OTAK YANG HILANG
Cerpen Eka Maryono
SEORANG laki-laki tiba-tiba masuk ke kantor polisi.
“Lapor, Pak, otak saya hilang.”
“Hah? Jangan bercanda, Saudara!”
“Sungguh, Pak, otak saya hilang!”
“Kok bisa-bisanya otak Saudara hilang? Saudara jangan main-mainah!”
“Sumpah, Pak! Pasti dicuri maling sewaktu saya tidur. Lihat nih kalau bapak nggak percaya.” Lelaki itu menunjukkan kawat yang mencuat di ubun-ubun kepala.
“Apa itu?”
“Tadi saya menyuruh sopir mengebor kepala saya. Bapak lihat sendiri kan, kalau otak saya ada, mana mungkin kawat ini bisa begininih.” Lelaki itu mengaduk-aduk lubang bekas bor di kepalanya dengan kawat.
Begitulah, ketika bangun tidur di suatu pagi, tokoh kita ini—seorang anggota dewan yang terhormat—terkejut saat menyadari otaknya hilang. Padahal sudah 42 tahun otak itu tersimpan rapi dalam batok kepalanya, dan selama ini aman-aman saja. Entah bagaimana dia bisa hidup tanpa otaknya. Yang jelas, beberapa jam kemudian, tokoh kita sudah berada di ruang praktek dokter spesialis bedah otak di sebuah rumah sakit terkenal.
“Aneh ya, aneh, benar-benar aneh.” Dokter sibuk membolak-balik hasil foto rontgen. “Hilang ke mana ya otak Anda?”
“Aduh, Pak Dokter kok malah nanya ke saya?”
“Oh ya, ya, maaf. Ini kasus aneh. Baru pertama kali terjadi di dunia medis ada otak manusia bisa hilang ketika tidur.” Dokter kembali membolak-balik foto rontgen di tangannya, entah sedang mencari apa, mungkin dia berharap otak pasiennya jatuh dari dalam foto rontgen itu.
“Begini, saya akan konsultasi dulu dengan rekan-rekan yang lain. Kebetulan sore ini ada arisan dokter ahli bedah otak. Saya akan diskusikan masalah ini di sana. Pasti ada jawaban logis untuk penyakit Anda, itu pasti, saya janji.”
Hanya begitu saja, lagi-lagi tokoh kita merasa kecewa. Bahkan dokter pun tak sanggup menjelaskan kenapa otaknya bisa hilang. Tokoh kita benar-benar bingung. Kalau benar otaknya dicuri maling, kenapa bukan barang-barang berharga saja yang dicuri? Memangnya otaknya laku dijual? Atau jangan-jangan mau dijadikan campuran gulai kambing? Hiii! Dia merinding membayangkan otaknya direbus dalam kuah berbumbu.
Sepanjang yang bisa diingatnya—karena sebagian ingatannya ikut hilang bersama otaknya—otak yang hilang itu memang jarang digunakan. Setiap pagi ketika bangun tidur, sarapan sudah terhidang di atas meja. Mau mandi, handuk sudah disiapkan. Habis mandi, jas, dasi dan sepatu pun tersedia. Mau masuk dan keluar mobil saja, pintu dibukakan sopir. Di kantor pun dia lebih banyak duduk santai di ruang kerja karena semua tugas sudah dikerjakan oleh sekretaris dan staf ahli. Dia tak perlu memikirkan apa-apa lagi karena orang lain sudah memikirkannya lebih dulu.
“Saya yakin, otak saya tersinggung karena jarang saya pakai. Akibatnya dia marah dan kabur ketika saya tidur,” katanya kepada seorang psikiater yang kebetulan lokasi prakteknya berseberangan dengan rumah sakit tadi.
Ahli kedokteran jiwa itu, seorang wanita muda berparas cantik, membenahi kacamatanya. Sejujurnya dia gusar dengan pernyataan tokoh kita. Soal analisa penyebab larinya si otak adalah pekerjaannya, bukan tugas pasien untuk mencari tahu. Namun sang psikiater agak malu juga untuk menunjukkan ketidaksenangannya. Dia baru beberapa bulan membuka praktek, dan dirinya yang masih hijau memang harus sedikit bersabar menghadapi pasien yang datang dengan keluhan luar biasa ini.
“Pada otak manusia terdapat lapisan tipis berwarna abu-abu yang disebut cerebral cortex,” sang psikiater menunjuk lembaran kertas berisi gambar otak manusia yang tertempel di dinding ruang praktek, “Nah, di lapisan korteks ini terdapat berbagai macam pusat saraf yang mengendalikan ingatan, perhatian, persepsi, pertimbangan, bahasa dan kesadaran.”
Tokoh kita yang terhormat bersemangat mendengar penjelasan tersebut. Sepertinya si psikiater tahu banyak tentang seluk beluk otak manusia.
“Kerusakan pada area cortex berhubungan dengan kurangnya empati, respon yang buruk pada ketakutan dan penderitaan, atau kurangnya emosi kesadaran diri seperti rasa bersalah dan rasa malu. Apa akhir-akhir ini Bapak sering merasa bersalah atau merasa malu?”
Tokoh kita tersentak. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sejak lama otaknya hanya dipakai untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Studi banding ke luar negeri, makan siang dengan sekretaris cantik, tatap muka dengan tokoh-tokoh kelas atas, fitness, main golf, berenang, berkuda di puncak, pokoknya apa sajalah asal jangan disuruh mikir yang berat-berat. Dan jika ada keluhan ini itu dari masyarakat, tokoh kita langsung mengistirahatkan otaknya. Tapi sebagai manusia yang masih memiliki nurani, terkadang dia malu juga pada diri sendiri.
“Ya, saya memang sering merasa bersalah, juga malu kalau tidak sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakat. Tapi saya yakin bukan itu masalahnya. Otak saya marah karena jarang saya pakai, makanya dia pergi. Sayang sekali. Seharusnya dia bicara dulu baik-baik, bilang apa maunya, pasti saya turuti. Kalau tiba-tibangambek dan langsung pergi, saya juga akhirnya yang susah.”
Psikiater itu mencermati tiap perubahan ekspresi di wajah tokoh kita sembari menafsirkan kata demi kata yang didengarnya. Setelah hampir satu jam mengerahkan segenap kemampuan yang dia dapat di bangku kuliah dan hasil membaca ratusan buku-buku ilmu jiwa, akhirnya sampailah sang psikiater muda pada sebuah kesimpulan. Begini hasil analisanya:
“Saya rasa Anda mengalami skizofrenia, sebuah gangguan pada perilaku, pikiran, emosi dan persepsi. Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan. Penderitanya bisa merasa ketakutan, rendah diri, atau sebaliknya berada dalam posisi superior yang mengancam orang lain.”
“Maksud Anda saya gila? Keterlaluan! Saya tidak gila!” Tokoh kita tiba-tiba berdiri, membuat gugup psikiater yang belum berpengalaman itu.
“Benar-benar menyebalkan! Seharian ini saya menghabiskan waktu meminta bantuan pada orang-orang yang tidak memahami akar persoalan. Otak saya hilang! Sekarang saya ingin tahu kenapa dan ke mana otak saya pergi! Saya ingin otak saya kembali! Titik!”
***
Didera rasa kesal dan putus asa, tokoh kita akhirnya membuat sayembara. Hadiah besar akan diberikan bagi siapa saja yang dapat mengembalikan otaknya. Maka berduyun-duyunlah orang datang ke rumahnya.
“Ini pak otaknya, kebetulan barusan nemu di jalan.”
“Kecil banget, ada-ada saja, ini sih otak ayam. Pergi sana!”
“Ini pak, otak yang besar, pas sama ukuran kepala bapak.”
“Hmmm, kok ada lengket-lengketnya? Warna kuning ini apa? Bau gulai kambing? Ini otak embek ya? Kurang ajar!”
“Yang ini asli otak manusia lho pak. Boleh dicoba dulu, kalo cocok baru bayar.”
“Hiii, otak siapa ini? Kok baunya busuk? Ada belatungnya! Baru digali dari kuburan ya? Hiii!”
***
Sampai berbulan-bulan kemudian, ribuan orang datang silih berganti, dari dalam maupun luar kota, bahkan ada yang datang dari luar negeri. Tapi keberadaan otak tokoh kita tetap misterius. Akibatnya tokoh kita benar-benar putus asa. Akhirnya dia memasang iklan di berbagai surat kabar. Isinya permohonan maaf. Dia mengaku khilaf karena tidak maksimal menggunakan otaknya. Dia memohon, benar-benar memohon, jika otaknya membaca iklan tersebut, sudilah kiranya sang otak mau kembali masuk ke dalam kepalanya.
