Sipleg
Cerpen Oka Rusmini
LUH SIPLEG nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serba ingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.
Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno, yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali, lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari hidupnya sendiri?
Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata.
Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya lebih baik.
Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya. Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!
“Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah. Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu! Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.”
“Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja. Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.”
“Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan ikan!”
“Kau sedang hamil!”
“Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh hidup keluarga suaminya!”
Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain. Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam. Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?
“Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?” Suatu hari perempuan tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak seorang pelayat pun diajak bicara.
“Kau marah padaku?” tanya perempuan tua itu.
Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang. Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.
Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial! Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati! Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.
Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih. Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil memeitu seperti makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan, tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?
Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore. Sipleg memanggil lelaki itubape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak, kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.
Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.
Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah yang terus mengalir dari batok kepalanya.
“Meme, Meme kenapa?” Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang memetik sedikit cabe dan sayuran.
Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu. Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan terasa menggairahkan.
Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas? Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.
Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya. Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak mendekat….
“Sipleg….” Sebuah suara mematahkan langkahnya.
“Sedang apa kau di sini!” Perempuan itu berkata dingin.
“Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?”
Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk. Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak. Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya. Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di depan kamar Sager.
“Sipleg…,” jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan apa.
***
Seorang dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam. Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan desanya sering berbisik pada Sipleg, “Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang bidan akan menolongnya.”
“Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?”
“Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.”
“Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati ditolong perempuan itu. Kata orang-orangmeme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada yang hidup kecuali aku.”
“Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya. Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai untuk menebus usianya.”
“Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.”
“Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.”
“Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.”
“Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?”
“Ni Ketut Grubug.”
“Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.”
“Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.”
“Nama yang mengancam hidup orang lain.”
“Bukankah artinya bencana?”
“Ya, bencana yang mengerikan.”
“Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-perempuan desa ini?”
Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir, apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang? Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang perempuan! Sama dengan mereka!
***
Bocah kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling. Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang, juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.
Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk pantatnya yang tipis. Atau…. Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya, mimpinya, keinginannya….
Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi. Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau usia, bau dauN-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil. Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah adiknya.
Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki. Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya, perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. (*)
Denpasar-Bali
Sumber: Jawa Pos, 25 April 2010