Antara “GODLOB” Danarto dan “DAJAL” Mana Sukina
Maman S Mahayana
Membandingkan dua karya sastra atau lebih sedikitnya dua negara yang berbeda, dalam studi sastra, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan (comparative literature). Syaratnya antara lain adalah bahwa karya sastra yang akan diperbandingkan setidak-tidaknya mempunyai tiga perbedaan yang menyangkut perbedaan bahasa, wilayah, dan politik. Dari perbedaan inilah paling sedikit akan tersimpul bahwa perbedaan latar belakang sosial budaya (lokal, tradisi, dan pengaruh) yang melingkari diri masing-masing pengarang, akan tercermin pula dalam karyanya.
Membandingkan novel Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia, 1964) hasil terjemahan al-Manfaluthi daripada karya Alphonse Karr berjudul Sousles Tilleuls atau cerpen panjang al-Manfaluthi, Al-Yatim dengan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan Kabah (1938) karya Hamka misalnya, kendati unsur-unsurnya banyak mempunyai kesamaan, dalam hal yang menyangkut warna lokal Mesir (al-Manfaluthi) dan warna lokal Minangkabau (Hamka), tetap menjadi ciri khas yang membedakan karya-karya itu.
Hal yang sama juga akan tampak jika kita membandingkan naskah drama Kebun Tjeri (1972) karya Anton P. Chekov dan Bila Malam Bertambah Malam (1971) karya Putu Wijaya, atau kumpulan puisi Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol (1988) karya Otot p’Bitek, dan Pengakuan Pariyem (1931) karya Linus Suryadi. Tentulah masih banyak karya lain yang mempunyai kesamaan tema maupun unsur-unsur instrinsik lainnya. Karya-karya tersebut dalam beberapa hal mempunyai banyak kesamaan, namun kekhasan lokasi, tradisi, dan pengaruh yang melatarbelakangi karya-karya itu, sungguh merupakan ciri pembedanya yang juga khas.
Boleh jadi pengarang yang satu mempengaruhi pengarang yang lain, atau mungkin hanya sebatas mengilhami. Hamka, misalnya, secara jujur pernah menyatakan keterpengaruhannya kepada karya-karya al-Manfaluthi. Begitu juga Achdiat Karta Mihardja, saat dia merampungkan naskah Atheis-nya dia secara sadar mengubah susunan cerita novelnya itu manakala ia teringat pada Max Havelaar karya Multatuli. Hasilnya adalahAtheis yang terbit pada tahun 1948 itu.
Kasus serupa dapat pula kita jumpai pada novel Mahbub Djunaedi, Angin Musim (1986) yang boleh jadi diilhami oleh novel Animal Farm (1945) karya George Orwell. Hal yang sebelumnya terjadi pada diri Hassan Ibrahim (Malaysia), sehingga novelnya, Tikus Rahmat (1963) mempunyai kemiripan dengan novel Animal Farm. Jauh sebelum itu, Soseki Natsume, pernah pula menulis novel Wagabi wa Neko de Aru (1904; edisi Inggris oleh Aiko Ito dan Graeme Wilson, I’am a Cat, Tokyo: Asahi Shimbun Publishing Co., 1972). Tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut sebagian besar adalah binatang (Kucing pada Angin Musim, Para Babi pada Animal Farm, dan tikus pada Tikus Rahmat, dan Kucing pada I’am a Cat). Bedanya terletak pada penggambaran latar sosial dan intrik politik yang khas terjadi di negara masing-masing. Angin Musimmenggambarkan kehidupan para pejabat yang korup, penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan, serta keadaan sebuah penjara yang dihuni golongan oposisi dan politikus Indonesia. Animal Farm secara simbolik menggambarkan sistem pemerintahan otoriter yang berada di bawah kekuasaan totaliterisme dan ketakutan meluasnya pengaruh komunisme melanda daratan Eropa, khususnya Inggris. Tikus Rahmat juga secara simbolik menampilkan intrik politik dan suasana Pilihan Raya yang terjadi sekitar akhir tahun 50-an di Malaysia. Lalu, I’am a Cat mengungkapkan situasi sosial yang terjadi awal dekade Restorasi Meiji. Masuknya pengaruh Barat di Jepang masa itu, membawa perubahan sikap dan orientasi masyarakat Jepang dalam memandang tradisi budaya bangsanya dalam berhadapan dengan pengaruh Barat.
Di samping adanya pengaruh-mempengaruhi antara pengarang yang satu dan pengarang lainnya, boleh jadi juga kesamaannya lahir justru karena situasi sosial politik yang dihadapi masing-masing pengarang di suatu negara tertentu mempunyai sifat-sifat yang sama. Masalah ketidakadilan, penyelewengan kekuasaan, korupsi, dekadensi moral, dan masalah kemanusiaan lainnya merupakan tema-tema universal yang secara menyejarah telah dan selalu dihadapi umat manusia. Oleh karena itu, walaupun pengarang yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal, mereka mungkin saja melahirkan tema-tema yang sama. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada diri pengarang-pengarang yang sezaman, tetapi juga pada pengarang dalam kurun waktu yang jauh berbeda.
Sekedar menyebut contoh beberapa cotoh, kita dapat melihat adanya kesamaan pada cerita klasik Oidipus Sang Raja karya Sophokles, dengan cerita rakyat Pasundan, Sangkuriang atau Putri Bungsu, sebuah cerita rakyat dari Sumatera. Contoh lain dapat kita simak pada cerita-cerita binatang (fable) yang ternyata amat populer dan digemari berbagai bangsa sejak dahulu hingga kini. Contoh lain lagi terdapat dalam cerita-cerita kepahlawanan atau epos-epos rakyat, seperti Si Pitung (Betawi); Bajing Ireng (Cirebon); atau Robinhood (Eropa).