Tentu saja kelakuan tokoh kita mengundang beragam reaksi dari masyarakat. Banyak orang merasa prihatin, namun lebih banyak lagi yang menganggap musibah tersebut sebagai hukum karma. Tak ketinggalan rekan-rekan sejawat tokoh kita ikut pula memberi komentar. Nyinyir-nyinyir komentarnya.
“Itu kan salahnya sendiri karena dia jarang memakai otaknya. Kalau saya sih selalu mencurahkan pikiran dan tenaga demi menyalurkan aspirasi masyarakat,” kilah seorang anggota dewan dengan mimik bangga dalam sebuah tayangan televisi.
“Saya rasa kejadian ini cuma rekayasa, biasalah… buat pengalihan isu,” kata seorang anggota dewan yang lain. “Mana mungkin sih otak bisa hilang begitu saja, kecuali kalau sejak lahirnya dia memang tidak punya otak. Atau jangan-jangan dia korban cuci otak aliran sesat?”
Sungguh kasihan … tokoh kita jadi frustasi mendengar semua komentar itu. Politik memang jahat. Politik tak mengenal sahabat. Politik hanya mengenal peluang dan tak punya belas kasihan. Tidak ada penghargaan bagi manusia tak berotak seperti dirinya. Tanpa otak, derajatnya sebagai manusia turun sampai ke titik nol.
Tokoh kita terpaksa menjalani sisa hidup dengan rasa malu, juga rasa takut. Kepergian otak tersayang bisa menginspirasi bagian-bagian tubuhnya yang lain untuk ikut pergi. Jadi tokoh kita mulai mewaspadai mata, telinga, dan lidahnya sendiri, Ketiga pancaindra itu juga tak pernah optimal dia gunakan, maka bukan mustahil ketiganya akan ikut kabur atau hilang dicuri orang.
Selama ini, matanya memang senang menyaksikan keindahan dunia, tapi enggan melihat rakyat yang sedang menderita. Telinganya suka mendengar musik-musik indah, obrolan segar, cekikikan perempuan di atas ranjang, tapi malas mendengar jerit tangis manusia. Lidahnya sering mengucapkan segudang janji indah pada masyarakat, tapi janji-janji itu jarang dia tepati.
Tokoh kita juga menjadi sangat berhati-hati pada semua orang. Dia curiga mereka ingin mencuri mata, telinga dan lidahnya. Mungkin mereka ingin membalas dendam dengan cara seperti itu. Maka ketika dia merasa orang-orang mulai melirik mata, telinga dan lidahnya, dia langsung menjerit seperti orang kerasukan.
***
Seorang anggota dewan yang hendak masuk ke mobil dicegat oleh puluhan wartawan di pelataran gedung parlemen.
“Kemarin rekan Anda dibawa ke rumah sakit jiwa, komentar Anda bagaimana?”
“Ah, itu cuma rekayasa, seperti pernah saya bilang… buat pengalihan isu.”
”Anda masih tidak percaya kalau otak rekan Anda benar-benar hilang?”
“Ah, ini kan konspirasi intelijen tingkat tinggi.”
“Tapi faktanya otak itu benar-benar hilang. Menurut Anda, hilang dicuri atau kabur sendiri?”
“Wah, itu saya nggak tahu, tanya sendiri dong ke otaknya.”
“Katanya siang ini Anda hendak mengunjungi masyarakat miskin di luar kota?”
“Ya, ya, betul itu. Sudah ya, jadwal kerja saya padat sekali nih.”
Si anggota dewan buru-buru masuk ke dalam mobil. Beberapa ratus meter mobil berjalan, sang senator sudah asyik bertelepon ria dengan seseorang.
“Iya, Sayang, tunggu sebentar ya abang sedang dalam perjalanan ke sana. Daaah sayaaaang. Kebut dikit, Mat. Dah terlambat nih.”
“Ke tempat biasa, Pak?”
“Ya iyalah, pake nanya segala.”
Anggota dewan kita melirik arloji emasnya, kemudian dengan nyaman menyandarkan kepala di jok mobil. Lagu instrumentalia yang dipasang Mamat ditambah sejuk AC mobil membuat suasana makin terasa nyaman. Reda sudah cenat-cenut yang tadi sempat dia rasa gara-gara harus memutar otak untuk menjawab pertanyaan wartawan. Sekarang kepalanya terasa ringan, benar-benar ringan, seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam sana. (*)
Sumber: Republika, 8 Juli 2012