Bermain Peran
Analisis Cerpen Bendera
Apa yang ditampilaan dalam Bendera, semata-mata menekankan pesan. Sangat jelas, seperti yang disebutkan dalam teks, “betapa penting arti sebuah bendera.” Itu adalah pesan yang sangat mudah berterima. Pesan yang lain ialah, misalnya, mengenai persatuan. Bahwa setiap orang serupa benang.
Lembaran kain, yang berasal dari pintalan benang, mengidentifikasikan adanya kesatuan. Setiap yang bersatu akan menjadi sebuah kekuatan. Menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Menjadi sesuatu yang berarti. Setidaknya, pesan-pesan itulah yang secara tersurat akan muncul ketika membaca cerpen karya Sitok Srengege yang dimuat di Kompas, 8 Mei 2011.
Hal yang menarik dari cerpen ini adalah keminiannya. Tidak seperti cerpen pada umumnya, terlebih Kompas yang menyajikan cerpen dengan beberapa kolom, Bendera hanya terdiri dari dua kolom. Sangat singkat dalam penceritaannya. Dan bahkan, kisah yang ditampilkannya pun begitu sederhana.
Kisahnya berkisar pada seorang anak, Amir namanya. Ketika pagi hari ia melihat sang Nenek sedang menjahit bendera. Kemudian, sang Nenek memberi beberapa alasan mengapa bendera itu penting. Mengapa sebuah bendera akan berbeda nilainya dengan kain lainnya. Disebutlah sebanyak lima alasan mengapa bendera itu penting. “Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan garis besarnya: betapa penting arti sebuah bendera.” Di sekolah, ketika sedang menjadi petugas penggerek bendera, Amir membayangkan bahwa semua orang adalah sehelai benang. “Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat mereka belajar ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu mengayam dan meluaskan diri agar menjadi lembaran kain.” Kisah hanya diakhiri oleh “Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambing, seperti bendera.”
Terasa, bahwa pesan-pesan yang dimunculkan seperti mengobarkan semangat: nasionalisme. Nasionalisme, sebagai sikap mencintai negara, menjadi konsentrasi garapan dalam cerpen ini. Diksi-diksi bahasa yang digunakan pun secata kasat mata sudah menunjukkan hal demikian. Bahkan, dari judulnya pun sudah tampak.
Namun, yang menjadi penting, bukan sebagaimana tanda yang mudah terbaca itu. Bukan sekadar mengharapkan adanya perubahan rasa nasionalisme setelah membaca cerpen ini. Ada sesuatu yang menunjukkan adanya sindiran dalam cerpen ini. Sesuatu yang boleh jadi tanpa disadari. Cerpen ini membuka borok terhadap nasionalisme itu sendiri.
Sikap Amir yang mengangguk ketika dijelaskan arti penting bendera oleh Nenek, menegaskan demikian. Nasionalisme kita, ternyata serupa sikap Amir, kita belum bisa memahami semuanya. Memahami secara utuh apa itu nasionalisme. Kita hanya mengerti nasionalisme itu sebagai sosok yang tampak di permukaan, namun tidak atau belum mau tahu bagaimana diaplikasikannya sikap itu.
Selain itu, apa yang disuguhkan dalam cerpen dengan menggiring pembaca pada teks lebih baik menjadi kain, menjadi pakaian, bukan bendera, yang “jika mejadi pakaian, sering dipamerkan dalam cara gemerlapan dan harganya bisa mencapai ratusan juta,” seakan mengalihkan bahwa menjadi sesuatu selaian bendera, berjiwa nasionalisme, tidaklah penting. Menjadi bendera, bersosok nasionalis, ternyata malah digambarkan dengan sebuah keinginan semata. Tidak ada keseriusan di dalam usaha untuk mengapkikasikannya. Itulah sebabnya dalam akhir cerpen , “Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambing, seperti bendera.”Nasionalisme hanyalah dalam hati.***
Eva Dwi Kurniawan