Kapan?”
“Ya sekarang ini.”
“Ini kan surga icak-icak.”
“Tak ada surga lagi di luar sana.”
“Ada.”
“Dalam mimpi.”
“Aku juga pernah bermimpi masuk surga, tapi tak seindah surga di rumah kita ini.”
“Surga dalam mimpi itu cuma sekejap. Tapi surga ini ada tiap malam.”
“Tapi surga itu tempat yang enak-enak kan? Makan enak, tidur enak, mainannya banyak, semua enak-enak. Tapi di rumah ini tak ada yang enak. Cuma ada bintang saja….”
“Ya, karena ini surga orang miskin.”
“Ah, tak enak ya surga orang miskin?”
“Ya, aku juga ingin masuk surga orang kaya….”
“Di mana?”
“Di rumah Tok Penghulu. Aku pernah ke sana, diajak sama anaknya, Ahmad.”
“Enak ya?”
“Enak sekali.”
“Kita ke sana yuk sekarang….”
“Ah, mana boleh sama Emak.”
“Coba kau yang bilang.”
“Mak, kami ke surga orang kaya ya….”
“Diaaaaaaaaam! Tidur kaliaaaaaaaaan!”
***
Kolase 4:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, di sebuah lokasi pengeboran minyak baru, sejumlah lelaki sedang beristirahat dalam tenda-tenda setelah seharian bekerja. Laki-laki dengan badannya yang tegap-tegap dan berwajah keras itu, sebagian masih duduk-duduk di atas batang pohon kelapa yang sengaja ditebang. Tanah yang sedang mereka bor ini, adalah tanah warga yang masih belum selesai perhitungan ganti ruginya. Belum selesai proses pembebasannya. Tapi pohon kelapa, juga karet, atau apapun yang berdiri di atas “tanah basah“ itu mereka babat habis. Orang-orang kampung yang merasa tersenggol tanahnya komplain. Tapi suaranya parau, serak, bahkan lenyap. Pengeboran pun berlanjut, warga pun tetap terus bersungut-sungut. Di sini, siapa yang paling berkuasa? Sebagian laki-laki lain tampak sedang membuat api unggun. Mereka sedang memanggang sesuatu. Bau panggangan itu demikian menyengat. Bahkan dalam radius seratus meter pun masih akan tercium aromanya. Bau apakah itu? Daging anjing. Ya, sebagian mereka gemar makan daging anjing, juga daging babi, bahkan daging monyet. Siapakah mereka? Tak tahu. Mereka sengaja didatangkan dari jauh, dari berbagai daerah. Bahasa mereka campur-campur. Sulit mendeteksinya. Sejak mereka datang di kampung ini, para Tionghoa atau Orang Asli yang gemar memelihara anjing merantainya di rumah. Sebagian orang sedang merasa berkuasa atas nyawa anjingnya. Orang lain merasa berkuasa atas selera makannya.
Mari coba kita curi dengar percakapan mereka yang sedang makan panggang anjing:
“Bah, baunya sedap sekali!”
“Yoi. Mantap betul!”
“Banyak juga anjing di kampung ini ya?”
“Anjing liar itu….”
“Aku juga nampak sarang babi di hutan karet sana!”
“Bah, mantaplah itu. Besok kita cincang dia!”
“Bisa gemuk aku di sini.”
“Tidak di sini pun, kau memang sudah gemuk.”
“Ada cewek tak ya di kampung ini?”
“Cewek banyaklah. Kau cari saja di rumah-rumah….”
“Ah, mampus aku kena bacok bapaknya!”
“Maksud kau cewek nganggur?”
“Iyalah….”
“Ah, mana ada kampung kecil begini ada tempat pelacuran?”
“Iya ya… tapi banyak yang miskin orang sini!”
“Apa hubungannya?”
“Ya, cari duitlah….”
“Kalau pun mereka mau tak mungkin di kampung sendiri. Bodoh kau!”
“Ah, makanya jangan makan anjing melulu, bisa jadi anjing kau!”
“Ah, munafik kau! Kalau ada cewek kau mau juga kan?”
“Sudahlah….”
“Tapi mana kuat aku, sebulan di sini tak begituan?”
“Ah, sudahlah… dasar anjing kau!”
“Kau juga!”
“Babi kau!”
“Kau juga!”
“Monyet kau!”
“Kau juga!”
“Binatang kaaaaaaaaaaau!” (*)
Suara Merdeka, 3 Oktober 2010