”Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak,” kata Sum kepada lakinya, Uncok.
”Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat?” bertanya suaminya.
”Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,” Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek.
”Ngerokok lagi,” tiba-tiba Sum sedikit membentak. ”Apa enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk tambahan beli roti.”
”Beli roti bagaimana?” Uncok gantian membentak. ”Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal…. Kamu itu mimpi….” Lakinya menegaskan.
Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. ”Rumah kita masih bocor,” kata Uncok lagi sambil mendongak. ”Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan rupiah. Edan kau itu!”
Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.
”Kurang beberapa hari lagi, Pak,” kata Sum memecah kesunyian.
”Apanya yang kurang beberapa hari lagi?” Uncok membentak. ”Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR… nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu….”
Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. ”Kita bisa naik bus Trans Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget.… Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.”
Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah.
Kemudian hujan pun rintik-rintik. ”Naaah, mau hujan,” kata lakinya. ”Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras….” Uncok memberi komando. Sum tenang saja.
”Biarkan tiris membasahi rumah,” kata Sum. ”Itu rezeki kita: air,” sahut Sum.
Uncok tak tahan. ”Kamu kok semakin edan,” lakinya membentak. Malam merambat larut. Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak.
***
Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya.
Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya.
”Berapa harganya, Bu?” tanya Sum.
”Tiga ratus lima puluh ribu,” jawabnya.
Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet. Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan bakar mesti dibeli sendiri.
Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia bakal senang. ”Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan ia senang menerima persembahan roti dari saya,” gumamnya lagi. ”Tuhan, saya butuh sekali bahagia dengan melihat si bocah bahagia.…”
”Di mana tokonya, Bu,” tanya Sum lagi.
”O, deket toko onderdil motor itu,” jawab Bu Somyang, ”Kamu mau beli?” tanyanya.
Sum mengangguk.
”Anakmu ulang tahun?” desak Bu Somyang.
”Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum.
”Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut?” Bu Somyang mendesak.
”Bukan, enggak,” jawab Sum.
”Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewah-mewah, kurang baik. Bisa tuman, ketagihan.”
Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan. Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja. Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan.
”Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi,” gumam Sum. ”Apa pun komentar orang aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-orang itu.”
Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung. Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi, Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab. ”Oooo, gitu…,” kata Sum, ”Lalu, enaknya gimana, ya?” Pak Karta tidak menjawab.
Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun, kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. ”Horeeeee! Dua tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu.” Hatinya bersorak-sorai….
Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya berkunang-kunang.
”Ada apa Bu, sakit?” tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali.
”Ibu mau beli roti?” desak pelayan toko.
”Ya,” jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk.
”Mau beli,” pelayan mendesak.
”Iyaa,” jawab Sum. Pelan sekali.
”Yang mana?”
Sum menuding tart mahal itu.
”Haaah?” Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum.
Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan.
”Tapi tidak sekarang,” Sum menegaskan.
”Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu?” Sum menggeleng.
”Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.”
Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar.
”Masih ada waktu,” gumamnya. ”Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera. Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang malaikat dan aku harus masuk neraka… ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya, mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu hujan. Di malam hujan,” gumamnya.
Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. ”Tapi kalau aku berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang mempermainkan orang.” Sum menunduk. ”Tuhan, biarkan saya percaya bisa membeli tart untuk si bocah.”
***
Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya, warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran.
Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia memanggilnya ke rumah.
”Kamu mau pesta apa pada natalan nanti.”
”Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart,” jawab Sum.
”Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu?” Bu Jentera kaget dan bertanya setengah mencecar. Tapi Sum tetap tenang.
”Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum.
”Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu?” Bu Jentera bertanya lagi.
”Enggak, bukan… dia anak baik-baik, sangat baik… cantik sekali, pandangan matanya menggetarkan,” jawab Sum.
”Ah, aku tak paham,” kata Bu Jentera.
Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum.
”Tapi baiklah,” kata Bu Jentera lagi, ”kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian,” sambungnya.
Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati.
”Nih, aku ngiur dua ratus ribu,” kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan, apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang rencana Sum.
”O, bagus, bagus,” kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku belakang.
”Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-rame. Nih, ada tambahan tiga ratus,” katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum.
Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya. Hujan pun turun, menderas.
”Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab Suci yang mana, teologinya apa….”
Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, menemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum tentang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat rokok.… Uncok, kemudian, mendekap istrinya.
”Selepas dari toko, pulang dulu,” kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba.
”Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah,” kata suaminya, ”Pulangnya mampir ke rumah dulu sebelum ke gereja.”
Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu.
”Tidak masuk akal,” kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya mengeluarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya.
Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster.
”Mereka memperkenankan aku memakai ini semua,” kata suaminya. Sum tak bisa berkata-kata apa-apa. Kegembiraan meluap.
”Taruhlah tart di sini,” kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. ”Nanti malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya. Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia…. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi ada senyum dan tawa meriah.”
Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri mencolek tart yang dibalut gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja.
Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa.
Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti bersinar… Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru dan bahagia….
Sumber: Kompas Minggu, 18 Desember 2011