Sementara dalam sastra modern, di samping beberapa antaranya telah disebutkan di awal tulisan ini, beberapa penulis yang sezaman juga mempunyai kecenderungan menampilkan tema-tema yang sama. Tampak misalnya drama-drama Eugene Ionesco, Samuel Beckett, Albert Camus, atau Jean Paul Sartre, dengan drama-drama Indonesia karya Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, Ikranegara yang berbeda dengan drama-drama konvensional.
Beberapa novel yang secara tematis punya kesamaan, antara lain, Orang-orang Munafik karya Sionil Jose (Filipina), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis (Indonesia), dan Tuan Presiden karya Miguel Angel Asturias (Guetemala); Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich karya Alexandre Solzenitshin (Rusia), Daratan Tortila karya John Steinbeck (Amerika), Bukan Pasar Malam Pramudya Ananta Toer, dan Pagar Kawat Berdurikarya Trisnoyuwono (Indonesia).
Daftar tersebut di atas, tentulah akan menjadi deretan yang lebih panjang lagi jika kita meneliti karya-karya lain dari mancanegara. Termasuk di dalamnya bidang puisi dan cerpen. Dengan demikian, adanya kesamaan, baik tema maupun unsur-unsur lainnya, tidaklah harus selalu ditafsirkan sebagai hasil pengaruh-mempengaruhi dari karya yang satu ke karya yang lain, tetapi boleh jadi lebih dilantarankan oleh kesamaan situasi sosial politik dan tradisi yang dihadapi masing-masing pengarang yang secara kebetulan pula dapat melahirkan satu gagasan yang sama. Jadi, bagaimanapun juga, pengarang sebagai bagian daripada anggota masyarakat, sering pula memiliki persepsi yang sama dalam memandang kehidupan sosial masyarakatnya.
Dengan cara ini pula, kita dapat menempatkan karya yang bersangkutan dalam konteks sosial budaya yang melahirkannya. Lebih jauh lagi, adanya kesamaan universal ini juga, sedikitnya tentu akan memberi sumbangan berarti bagi usaha menemukan kritik sastra yang universal, sebagaimana pernah dilontarkan oleh Prof. A. Teeuw dalam ceramahnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (23 September 1989).
II
Sebagai kajian permulaan, tulisan ini akan mencoba membandingkan cerpen “Godlob” karya Danarto (Indonesia) dengan cerpen “Dajal” karya Mana Sikana (Malaysia) yang termuat dalam antologi cerpennya, berjudul ABZYX (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986). Ada empat alasan pemilihan cerpen tersebut, yakni:
Pertama, bahwa “Godlob” menurut kritikus Indonesia dan Barat adalah cerpen kontemporer Indonesia yang berhasil. Ia tidak hanya menampilkan gaya dan teknik yang berlainan dengan cerpen-cerpen sezamannya, tetapi juga ada kecenderungan yang kuat untuk memadukan unsur mistik Jawa dan Islam. Sementara itu, cerpen “Dajal” sebagaimana dikatakan sendiri oleh pengarangnya, termasuk cerpen pembaharuan. Dalam semacam kredonya, Mana Sikana juga menyatakan rasa terima kasihnya kepada Allah yang telah mengabulkan doanya untuk terus menulis. Lewat cara ini, Mana Sikana seolah-oleh hendak memberitahukan bahwa cerpennya didasarkan pada hasratnya berpegang pada Quran atau dalam rangka pengabdiannya kepada Allah. Dengan demikian, jika kita mengikuti konsep sastra Islam menurut kriteria kritikus di Malaysia, cerpen Mana Sikana termasuk khazanah sastra Islam.
Kedua, cerpen “Lempengan-lempengan Cahaya” karya Danarto yang dimuat Horison, Juli 1988, tidak pelik lagi merupakan cerpen yang sarat bernafaskan Islam. Cara penyampaian nafas Islam ini, berbeda dengan yang terdapat dalam “Godlob”. Nafas Islam dalam “Godlob” baru dapat kita tangkap lebih jelas jika kita melihatnya dari faktor ekstrinsik. Di samping itu, pemilihan cerpen Danarto, khususnya “Godlob” dapatlah dianggap, atau setidak-tidaknya, mewakili sastrawan—cerpenis—Angkatan 70 yang punya kecenderungan menggali nafas Islam dari tradisi sufisme.
Alasan yang sama melandasi pertimbangan pemilihan cerpen Mana Sikana. Menurut sebagian besar kritikus di Malaysia, Mana Sikana adalah sastrawan yang membawa aliran baru yang kaya dengan penggunaan simbol-simbol. Shahnon Ahmad (1976) memandang cerpen Mana Sikana sebagai membawa lambang keislaman yang universal. Shahnon Ahmad sendiri, dan beberapa sastrawan lain yang cerpennya terhimpun dalam antologi Sayembara IV (1985), juga punya kecenderungan ke arah sufisme, atau sedikitnya mengandung nafas Islam, namun nafas Islami-nya terasa lebih kuat pada cerpen-cerpen Mana Sikana. Itulah sebabnya “Dajal” kiranya dapat dianggap mewakili cerpen Malaysia yang bernafaskan Islam, di samping juga sebagai cerpen pembaharuan dalam konteks sejarah kesusastraan Malaysia.
Atas pertimbangan dan alasan-alasan tersebut di atas, saya mencoba membandingkan cerpen “Godlob” karya Danarto dengan cerpen “Dajal” karya Mana Sikana. Penelaahannya sendiri mungkin baru tahap mendeskipsikan perbedaan dan persamaan kedua cerpen itu. Sungguhpun demikian, perbandingan ini semata-mata sebagai langkah awal dari hasrat saya untuk menyelidiki lebih lanjut cerpen-cerpen Indonesia dan Malaysia modern yang di dalamnya mengandung unsur-unsur Islam. Pada gilirannya diharapkan dapat menarik peneliti lain—sungguh pun Abdul Hadi W.M. dan beberapa peneliti lain sudah mulai sering menoleh pada perkembangan kesusastraan di Malaysia—untuk melihat bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan di Indonesia dan Malaysia, serta bagaimana pula perjalanan tradisi sastra Islam yang dirintis oleh Hamzah Fansuri dan Nurruddin Ar-Raniri bergulir hingga ke kesusastraan yang bernafaskan Islam kedua-dua negara dewasa ini.
