Sunday, September 14, 2008

Sepotong Daster Nyoman Tusthi Eddy

Sepotong Daster

Cerpen Tusthi Eddy, Nyoman



Istriku sedang hamil tiga bulan. Ia hanya mempunyai sebuah daster sudah agak lusuh. Tetapi karena ia seorang wanita bersahaja, ia tidak menuntut dibelikan pakaian hamil. Justru karena itu aku merasa kasihan kepadanya. Aku ingin membelikannya sebuah daster.

AKU ikut berkerumun dengan pembeli lain memilih sepotong daster yang kira-kira cocok untuk istriku. Di hadapanku berjajar tiga orang pedagang yang menggelar dagangannya berdekatan. Aku bebas pindah dari dagang satu ke dagang lain.

Ketika pembeli tinggal dua orang aku mulai menawar sepotong daster.

''Pak, mau daster?''
''Ya, yang ini berapa?'' aku langsung menawar.

''Yang itu enam puluh ribu. Katunnya bagus, tidak luntur.''

Sebenarnya aku sudah ingin mengambil uang dan membayarnya tanpa menawar, karena aku ingin menggembirakan istriku. Tapi kiat belanja yang diajarkan istriku kucoba juga.

''Bagaimana kalau tiga puluh lima ribu? Kalau boleh saya beli dua potong.''

''Maaf Pak tidak bisa, saya rugi tidak kembali pokok.''

Ketika tawar-menawar aku sempat berpandang-pandangan dengan dagang itu. Maksudku aku ingin melihat mimiknya apakah ada kemungkinan ia melepaskan barang dagangannya dengan harga tawaranku.

Aku sedikit terkejut karena dagang itu mirip sekali dengan istriku yang pertama, yang telah bercerai tujuh tahun lalu. Mula-mula kupikir kemiripan itu cuma kebetulan saja. Banyak orang yang satu mirip yang lain, padahal mereka tidak ada hubungan keluarga.

Aku terus tawar-menawar. Selain daster, aku juga menawar baju anak-anak sambil mencuri pandang sekujur tubuh dagang itu. Seluruh ciri tubuhnya persis sama dengan ciri tubuh istriku. Cuma dagang ini lebih tua sedikit. Terakhir aku dengarkan suaranya dengan sungguh-sungguh. Suaranya pun mirip suara istriku.

Aku mulai berpikir, apakah ini mantan istriku yang sengaja berlagak tak kenal denganku? Pikiranku ini terus menguat karena perceraianku dengan istriku yang pertama prosesnya agak aneh. Rasanya tak ada hujan tak ada angin, istriku minta cerai. Setelah kutanyakan alasannya, ia hanya mengatakan aku tidak cocok beristrikan dia. Padahal aku tidak pernah bertengkar. Jangankan bertengkar yang sepele, bertengkar yang prinsip pun tak pernah.

''Tidak cocoknya di mana? Apakah karena aku serba kekurangan?''

''Sama sekali bukan. Selama aku masih menjadi istri kakak, hidup kakak akan begitu-begitu saja. Karier kakak tidak akan maju.''

''Karier apa? Aku tidak pernah merasa terganggu, baik sebagai pegawai kantoran maupun penulis. Malahan aku merasa diperhatikan. Saat aku sedang menulis, kau membuatkan aku secangkir kopi.''

''Kak, biarkan aku pergi, daripada rumah tangga kita tinggal sandiwara saja, atau terjadi hal-hal buruk di antara kita. Aku tak akan menuntut gono-gini. Aku hanya minta barang-barangku dan barang-barang yang pernah kakak belikan untukku. Setelah pisah aku tak akan kawin lagi. Aku berusaha hidup mandiri dan sendiri.''

Tekadnya telah bulat. Aku tak bisa berbuat apa, selain mengurut dada karena kecewa dan sakit hati. Setelah hampir tujuh tahun menduda, aku kawin lagi. Kudengar berita mantan istriku yang pertama tinggal bersama keluarga iparnya.

