Kisah tentang Orang-orang Pinggiran
Ahmad Tohari, Nyanyian Malam (Jakarta: Grasindo, 2000), 91 halaman.
Ahmad Tohari, Nyanyian Malam (Jakarta: Grasindo, 2000), 91 halaman.
Di antara genre sastra, mungkin cerpen merupakan subgenre yang banyak dihasilkan—setelah puisi— dalam kesusastraan Indonesia. Memang hingga kini belum ada penelitian yang dapat menggambarkan secara keseluruhan perbandingan jumlah antara puisi, novel, cerpen, dan drama dalam sastra Indonesia. Namun setidaknya dari penelian Ernst Ukich Kratz, dalam Bibliografi Sastra Indonesia terlihat bahwa jumlah cerpen yang termuat pada majalah yang terbit antara 1922-1982 mencapai 10.389 judul. Jumlah itu memang masih kalah dibandingkan dengan puisi yang mencapai 16.507 judul. Namun, secara keseluruhan produkdvitas cerpen tetap tergolong tinggi.
Fakta tersebut tidak mengindikasikan bahwa menulis cerpen itu lebih mudah daripada menulis novel atau drama. Sesuai dengan namanya, sebuah cerpen memang dibatasi oleh bentuknya yang pendek. Justru di sinilah masalahnya: seorang cerpenis dituntut kepiawaiannya menggarap persoalan yang disodorkan dalam karyanya. Terbatasnya ruang itu menuntut kesanggupan cerpenis untuk menyeleksi dan menata peristiwa yang hendak diceritakan hingga menjadi karya yang memikat.
Dalam konteks itu, kita sungguh merasa bersyukur karena memiliki banyak cerpenis yang piawai. Salah seorang di antaranya adalah Ahmad Tohari. Kendatipun ia mendapat pengakuan luwes lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk, tidak berarti bahwa karya dia yang lain—yang bukan novel— dapat dinafikan begitu saja. Justru pada cerpen, Tohari terlihat lebih tangkas dalam mengungkapkan dunia orang-orang kecil yang menjadi wilayah perhatiannya selama ini. Hal itu ditunjukkan dengan kehadiran Nyanyian Malam.
Fakta tersebut tidak mengindikasikan bahwa menulis cerpen itu lebih mudah daripada menulis novel atau drama. Sesuai dengan namanya, sebuah cerpen memang dibatasi oleh bentuknya yang pendek. Justru di sinilah masalahnya: seorang cerpenis dituntut kepiawaiannya menggarap persoalan yang disodorkan dalam karyanya. Terbatasnya ruang itu menuntut kesanggupan cerpenis untuk menyeleksi dan menata peristiwa yang hendak diceritakan hingga menjadi karya yang memikat.
Dalam konteks itu, kita sungguh merasa bersyukur karena memiliki banyak cerpenis yang piawai. Salah seorang di antaranya adalah Ahmad Tohari. Kendatipun ia mendapat pengakuan luwes lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk, tidak berarti bahwa karya dia yang lain—yang bukan novel— dapat dinafikan begitu saja. Justru pada cerpen, Tohari terlihat lebih tangkas dalam mengungkapkan dunia orang-orang kecil yang menjadi wilayah perhatiannya selama ini. Hal itu ditunjukkan dengan kehadiran Nyanyian Malam.
Buku yang memuat 10 cerpen ini merupakan kumpulan cerpen kedua karya Tohari. Sebelumnya, ia telah menghasilkan Senyum Karyamin (1989). Seperti karya pertama, karya kedua ini, sebagian besar, juga melukiskan kehidupan dunia "orang kecil," yakni orang-orang di pinggiran atau yang terpinggirkan. Kehidupan mereka terwakili oleh cerita tentang kehidupan para penipu yang mengatasnamakan anak yatim dan anak cacat ("Penipu yang Keempat"); cerita tentang pengemis ("Mata yang Enak Dibaca"); cerita tentang perempuan pelacur ("Nyanyian Malam"); cerita tentang seorang yang teraniaya karena pembawaannya yang aneh ("Pemandang Perut"); cerita tentang pencuri padi ("Pencuri"); cerita tentang sebuah keluarga yang retak karena dukun ("Warung Penajem"); dan cerita tentang tobat seorang hiperseks ("Kang Sarpin Minta Dikebiri").
Selain mengungkapkan kehidupan orang-orang kecil di pinggiran, Tohari juga berusaha menyoroti kehidupan sastrawan yang "bernasib" buruk ("Daruan") dan seorang perempuan yang menghadapi dilema antara tunduk pada orang tua yang mendidik dan membesarkannya dengan suami yang dicintainya ("Bulan Kuning Sudah Tenggelam").
Dalam mengungkap kehidupan orang-orang itu, Tohari kadang-kadang bertindak sebagai pencerita yang mengamati dan melaporkan semua kejadian yang dilihatnya, kadang-kadang berlaku sebagai salah seorang tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa yang diceritakannya. Baik dalam posisinya sebagai pengamat maupun sebagai pelaku, Tohari senantiasa mengajak kita untuk berempati dan atau bersimpati terhadap persoalan yang dihadapi para tokoh dalam cerita itu.
Cerpen-cerpen Tohari tak sepi dari pesan. Dan pesan itu ada yang implisit, ada pula yang eksplisit. Dalam "Pencuri," "Nyanyian Malam," dan "Kang Sarpin Minta Dikebiri," misalnya, kita seakan diimbau —atau sekurang-kurangnya diketuk hati kita—untuk menyetujui tesis pencerita berkenaan dengan persoalan yang dikemukakannya. Dalam "Pencuri," kita diimbau untuk menyisihkan sebagian harta kita untuk kaum fakir; dalam "Nyanyian Malam," kita diimbau untuk memberikan kasih pada orang yang "kotor," dan pada "Kang Sarpin Minta Dikebiri," kita diiingatkan agar memberi tempat bagi orang yang jujur. Pada cerpen-cerpen tersebut "imbauan" itu disampaikan secara eksplisit lewat sikap pencerita yang kurang lebih mewakili pandangan Tohari. Sementara itu, dalam "Mata yang Dipandang Enak," "Penipu yang Keempat," "Daruan", dan "Warung Penajem" pesan ditampilkan secara samar. Hal itu terlihat dari cara Tohari mengakhiri cerita. Pada akhir cerita Tohari tidak menyelesaikan persoalan. Ia seakan menyerahkan "penyelesaian" persoalan pada pembaca.
Bagaimana dengan posisi Tohari? Agaknya, apa pun posisi yang dipilihnya, Tohari —lewat kesepuluh cerpen yang terhimpun dalam buku ini— memberikan kesan bahwa ia sangat akrab dengan dan menguasai dunia orang-orang yang diceritakannya. Di sinilah kelebihan Tohari. Demikianlah, misalnya, ketika bercerita tentang Paman Doblo dalam "Paman Doblo Merobek Layang-layang," dia sangat paham dan hafal dengan dunia penggembala kerbau. Lukisan tentang perilaku kerbau dan ulah anak-anak penggembala begitu hidup dan meyakinkan. Secara keseluruhan, cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku ini menyiratkan bahwa Tohari tidak sedang mengada-ada atau berpura-pura tahu tentang orang kecil.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari kumpulan cerpen ini adalah keberadaan "Bulan Kuning Sudah Tenggelam." Cerpen ini agak berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya, minimal dari segi panjang cerita dan gaya bercerita Tohari. Maman S. Mahayana dalam kata penutup buku ini memberikan 3 alasan mengapa cerita ini diikutsertakan. Salah satunya adalah bahwa cerpen itu memperlihatkan style yang agak berbeda dengan karya-karya Tohari lainnya. Saya pikir Maman benar. Perbedaan itu —menurut hemat saya— dapat diterangkan dengan cara menelusuri konteks penulisan cerpen tersebut. "Bulan Kuning Sudah Tenggelam" semula dimuat di majalah Kartini yang pembacanya umumnya wanita. Selain itu, majalah ini juga menyediakan rubrik yang dapat menampung cerpen panjang. Justru karena itulah Tohari menulis cerpen panjang. Faktor pembaca —yang kebanyakan wanita— pulalah yang memungkinkan "Bulan Kuning Sudah Tenggelam" lahir dari tangan Tohari.
Jika kita perhatikan secara keseluruhan, Tohari sadar betul akan calon pembaca dan media penampung karya-karyanya. Pilihan dan cara penyiasatan tema/pemecahan persoalan, penyajian amanat, serta panjang pendek cerita disesuaikan dengan media dan calon pembaca karya-karyanya. Dengan demikian, perbedaan cerpen satu dengan cerpen lainnya—termasuk "keistimewaan" cerpen "Bulan Kuning Sudah Tenggelam"—tampaknya harus dikembalikan pada faktor media penampungnya. Perhatikan cerpen-cerpen Tohari dalam buku ini yang semula dimuat di Panji Masyarakat, jelas warna "Islamnya" lebih terlihat daripada cerpen lain yang semula dimuat di Kompas.
Meskipun, menurut Maman, ada pergeseran pada wilayah perhatian Tohari, saya melihat bahwa secara tematik Tohari belum bergeser dari pilihannya yang cenderung tertuju pada orang pinggiran. Secara stilistik saya juga tidak melihat adanya perubahan pada diri Tohari. Cara bertutur dia dalam buku ini masih mengingatkan saya pada Senyum Karyamin. Walaupun begitu, lepas dari persoalan itu, buku ini tetap patut kita sambut, bukan karena kebetulan ditulis oleh seorang Tohari, melainkan karena apa yang ditampilkan—suara Tohari "masih" merupakan bagian dari isi kehidupan masyarakat kita.
Sunu Wasono
Cited from Horison-XXXIV/2/2001 halaman 33-34
Cited from Horison-XXXIV/2/2001 halaman 33-34
0 comments:
Post a Comment