III
Sebelum menulis cerpen “Godlob”, cerpen Danarto yang lain yang berjudul “Adam Ma’rifat” sebenarnya sudah memperlihatkan kecenderungan sebagaimana yang tampak dalam kumpulan cerpen Godlob, “Adam Ma’rifat” juga memenangi hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1982 sebagai cerpen terbaik yang kemudian diterbitkan sebagai antologi bersama cerpen Danarto lainnya, dengan judul Adam Ma’rifat. Ternyata kumpulan cerpen ini pun terpilih sebagai antologi cerpen terbaik tahun 1982 oleh Yayasan Buku Utama. Kumpulan cerpen terbarunya, Berhala (Pustaka Utama Grafiti, 1987) juga kembali terpilih sebagai antologi terbaik tahun itu oleh yayasan yang sama.
“Godlob” pertama kali dimuat di majalah Horison (1968) yang kemudian terpilih sebagai cerpen terbaik majalah yang sama pada tahun itu. Bersama-sama cerpen Danarto yang lainnya, “Godlob” diterbitkan pertama kali sebagai antologi oleh Rombongan “Dongeng dari Dirah” dengan judul Godlob (1974). Empat tahun kemudian, Harry Aveling menerbitkannya dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1985, kumpulan cerpen Godlob ini terpilih sebagai kumpulan cerpen terbaik oleh Yayasan Buku Utama. Dua tahun berikutnya, kumpulan ini diterbitkan lagi oleh penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Pada tahun itu juga ia mengalami cetak ulang yang kedua kalinya.
Berkat keberhasilannya itu, Harry Aveling menyebut Danarto sebagai “seorang master”. Sedangkan Burton Raffel menempatkan cerpen-cerpen Danarto melebihi cerpen-cerpen terbaik yang ada di Eropa maupun Amerika dewasa ini. sejumlah besar pengamat sastra Indonesia sering tidak ragu-ragu untuk menyebut Danarto sebagai pionir sastra Indonesia modern yang mengalirkan mistik Jawa yang menyatu dengan keimanan keislaman dan sikap religiusitasnya yang mendalam. Gaya bahasanya yang legit, kental, dan lancar itu sesungguhnya menyelusupnya kesadarannya sebagai makhluk yang senantiasa rindu pada perjumpaan dengan Sang Pencipta.
Cerpen “Godlob” yang akan diperbandingkan dengan cerpen “Dajal” karya Mana Sikana, saya ambil dari kumpulan cerpen Danarto yang berjudul Godlob (1987). Di dalamnya ada kata pengantar yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono yang secara jernih dan kritis, melihat karya Danarto dalam kedudukannya sebagai “dongeng modern”. Pada akhir kata pengantarnya, Sapardi Djoko Damono menegaskan, bahwa Danarto sebenarnya meledek kecenderungan kita untuk mati-matian berpegang teguh kepada nalar.
Adapun cerpen “Dajal” karya Mana Sikana berasal daripada antologi cerpennya yang berjudul ABZYX (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986). Antologi ini dibagi sendiri oleh Mana Sikana ke dalam tiga bagian yaitu bagian “Konvensional” yang memuat tujuh buah cerpen, bagian “Peralihan” memuat delapan buah cerpen. Dalam setiap bagiannya, ada semacam kredo yang tampaknya dimaksudkan sebagai pernyataan sikap kepengarangannya. Cerpen “Dajal” sendiri, ditempatkan di bagian “Pembaharuan”. Dalam kredo bagian ini, Mana Sikana menutup pernyataannya dengan kalimat: “jangan hanya melihat dengan mata akal”, yang terasa senada dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono seperti tersebut di atas.
Belum terlalu banyak keterangan yang dapat saya ketahui mengenai kepengarangan Mana Sikana. Dalam buku Wajah: Biografi Seratus Penulis (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981) yang disusun Baharuddin Zainal, nama Mana Sikana atau nama aslinya Abdul Rahman Hanafiah, belum termuat di dalamnya. Ini artinya, Mana Sikana dapat dianggap sebagai pengarang Malaysia generasi 80-an. Namanya sendiri baru muncul setelah cerpennya “Detik Pertemuan” yang dimuat di Mingguan Malaysia, 18 Desember 1983, berhasil memenangkan Hadiah Sastra Malaysia 1982-1983. Bersama lima belas cerpen lain yang memenangkan hadiah sayembara itu, “Detik Pertemuan” diterbitkan dalam sebuah antologi cerpen berjudul Sahabat (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986).
Dalam ABZYX, cerpen “Detik Pertemuan” muncul lagi dengan judul yang berbeda, yaitu “Detik Penentuan”. Mana Sikana memasukkannya ke dalam bagian “Peralihan”. Secara tematis, cerpen ini sebenarnya dapat pula dimasukkan ke dalam bagian “Pembaharuan”. Penggambaran konflik ayah-anak, yang dapat ditafsirkan sebagai pertentangan golongan tua dan golongan muda, atau dalam konteks sosial budaya sebagai pertentangan golongan tradisional dengan golongan modernis, diselesaikan Mana Sikana tanpa ada yang kalah atau menang; suatu cara penyelesaian cerita yang hampir jarang kita jumpai dalam karya-karya sastra Malaysia.
Karya-karya Mana Sikana yang lainnya adalah Ronjang yang merupakan novelnya yang pertama. Kemudian antologi cerpen Jejak-jejak yang Hilang dan Santau. Dua kumpulan dramanya adalah Apa-apa (1984) dan Tok Wang (1984). Sedangkan kumpulan esainya, antara lain, Kaidah Kajian Drama, Esai, dan Kritikan Drama, serta Aliran dalam Sastra Melayu Modern. Dari sejumlah karyanya itu, sayang sekali saya baru dapat menemukan kumpulan cerpennya ABZYX dan cerpen “Detik Pertemuan” itu saja.
