Widji Thukul dan Beberapa Puisinya
Widji Thukul, bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963 dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pendidikan tertinggi Thukul Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang.
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal.
Dalam peristiwa kekacauan 27 Juli 1996. Widji Thukul dinyatakan hilang. Secara resmi, Thukul masuk daftar orang hilang pada tahun 2000.
Beberapa puisi Widji Thukul
Bunga & Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang!
Kuburan Purwoloyo
disini terbaring
mbok cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring
pak pin
yang mati terkejut
karena rumahnya digusur
di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini kubaca kembali:
sejarah kita belum berubah!
jagalan, kalangan
solo, 25 oktober 1988
Seorang Buruh Masuk Toko
masuk toko
yang pertama kurasa adalah cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap
sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu yang mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku
aku melihat kakiku - jari-jarinya bergerak
aku melihat sandal jepitku
aku menoleh ke kiri ke kanan - bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup
aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku menghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik
aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus diisap..
E D A N
sudah dengan cerita mursilah?
edan!
dia dituduh maling
karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulang
padahal mukena dia taroh
di tempat kerja
edan!
sudah diperas
dituduh maling pula
sudah dengan cerita santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu
lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai wang
padahal pas waktu luang
edan!
kita mah bukan sekrup
Bandung 21 Mei 1992
P E N Y A I R
jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
sarang jagat teater
19 januari 1988
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan menganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: Lawan!"
"Suara - suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu:.....Pemberontakan !!"
Unduh Postingan ini? Klik di sini
0 comments:
Post a Comment