Joko Swiwi
Cerpen Seno Gumira Ajidarma
“CERITAKAN kepada kami tentang perbedaan,” kata murid-murid sekolah
dasar itu kepada Ibu Guru Tati, kelak di masa yang akan datang.
Maka Ibu Guru Tati akan menceritakan legenda Joko Swiwi.
Ketika Joko Swiwi lahir, Poniyem merasa dirinya melahirkan seekor
ayam, karena bayi yang keluar dari rahimnya terbungkus sepenuhnya
oleh sepasang sayap yang basah. Dukun bayinya saja hampir pingsan
melihat bayi seperti itu.
Ketika sayap itu membuka dengan sendirinya, barulah tampak kepala
bayi yang akan bernama Joko Swiwi itu. Matanya sudah melek dengan
jernih, dan ia langsung tertawa terkekeh-kekeh, seperti bercanda
kepada mereka yang terkaget-kaget.
“He-he-he-he-he….”
Poniyem sebetulnya juga nyaris pingsan, karena ia semula mengira
Dirinya betul-betul melahirkan seekor ayam, tetapi pandangan mata
bayi itu kepadanya adalah pandangan mata seorang anak kepada ibunya.
Poniyem segera merasakan tali batin hubungan ibu dan anak, tali
batin ajaib yang berlaku bagi ibu dan anak mana pun, bagaimanapun
bentuk rupa ibu dan anak itu, sehingga ketika dukun bayi itu
mendekatkan bayi bersayap tersebut ia pun segera merengkuh dan
menyusuinya.
Di luar ruangan, orangtua Poniyem melihat Ibu Dukun itu menyibak gorden dan termangu-mangu di pintu.
“Cucu sampean itu Joko Swiwi, Lik.”
“Ha?”
“Iya, Joko Swiwi, mana mungkin bayi seperti itu mau sampean beri nama Bambang Wicaksono.”
JOKO Swiwi memang tidak punya bapak, atau lebih tepat tidak jelas bapaknya. Ketika Poniyem pulang dari luar negeri, ia sudah mengandung tujuh bulan. Entah kenapa semua orang di desanya maklum- maklum saja dan dengan gerak cepat segera mendapatkan seorang suami bagi Poniyem. Tidak penting benar apakah pemuda berusia 30 tahun itu sering meneteskan air liur tanpa sebab dan sama sekali tidak cocok dengan Poniyem yang cantik jelita indah rupawan bahenol nian. Bagi penduduk desa cara seperti itu sungguh cara yang tidak bisa lebih sahih lagi untuk menghapuskan sesuatu yang bisa dianggap sebagai aib.
Tidak peduli apakah pemuda 30 tahun yang setiap hari mengarit dengan air liur menetes-netes dan menyediakan rumput untuk sapi-sapi penduduk itu juga tak punya nama dan tiada pernah jelas asal-usulnya. “Pokoknya yang tidak jelas dijelaskan, yang tidak mapan dimapankan,” ujar Pak Lurah.
Orangtua Poniyem hanya bisa setuju-setuju saja, kecuali kalau mereka pindah dari desa dan hal itu tentu tidak mungkin, karena menginjak tanah di luar desanya saja mereka belum pernah. Maka sejak itu pemuda tanpa nama yang selalu menetes-neteskan air liur itu bernama Bapaknya Joko Swiwi, dan Joko Swiwi menjadi nama resmi bayi bersayap tersebut. Setelah berusia enam tahun ia bersekolah seperti anak- anak desa lain dan terdaftar dengan nama Joko Swiwi.
Hanya saja kalau anak-anak desa harus berjalan kaki naik turun perbukitan kapur untuk belajar matematika, Joko Swiwi terbang langsung dari rumahnya dan kadang-kadang masuk kelas lewat jendela. Usaha orangtua Poniyem untuk mendapat penjelasan dari anaknya selalu gagal.
“Nduk anakku yang cantik, sebetulnya di luar negeri kamu itu berhubungan dengan siapa kok anakmu bisa bersayap seperti itu?” Poniyem biasanya hanya tertunduk, tetapi di balik rambutnya yang panjang terurai menutupi wajah itu ia tersenyum-senyum. Bagaimana mungkin ia menjelaskan apa yang dialaminya dalam mimpi kepada orangtuanya? Bagaimana mungkin ia menjelaskan betapa malam- malamnya yang lelah sehabis bekerja berat 20 jam sehari selalu memberikannya mimpi yang bersambung setiap hari?
Itulah mimpi tentang makhluk-makhluk bersayap dan bercahaya putih kemilau yang selalu mendatangi dan bercinta dengannya dan ia melayani mereka habis-habisan dengan segala kemungkinan yang bisa diberikan oleh imajinasi. Makhluk-makhluk bersayap itu adalah para pecinta yang dahsyat. Meski cuma mimpi, ketika terbangun kasur busa tempatnya tidur di lantai selalu basah kuyup. Ketika mengetahui dirinya hamil, Poniyem memang agak bingung, tetapi ia sungguh- sungguh senang karena yang selama ini dianggapnya mimpi ternyata memberikannya bayi.
“Terima kasih Tuhan,” katanya dalam hati, “terima kasih atas keajaiban ini.”
Kini anaknya bisa terbang dan masuk kelas lewat jendela, ia bangga mempunyai anak Joko Swiwi.
KELAHIRAN Joko Swiwi memang memberi berkah kepada penduduk desa. Kabar tentang kelahiran Joko Swiwi yang tersebar ke mana-mana membuat penduduk desa-desa sekitar berdatangan ingin melihatnya. Dari hari ke hari mereka yang berdatangan bukannya tambah sedikit, melainkan berlipat ganda sampai berdesak-desak berbau keringat. Pak Lurah dengan tangkas segera menyiasati keadaan.
Setiap orang yang memasuki gerbang desa diharuskan membayar, kalau membawa kendaraan dan parkir sudah pasti akan ditagih lagi, tidak peduli apakah itu mobil, sepeda motor, atau cuma sepeda. Bayaran paling wajib tentu untuk setiap kepala bermata yang ingin menyaksikan Joko Swiwi dengan mata kepala sendiri. Bahkan orang buta yang hanya mampu meraba-raba saja ditagih bayaran pula. Memotret tentu ditagih bayaran tambahan, ongkos memotret Joko Swiwi saja dan foto bersama dibedakan. Kalau Poniyem ikut dipotret ditarik lagi ongkos tambahan.
