STASIUN
(Putu Wijaya)
Novel karya Putu Wijaya ini berkisah tentang keterasingan manusia yang merasa disisihkan oleh masyrakat. Adalah seorang selalu berumur, setelah menyaksikan pemandangan kota pagi hari merasa harus berangkat. Ia naik bemo, ia berkhayal bahwa dirinya sedang antri untuk membeli karcis, tangannya yang terkepal menyebabkan ini ia dituduh mencopet, akhirnya ia ditembak hingga tembus oleh seorang tentara.
Kini lelaki tua itu sudah sampai di stasiun yang sebenarnya. Kejadian antri karcis, dimana ia dituduh mencopet dan ia ditembak polisi tadi hanyalah lamunan/khayalan saja. Di stasiun itu, ia berjumpa dengan seorang wanita. Mereka berbncang-bincang dengan sangat akrab seolah-olah orang sudah lama kenal.
Tengah malam, kereta memasuki sebuah stasiun. Seorang perempuan gila masuk ke bawah kereta. Untuk mengeluarkannya, seorang pegawai kereta menariknya keluar. Akhirnya si pegawai itu sendiri yang harus dikeluarkan karena dianggap berubah ingatan.
Berbawai peristiwa unik dialami lelaki tua itu. Berbagai pikiran dan khayalan berkecamuk dalam dirinya. Orang tua itu pingsan akibat udara sesak di dalam kereta. Penumpang ribut, lalu mereka memecahkan kaca jendela. Tepat saat itulah lelaki tua yang pinsan itu siuman.
Karena suasana kereta yang semrawut dan gangguan pikiran, lelaki itu mual dan ingin muntah. Ia ingin buang hajat. Maka ia berusaha menuju ke gerbong peterusan. Tetapi sebelum mencapai gerbong itu, lelaki itu terberak di celana. Kemudian ia menyingkir ke gang pintu kereta. Di gang itulah ia bertemu dengan lelaki muda bernama Joni. Dan di gang itu pulalah Joni berhasil memperkosa lelaki tua itu.
Kereta api ahirnya sampai di stasiun. Para penumpang turun. Pikiran lelaki tua itu mengembara ke mana-mana. Akhirnya ia sering berada di warung kopi dekat kereta api. Kebiasaan ini membuatnya lupa dengan anak dan istrinya. Orang tua itu asyik dengan pikirannya sendiri, sementara keluarganya tidak pernah dihiraukan lagi. Suatu ketika ia bertengkar hebat dengan istrinya, dan akhirnya ia nekad bunuh diri di kamarnya.
Dalam keadaan terluka, ia melihat gelandangan mati di stasiun. Istri gelandangan tidak mau suaminya dibawa ke fakultas kedokteran. Ia ingin menguburkan suaminya secara wajar. Ternyata ia berubah pikiran. Mayat suaminya mau dijualnya. Namun akhirnya ia menyerahkan mayat suaminya tanpa meminta imbalan.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, si orang tua pulang. Di rumah, ia justru menyaksikan mayatnya sendiri yang tak mau diakuinya. Dia kembali ke stasiun. Di kantor stasiun, ia diinterogasi. Ia dituduh mencori kopor, dan setelah bersumpah bahwa ia tidak mencuri, ia dibebaskan. Ia kemudian membeli tiket dan siap menunggu kereta untuk melakukan perjalanan.***
0 comments:
Post a Comment