IV
Cerpen “Godlob” diawali dengan suatu gambaran tragis sebuah medan pertempuran. Gagak-gagak hitam beterbangan siap menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan. “Matahari sudah condong, bulat-bulat membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang di atasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli; nyawa!” (hlm. 1). Suatu pemaparan di awal cerita yang sekaligus langsung membawa kita pada suasana tragis yang mencekam. Suasana medan pertempuran yang seperti ini, mengingatkan kita pada suasana setelah terjadinya perang Bharata Yudha; sebuah konflik menyejarah antara Pandawa dari Amarta dan Kurawa dari Astina. Secara simbolik, Danarto mengajak kita untuk merenungi sebuah hasil konflik abadi umat manusia; malapetaka akibat peperangan, apapun dalihnya. Peperangan inilah yang menjadi inti masalah dalam “Godlob”.
Sementara itu, Mana Sikana mengawali cerpen “Dajal”-nya dengan kalimat: “Dajal sudah datang!” begitu khotbah Pak Imam kepada para jemaahnya Jumat itu. “Dia datang di tengah-tengah kami sedang mengalami penderitaan lahir dan batin. Dialah yang bakal memberikan kamu semua kesenangan. Lalu kamu lupa siapa diri kamu yang sebenarnya!” (hlm. 169). Begitulah, di awal cerita kita sudah dihadapkan pada dua tokoh yang saling berlawanan, Dajal dan Pak Imam (Khotib Jumat). Tokoh Dajal langsung mengacu pada doktrin Islam yang menyangkut keimanan pada hari akhir (kiamat). Bahwa suatu hari kelak, menjelang tiba hari Kiamat, bakal datang makhluk maha setan yang bernama Dajal. Tokoh inilah yang kelak membawa umat manusia terjerumus kepada kehancuran, kecuali mereka yang berpegang teguh pada Quran.
Jelas, bahwa di awal cerita ini, Mana Sikana langsung mengajak kita memasuki kesadaran apokaliptik—suatu kesadaran kewahyuan, meminjam istilah Abdul Hadi—kesadaran akan datangnya hari kiamat. Peristiwa inilah yang sebenarnya menjadi inti masalah dalam cerpen “Dajal”.
Dalam kedua-dua hal tersebut di atas, baik Danarto maupun Mana Sikana, mengawali ceritanya langsung ke pokok masalahnya; Danarto mengawalinya dengan malapetaka akibat peperangan, dan Mana Sikana mengawalinya dengan konflik akibat datangnya Dajal—tokoh maha setan. Dengan gambaran yang menyerupai peristiwa peperangan Bharata Yudha—konflik antara Pandawa vs Kurawa; baik vs buruk atau keikhlasan lawan keserakahan—Danarto sekaligus hendak mengingatkan kita, bahwa segala malapetaka, tidak lain datangnya dari manusia sendiri. “Kalau sesuatu meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya.” (hlm. 5)
Sementara Mana Sikana, dengan menghadirkan tokoh Dajal, ia pun langsung mengajak kita memasuki kesadaran apokaliptik. Jadi jika Mana Sikana hendak mengungkapkannya secara eksplisit sedang Danarto mengungkapkannya secara implisit. Artinya, bahwa kesadaran apokaliptik yang hendak diisyaratkan Mana Sikana secara jelas mengacu pada doktrin Islam, sementara Danarto mengacu pada filsafat Jawa tentang simbol-simbol dalam dunia pewayangan. Pemahamannya tentang itu, tidak dapat lain, kecuali mesti melalui penerjemahan dan penafsiran dalam kerangka mistik Jawa, sebagaimana gambaran yang ditampilkan dalam peristiwa tersebut.
Secara keseluruhan, kedua cerpen ini dikembangkan oleh dua tokoh yang masing-masing mewakili dua kutub; yang baik dan buruk. Dalam “Godlob” kita berhadapan dengan konflik yang dihadapi tokoh Anak dan Ayah. Di belakang tokoh Anak ada tokoh Ibu, sedang di belakang tokoh Ayah ada para politikus dan para pejabat. Sementara dalam “Dajal” tokoh Pak Imam yang diikuti oleh sebilangan kecil jemaahnya. Lambat-laun, dari hari ke hari, jumlah jemaahnya itu makin berkurang, yang keadaannya justru bertolak belakang dengan keadaan tokoh Dajal yang malah diikuti sebagian besar penduduk yang hanya mencari keseronokan dan kenikmatan duniawi.
Kesimpulan bahwa tokoh Anak dalam “Godlob” mewakili kutub yang baik, dapat kita simak dari sikapnya yang pasrah: “Seandainya pilihanku suatu bencana bagiku, sang nasiblah yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang.” (hlm. 5). Perhatikan juga perkataan si Anak sebelumnya: “…. Tapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia yang percaya kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorongnya untuk mengorbankan segala-galanya, harta bendanya keluarganya, dan nyawanya.”
Kepasrahan si Anak ini juga tersimpul daripada sikapnya memandang segala peristiwa dari hakikatnya. Hakikat peristiwa itulah yang secara tersembunyi mengandung hikmah; mengandung pelajaran, nilai positif, dan kebenaran—yang baik—bagi manusia. “…Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua kejadian ini?” (hlm. 6). Begitulah, maka ketika Ayahnya hendak membunuhnya, si Anak tetap berusaha menyadarkan Ayahnya. Sebaliknya karena jiwa si Ayah sudah dirasuk nafsu dan kepentingan duniawi, dia akhirnya tetap membunuh anaknya sendiri walaupun si anak dalam keadaan luka parah.
Dalam hal tersebut, peran tokoh Ayah barangkali dapat diidentifikasikan dengan golongan Kurawa yang sering diwakili oleh tokoh-tokoh ambisius, licik, dan rakus. Tapi motivasi yang diperlihatkan oleh tokoh Ayah, sesungguhnya berdasarkan kepada sikapnya untuk menuntut keadilan. Dia merasa tidak mendapatkan apa-apa dari segala pengorbanannya.
Di sebalik itu, dia juga sebenarnya sejalan dengan sikap anaknya dalam hal memandang nasib. Bahwa sumber ketidakberesan di dunia ini adalah ulah manusia sendiri.
Perhatikan kata-kata tokoh Ayah berikut ini yang menuntut ketidakadilan, tapi sekaligus juga pasrah kepada nasib.
“Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibatkan puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki betul-betul …” (hlm. 5). “Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku bicara, sehingga tidak cukup sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anakku kepada Sang Politikus dan tidak ada sesuatu pun yang kuterima. Sekarang ini merenggut anakku yang terakhir dan nyawa yang paling kusayangi. Kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk keberanian macam apakah menghalalkan itu semua? Anakku! Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi…” (hlm. 5).
Dari gambaran yang diperlihatkan oleh tokoh Ayah dalam “Godlob”, konflik Anak-Ayah sesungguhnya tidak murni mewakili golongan yang baik dan buruk. Tokoh Anak memang dapat dikatakan wakil golongan baik (Pandawa), tetapi tokoh Ayah (Kurawa) walaupun dalam beberapa hal sering terwakili oleh tokoh ambisius, licik, dan rakus, beberapa tokoh lain dari pihak Kurawa termasuk juga para ksatria. Karna dan Kumbakarna, misalnya, berpihak kepada Kurawa justru karena jiwa kedua-duanya yang ksatria. Karna berperang dengan pihak Kurawa justru karena dia ingin membalas budi kepada pihak Kurawa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kumbakarna. Dalam hal tersebut, apa yang dilakukan Karna dan Kumbakarna sesungguhnya memang telah menjadi suratan para dewa (nasib). Jadi, gambaran yang diperlihatkan oleh tokoh Ayah dalam “Godlob” jelas khas filsafat (tradisi) Jawa yang sering terungkap dalam diri para dewa pewayangan. Tindakan pembunuhan yang dilakukan tokoh Ayah mengisyaratkan bahwa itu telah kehendak Tuhan (takdir) sebagaimana yang telah menjadi pakem dalam dunia pewayangan.
Dalam konteks mistik Jawa (Islam atau tasauf) kepasrahan tokoh Anak boleh dikatakan mewakili gambaran kaum ideal kaum sufi. Bahwa kepasrahan atas kehendak Tuhan (Allah) adalah mutlak. Oleh karena itu, dalam usaha mencapai tingkat kesempurnaan sebagai sosok seorang sufi, yang pertama-tama harus dilakukan adalah kepasrahan dan kesucian diri. “Ada setetes yang tidak beres … mengakibatkan puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur .…”
Dalam “Dajal” konflik tokoh Pak Imam dan tokoh Dajal merupakan konflik yang secara tegas mewakili golongan baik dan buruk atau jahat. Pak Imam secara konsisten digambarkan tetap berpegang teguh kepada Quran dan keyakinan agamanya (Islam), sedang tokoh Dajal terus selalu berusaha menentang Pak Imam, termasuk juga usaha mencabut pegangan pak Imam (Quran). Secara simbolik kedua-dua tokoh itu juga menggambarkan pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta filsafat (eksistensialisme).
“Memang patut gelaran itu. Sebab dia ibarat sains dan teknologi yang menganugerahkan kita apa yang ingin kita miliki. Keajaiban, kemukjizatan, dan kekuasaannya menjadikan kita manusia yang cukup manusia.” (hlm. 172).
Secara teologis, pertentangan kedua-dua tokoh itu juga dapat dikatakan mewakili golongan teisme dan ateisme. Pak Imam yang tetap berpegang teguh kepada Quran, tidak syak lagi merupakan wakil golongan teisme (agama), sedang tokoh Dajal yang kemudiannya mendapat julukan Ketua kita mewakili golongan ateis. Gambaran ini tampak daripada sikap Ketua Kita dan para pengikutnya yang sepenuhnya percaya kepada kebenaran ilmu pengetahuan (rasio), sebaliknya mereka tidak percaya pada keimanan (iman kepada takdir baik dan buruk, dan iman kepada hari kiamat) yang merupakan doktrin Islam yang mutlak diyakini.
“Sekarang tida ada lagi yang mustahil. Mustahil sudah jadi lurus, jadi mubah! Saya selalu menasihati diri saya dan diri kamu semua bertawakallah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Sesungguhnya tanda-tanda kiamat sudah ada. Ini adalah tanda yang besar… min adlal al-kubra!” (hlm. 170-171).
Pernyataan tokoh Pak Imam yang ditujukan kepada Ketua Kita dan pengikutnya, menjadi lebih jelas sebagai pertentangan teisme dan ateisme kepada peristiwa yang diagambarkan pada akhir cerita. Bahwa ketika matahari terbit dari barat ke timur, sebagian besar penduduk terutama penduduk para pengikut Ketua Kita, dilanda ketakutan, kegelisahan, dan kepanikan. Pada saat itulah Ketua Kita berusaha meyakinkan para pendukungnya bahwa dirinyalah yang maha agung. Lalu tokoh Ketua Kita (Dajal) berseru:
“Wahai manusia, lihat dan saksikanlah dengan mata kepalamu sendiri: keajaiban dan kekuasaanku yang tak ada tolok bandingannya lagi. Aku mampu mengubah perjalanan matahari. Lihat, matahari terbit dari barat ke timur. Bukankah sesungguhnya aku Tuhanmu?” (hlm. 187).
Jelaslah, bahwa pertentangan atau konflik tokoh Pak Imam dan Dajal secara tegas dan eksplisit merupakan pertentangan baik—buruk; agama—ateisme; doktrin agama—ilmu pengetahuan rasional. Yang menarik dari konflik dua ketegangan itu adalah cara penyelesaian yang dilakukan Mana Sikana yang tidak memenangkan salah satu pihak; suatu penyelesaian masalah yang jarang dilakukan para pengarang Malaysia lainnya. Pada akhir cerita, tokoh Dajal tetap angkuh dengan keyakinannya. Sementara Pak Imam tetap yakin dengan doktrin agamanya.
Melihat gelagat dan peristiwa itu, Pak Imam hanya berdoa: “Tetapkan imanku ya, Allah!” Air matanya menetes. “Hamba tahu penyesalan di saat begini sudah tidak berarti lagi!”.
Tidak dapat dipastikan bilakah tahunnya, bulannya, minggunya, harinya, dan detiknya akan terjadi…tetapi Pak Imam percaya Izrafil sudah hampir meniup sangkakalanya. (hlm. 188).
Sungguh pun Mana Sikana tidak menyelesaikan pertentangan itu dengan mengalahkan salah satu pihak, sikap kepengarangannya sendiri kelihatan jelas berpihak kepada tokoh Pak Imam. Gambaran peristiwa yang dihadapi Pak Imam pada akhir cerita yang percaya bahwa Malaikat Izrafil sudah hampir meniup sangkakalanya dapat kita tafsirkan sebagai peringatan terhadap kita untuk berpegang pada Quran, atau setidaknya menyimak Quran, Surat 23; 101—105.
Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasib di antara mereka pada hari itu (kiamat), dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Q, 23; 101).
Ayat-ayat berikutnya pada surat al-Muminun ini menerangkan balasan yang akan diterima oleh umat manusia sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.
Sementara itu, kalimat pertama pada alinea terakhir cerpen “Dajal” ibarat hendak menertawakan ketidaktahuan atau ketidakpastian kapan datangnya hari kiamat. Pertanyaan tersebut tentu dimaksudkan sebagai usaha memberi acuan tentang keimanan pada hari akhir (kiamat) yang tertuang dalam doktrin keimanan Islam (Rukun Islam). Dalam Quran banyak sekali ayat yang menyinggung soal tersebut. Salah satu di antaranya adalah Surat al-Araaf, 187—188.
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk ) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” … (Q, 7; 187).
Demikianlah, keseluruhan cerpen “Dajal” dikembangkan oleh konflik antara tokoh Pak Imam dan Dajal. Ringkasnya, cerpen ini sesungguhnya hendak menggambarkan pengaruh kuat absolutisme yang memutlakkan kekuasaan akal yang telah merambah segala aspek peradaban umat manusia modern. Pengaruh kuat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibarengi pula oleh meresapnya berbagai doktrin ideologis—teristimewa materialisme dan ekstensialime—telah begitu kuat merasuk pemikiran umat manusia di belahan bumi dewasa ini. Kenyataannya, di samping mengangkat harkat manusia, juga telah menjerumuskan manusia itu sendiri pada pemuasan kebendaan (materialisme) dan profanisme. Maka tersingkirlah nilai-nilai spiritual dan religius.
Dalam “Godlob” konflik Anak-Ayah, tidak secara tegas dapat dikatakan mewakili pertentangan baik-buruk, terutama jika melihat karakter tokoh Ayah. Ada ukuran relatif dalam menilai tokoh Ayah. Dia ibarat tokoh dalam dunia pewayangan yang terkadang punya karakter mendua (ambivalensi). Tokoh Bima, misalnya, di samping jujur, juga dikenal sebagai tokohyang paling telengas, sadis, dan bengis. Ia juga pernah melakukan tindakan tidak ksatria, manakala ia hendak mengalahkan Suyudana, Raja Kurawa. Begitu juga dengan Kresna yang menipu Durna dan Suyudana, walaupun Kresna sendiri sebagai penjelmaan Wisnu. Sedangkan Arjuna yang lemah lembut dan halus, ternyata juga seorang telengas dan bersedia membunuh siapa saja demi kepentingan Amarta.
Karakter tokoh Ayah dalam “Godlob” juga demikian. Dia mencintai anaknya, tetapi ternyata juga tega pula membunuh buah hatinya itu. Dari dialog menjelang pembunuhan itu, ada kesan bahwa pembunuhan itu terjadi semata-mata karena kehendak sang nasib. Perhatikan di bawah ini.
“Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!”
“Ayah! Dengan cara demikianlah ayah hendak menjadikanku pahlawan? Ayah menghalalkan? Aku dan Ayah adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah diatur oleh yang lain!”
“Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkan kepadaku!”
“Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!”
“Tidak selalu! Sekali-sekali boleh menyeleweng!”
“Ayah!!!”
“Anakku!!!”
“Ayah…”
“Anakku…” (hlm. 7)
Begitulah, tindakan tokoh Ayah pada mulanya memang berhasil menempatkan anaknya sebagai pahlawan. Dia diarak dan dielu-elukan oleh Sang Politikus, para pejabat, dan masyarakatnya sebagai bunga bangsa. Namun, setelah tokoh Ayah menceritakan hal yang sebenarnya kepada istrinya, serta merta wanita itu menggali kembali kuburan anaknya dan mengatakan kepada Sang Politikus dan para pejabat, bahwa anaknya bukan pahlawan. Dia mati di tangan ayahnya sendiri. Kemudian dengan sekali tembakan, perempuan itu mengakhiri hidup suaminya.
“Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.” (hlm. 9).
Sebuah keluhan tentang nasib, mengakhiri cerpen “Godlob”. Tersirat, Danarto hendak menempatkan masalah nasib sebagai sesuatu yang lahir akibat perbuatan manusia sendiri, betapa pun dia tidak dapat dielakkan manusia. Dalam hal ini, pengertian nasib tidaklah identik dengan takdir. Dengan demikian, pengertian nasib di sini, juga tidak sama dengan konsep deisme model Leibniz, bahwa Tuhan lepas tangan dan tidak ikut campur dalam urusan dunia. Daripada dialog tokoh Anak-Ayah itu, tersimpul bahwa manusia masih diberi kemungkinan untuk mengubah nasibnya sendiri; atau bahwa nasib manusia lebih banyak ditentukan oleh perbuatan manusia sendiri.
“…Kalau sesuatu yang meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya….”
“…Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibatkan puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur.…”
“…Tetapi sesuatu yang sudah menjadi bubur, tidak guna disesali. Yang terang, aku sudah bekerja sebaik-baiknya. O, nasibku.…” (hlm. 5).
Jadi nasib yang dihadapi Ayah-Anak-Ibu, dapat kita tafsirkan sebagai nasib dalam pengertian Islam yang berbeda dengan pengertian takdir. Dalam hal ini, Danarto memadukannya dengan konsep pakem dalam dunia pewayangan yang khas mencerminkan filsafat hidup masyarakat Jawa. Dengan demikian, berbeda pula dengan konsep deisme.
Masalah tersebut di atas dikemas Danarto lewat persoalan yang timbul akibat peperangan. Dalam hal ini, kembali kita akan melihat adanya perpaduan antara budaya Jawa dan nafas Islam. Gambaran peristiwa akibat peperangan yang dipaparkan pada awal cerita, tidak dapat lain merupakan peristiwa akibat perang makro; perang besar; Barata Yudha! Di sebalik perang besar itu, sesungguhnya ada perang yang lebih besar lagi dan tidak kalah hebatnya, ialah perang mikro; perang batin; perang melawan hawa nafsu yang tidak kelihatan. Inilah perang stabil yang sebenarnya. Hasil peperangan inilah yang akan membawa akibat datangnya berbagai-bagai macam bencana, sebab kekalahan dalam perang ini merupakan sumber daripada segala bencana. Sebaliknya, siapa yang mampu mengalahkan hawa nafsu; memenangkan perang batin, dia akan diperoleh predikat manusia adhiluhung; manusia yang sesungguhnya.
Dalam pandangan orang Jawa, perang makro atau Barata Yudha sesungguhnya ada dalam perang mikro; batin. Makrokosmos tidak lain adalah bagian daripada mikrokosmos. Oleh karena itu, keselarasan (harmoni) jagat raya ini hanya mungkin dapat tercapai jika kehidupan mikrokosmos sudah sampai pada tingkat sesungguhnya; menemukan jati dirinya sebagai makhluk manusia.
Hal tersebut di atas, tersirat, digambarkan konflik Ayah. Para prajurit—termasuk tokoh Anak—yang dengan sadar pergi ke medan perang, secara fisik menggambarkan diri manusia yang pasrah, manusia baik.
“…tapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik, semacam manusia yang percaya pada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorongnya untuk mengorbankan segala-galanya, harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.” (hlm. 5).
Begitulah, Danarto dalam “Godlob” lewat malapetaka pertumpahan darah, bermaksud menempatkan makna kepasrahan dalam kerangka perang mikro dan perang makro. Apapun hasilnya bukanlah hal yang terlalu penting, sebab yang utama adalah kepasrahan menerima “Sang Nasib Pengasuh yang konstruktif”. Lewat kepasrahan itu pula manusia akan menerima segala sesuatu sebagai hikmah, sebagai kenikmatan; suatu sikap hidup yang banyak dihayati oleh para sufi.
Di sisi yang lain, kepasrahan akan “kerja konstruktif Sang Pengasuh” juga memperlihat adanya kesadaran apokaliptik; keimanan akan takdir baik dan takdir buruk yang dalam Islam terangkum dalam doktrin keimanan. Ia mutlak diyakini sebagai sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan oleh akal manusia.
Jadi, dalam dua hal ini, ada kesamaan antara “Godlob” Danarto dan “Dajal” Mana Sikana. Kedua-duanya mengisyaratkan adanya kesadaran kewahyuan; suatu kesadaran akan kebenaran wahyu Tuhan. Hanya bedanya, jika Mana Sikana dalam “Dajal” secara eksplisit hendak mengingatkan kita tentang Hari Kiamat, maka Danarto dalam “Godlob” secara implisit mengajak kita untuk juga meyakini kebenaran adanya takdir baik dan takdir buruk. Kedua-duanya, di samping menekankan perlunya hubungan transedensi (vertikal); kepasrahan pada kebenaran yang hak (Allah), juga menekankan perlunya menjalin harmoni sesama makhluk (horisontal).
Dalam “Dajal” pengagungan terhadap akal, eksistensialisme, dan ilmu pengetahuan, akan berakibat lahirnya manusia materialis, dan merosotnya naluri spiritual yang pada gilirannya akan menjauhkan diri dari Tuhan. Sedangkan dalam “Godlob” sikap ambisius, menghalalkan segala cara, dan berbagai pelanggaran moral, akan berakibat, tidak hanya pudarnya konsep kepahlawanan—yang sebenarnya realtif—tetapi juga dapat berakibat hancurnya harmoni kehidupan umat manusia itu sendiri.
Dalam kedua-dua cerpen itu juga, secara kebetulan kita dapat melihat adanya kesamaan, dan kedua-duanya memerlukan acuan pada peristiwa Nabi Ibrahim sungguhpun Mana Sikana dan Danarto mengungkapkannya dengan gaya yang berbeda. Dalam “Godlob” konflik Ayah—Anak mengingatkan kita pada peristiwa Ibrahim—Ismail. Perhatikan kutipan Quran, Surat 37; 102, di bawah ini.
Maka tatkala anak itu (Ismail) (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim bekata: “Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: ‘Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’”
Ada perbedaan mendasar dalam diri Ismail dan tokoh Anak dalam “Godlob”. Jika Ismail pasrah karena dia yakin ayahnya (Ibrahim) semata-mata menjalankan perintah Allah dan bukan karena ambisi pribadi yang menghalalkan segala cara, maka tokoh Anak dalam “Godlob” menolak permintaan ayahnya karena ia sadar, bahwa sikap ayahnya dilandasi ambisi pribadi yang menghalalkan segala cara, dan menuntut ketidakadilan dengan cara yang tidak benar, tidak adil. Dengan demikian, hasilnya juga berbeda. Ibrahim dan Ismail mendapat imbalan rahmat Allah, tokoh Ayah—Anak, mati penasaran, terbunuh dan mati konyol. Si Anak gagal jadi pahlawan, si Ayah gagal mencapai ambisinya.
Dalam “Dajal” Mana Sikana bukan mengangkat Ibrahim—Ismail, melainkan peristiwa pembakaran yang dialami Ibrahim. Tersurat, Mana Sikana membandingkan peristiwa yang dihadapi Pak Imam dengan yang dihadapi Nabi Ibrahim. Diceritakan bahwa karena keyakinan agamanya, Pak Imam ditangkap oleh para pengikut Ketua Kita. Mereka lalu membakar Pak Imam hidup-hidup tetapi Pak Imam malah berkata: “Lihat api itu kelihatannya saja merah, tetapi ia dingin. Dingin sekali. Sedingin air di lautan.” Selanjutnya, Mana Sikana menggambarkan peristiwa tersebut sebagai berikut.
“…Kata Syahibul Hikayat, maka tidak terbakarlah Pak Imam itu. Sesungguhnya ini adalah satu gambaran kembali peristiwa Nabi Ibrahim yang dengan keberaniannya memusnahkan segala di biara, kemudian dia terbakar, tetapi api malu kepada dirinya sendiri.” (hlm. 174).
Bandingkanlah pula dengan Quran, Surat 29; 24: Maka tidak ada jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: “Bunuhlah atau bakarlah dia.” Lalu Allah menyelamatkan dari api.
V
Demikianlah dari perbandingan sepintas antara “Godlob” Danarto dan “Dajal” Mana Sikana, sedikitnya kita melihat adanya kesamaan fundamental pada diri kedua pengarang itu, yakni adanya kesadaran apokaliptik, kesadaran pada kebenaran wahyu Ilahi. Sesuatu kesadaran, yang ternyata sering tampak pada sejumlah sastrawan Islam terdahulu, seperti Iqbal, Rumi, Rabiah Adawiyah. Perbedaannya boleh jadi karena akar tradisi budaya masing-masing pengarang yang mempengaruhinya beralinan satu dengan lainnya. Danarto yang hidup dalam lingkungan tradisi Jawa serta tradisi keislaman yang juga menyerap tradisi Hindu-Budha—sebagaimana yang telah dirintis Sultan Agung, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Yosodipura, Ronggowarsito, dan Mangkunegara IV, lebih banyak mengungkapkannya secara implisit. Di dalamnya, mencuat juga sebuah simbol-simbol dunia pewayangan.
Cara tersebut ternyata tidak kita lihat pada karya Mana Sikana. Dia menyampaikannya lebih lugas dan eksplisit. Hal ini juga tentu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya dan akar tradisi keagamaan yang melingkari diri Mana Sikana. Pengaruh Islam di Malaysia, relatif lebih banyak langsung dari Timur Tengah, terutama Mesir. Maktab Perguruan Sultan Idris yang berdiri tahun 1922, sampai kini banyak berperan dalam pembentukan kebudayaan kebangsaan Malaysia; dan kelahirannya—sungguhpun mengambil Balai Pustaka sebagai modelnya—banyak diwarnai oleh pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afgani, dan Muhammad Iqbal. Maka tidak mengherankan jika dalam Kongres Kebudayaan Kebangsaan tahun 1971, Islam dinyatakan sebagai unsur penting dalam pembentukan kebudayaan dan kebangsaan Malaysia.
Di samping itu, kebanyakan sastrawan Malaysia, secara sadar menempatkan karyanya sebagai alat pendidikan dan pengajaran, sebagaimana dapat kita lihat pada karya-karya sastrawan Asas ’50.
Perbandingan lebih lanjut mengenai khazanah kesusastraan Indonesia dan Malaysia mutakhir, teristimewa karya-karya yang bernafaskan Islam, tentu akan dapat memperjelas persamaan dan perbedaan masing-masing. Pada gilirannya sangat boleh jadi, tidak hanya dapat lebih merangsang sastrawan di kedua-dua negara, tetapi juga dapat mempertemukan kembali tradisi kesusastraan (Islam) yang pernah dirintis Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, dan Samsudin Al-Sumatrani. Dengan itu pula karya sastrawan di kedua negara akan sampai pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga benar-benar dapat memperkaya batin para pembacanya.
BIBLIOGRAFI
Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Gapena, 1980. Kesusastraan Melayu dan Islam. Kuala Lumpur: Sarjana Enterprise
Hamzah, Hamdani (ed.). 1982. Novel-Novel Malaysia dalam Kritikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jassin, H.B., 1963. “Prakata” dalam al-Manfaluthi. Magdalena (terj. A.S.Alatas). Jakarta: Kirana
_________. 1976. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Gunung Agung
Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur: University Malaya
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Wersteijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Mahayana, Maman S., 1986. “Analisis Bandingan antara Kubah dengan Atheis.” (Skripsi Sarjana). Jakarta: FSUI
____________. 1987. “Sastera Bandingan: Telaah Sastera Mancanegara” dalam Angkatan Bersenjata. Maret 1987
Remak, Henry H. 1971. “Comparative Literature” dalam Newton P. Staltnech and Host Frenz (ed.). Contemporary Literature: Method & Perspective. Southern Illinois University Press
Sahlan Mohd. Saman. 1986. Sastera Bandingan: Konsep, Teori, dan Amalan. Petaling Jaya: Fajar Bakti
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia
Teeuw, A. 1989. “Permasalahan Teori Sastera” (Ikhtisar Makalah) Depok, FSUI, 23 September
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia
Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM