Pasir Retak
Cerpen Afrisal Malna
HUJAN turun di atas api. Suara api dan suara hujan bercampur seperti suara sungai dengan alirannya yang deras. Keduanya menjadi nyanyian cinta menjelang senja.
Hujan tak tahu kenapa api membuat warna merah jingga yang panas, api juga tak tahu kenapa hujan dipanggil hujan setiap ia turun, seperti mahluk terbuat dari air yang turun dari langit. Mereka berdua, hujan dan api itu, mengatakan: biarlah angin terus berjalan dari kota ke kota, mengantar gunung dan laut kepadamu, mengantar langit dan tanah kepadamu, mengantar bisik-bisik dari dalam sejarah lebih dekat lagi dengan telingamu. Keduanya menolak tentang berita yang disiarkan beberapa pemancar TV, bahwa telah turun “hujan api” di sebuah kota.
Kami adalah hujan dan api, bukan hujan-api.
Basa-basi itu, antara hujan dan api, mereka katakan itu setiap pagi hanya untuk merayu agar angin mengunjungi pintu-pintu rumah yang masih tertutup di pagi hari. Kadang, angin itu, menempelkan selembar daun di daun pintu rumah yang masih tertutup. Dan mengatakan, aku tidak pernah memikirkan bagaimana waktu menghitung dirinya setiap saat, dan sedikit kecelakaan yang kadang-kadang terjadi.
Kami adalah hujan dan api untuk sejarahmu yang disimpan oleh angin.
***
Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti lengkungan dari bundaran bola yang rata. Mirip kubah biru mengapung di atas kabut. Angin, yang merajut daun-daun dengan dahannya, rumah dengan tanah tempatnya berdiri, laut dengan ombaknya, gunung dengan jurang dan tebing-tebingnya, tidak berhembus. Semua yang dilihat tampak kaku, gambar-gambar yang tak bergerak, alam dan kehidupan hadir seperti tempelan-tempelan potret dalam sebuah bola.
Di Semarang, dalam sebuah bangunan tua yang dibuat akhir abad 19, seorang perempuan sedang melahirkan. Bangunan dengan tiang-tiang tinggi, tembok-tembok besar, teras yang juga besar ini, kini sudah berubah menjadi kantor sebuah bank. Bangunan dengan arsitektur kolonial ini banyak tersebar di kota yang sangat dekat dengan kaki-kaki air. Setiap hujan datang atau laut pasang, banjir akan menggenanginya. Di lingkungan luarnya, bayangan bukit-bukit dan gunung, berdiri seperti candi-candi alam yang dihasilkan oleh proses geologi waktu yang panjang dan terus-menerus.
Perempuan yang melahirkan itu datang dari keluarga petani yang tinggal di sebuah desa di Bromo, Jawa Timur. Perempuan itu tidak tahu kenapa ia memilih kota Semarang untuk melahirkan bayinya. Ia hanya memenuhi dorongan dari dalam dirinya untuk pergi ke semarang, dan melahirkan bayinya di bangunan tua yang kini sudah menjadi kantor bank itu.
Seluruh pegawai bank panik melihat seorang perempuan tiba-tiba melahirkan. Perempuan itu tidak mungkin dibawa ke rumah sakit karena begitu saja ia melahirkan di kursi tempat nasabah bank menunggu antrian. Kaki perempuan itu mengangkang. Ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia hanya menggigit telapak tangannya hingga berdarah saat mengeluarkan bayinya dari rahimnya.
Ketika bayi itu lahir, melewati vagina ibunya, ia seperti keluar melewati hujan dan api. Suara sungai dengan alirannya yang deras dan suara cinta menjelang senja. Lalu angin kembali berhembus. Bayi itu seorang perempuan dan diberi nama Kembang Kertas. Ibunya tak tahu kenapa nama ini tiba-tiba saja muncul dalam benaknya dan menjadi nama untuk bayinya.
Kelahiran itu mengejutkan seluruh pegawai dan nasabah bank karena bayi itu tidak berwajah. Mukanya rata, tetapi tampak anggun dan indah. Mulutnya terletak pada pusarnya, telinganya ada di bahunya. Seluruh bagian tubuhnya bisa bernapas dan mencium berbagai bau di sekitarnya. Dokter-dokter yang datang tidak bisa mengatakan bahwa bayi itu cacat karena seluruh indranya berfungsi dengan baik, hanya letaknya berubah. Tubuh manusia seperti mengalami revolusi melalui kelahiran Kembang Kertas.
Ibunya kembali membawa Kembang Kertas ke desanya, di Bromo. Suaminya hanya seorang lelaki desa sederhana, yang kadang mencari tambahan uang dengan menyewakan kuda kepada turis, mengantar turis mengelilingi padang pasir dari kawah Bromo.
Kembang Kertas tumbuh dengan dunianya sendiri. Ia sensitif untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ia bisa duduk berlama-lama hanya menghadap tembok di rumahnya. Kadang selama 8 jam ia hanya duduk menghadap ke tembok. Dan orang tidak pernah ada yang tahu, apa yang sedang dilihatnya, karena kedua matanya ada di telapak tangannya. Wajahnya yang rata membuatnya hidup seperti memakai topeng yang selalu menutupinya.
Ia tidak mau sekolah. Setiap diajak ke sekolah ia menjerit-jerit seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan baginya. Semua yang dilihatnya seakan-akan bukan kenyataan yang sebenarnya. Kedua matanya yang terletak di telapak tangannya, dan selalu mengeluarkan suara seperti suara mekanik dari kamera yang sedang merekam, bisa melihat dua kenyataan sekaligus: kenyataan yang terlihat dan kenyataan yang tersembunyi.
Kembang Kertas memang tidak mau sekolah. Tapi tidak ada yang tahu kalau setiap hari ia selalu belajar bahasa rahasia melalui kenyataan tersembunyi yang dilihatnya. Kabut, katanya, aku bukanlah timbunan air yang pergi dari botol-botol minumanmu. Pohon, katanya, aku tidak mengerti bagaimana caranya menyintaimu. Sejarah, katanya, aku tidak mempunyai obat untuk menyembuhkan lukamu. Cinta, katanya, aku selalu heran apakah ada hati yang terbuat dari sebuah pagi yang baru saja meninggalkan malam.
Semua seperti hadir dalam pasangan yang tidak semestinya. Pasangan yang selalu dibuat berbeda. Tetapi keduanya terajut kembali menghasilkan pakaian baru, dan pakaian itu akan menjadi doa dan cinta bagi yang mengenakannya.
Setiap menonton TV bersama ibu dan ayahnya, di rumah mereka seperti sedang terjadi sebuah ritual, karena Kembang Kertas menonton TV lewat kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangannya akan terangkat ke atas seperti orang menyembah, menyusuri layar monitor TV. Setiap menonton siaran berita, Kembang Kertas akan mengatakan: bukan dia pembunuhnya… bukan dia pelaku korupsi itu… istri anggota DPR itu memiliki banyak pacar… di dalam rumah itu ada banyak senjata dan uang … bukan dia yang meledakkan hotel itu.
Kembang Kertas bisa menunjukkan dengan tepat siapa pelaku sesungguhnya dari banyak siaran berita peristiwa kriminal, politik, dan berita-berita lainnya di TV. Kemampuan Kembang Kertas seperti itu membuat ibu dan ayahnya takut. Kemampuan yang berbahaya. Kemampuan yang bisa membuat kekacauan baru. Kemampuan yang membuat kedua orang tua Kembang Kertas heran, apa itu manusia apa itu hidup apa itu semua yang dijalaninya? Dan kedua orang tua kembang kertas berusaha menyembunyikan kemampuan Kembang Kertas seperti itu dari dunia luar.
***
Hujan turun di atas api. Percikan-percikan air dan api memisahkan diri dari hujan dan api, bertebaran di udara. Yang satu seperti kumpulan titik-titik bening yang bergerak memencar, satunya lagi seperti kumpulan titik-titik merah menyilaukan. Percikan-percikan air dan api itu membuat kembangnya sendiri, seperti tahun baru yang dirayakan oleh para pertapa di puncak gunung.
Kembang air dan kembang api menari-nari, saling memecah dan membelah diri, lalu bersatu kembali menjadi nyanyian cinta di akhir malam. Mereka berdua melukis waktu seperti daun-daun yang tumbuh menutupi seluruh daun dan batangnya sendiri. Setiap pagi menjelang, pohon yang seluruh dirinya telah tertutup daun itu, menyambut matahari lewat warna hijaunya yang terbuka. Tanah, mungkin bisa berubah kembali menjadi besi atau buah pepaya, tetapi tidak mungkin berubah menjadi sebuah hotel, katanya. Laut, mungkin bisa berubah menjadi balok es atau ikan-ikan, tetapi tidak mungkin berubah menjadi sebuah TV, katanya.
***
Di Batu Sangkar, Sumatra Barat, sebuah kota dengan suasana Minang lama, kejadian yang sama terulang. Sebuah bangunan dengan arsitektur kolonial, yang kini sudah berubah jadi bangunan untuk sekolah, tiba-tiba kedatangan seorang perempuan yang akan melahirkan. Perempuan itu datang dari sebuah keluarga sederhana yang hidup dari berdagang pakaian di Medan.
Murid-murid dan guru-guru di sekolah itu panik melihat perempuan itu melahirkan. Kakinya mengangkang. Ia tidak mengeluarkan suara ketika melahirkan. Tetapi darah dari lidahnya menetes. Perempuan itu menahan rasa sakit dengan menggigit lidahnya sendiri. Seorang bayi perempuan kemudian lahir melalui vagina ibunya seperti melahirkan tarian-tarian kembang air dan kembang api.
Bayi perempuan tidak berwajah itu, wajahnya rata seperti dinding ember plastik, mirip dengan bayi yang lahir di Semarang. Bayi itu juga diberi nama Kembang Kertas oleh ibunya.
Bayi itu tumbuh bersama butiran-butiran waktu yang membesarkannya. Setiap saat, waktu melayani dan menyusuinya, karena air susu ibunya sendiri kering. Kembang Kertas minum susu dari air susu waktu, setiap ia merasa haus. Jiwa dan tubuhnya sangat sensitif. Ia tumbuh seperti seonggok daging yang berjalan tanpa tulang.
Ketika Kembang Kertas mulai mengenali kehidupan sosial, bahwa setiap orang memiliki nama, ia melihat manusia seperti omong kosong yang cerewet. Ia merasa bahasa lebih banyak melukainya daripada membantunya berkomunikasi. Beberapa kata, seperti menyimpan luka dan pisau sekaligus. Kembang Kertas kemudian lebih banyak sendiri. Waktunya lebih banyak dihabiskan dengan mencuci. Setiap hari ia mencuci apa pun yang kotor, dari pakaian kotor, cucian kotor, sampai dengan membersihkan genteng-genteng yang berjamur.
Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti lengkungan dari bundaran bola yang rata. Mirip kubah biru mengapung di atas kabut. Angin, yang merajut daun-daun dengan dahannya, rumah dengan tanah tempatnya berdiri, laut dengan ombaknya, gunung dengan jurang dan tebing-tebingnya, tidak berhembus. Semua yang dilihat tampak kaku, gambar-gambar yang tak bergerak, alam dan kehidupan hadir seperti tempelan-tempelan potret dalam sebuah bola.
Lalu Kembang Kertas mulai menggerakkan tangannya di atas permukaan air, di bak mandi kamar mandi rumahnya. Air beriak dan bergerak. Halus dan sangat halus. Tempelan-tempelan potret itu pun mulai bergerak. Dalam bak mandi itu, Kembang Kertas seperti bisa melihat seluruh sejarah yang pernah terjadi. Tentang armada laut yang bergerak dari Maluku, membawa rempah-rempah, berlayar memasuki gerbang Malaka, kehidupan di Sriwijaya, Majapahit atau Singosari. Kerajaan Pajajaran dan Mataram.
Orang-orang yang terus belajar bersama waktu, kemudian menjelma menjadi air setelah mereka mati. Waktu bergerak seperti seekor gajah yang menanam pohon beringin di mana-mana. Dan pada saat yang sama, orang-orang membunuh gajah itu dan membunuhnya, dan menebangi pohon-pohon beringin itu setelah tumbuh besar. Kami membunuhi gajah-gajah dan menebangi pohon-pohon agar keluarga kami bisa hidup, katanya.
Kembang Kertas membaca banyak sejarah yang telah ditulis, tidak sama dengan sejarah yang disaksikan dalam air bak kamar mandinya. Ia bisa melacak seluruh jejak sejarah, seperti memasuki rekaman video yang dibuat oleh air mata dan buih-buih ombak. Matahari tropis membuat warna sejarah itu tampak lebih kekuning-kuningan dan berdebu.
Hari mungkin telah malam, mungkin telah pagi, mungkin akan menjelang siang, katanya, sayang sekali jam di tanganku bukanlah hitung-hitungan bulan dan matahari. Orang tua Kembang Kertas di Medan, cemas, karena anaknya bisa berbahasa Jawa, bahasa Aran, China dan Sansakerta. Padahal tidak pernah ada yang mengajarinya bahasa-bahasa itu. Ketika ia berusia 9 tahun, Kembang Kertas juga bisa berbahasa Belanda, Rusia, Jerman dan Inggris. Dan tak ada seorang pun yang pernah mengajarinya bahasa-bahasa itu.
Kembang Kertas, tubuhnya, menjadi sarang sejarah dan bahasa-bahasa. Ia semakin takut untuk bertemu dengan orang lain. Ia terus mencuci sepanjang hari. Hingga suatu hari ia bertemu dengan sebuah sungai. Sungai itu begitu bening, mengalir seperti sungai kata-kata. Sungai yang mengalirkan banyak bahasa dan sejarah pada batang tubuhnya. Bahasa dan sejarah menjadi begitu bening dilihatnya, mengalir dalam sungai itu.
Ikan-ikan menggunakan berbagai bahasa itu untuk bernyanyi dalam sungai itu. Batu menggunakan berbagai warna dari sejarah dalam sungai itu. Pasir di sungai, hidup dalam buaian musik gamelan yang terus berbunyi di dasarnya. Seniman-seniman menjadi gila untuk mewarnai kehidupan.
Sungai itu begitu menggoda perhatian Kembang Kertas. Kembang Kertas mulai merasakan tubuhnya seperti air yang sedang beriak, menetes, merembes ke dalam tanah di pingggir sungai itu. Air terus menetes dari tubunhnya dan terus merembes ke dalam tanah di pingggir sungai itu. Waktu juga seperti ikut menetes, langit ikut menetes, pohon-pohon ikut menetes, sungai ikut menetes.
Setelah itu, orang tidak pernah melihat Kembang Kertas. Keluarganya telah mencarinya ke mana-mana. Tetapi Kembang Kertas seperti telah sirna begitu saja. Tetapi, setiap orang menangkap ikan di sungai itu, ikan itu menetes dan menjadi air di telapak tangan mereka.
Di Yogyakarta… di Bandung… di Makassar… di Denpasar… di Cirebon… di Palembang… di Solo… Jakarta… juga di Amsterdam, Tokyo dan di New York, lahir bayi perempuan yang sama, tanpa wajah. Mereka semua lahir dalam sebuah bangunan dengan arsitektur kolonial.
Mereka semua bernama Kembang Kertas. (*)
Sumber: Jawa Pos 20 mei 2012