Monday, October 11, 2010

Karlina Leksono-Supelli: Surat Kepada Anak

SURAT KEPADA ANAK-ANAK YANG MEMILIH UNTUK DIAM DALAM KEPATUHAN

Oleh: Karlina Leksono-Supelli


Di kaki langit sebuah senja yang menyemburatkan cahaya keemasan, sepucuk surat tergeletak lusuh tak tersentuh. Aku memungut dan membacanya:

Anak-anakku, masih lekat di dalam ingatan bagaimana kegairahan meluap meledak-ledak mendengar tangismu yang pecah seiring tarikan napas pertama menghirup udara dingin dunia. Kami menyelimutimu dengan kasih. Kami dendangkan kidung kehidupan agar napas hangatnya meniup lembut relung-relung benak dan sanubarimu. Kelak, akan engkau embuskan kembali kehangatan itu untuk kehidupan.

Kami memenuhi hari-hari bukan hanya dengan doa untukmu. Kami tunjukkan dunia kepadamu, sekalipun itu bukan dunia yang tinggal engkau amati dan nikmati. Tidak, tidaklah kami pilihkan sebuah dunia yang masih siap untukmu. Kami menghadapkanmu kemungkinan-kemungkinan yang membentang luas di dalam ruang-waktumu sendiri. Engkau bermakna ketika menuju ke dunia esok yang tidak membelenggumu ke dalam sisa-sisa masa lalu kami. Engkau bukan tawanan masa depan kami. Engkau merajut benang-benang duniamu sendiri, menyatukannya ke dunia kami, menjalinnya ke dunia yang meng-kita. Engkau ada karena mengada dalam sebuah dunia bersama.

Ketika dalam kebebasan itu sebagian di antaramu memilih berseragam dan bersenjata, kami bertanya, dunia seperti apakah yang akan kau bentangkan? Sebuah dunia nyaman karena kamilah mesin penemu keamanan, begitu engkau menjawab. Kami lafalkan janji pembela kejujuran, kebenaran, dan keadilan, serta untuk berbakti kepada negara dan bangsa, katamu. Kami suguhkan sebuah dunia tenteram karena kami alat merangkai permusuhan menjadi perdamaian, katamu pasti.

Kami, ibu-ibumu, mempercayai janjimu. Kami bangga karena alat bisa menjadi teramat andal, apalagi jika itu sebuah mesin. Mesin menerima informasi untuk mengemudikan tindakannya. Tetapi salahkah jika kami juga bertanya, bukankah mesin hanya memberikan pelayanan kepada sang pemasok informasi? Bukankah mesin adalah pelayan pasif yang tidak bertujuan di dalam dirinya sendiri? Bagaimanapun, kami masih menyimpan harapan romantis bahwa mesin sekalipun tentu tidak melepaskan fungsinya untuk berpusat kepada kehidupan.

Di bawah senja yang merahnya kian membakar langit, kulanjutkan membaca:

Akan tetapi anak-anakku, kini datang seorang ibu bertanya kepada kami dalam kedudukan yang perih. Apa yang telah terjadi denganmu? Apa yang mereka semaikan ke dalam benakmu sehingga daun-daun hijau kehidupan yang sudah lama kita tanam, sirami, dan tumbuhkan bersama di sana engkau biarkan berputar-putar dan tenggelam di bawah arus dahsyat kekuasaan? Apa yang mereka tiupkan hingga napas hangat embusan kami ke dadamu membeku dalam jiwa yang kian sunyi dan nyanyian kemurahan hati?

Cukupkah sumpah setia kepatuhan membuatmu melumuri jiwamu dengan darah sebagian di antaramu? Sebagian yang lahir dan rahim-rahim kami seperti engkau, namun yang memilih untuk tidak menjadi mesin dalam keseragaman. Tidakkah yang sebagian itu terengkuh oleh cakrawala janjimu? Mengapa sumpahmu atas nama Sang Pengasih malah menjadikan dirimu sebuah perkakas untuk mereka yang memerintah dan mengusaimu? Adakah yang bisa engkau katakan ketika kami menggemakan dengan nyeri di hati, ucapan penyair Dylan Thomas: Hands have no tears to flow. Kekuasaan itu tidak bernurani, anak-anakku.

Pernah kami bisikkan bahwa menyeragam adalah memasuki kepatuhan tiada tara. Kepatuhan dalam hubungan yang bukan engkau-aku, bukan kita, bahkan bukan semata-mata antara sang penguasa dan serdadu-serdadunya yang patuh. Engkau sudah memasuki hubungan antara yang memilih untuk berkuasa dan yang mengarahkan wajah kepadanya untuk mendengarkan hukum-hukumnya. Engkau hanyalah pendengar karena engkau memang yang menghendaki kepatuhan itu. Engkau bahkan tak kuasa menyimak batinmu yang menangis ketika wajah sebagian di antaramu menatap dari balik sepatu yang berat itu dengan kesakitan. Maukah menceritakan, apa yang kau dengar setiap pagi di lapangan hijaumu, sehingga ketika kami menemukan solidaritas di-dalam-dunia, engkau masih terus saja mencarinya dalam tujuan dan kepentingan?

Kemudian, engkau bertanya, mengapa ibu tak berbangga untuk kami yang teguh kepada tugasnya? Anak-anakku, engkau hanya mengingatkan kami akan cerita Tolstoy, penulis Rusia kenamaan itu. Tolstoy yang menegur rekannya yang menampar salah seorang anak buah, ‘Tidakkah engkau malu memperlakukan sesama manusia seperti itu? Bukankah engkau pernah membaca Kitab Suci?,’ ternyata dijawab singkat, ‘Bukankah engkau pernah membaca peraturan militer?’

Apakah kepatuhan membahasakan diri lewat kekerasan?

Dalam pekat malam yang menelan seluruh baying-bayang tubuh, kuteruskan membaca:

Kami bertanya, seperti seorang filsufpemah bertanya, siapakah engkau? Siapakah engkau sebelum ini, siapakah engkau yang datang kemudian, siapakah engkau yang akan melampaui semua engkau yang sekarang?

Engkau yang asali, anak-anakku, adalah suara. Suara yang mengakukan dirimu sekalipun itu adalah keterbuangan dan keseragamanmu; suara yang menanggalkan semua identitas yang-mungkin, yang mencerabutmu dan engkau yang-mereka. Suaramu adalah cara engkau menemukan diri di dalam dunia. Namun tak kau kenali suara yang memanggil dalam kesenyapan itu, karena hanya dengan kesediaan mendengarkan dalam keheningan engkau memperoleh engkaumu kembali yang pemah menjadikan kesetiaan kepada keadilan dan kebenaran. Keheningan memang begitu asing untukmu sekarang. Engkau hanya mendengar; mendengar terlalu banyak dalam berdaya hangar-bingar kemenangan.

Bertahun-tahun menjelang tidur malammu, kami kisahkan bukan hanya para raja dan pahlawan yang menang dengan gagah perkasa. Engkau kerap bertanya, mengapa ibu menceritakan kesedihan mereka yang tak berdaya tak berpunya, yang mati meneriakkan keadilan kebenaran?

Engkau bertanya, karena untukmu makna ada dalam kekuasaan menaklukkan dunia. Tetapi, tidakkah makna adalah juga daya-daya untuk dikisahkan kembali sehingga kita semua belajar dari sejarah dan menarik garisnya untuk kita sendiri? To be memorable, begitu filsuf Hannah Arendt pernah menuliskan untuk kami.

Maka, anak-anakku, dalam kebenaran seseorang tak pernah kalah dan tak pernah mati.

Jika engkau menegaskan bahwa sumpah mengikatmu ke dalam kepatuhan kesamaan sekalipun itu penyangkalan atas suara hatimu, haruskah kami kini memilihkan dunia untuk anak-anak kami selanjutnya? Haruskah kami menolak cita-cita saudaramu yang hendak bergabung denganmu? Engkau telah menyempitkan dunia; engkau mengabaikan suara kehidupan; dunia yang engkau bentangkan boleh jadi aman, namun dinginnya menggetarkan kami.

Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita dapat saling bertutur sampai kami terengkuh ke dalam kisahmu, dan engkau kami peluk dalam lengan-lengan cakrawala kami yang membentang dalam keluasan kehidupan. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita berkisah sampai derita dan pedihmu, derita dan pedih kami, kesukacitaanmu dan kesukacitaan kami, menjadi kenangan kita untuk membangun sebuah dunia bersama. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita saling berkisah menanggalkan sumber utama kebencian. Yakni, percaya terlalu besar kepada ke-aku-anku, ke-engkau-anmu, ke-kami-an kami, ke-mereka-an mereka. Kita saling berkisah untuk menanggalkan penjara yang jerujinya membelenggu kita di dalam pensucian dan pemberhalaan suatu proses pencarian kesamaan; kesamaan yang telah membuat kita masing-masing memandang “ke-kita-an kita” masing-masing sebagai benda tiada bercacat.

Di dalam kisah-kisah yang tak berperangkap itu, anak-anakku, kebenaran menunggu untuk disingkapkan.

Di bawah kaki langit dini hari yang heningnya membumbung membuka langit untuk sebuah cahaya pagi, kubiarkan surat itu menggeletak ... dalam terang tanah yang melahirkan kembali bayang-bayang diri.


Karlina Leksono-Supelli, Suara Ibu Peduli.

Tuesday, October 05, 2010

Dodolitdodolitdodolibret Seno Gumira Ajidarma

Dodolitdodolitdodolibret
Cerpen Seno Gumira Ajidarma


Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.

”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air

Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.

Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”

Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.

Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.

Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.

Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.

”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.

Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.

”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”

Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.

Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.

”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.

***

Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”

Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.

”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.

Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”

Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.

Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.

Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!

”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.

”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.

Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.

Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.

Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.

Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.

”Guru! Lihat!”

Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!

Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?

Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.

”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”

Ubud, Oktober 2009 /
Kampung Utan, Agustus 2010.

*) Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi.

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook