Cerpen: Agus Noor
BARANGKALI aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Segalanya terasa sebagai kesenduan di kota ini. Gedung-gedung tua dan kelabu, jalanan yang nyaris lengang seharian, deretan warung kelontong dan kafe-kafe sunyi dengan cahaya matahari muram yang mirip kesedihan yang ditumpahkan. Kota ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan.
Bila suatu kali kau berkunjung ke kota yang terletak di lekuk teluk yang bagai mata yang mengantuk ini, kau sesekali hanya akan bertemu dengan satu dua orang tua yang berjalan malas atau pemabuk yang meringkuk mendengkur di bangku-bangku taman. Bila kau perhatikan dengan cermat, setiap perempuan yang kau temui di kota ini selalu berjubah dan kerudung hitam, seolah-olah mereka terus berkabung sepanjang hidupnya, seolah-olah mereka semua adalah rahib kesedihan. Dan bila kau memperhatikan lebih cermat lagi, lebih teliti, maka kau akan segera tahu: hampir dari mereka semua, buta!
Ada banyak kisah–setidaknya yang pernah aku dengar–kenapa semua penduduk di kota ini buta. Jagat raya semula hanyalah gugusan cahaya. Cahaya yang kuning keemasan. Lalu ruh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya itu. Berbentuk percik cahaya. Kekuningan. Serupa kunang-kunang. Sepasang ruh yang serupa kunang-kunang itu kemudian turun ke dunia, begitu kisah leluhur, lalu berdiam di tubuh manusia, yang semula, hanyalah serupa batang-batang pohon. Tinggi menjulang, diam bagai pertapa. Ruh yang serupa kunang-kunang itu hinggap di tubuh manusia, sebagai sepasang mata, hingga manusia hidup dan bisa melihat dunia. Ketika manusia mati, ruh itu kembali terbang, menjelma kunang-kunang. Dan manusia kembali buta.
Kisah lain datang dari muasal teluk yang terletak di Utara kota ini. Teluk Duka Cita, begitu orang-orang di kota ini menyebutnya. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, mereka sekandung anak Raja Pertama, saling jatuh cinta, dan waktu, juga maut tak mampu menghentikannya. Karena tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan cinta terlarang dua saudara sekandung itu, Permaisuri, sembari terisak meminta syarat yang menurutnya muskil dipenuhi: dalam semalam mereka harus menyediakan kunang-kunang, yang bila dihamparkan dengan rapi, sanggup menutup seluruh permukaan teluk. Cinta yang buta memberi mereka akal, juga kekejaman. Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, memanggil semua kunang-kunang yang ada, bahkan mereka diam-diam menambahi kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang telah mereka congkel, dan mereka sihir menjadi kunang-kunang. Melihat itu, Raja segera menyuruh para prajurit menebah kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Maka, meski telah ratusan mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang agar bisa menutupi seluruh permukaan teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tak tertutup kunang-kunang. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima mengeram marah, ketika mengetahui cara licik Raja menggagalkan cinta mereka. Di hadapan Raja dan Permaisuri, mereka langsung saling menusuk jantung masing-masing, sambil mengutuk: mereka akan mengambil semua mata seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota ini, hingga siapa pun yang tak harus menanggung dosa menjadi buta. Kemudian mayat keduanya jatuh ke dalam teluk.
Tak ada muda-mudi kota ini yang berani berpacaran di teluk itu. Bila nekat, sepulang dari sana, mata mereka buta.
Kisah yang ini, barangkali, akan lebih kau percaya. Bermula dari kedatangan pasukan asing, dan perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun setelahnya. Banyak warga yang kemudian dicap pemberontak. Mereka yang dituduh mata-mata pemberontak, langsung ditangkap dan dicongkel matanya. Andai saat itu kau ada di kota ini, jangan kaget, bila seseorang yang kau jumpai pada sore hari, telah menjadi buta pada pagi harinya. Ada gereja tua, yang dianggap menjadi sarang pemberontak, dan pasukan asing itu mengepungnya. Seluruh yang ada di dalamnya diseret keluar dan dikumpulkan di pekuburan yang berada di belakang gereja. Mereka langsung dihabisi dengan serentetan tembakan. Peristiwa itu selalu diperingati dengan misa paling murung di kota ini.
Seperti diriwayatkan leluhur, ruh mereka yang mati akan kembali menjadi kunang-kunang. Bila malam hari, kau bisa menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang berkitaran dari arah pekuburan di belakang gereja itu. Atau berjalanlah menyusuri kesunyian lorong-lorong kota ini malam hari, maka kau akan selalu berpapasan dengan kunang-kunang, yang melintas sendirian, atau bergerombol, seakan-akan mereka adalah sebuah keluarga yang sedang jalan-jalan. Jangan kaget, bila tiba-tiba pundakmu seakan ada yang menepuk, dan kau mendapati seekor kunang-kunang telah hinggap di pundakmu. Tak terlalu banyak penerangan di kota ini. Satu-satunya pembangkit listrik yang tersisa hanyalah berasal dari kincir air yang letaknya jauh di luar kota dan sudah payah tenaganya. Para pasukan asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. Kota itu terasa murung dan kelabu di siang hari. Dan tanpa penerangan listrik yang cukup, di malam hari kota ini seperti dikuasai kegelapan yang ganjil. Kegelapan yang dipenuhi kunang-kunang yang bagai muncul dari lorong-lorongnya yang paling gelap.
Atau berjalanlah kau menyisir tepian teluk, maka kau akan menyaksikan ribuan kunang-kunang terbang nyaris menyentuh permukaan airnya yang bagai pulas tertidur. Ribuan kunang-kunang itu seolah ruh yang bangkit dan ingin membebaskan diri dari cengkeraman kutukan masa silam yang kelam. Kadang kau bisa mendengar suara mereka bernyanyi dengan kepedihan yang begitu memilihan. Seperti koor ruh yang purbawi.
Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Kau akan melihat kunang-kunang itu bergerombol memenuhi warung dan kafe-kafe, seakan tengah mengobrol. Kau akan menyaksikan kunang-kunang itu hinggap di tiang listrik yang mati, hingga tiang listrik itu terlihat seperti pohon yang menyala kekuningan. Ketika segerombolan kunang-kunang hinggap di serimbun perdu atau tumpukan batu, maka perdu dan batu itu seketika menyala berpendaran. Diding-dinding yang telihat kusam dan tua di siang hari, menjadi berkilauan di malam hari. Dan sebuah pohon meranggas, bisa saja seketika langsung menyala kekuning-kuningan, seakan hiasan lampu jalan atau pohon Natal.
Ada yang hidup di malam hari di kota ini, yang tak hidup di siang hari.
Sebenarnya pernah, suatu saat, kota ini mencoba hidup dan berbenah diri. Banyak pendatang yang mencari peruntungan. Tapi barangkali kota ini memang kota yang ingin dilupakan, atau dilenyapkan. Selalu saja ada hal-hal kecil yang sepertinya sengaja diciptakan untuk menjadi kerusuhan. Pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadah yang dibakar. Penembakan dan ledakan bom. Kota ini menjadi kota yang selalu dipenuhi permusuhan dan kerusuhan. Iman menjadi sesuatu yang menakutkan. Desas-desus tantang pasukan bertopeng yang suka menculik dan mencongkel mata siapa saja yang ditangkapnya, membuat bergidik para warga yang kemudian memilih meninggalkan kota ini. Hingga kota ini tinggal dihuni orang-orang yang sebagian besar telah buta, dan kunang-kunang.
Apalah yang layak diceritakan dari kota yang murung dan hanya didiami orang-orang buta dan kunang-kunang seperti aku ini? Aku, seperti ribuan kunang-kunang lain di kota ini, hidup dalam kesunyian cahaya. Kami seperti menanggung beban masa silam yang sampai kini tak pernah bisa kami pahami. Sebagai ruh, kunang-kunang seperti kami, hidup abadi. Tapi apalah arti keabadian bila kami hidup dalam kesunyian yang tak tertanggungkan seperti ini? Kami hidup untuk melupakan apa yang telah terjadi pada kami. Aku sendiri selalu ingin melupakan ingatan buruk itu. Ketika suatu malam, saat aku masih hidup sebagai manusia, berjalan pulang seusai pesta dansa. Di kelokan jalanan gelap, beberapa orang bertopeng menyergap dan meringkusnya. Aku tak sempat menjerit dan melawan ketika kurasakan belati tepat menikam jantungku. Pada detik terakhir aku hanya sempat merasakan kesakitan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata, tepat, saat mereka mereka mencongkel mataku. Pada detik terakhir itulah, ruhku keluar dari tubuh, dan menjelma kunang-kunang.
Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum Natal. Setelah peristiwa itu, terjadi kerusuhan dan kebakaran, yang menghanguskan nyaris sepertiga kota. Bekas yang disisakannya, berupa onggokan arang kebakaran, bila dilihat dari ketinggian, seperti luka sayatan pedang, yang mengiris wajah kota. Kesakitan yang akan lama kekal dalam ingatan.
***
Dan inilah kali pertama aku akan merayakan Natal sebagai kunang-kunang. Mengenang dan memikirkan apa yang telah terjadi di kota ini, aku diluapi kesedihan, yang membuatku sepertinya akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Ah, aku merasa, aku hanya terlalu dikuasai kesedihan. Mereka yang sudah lama menjadi kunang-kunang, mungkin pernah mengalami perasaan sentimentil seperti ini, tetapi akhirnya menjadi terbiasa. Perasaan sentimentil itulah, yang barangkali, membuatku ingin menceritakan semua kisah ini, kepadamu.
Pada malam Natal di kota ini, kau akan menyaksikan kunang-kunang bermunculan dari penjuru kota, yang bergerak melayang menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang berkilauan kuning keemasan. Pada fresko di belakang altar, kacanya yang buram dan sudah pecah di beberapa bagian, cahaya kunang-kunang itu menampakkan diri bagaikan aura para santa, membuat salib Kristus yang menjulang seolah diselubungi cahaya kesucian yang lembut dan meneduhkan. Sementara para jemaat, yang nyaris sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara pelan daun yang melayang jatuh menyentuh rerumputan, akan terdengar jelas di telingamu.
Ubi caritas et amor, Deus ibi est
Simul ergo cum in unum congregamur
Ne nos mente dividamur, caveamus
Cessent iurgia maligna, cessent lites
Et in medio nostri sit Christus Deus….
Nyanyian itu, nyanyian itu, membuat aku tak kuasa menahan sedu. Aku membayangkan kota yang terang, teluk yang lembut dan menguarkan kesegaran yang tak terjamah musim. Kotaku, kotaku, yang sesungguhnya elok ini, kenapa engkau ditinggalkan para penduduk yang mencintamu dengan seluruh nestapa dan duka cita?
Keheningan misa mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung hingga terjerembap. Aku melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti ada yang melemparkan bom molotov. Seperti ada ledakan granat atau entah apa yang tak pernah aku tahu. Mungkin seseorang telah menyelusup ke dalam gereja dan meledakkan diri. Dan api makin berkobar. Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya.
Sebelum api itu juga menghanguskanku, mungkin aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini yang masih sempat menceritakan semua ini kepadamu. (*)
Ambon, 2011