Sebegitu jauh, tiada seorang pun peduli kepada Bapaknya Joko Swiwi, karena memang tiada seorang pun yang tahu betapa pemuda yang selalu menetes-neteskan air liur dan tak jelas tinggal di mana itu (di kuburan, kata sebagian orang) jika malam tiba akan berubah menjadi makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana memasuki mimpi-mimpi Poniyem.
Joko Swiwi sendiri memang layak jadi atraksi. Pada usia balita ia sudah bisa terbang setinggi pohon beringin. Tentu saja selain punya sayap ia juga punya tangan dan karena itu bisa membantu ibunya memetik buah ini-itu, buah kelapa misalnya, karena Bapaknya Joko Swiwi yang masih terus menetes-neteskan air liur itu rupa-rupanya memilih untuk pura-pura tidak mampu melakukannya–ia menjadi hebat hanya apabila malam tiba dan menyatroni Poniyem dalam mimpi sebagai makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana.
Adalah Joko Swiwi yang sejak usia balita sudah terbang berkelebat ke sana kemari. Sayapnya yang besar akan terdengar mengepak ceblak- cebluk di atas rumah-rumah penduduk, benar-benar seperti burung besar, yang lama-lama memang tambah dewasa tampan seni rupawan.
Setiap kali berangkat sekolah, Poniyem selalu saja berpesan: “Hati-hati di jalan Nak, jangan sampai ketabrak helikopter.”
Semakin dewasa kemampuan terbangnya memang semakin bertambah tinggi. Para pilot helikopter suka terkaget-kaget jika Joko Swiwi kebetulan melintas berkelebat di depannya.
“Busyet! Burung apa itu?”
“Oh, bukan burung kok, itu Joko Swiwi!”
“Oh….”
Bukan hanya tinggi dan cepat terbangnya Joko Swiwi, tapi juga indah dan penuh pesona. Kadang kala apabila Poniyem melihat ke langit, dilihatnya Joko Swiwi seperti merayakan angkasa. Sayapnya yang begitu besar membuat ia bisa terbang begitu laju hanya dalam beberapa kepakan sahaja dan selebihnya ia tinggal meluncur dengan sayap terbentang seperti burung elang.
Para peladang ketela suka menghentikan sejenak pekerjaan mencangkulnya, beristirahat sambil menikmati Joko Swiwi yang terbang berputar-putar dalam tarian angkasa. Gadis-gadis desa yang mandi di kali kecil pura-pura berteriak marah tapi senang juga menatap dan ditatap Joko Swiwi.
“Joko Swiwiiiiiiiiiiii!” teriak mereka ramai-ramai.
Mereka itulah yang suka mengumpulkan bulu-bulu Joko Swiwi yang rontok.
Di bawah sudah ramai mereka menantikan bulu-bulu putih yang melayang jatuh dari angkasa itu, berebutan menangkapnya, karena bulu-bulu sayap Joko Swiwi memang cendera mata yang indah. Sepertinya putih, tetapi kalau digerakkan bolak-balik dalam cahaya matahari, akan membiaskan cahaya segala macam warna. Itu pula yang terjadi jika Joko Swiwi mengepakkan sayap di angkasa, bulu-bulu sayapnya membiaskan segenap warna di dunia yang bisa tercerap oleh mata.
“Joko Swiwiiiiiiiiiiii! Sini dong mandi bersama kami!”
Namun Joko Swiwi adalah pemuda yang sopan, ia bukan tukang intip, bukan pula lelaki yang kurang ajar. Maka ia tidak akan terbang merendah untuk melihat-lihat perempuan mandi, melainkan akan terbang meninggi, makin tinggi, dan makin tinggi. Semakin naik dan semakin menyepi dari dunia ramai yang terkasih. Dalam kesunyian langit itulah Joko Swiwi merenungkan dirinya yang bersayap, yang menjadi tontonan, yang selalu dibicarakan dan dimanfaatkan.
Pernah ia membawa Poniyem ibunya terbang sambil membopongnya dan dalam kesunyian langit ia bertanya. “Ibu, Ibu, siapakah bapakku yang sebenarnya Ibu, sehingga aku menjadi bersayap begini?”
Sangatlah wajar jika Joko Swiwi hanya bisa memaklumi, betapa lelaki yang selalu mengarit dan dipanggil Bapaknya Joko Swiwi itu bukanlah ayahnya sama sekali. “Seorang lelaki bersayap tak akan berayahkan lelaki yang selalu menetes-neteskan air liur,” pikirnya.
Namun susahlah bagi Poniyem memberitahukan bahwa lelaki yang menetes-neteskan air liur itu setiap malam menjelma sebagai pecinta bersayap yang putih kemilau dalam mimpinya–tetapi Poniyem tetap bercerita bahwa ayah Joko Swiwi memang adalah makhluk-makhluk bersayap yang putih kemilau celang cemerlang gilang gemilang cahaya kencana yang menggaulinya dalam mimpi-mimpi ketika menjadi TKI di luar negeri.
“Jadi bapakku banyak?”
“Mungkin yang satu itu banyak dan yang banyak itu satu, apalah bedanya? Segenap dunia dengan kita di dalamnya juga cuma satu.”
Joko Swiwi memahami keterasingan ibunya, dan Joko Swiwi kini menghayati keterasingannya sendiri.
ALKISAH, di luar desa mereka berlangsung bencana. Mula-mula satu, lantas dua, disusul empat puluh, berlipat empat ratus, menjadi empat ribu, menjelma empat juta unggas mati berkaparan. Segala makhluk bersayap entah kenapa tewas di mana-mana. Ada yang sekadar tidak pernah bangun dari tidur, ada yang mendadak saja sekarat seperti habis disembelih, tak jarang tiba-tiba jatuh ketika terbang. Bagi orang miskin, unggas penyakitan ini kadang-kadang tetap saja dipanggang dan dibakar.
Wabah telah melanda dunia burung, termasuk di desa-desa sekitar desa tempat kelahiran Joko Swiwi. Masalahnya, para penghuni perbukitan kapur yang tidak pernah menonton televisi karena gambarnya selalu bergoyang-goyang dan suaranya cuma kresak-kresek ini tidak tahu apa- apa tentang wabah yang menyapu bumi. Yang mereka tahu hanyalah ayam bebek mentok piaraan mereka mati semua untuk selama-lamanya, tapi tidak begitu dengan unggas di desa tempat Joko Swiwi dilahirkan.
Pak Lurah dipanggil oleh Pak Camat dan di sana ia dikepung oleh lurah-lurah desa di sekitarnya.
“Pak Lurah, makhluk bersayap ajaib di desa sampean itulah pembawa kutukan ini, kita belum pernah mengalami wabah seperti ini sebelum kedatangan makhluk yang dinamakan Joko Swiwi itu.”
“Kalau memang begitu, kenapa harus menunggu 18 tahun, kenapa tidak dari dulu-dulu ketika Joko Swiwi dilahirkan maka wabah ini melanda?”
“Apakah bedanya? Pokoknya wabah ini ada setelah Joko Swiwi ada, wabah ini membunuh makhluk-makhluk bersayap dan Joko Swiwi adalah makhluk bersayap. Ia suka terbang ceblak-cebluk ke sana kemari. Barangkali saat itulah ia menyebar penyakit ke mana-mana.”
“Nanti dulu, dia bukan burung saya rasa, dia manusia, sama seperti kita, bedanya cuma dia bersayap sahaja. Dia baru saja lulus SMU dan jelas lebih pintar dari ayam-ayam kita. Barangkali sebentar lagi ikut mendaftar ke perguruan tinggi di kota. Penduduk desa kita selama ini hidup seperti katak dalam tempurung, Joko Swiwi bisa terbang ke mana-mana dan membagi pengetahuan untuk kita, apakah sampean-sampean akan membunuhnya?”
“Apakah ada cara lain? Kalau ia tetap hidup, ia akan tetap menyebarkan penyakit!”
“Tapi keberadaan Joko Swiwi belum terbukti menjadi penyebab wabah ini. Sampean-sampean jangan main hakim sendiri!”
“Pak Lurah, peternakan kami hancur karena wabah ini, padahal seluruh penduduk bergantung kepada peternakan itu. Tanah kita terlalu tandus untuk membuat sawah, penjualan panen ketela tergantung kepada para tengkulak, dan para tengkulak belum mampu mengubah penduduk bumi menjadi penggemar gaplek. Peternakan ayam bebek mentok selama ini telah membantu kita. Apakah Pak Lurah mengira kami akan berpangku tangan sahaja? Apakah Pak Lurah tidak tahu kalau wabah ini tidak hanya membunuh unggas tetapi juga manusia? Mereka mati seperti ayam disembelih! Kalaupun Joko Swiwi bukan penyebabnya, ia sungguh pantas menjadi tumbal!”
Pak Lurah memandang Pak Camat yang ternyata cuma bisa mengangkat bahu. Pak Lurah tahu, urusan Pak Camat hanyalah supaya ia bisa terpilih lagi pada musim pemilihan mendatang dan kedudukannya sangatlah ditentukan oleh para lurah desa di dalam kecamatannya. Pak Lurah juga mengerti, penduduk desa-desa tetangga sudah lama iri dengan keberuntungan desanya semenjak kelahiran Joko Swiwi yang mendatangkan berkah. Semua rumah penduduk di desa tempat tinggal Joko Swiwi kini berlantai tegel, sementara rumah penduduk desa-desa lain, kecuali para pemilik peternakan, masih tidak berlantai dan hanya beralaskan tanah yang menyebabkan paru-paru basah.
“Sampean cuma satu orang Pak Lurah, sampean kalah suara. Itulah demokrasi.” Pak Lurah tertunduk, air matanya titik–kali ini ia tidak peduli dengan kedudukannya.
KENTONG titir tanda bahaya terdengar di seluruh desa. Para penduduk berlari ke berbagai gardu penjagaan yang selama ini menganggur karena memang tiada pernah terdapat bahaya mengancam desa dalam seratus tahun terakhir. Namun kini mereka mengalami ancaman yang sungguh tiada terduga, itulah kepungan penduduk desa-desa tetangga mereka sendiri.
“Serahkan Joko Swiwi, atau kami bakar desa kalian!”
Penduduk desa mungkin tidak tahu apa-apa, tetapi dalam urusan harga diri adat mereka memberi pelajaran harus dibela, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa.
Bambu runcing segera berada di tangan mereka. Tua muda laki perempuan anak kecil tak luput bersiap siaga.
“Mana musuh kita,” kata mereka dengan bangga, “suruh mereka kemari, biar kusudet ususnya!”
Desa mereka dikitari bukit kapur, mereka berjaga di tempat yang tertinggi. Bongkah-bongkah batu besar telah siap digelindingkan. Para pengepung memang jauh lebih banyak, tetapi mereka tak akan mendapat kemenangan tanpa korban ratusan nyawa. Segenap penduduk telah siap mengadu jiwa atas nama kemerdekaan mereka. Di hadapan Poniyem ibunya yang bermuram durja, Joko Swiwi menundukkan muka.
“Biarlah aku menyerahkan diriku wahai Ibu, tidaklah perlu penduduk desa habis terbunuh karena aku.” “Tapi dirimu bukanlah penyebab wabah itu anakku, kalau dirimu penyebab wabah itu, pasti dirimu sendiri sudah mati. Entah dari mana asal penyakit itu, tapi pasti datangnya bukan dari kamu. Para lurah itu hanya mencari-cari alasan saja untuk membasmi kita, tidak pernah bisa mereka terima betapa desa yang dulunya paling miskin telah menjadi desa yang paling kaya di perbukitan kapur ini. Betapa dengki dan iri hati bisa menjadi parah begini.”
“Biarlah kuserahkan diriku Ibu, nyawaku tidaklah terlalu berharga dibanding kehidupan desa yang kusayangi ini, aku tidak ingin melihat desa ini kosong dan hanya berisi mayat bergelimpangan di sana-sini.”
“Itu tidak mungkin terjadi wahai Joko Swiwi anakku, sebelum mereka melangkahi mayatku!”
Poniyem lantas mengambil sebatang bambu runcing dan keluar rumah dengan gagah. Tubuhnya tinggi seperti Ratih Sanggarwati, dan ia putar bambu runcing itu seperti Sun Go Kong memutar toya, sampai sepuluh orang bisa bergelimpangan seketika.
Joko Swiwi juga keluar rumah dan mengepakkan sayap ke angkasa. Dapat disaksikannya di antara para pengepung itu terdapat sejumlah pemburu yang membawa senapan, seperti siap menembak Joko Swiwi jika berniat lari terbang ke angkasa. Mungkinkah terbayangkan betapa Joko Swiwi tertembak di udara dan bulu-bulu sayapnya rontok berhamburan di udara? Mungkinkah terbayangkan peluru-peluru akan berdesingan di sekitarnya dan beberapa di antaranya akan bersarang di tubuhnya, membuatnya meneteskan darah, dan jatuh melayang dari angkasa? Memang bisa saja ia lolos dari segala kepungan itu dan terbang melarikan diri jauh-jauh sampai ke Singapura, tetapi apalah yang akan dilakukannya di sana?
Minta suaka terlalu rumit baginya, sedangkan Jakarta tidaklah memberi harapan meski sekadar hanya untuk bertanya, karena bahkan burung-burung langka yang dilindungi negara dan dunia tewas pula di sana. Dirinya memang manusia, namun tetap saja makhluk bersayap adanya, sedangkan manusia dan makhluk bersayap adalah sasaran wabah yang tiada pernah dikenalnya pula.Dari angkasa ia menyaksikan segalanya. Dengan sedih dilihatnya penduduk desa yang sederhana siap mengadu jiwa dan kehilangan nyawa. Mungkin memang bukan karena membela Joko Swiwi sebenarnya, lebih karena membela desa yang siap ditindas kekuatan di luarnya, tetapi Joko Swiwi merasa dirinyalah tetap menjadi penyebab utama. Adalah kelahirannya di dunia dalam wujud berbeda menjadi penyebab segalanya.
“Mengapa perbedaan harus dipaksakan, jika persamaan masih dimungkinkan,” pikirnya pula.
Ketika uang mereka sudah terkumpul cukup banyak, karena Joko Swiwi memang adalah tontonan yang dahsyat, terpikir olehnya untuk pergi ke kota dan membedah lepas sepasang sayapnya yang sangat besar itu. Namun bukan saja penduduk desa keberatan, tentu karena sumber penghasilan akan menghilang, melainkan juga Joko Swiwi tak terlalu suka mengubah kodrat keberadaan dirinya meski melakukannya bukanlah suatu dosa.
Desa mereka begitu terpencil karena dunia mereka yang berkapur menjauhkan mereka dari peradaban. Dunia mereka hanyalah dunia putih kapur, debu-debu kapur yang mengakibatkan wajah-wajah berkapur seperti selalu berpupur.
Orang-orang kota menganggap mereka sebagai makhluk-makhluk ajaib yang seluruh tubuhnya putih seperti kapur. Keberadaan Joko Swiwi hanya menjadi pengetahuan orang-orang desa.
Orang-orang kota yang pernah mendengarnya hanya manggut-manggut dengan sopan karena mengiranya sebagai takhayul. Hanya para pilot helikopter yang pernah menyaksikan Joko Swiwi terbang berkelebat ke sana kemari, tetapi para pilot ini cukup berbaik hati untuk tidak memberi tahu para wartawan–apalagi wartawan infotaintment.
“Serahkan segera Joko Swiwi sekarang juga,” terdengar teriakan penduduk desa tetangga, “atau kami bakar habis desa kalian sampai habis rata tanpa sisa.” Jagabaya desanya maju ke muka.
“Majulah kalian sekarang juga, jangan terlalu banyak bicara, tak ada seorang pun akan diserahkan karena rudapaksa.”
Suasana tegang. Joko Swiwi sangat bimbang. Dari langit dilihatnya lingkaran ribuan penduduk lima desa bergerak maju. Bagaimana mungkin ia pergi terbang meninggalkan desanya? Bagaimana mungkin ia bisa menerima desanya akan menjadi bara merah yang menyala-nyala? Sebagai orang desa Joko Swiwi mengerti benar akan bakat kekerasan paling kejam yang tertanam dalam diri orang-orang desa. Pencuri mati dirajam, pezina diarak telanjang, dan perang antardesa adalah pertumpahan darah purba yang sangat mengerikan.
“Seberapa pentingkah seorang Joko Swiwi, seorang manusia yang kebetulan lahir bersayap, sehingga keberbedaannya harus dibela dan dipertahankan?”
Joko Swiwi yang remaja masih berpikir keras. Namun akhirnya ia mengambil keputusan.
SUNGAI Air Mata masih mengalir dari dua sumber mata air yang istimewa. Sumber mata air pertama adalah kedua mata pada patung Poniyem yang terus-menerus mengeluarkan air mata. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air mata duka Poniyem itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-betul membentuk aliran sebuah anak sungai.
Sumber mata air kedua adalah sudut kanan mulut pada patung Bapaknya Joko Swiwi yang terus menerus mengeluarkan air liur. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air liur ketidaksadaran Bapaknya Joko Swiwi itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-betul membentuk aliran sebuah anak sungai.
Kedua patung itu terletak di atas bukit kapur yang tandus dan gersang, di kaki bukit kedua anak sungai itu bertemu, membentuk sungai yang kemudian disebut Sungai Air Mata. Patung Poniyem yang mengenakan kain dan kebaya bersimpuh dengan kedua tangan di tanah menahan tubuh, sementara kepalanya yang tertunduk agak miring ke kanan, sehingga rambutnya yang panjang ikal mayang jatuh terurai sampai menutupi dada kanan. Patung Bapaknya Joko Swiwi yang mengenakan baju dekil dan celana pendek sobek-sobek berjongkok dan memegang arit seperti dalam kehidupannya sehari-hari, kepalanya yang berwajah bodoh juga agak miring ke kanan sehingga air liurnya keluar dari sudut kanan bibirnya yang selalu terbuka. Sungai Air Mata telah memungkinkan penduduk desa perbukitan kapur itu mengubah ladang ketela mereka menjadi sawah yang subur.
Berabad-abad kemudian kedua patung itu disebut sebagai patung Dewi Air Mata dan patung Dewa Air Liur. Kedua patung itu begitu mirip dengan manusia karena tidak berasal dari batu yang dipahat melainkan manusia yang berubah menjadi patung karena duka tak tertahankan.
“Kenapa disebut Sungai Air Mata, padahal sumber mata airnya bukan hanya air mata melainkan juga air liur?” murid-murid sekolah dasar itu kelak akan bertanya. Ibu Guru Tati tidak menjawab, dan balas bertanya:
“Itu dia soalnya, kenapa?”
Di luar ruangan, orangtua Poniyem melihat Ibu Dukun itu menyibak gorden dan termangu-mangu di pintu.
“Cucu sampean itu Joko Swiwi, Lik.”
“Ha?”
“Iya, Joko Swiwi, mana mungkin bayi seperti itu mau sampean beri nama Bambang Wicaksono.”
JOKO Swiwi memang tidak punya bapak, atau lebih tepat tidak jelas bapaknya. Ketika Poniyem pulang dari luar negeri, ia sudah mengandung tujuh bulan. Entah kenapa semua orang di desanya maklum- maklum saja dan dengan gerak cepat segera mendapatkan seorang suami bagi Poniyem. Tidak penting benar apakah pemuda berusia 30 tahun itu sering meneteskan air liur tanpa sebab dan sama sekali tidak cocok dengan Poniyem yang cantik jelita indah rupawan bahenol nian. Bagi penduduk desa cara seperti itu sungguh cara yang tidak bisa lebih sahih lagi untuk menghapuskan sesuatu yang bisa dianggap sebagai aib.
Tidak peduli apakah pemuda 30 tahun yang setiap hari mengarit dengan air liur menetes-netes dan menyediakan rumput untuk sapi-sapi penduduk itu juga tak punya nama dan tiada pernah jelas asal-usulnya. “Pokoknya yang tidak jelas dijelaskan, yang tidak mapan dimapankan,” ujar Pak Lurah.
Orangtua Poniyem hanya bisa setuju-setuju saja, kecuali kalau mereka pindah dari desa dan hal itu tentu tidak mungkin, karena menginjak tanah di luar desanya saja mereka belum pernah. Maka sejak itu pemuda tanpa nama yang selalu menetes-neteskan air liur itu bernama Bapaknya Joko Swiwi, dan Joko Swiwi menjadi nama resmi bayi bersayap tersebut. Setelah berusia enam tahun ia bersekolah seperti anak- anak desa lain dan terdaftar dengan nama Joko Swiwi.
Hanya saja kalau anak-anak desa harus berjalan kaki naik turun perbukitan kapur untuk belajar matematika, Joko Swiwi terbang langsung dari rumahnya dan kadang-kadang masuk kelas lewat jendela. Usaha orangtua Poniyem untuk mendapat penjelasan dari anaknya selalu gagal.
“Nduk anakku yang cantik, sebetulnya di luar negeri kamu itu berhubungan dengan siapa kok anakmu bisa bersayap seperti itu?” Poniyem biasanya hanya tertunduk, tetapi di balik rambutnya yang panjang terurai menutupi wajah itu ia tersenyum-senyum. Bagaimana mungkin ia menjelaskan apa yang dialaminya dalam mimpi kepada orangtuanya? Bagaimana mungkin ia menjelaskan betapa malam- malamnya yang lelah sehabis bekerja berat 20 jam sehari selalu memberikannya mimpi yang bersambung setiap hari?
Itulah mimpi tentang makhluk-makhluk bersayap dan bercahaya putih kemilau yang selalu mendatangi dan bercinta dengannya dan ia melayani mereka habis-habisan dengan segala kemungkinan yang bisa diberikan oleh imajinasi. Makhluk-makhluk bersayap itu adalah para pecinta yang dahsyat. Meski cuma mimpi, ketika terbangun kasur busa tempatnya tidur di lantai selalu basah kuyup. Ketika mengetahui dirinya hamil, Poniyem memang agak bingung, tetapi ia sungguh- sungguh senang karena yang selama ini dianggapnya mimpi ternyata memberikannya bayi.
“Terima kasih Tuhan,” katanya dalam hati, “terima kasih atas keajaiban ini.”
Kini anaknya bisa terbang dan masuk kelas lewat jendela, ia bangga mempunyai anak Joko Swiwi.
KELAHIRAN Joko Swiwi memang memberi berkah kepada penduduk desa. Kabar tentang kelahiran Joko Swiwi yang tersebar ke mana-mana membuat penduduk desa-desa sekitar berdatangan ingin melihatnya. Dari hari ke hari mereka yang berdatangan bukannya tambah sedikit, melainkan berlipat ganda sampai berdesak-desak berbau keringat. Pak Lurah dengan tangkas segera menyiasati keadaan.
Setiap orang yang memasuki gerbang desa diharuskan membayar, kalau membawa kendaraan dan parkir sudah pasti akan ditagih lagi, tidak peduli apakah itu mobil, sepeda motor, atau cuma sepeda. Bayaran paling wajib tentu untuk setiap kepala bermata yang ingin menyaksikan Joko Swiwi dengan mata kepala sendiri. Bahkan orang buta yang hanya mampu meraba-raba saja ditagih bayaran pula. Memotret tentu ditagih bayaran tambahan, ongkos memotret Joko Swiwi saja dan foto bersama dibedakan. Kalau Poniyem ikut dipotret ditarik lagi ongkos tambahan.
Sebegitu jauh, tiada seorang pun peduli kepada Bapaknya Joko Swiwi, karena memang tiada seorang pun yang tahu betapa pemuda yang selalu menetes-neteskan air liur dan tak jelas tinggal di mana itu (di kuburan, kata sebagian orang) jika malam tiba akan berubah menjadi makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana memasuki mimpi-mimpi Poniyem.
Joko Swiwi sendiri memang layak jadi atraksi. Pada usia balita ia sudah bisa terbang setinggi pohon beringin. Tentu saja selain punya sayap ia juga punya tangan dan karena itu bisa membantu ibunya memetik buah ini-itu, buah kelapa misalnya, karena Bapaknya Joko Swiwi yang masih terus menetes-neteskan air liur itu rupa-rupanya memilih untuk pura-pura tidak mampu melakukannya–ia menjadi hebat hanya apabila malam tiba dan menyatroni Poniyem dalam mimpi sebagai makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana.
Adalah Joko Swiwi yang sejak usia balita sudah terbang berkelebat ke sana kemari. Sayapnya yang besar akan terdengar mengepak ceblak- cebluk di atas rumah-rumah penduduk, benar-benar seperti burung besar, yang lama-lama memang tambah dewasa tampan seni rupawan.
Setiap kali berangkat sekolah, Poniyem selalu saja berpesan: “Hati-hati di jalan Nak, jangan sampai ketabrak helikopter.”
Semakin dewasa kemampuan terbangnya memang semakin bertambah tinggi. Para pilot helikopter suka terkaget-kaget jika Joko Swiwi kebetulan melintas berkelebat di depannya.
“Busyet! Burung apa itu?”
“Oh, bukan burung kok, itu Joko Swiwi!”
“Oh….”
Bukan hanya tinggi dan cepat terbangnya Joko Swiwi, tapi juga indah dan penuh pesona. Kadang kala apabila Poniyem melihat ke langit, dilihatnya Joko Swiwi seperti merayakan angkasa. Sayapnya yang begitu besar membuat ia bisa terbang begitu laju hanya dalam beberapa kepakan sahaja dan selebihnya ia tinggal meluncur dengan sayap terbentang seperti burung elang.
Para peladang ketela suka menghentikan sejenak pekerjaan mencangkulnya, beristirahat sambil menikmati Joko Swiwi yang terbang berputar-putar dalam tarian angkasa. Gadis-gadis desa yang mandi di kali kecil pura-pura berteriak marah tapi senang juga menatap dan ditatap Joko Swiwi.
“Joko Swiwiiiiiiiiiiii!” teriak mereka ramai-ramai.
Mereka itulah yang suka mengumpulkan bulu-bulu Joko Swiwi yang rontok.
Di bawah sudah ramai mereka menantikan bulu-bulu putih yang melayang jatuh dari angkasa itu, berebutan menangkapnya, karena bulu-bulu sayap Joko Swiwi memang cendera mata yang indah. Sepertinya putih, tetapi kalau digerakkan bolak-balik dalam cahaya matahari, akan membiaskan cahaya segala macam warna. Itu pula yang terjadi jika Joko Swiwi mengepakkan sayap di angkasa, bulu-bulu sayapnya membiaskan segenap warna di dunia yang bisa tercerap oleh mata.
“Joko Swiwiiiiiiiiiiii! Sini dong mandi bersama kami!”
Namun Joko Swiwi adalah pemuda yang sopan, ia bukan tukang intip, bukan pula lelaki yang kurang ajar. Maka ia tidak akan terbang merendah untuk melihat-lihat perempuan mandi, melainkan akan terbang meninggi, makin tinggi, dan makin tinggi. Semakin naik dan semakin menyepi dari dunia ramai yang terkasih. Dalam kesunyian langit itulah Joko Swiwi merenungkan dirinya yang bersayap, yang menjadi tontonan, yang selalu dibicarakan dan dimanfaatkan.
Pernah ia membawa Poniyem ibunya terbang sambil membopongnya dan dalam kesunyian langit ia bertanya. “Ibu, Ibu, siapakah bapakku yang sebenarnya Ibu, sehingga aku menjadi bersayap begini?”
Sangatlah wajar jika Joko Swiwi hanya bisa memaklumi, betapa lelaki yang selalu mengarit dan dipanggil Bapaknya Joko Swiwi itu bukanlah ayahnya sama sekali. “Seorang lelaki bersayap tak akan berayahkan lelaki yang selalu menetes-neteskan air liur,” pikirnya.
Namun susahlah bagi Poniyem memberitahukan bahwa lelaki yang menetes-neteskan air liur itu setiap malam menjelma sebagai pecinta bersayap yang putih kemilau dalam mimpinya–tetapi Poniyem tetap bercerita bahwa ayah Joko Swiwi memang adalah makhluk-makhluk bersayap yang putih kemilau celang cemerlang gilang gemilang cahaya kencana yang menggaulinya dalam mimpi-mimpi ketika menjadi TKI di luar negeri.
“Jadi bapakku banyak?”
“Mungkin yang satu itu banyak dan yang banyak itu satu, apalah bedanya? Segenap dunia dengan kita di dalamnya juga cuma satu.”
Joko Swiwi memahami keterasingan ibunya, dan Joko Swiwi kini menghayati keterasingannya sendiri.
ALKISAH, di luar desa mereka berlangsung bencana. Mula-mula satu, lantas dua, disusul empat puluh, berlipat empat ratus, menjadi empat ribu, menjelma empat juta unggas mati berkaparan. Segala makhluk bersayap entah kenapa tewas di mana-mana. Ada yang sekadar tidak pernah bangun dari tidur, ada yang mendadak saja sekarat seperti habis disembelih, tak jarang tiba-tiba jatuh ketika terbang. Bagi orang miskin, unggas penyakitan ini kadang-kadang tetap saja dipanggang dan dibakar.
Wabah telah melanda dunia burung, termasuk di desa-desa sekitar desa tempat kelahiran Joko Swiwi. Masalahnya, para penghuni perbukitan kapur yang tidak pernah menonton televisi karena gambarnya selalu bergoyang-goyang dan suaranya cuma kresak-kresek ini tidak tahu apa- apa tentang wabah yang menyapu bumi. Yang mereka tahu hanyalah ayam bebek mentok piaraan mereka mati semua untuk selama-lamanya, tapi tidak begitu dengan unggas di desa tempat Joko Swiwi dilahirkan.
Pak Lurah dipanggil oleh Pak Camat dan di sana ia dikepung oleh lurah-lurah desa di sekitarnya.
“Pak Lurah, makhluk bersayap ajaib di desa sampean itulah pembawa kutukan ini, kita belum pernah mengalami wabah seperti ini sebelum kedatangan makhluk yang dinamakan Joko Swiwi itu.”
“Kalau memang begitu, kenapa harus menunggu 18 tahun, kenapa tidak dari dulu-dulu ketika Joko Swiwi dilahirkan maka wabah ini melanda?”
“Apakah bedanya? Pokoknya wabah ini ada setelah Joko Swiwi ada, wabah ini membunuh makhluk-makhluk bersayap dan Joko Swiwi adalah makhluk bersayap. Ia suka terbang ceblak-cebluk ke sana kemari. Barangkali saat itulah ia menyebar penyakit ke mana-mana.”
“Nanti dulu, dia bukan burung saya rasa, dia manusia, sama seperti kita, bedanya cuma dia bersayap sahaja. Dia baru saja lulus SMU dan jelas lebih pintar dari ayam-ayam kita. Barangkali sebentar lagi ikut mendaftar ke perguruan tinggi di kota. Penduduk desa kita selama ini hidup seperti katak dalam tempurung, Joko Swiwi bisa terbang ke mana-mana dan membagi pengetahuan untuk kita, apakah sampean-sampean akan membunuhnya?”
“Apakah ada cara lain? Kalau ia tetap hidup, ia akan tetap menyebarkan penyakit!”
“Tapi keberadaan Joko Swiwi belum terbukti menjadi penyebab wabah ini. Sampean-sampean jangan main hakim sendiri!”
“Pak Lurah, peternakan kami hancur karena wabah ini, padahal seluruh penduduk bergantung kepada peternakan itu. Tanah kita terlalu tandus untuk membuat sawah, penjualan panen ketela tergantung kepada para tengkulak, dan para tengkulak belum mampu mengubah penduduk bumi menjadi penggemar gaplek. Peternakan ayam bebek mentok selama ini telah membantu kita. Apakah Pak Lurah mengira kami akan berpangku tangan sahaja? Apakah Pak Lurah tidak tahu kalau wabah ini tidak hanya membunuh unggas tetapi juga manusia? Mereka mati seperti ayam disembelih! Kalaupun Joko Swiwi bukan penyebabnya, ia sungguh pantas menjadi tumbal!”
Pak Lurah memandang Pak Camat yang ternyata cuma bisa mengangkat bahu. Pak Lurah tahu, urusan Pak Camat hanyalah supaya ia bisa terpilih lagi pada musim pemilihan mendatang dan kedudukannya sangatlah ditentukan oleh para lurah desa di dalam kecamatannya. Pak Lurah juga mengerti, penduduk desa-desa tetangga sudah lama iri dengan keberuntungan desanya semenjak kelahiran Joko Swiwi yang mendatangkan berkah. Semua rumah penduduk di desa tempat tinggal Joko Swiwi kini berlantai tegel, sementara rumah penduduk desa-desa lain, kecuali para pemilik peternakan, masih tidak berlantai dan hanya beralaskan tanah yang menyebabkan paru-paru basah.
“Sampean cuma satu orang Pak Lurah, sampean kalah suara. Itulah demokrasi.” Pak Lurah tertunduk, air matanya titik–kali ini ia tidak peduli dengan kedudukannya.
KENTONG titir tanda bahaya terdengar di seluruh desa. Para penduduk berlari ke berbagai gardu penjagaan yang selama ini menganggur karena memang tiada pernah terdapat bahaya mengancam desa dalam seratus tahun terakhir. Namun kini mereka mengalami ancaman yang sungguh tiada terduga, itulah kepungan penduduk desa-desa tetangga mereka sendiri.
“Serahkan Joko Swiwi, atau kami bakar desa kalian!”
Penduduk desa mungkin tidak tahu apa-apa, tetapi dalam urusan harga diri adat mereka memberi pelajaran harus dibela, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa.
Bambu runcing segera berada di tangan mereka. Tua muda laki perempuan anak kecil tak luput bersiap siaga.
“Mana musuh kita,” kata mereka dengan bangga, “suruh mereka kemari, biar kusudet ususnya!”
Desa mereka dikitari bukit kapur, mereka berjaga di tempat yang tertinggi. Bongkah-bongkah batu besar telah siap digelindingkan. Para pengepung memang jauh lebih banyak, tetapi mereka tak akan mendapat kemenangan tanpa korban ratusan nyawa. Segenap penduduk telah siap mengadu jiwa atas nama kemerdekaan mereka. Di hadapan Poniyem ibunya yang bermuram durja, Joko Swiwi menundukkan muka.
“Biarlah aku menyerahkan diriku wahai Ibu, tidaklah perlu penduduk desa habis terbunuh karena aku.” “Tapi dirimu bukanlah penyebab wabah itu anakku, kalau dirimu penyebab wabah itu, pasti dirimu sendiri sudah mati. Entah dari mana asal penyakit itu, tapi pasti datangnya bukan dari kamu. Para lurah itu hanya mencari-cari alasan saja untuk membasmi kita, tidak pernah bisa mereka terima betapa desa yang dulunya paling miskin telah menjadi desa yang paling kaya di perbukitan kapur ini. Betapa dengki dan iri hati bisa menjadi parah begini.”
“Biarlah kuserahkan diriku Ibu, nyawaku tidaklah terlalu berharga dibanding kehidupan desa yang kusayangi ini, aku tidak ingin melihat desa ini kosong dan hanya berisi mayat bergelimpangan di sana-sini.”
“Itu tidak mungkin terjadi wahai Joko Swiwi anakku, sebelum mereka melangkahi mayatku!”
Poniyem lantas mengambil sebatang bambu runcing dan keluar rumah dengan gagah. Tubuhnya tinggi seperti Ratih Sanggarwati, dan ia putar bambu runcing itu seperti Sun Go Kong memutar toya, sampai sepuluh orang bisa bergelimpangan seketika.
Joko Swiwi juga keluar rumah dan mengepakkan sayap ke angkasa. Dapat disaksikannya di antara para pengepung itu terdapat sejumlah pemburu yang membawa senapan, seperti siap menembak Joko Swiwi jika berniat lari terbang ke angkasa. Mungkinkah terbayangkan betapa Joko Swiwi tertembak di udara dan bulu-bulu sayapnya rontok berhamburan di udara? Mungkinkah terbayangkan peluru-peluru akan berdesingan di sekitarnya dan beberapa di antaranya akan bersarang di tubuhnya, membuatnya meneteskan darah, dan jatuh melayang dari angkasa? Memang bisa saja ia lolos dari segala kepungan itu dan terbang melarikan diri jauh-jauh sampai ke Singapura, tetapi apalah yang akan dilakukannya di sana?
Minta suaka terlalu rumit baginya, sedangkan Jakarta tidaklah memberi harapan meski sekadar hanya untuk bertanya, karena bahkan burung-burung langka yang dilindungi negara dan dunia tewas pula di sana. Dirinya memang manusia, namun tetap saja makhluk bersayap adanya, sedangkan manusia dan makhluk bersayap adalah sasaran wabah yang tiada pernah dikenalnya pula.Dari angkasa ia menyaksikan segalanya. Dengan sedih dilihatnya penduduk desa yang sederhana siap mengadu jiwa dan kehilangan nyawa. Mungkin memang bukan karena membela Joko Swiwi sebenarnya, lebih karena membela desa yang siap ditindas kekuatan di luarnya, tetapi Joko Swiwi merasa dirinyalah tetap menjadi penyebab utama. Adalah kelahirannya di dunia dalam wujud berbeda menjadi penyebab segalanya.
“Mengapa perbedaan harus dipaksakan, jika persamaan masih dimungkinkan,” pikirnya pula.
Ketika uang mereka sudah terkumpul cukup banyak, karena Joko Swiwi memang adalah tontonan yang dahsyat, terpikir olehnya untuk pergi ke kota dan membedah lepas sepasang sayapnya yang sangat besar itu. Namun bukan saja penduduk desa keberatan, tentu karena sumber penghasilan akan menghilang, melainkan juga Joko Swiwi tak terlalu suka mengubah kodrat keberadaan dirinya meski melakukannya bukanlah suatu dosa.
Desa mereka begitu terpencil karena dunia mereka yang berkapur menjauhkan mereka dari peradaban. Dunia mereka hanyalah dunia putih kapur, debu-debu kapur yang mengakibatkan wajah-wajah berkapur seperti selalu berpupur.
Orang-orang kota menganggap mereka sebagai makhluk-makhluk ajaib yang seluruh tubuhnya putih seperti kapur. Keberadaan Joko Swiwi hanya menjadi pengetahuan orang-orang desa.
Orang-orang kota yang pernah mendengarnya hanya manggut-manggut dengan sopan karena mengiranya sebagai takhayul. Hanya para pilot helikopter yang pernah menyaksikan Joko Swiwi terbang berkelebat ke sana kemari, tetapi para pilot ini cukup berbaik hati untuk tidak memberi tahu para wartawan–apalagi wartawan infotaintment.
“Serahkan segera Joko Swiwi sekarang juga,” terdengar teriakan penduduk desa tetangga, “atau kami bakar habis desa kalian sampai habis rata tanpa sisa.” Jagabaya desanya maju ke muka.
“Majulah kalian sekarang juga, jangan terlalu banyak bicara, tak ada seorang pun akan diserahkan karena rudapaksa.”
Suasana tegang. Joko Swiwi sangat bimbang. Dari langit dilihatnya lingkaran ribuan penduduk lima desa bergerak maju. Bagaimana mungkin ia pergi terbang meninggalkan desanya? Bagaimana mungkin ia bisa menerima desanya akan menjadi bara merah yang menyala-nyala? Sebagai orang desa Joko Swiwi mengerti benar akan bakat kekerasan paling kejam yang tertanam dalam diri orang-orang desa. Pencuri mati dirajam, pezina diarak telanjang, dan perang antardesa adalah pertumpahan darah purba yang sangat mengerikan.
“Seberapa pentingkah seorang Joko Swiwi, seorang manusia yang kebetulan lahir bersayap, sehingga keberbedaannya harus dibela dan dipertahankan?”
Joko Swiwi yang remaja masih berpikir keras. Namun akhirnya ia mengambil keputusan.
SUNGAI Air Mata masih mengalir dari dua sumber mata air yang istimewa. Sumber mata air pertama adalah kedua mata pada patung Poniyem yang terus-menerus mengeluarkan air mata. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air mata duka Poniyem itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-betul membentuk aliran sebuah anak sungai.
Sumber mata air kedua adalah sudut kanan mulut pada patung Bapaknya Joko Swiwi yang terus menerus mengeluarkan air liur. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air liur ketidaksadaran Bapaknya Joko Swiwi itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-betul membentuk aliran sebuah anak sungai.
Kedua patung itu terletak di atas bukit kapur yang tandus dan gersang, di kaki bukit kedua anak sungai itu bertemu, membentuk sungai yang kemudian disebut Sungai Air Mata. Patung Poniyem yang mengenakan kain dan kebaya bersimpuh dengan kedua tangan di tanah menahan tubuh, sementara kepalanya yang tertunduk agak miring ke kanan, sehingga rambutnya yang panjang ikal mayang jatuh terurai sampai menutupi dada kanan. Patung Bapaknya Joko Swiwi yang mengenakan baju dekil dan celana pendek sobek-sobek berjongkok dan memegang arit seperti dalam kehidupannya sehari-hari, kepalanya yang berwajah bodoh juga agak miring ke kanan sehingga air liurnya keluar dari sudut kanan bibirnya yang selalu terbuka. Sungai Air Mata telah memungkinkan penduduk desa perbukitan kapur itu mengubah ladang ketela mereka menjadi sawah yang subur.
Berabad-abad kemudian kedua patung itu disebut sebagai patung Dewi Air Mata dan patung Dewa Air Liur. Kedua patung itu begitu mirip dengan manusia karena tidak berasal dari batu yang dipahat melainkan manusia yang berubah menjadi patung karena duka tak tertahankan.
“Kenapa disebut Sungai Air Mata, padahal sumber mata airnya bukan hanya air mata melainkan juga air liur?” murid-murid sekolah dasar itu kelak akan bertanya. Ibu Guru Tati tidak menjawab, dan balas bertanya:
“Itu dia soalnya, kenapa?”
Taipei-Tokyo-Honolulu-M/N1043, Maret 2006