***

Aku tersentak dari lamunan masa lalu ketika dagang itu menegurku.

''Pak, di mana dasternya?''

Aku cepat-cepat menyembunyikan kegugupanku.

''Oh, ya saya masih memilih warna dan ukurannya. Bagaimana kalau empatpuluh ribu saja? Tapi saya hanya beli satu. Baju anak-anak ini saya beli tiga potong kalau diberikan lima belas ribu sepotong.''

''Ya ambil, Pak! Saya pakai pengelaris karena sejak pagi saya belum dapat jualan.''

''Terima kasih.''

''Bapak mau pilih mana? Kalau istri bapak kulitnya putih, yang ini bagus.''

Ia memperlihatkan daster warna ungu dan coklat muda kombinasi hitam.

''Apa ukuran badan istri bapak ada sebesar saya?''

''Ya, kira-kira, cuma barangkali lebih tinggi sedikit, dan kulitnya putih.''

''Jika begitu ini pasti pas, Pak.''

Ia menyodorkan daster ungu itu sambil tersenyum puas.

Aku merogok dompetku dan mengambil selembar ratusan ribu. Keringatku menetes deras karena gugup mendengar kata-kata dagang itu. Aku gelisah ketika dagang itu membandingkan ukuran tubuhnya dengan tubuh istriku sekarang. Soalnya ia sangat mirip dengan istriku yang pertama. Kata-kata itu seperti membongkar, mengacak-acak pengalaman pahit perceraianku dengan istriku yang pertama. Aku merasa tersentil dan tersindir oleh kata-katanya.

''Pak, ini saya berikan ekstra sebuah handuk kecil. Keringat Bapak kok begitu. Muka bapak juga pucat.''

''Udara sangat panas. Tadi malam aku sangat lelah dan tidak bisa tidur.'' Aku berkata bohong, sambil berusaha menutupi kegugupanku. Kupikir, jangan-jangan orang ini mantan istriku yang sengaja membuka identitas dirinya pelan-pelan. Mungkin ia memakai kelemahanku yang cepat lupa kepada rupa seseorang. Aku ingin mengusutnya. Tapi dengan cara apa agar aku tidak malu jika orang ini bukan mantan istriku. Jika aku salah terka mengusut pribadi orang, aku merasa malu.

''Bapak ikut rombongan?''

''Tidak, sendiri.''

''Dari mana, Pak?''

''Dari Bali.''

''Saya juga dari Bali, sekarang tinggal di sini. Jika ke sini, jangan lupa mampir belanja ya, Pak!''

''Oh ya, saya sangat suka mengunjungi taman ini, dan suka duduk berlama-lama di tepi kolam. Terima kasih.''

''Terima kasih kembali, Pak.''

Aku meninggalkan Taman Narmada dengan perasaan gulana. Entah mengapa aku merasa dipecundang oleh mantan istriku. Tapi benarkah dia mantan istriku? Aku berdosa punya pikiran yang bukan-bukan jika dia bukan mantan istriku. Jika bukan, adakah dua orang yang mirip seratus persen? Aku belum pernah menemui persamaan yang demikian. Namun begitu bukan berarti tidak ada. Siapa tahu ini pengalaman unikku yang pertama.

Pergulatan perasaanku menyebabkan aku tegang dan stres. Di hotel semalaman aku tak bisa tidur. Kejadian itu terus saja mencubitku dan menguntitku hingga aku pulang ke Bali.

***

Ketika anakku dari istri kedua lahir, aku telah lupa dengan peristiwa itu. Tapi anakku lahir muda. Ia hanya berumur seminggu. Kematian anakku menyebabkan istriku sedih berkepanjangan. Aku berhasil meredakan kesedihannya setelah hampir sebulan.

Dalam libur semesteran aku mengajak istriku ke Mataram. Maksudku agar dia bisa melupakan kesedihannya. Di samping itu aku bermaksud mengajaknya ke Taman Narmada, tempat aku membelikan dia daster. Kupikir jika dagang itu mantan istriku, pasti ia tak ragu-ragu menegur dan berakrab-akrab dengan istriku yang kedua karena sebelumnya ia sudah saling mengenal. Tapi gagasan ini aku rahasiakan kepada istriku.

Betapa terkejutnya aku ketika masuk Taman Narmada. Dagang itu sudah tak ada lagi. Di tempat yang dulu aku membeli daster hanya ada seorang dagang.

''Mari Pak! Mau baju, Pak? Ini ada daster untuk ibu.''

''Ya, saya lihat-lihat dulu. Kok sendiri jualan?''

''Dagang yang di sini keduanya sudah pindah ke Cakra.''

''Oh, ya?''

Rencanaku gagal. Tapi aku berhasil menyembunyikan kekecewaanku kepada istriku.

***

Setelah kematian anakku dari istriku yang kedua, ia belum memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Sebuah peristiwa pahit yang lebih menyayat terjadi lagi padaku. Istriku yang kedua tiba-tiba minggat tak tentu sebabnya. Aku jadi bingung dan stres. Berbagai jalan sudah kutempuh untuk menemukannya, tetapi tak berhasil.

Ketika kubuka lemari pakaiannya, semua barang miliknya dan barang yang pernah kubelikan dibawanya. Hanya sepotong daster yang kubelikan terakhir tak dibawanya. Di sana disematkan secarik surat, ''Corak daster ini bagus, sayang tak enak dipakai.''

Aku kehilangan jalan dan kehabisan akal. Kawan-kawan yang merasa kasihan kepadaku, mengajakku mencari penyelesaian ke seorang paranormal. Semula aku ragu-ragu, karena kupikir penyelesaian cara mistik akan memperkeruh keadaan. Tetapi karena terus didesak, dan aku tak lagi punya pilihan, aku jadi pasrah.

Hasilnya membuat aku lebih terkejut. Sang paranormal memberikan penjelasan dengan hati-hati. ''Daster itu telah menggusur istri bapak yang kedua. Sebab istri bapak yang pertama digusur dengan cara serupa.'' ''Jadi, dagang itu mantan istriku?''

Sang paranormal hanya tersenyum dan mengangguk lembut.

''Semua ini buah karma Bapak. Jangan disesali. Banyaklah berdoa!''

Aku hanya bisa terbengong-bengong menerima kenyataan ini.

***


Diambil dari Bali Post,12/12/2004

Friday, September 12, 2008

Sanusi Pane

SYIWA-NATARAJA

Kepada R. Soeratmaka

Pada perjalananku melalui Langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat
Astana Rahwana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisyna, Nataraja.
Mahadewa sebagai Penari. Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputera,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura,
Madiadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath negara,
Tempat Budha pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.
Dalam taman dan astara Tadj Mahal, Mutiara Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi, mengenang cinta.
O, jiwa India


Kupandang gilang-gemilang, kurasa mahamulya.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
lalah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala
Di tepinya Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hati
Tanah Hindustan.
Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani dengan mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku.
Natesa berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan.
Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian. Tiba-tiba 'ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang-benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada
sunyi
Dari memenuhi seantero dunia. 'Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang-benderang dan 'alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan Suara.
Tiap 'alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang. Makhluk yang indah permai, yang
gilang-gemilang
Masuk ke dalam, ke luar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara 'alam yangSilang-bersilang,
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
"Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa",
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
"Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar. Apa yang kau pandang, terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti. Semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar

Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya,
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya,
Dibikinnya sendiri. Api memusnahkan kebatannya
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuaca terang.
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi
la masuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa,
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan
nyata".
Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat 'ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka
Diri sendiri. O, 'ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di'alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati.
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata,
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian 'alam berhenti beredar memberi hormat,
Jiwa makin lama kian lebar dan pada saat
la berdiri dari kalbu hati dunia, segala 'alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
Dirinya: la satu dengan Nataraja, Mahadewa
Ialah dia: seorang yang mencari sudah merdeka!
"O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah'gia berada dalam hatimu. Satuilah,
Tari segala 'alam, Masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja".

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook