Syarat Esai Sastra yang Sehat dan Apresiatif
Maman S. Mahayana
Maman S. Mahayana
Dewasa ini bertebaran esai sastra dimuat di berbagai media massa. Secara kuantitatif, gejala itu amat menggembirakan. Namun, secara kualitatif, patut dipertanyakan. Persoalannya menyangkut beberapa hal. Pertama, apakah esai itu sejalan dan tidak menyimpang dari hakikat kritik sastra. Kedua, apakah pembicaraannya cuma seputar dirinya atau kelompoknya belaka. Ketiga, apakah ia mengungkapkan nilai atau sekedar pembicaraan melantur yang diselimuti istilah-istilah mentereng. Keempat, apakah pembaca umum dapat memahami esai itu atau malah menjadikan mereka makin bingung. Sejumlah pertanyaan lain masih dapat kita ajukan. Namun, dengan keempat pokok persoalan itu, dapat kita jadikan sebagai bahan evaluasi.
***
Esai sastra yang ditulis diberbagai media massa sesungguhnya termasuk kategori kritik sastra umum. Sebagai bentuk kritik sastra, ia mesti mendasari gagasannya pada usaha mengungkapkan nilai; nilai atas karya sastra dan nilai atas peran profesional sastrawannya. Dengan demikian, ia mesti bersifat apresiatif; pengungkapan nilai positif dan penjelasan mengenai maknanya. Cara ini tidak hanya menempatkan karya sastra secara proporsional, melainkan juga mengangkatnya sebagai karya yang bermakna bagi manusia dan kemanusiaan.
Menempatkan karya sastra secara proporsional, artinya kita mengembalikan hakikat karya itu sebagai sebuah teks yang mengungkapkan fakta yang terimajinasi. Fakta dalam karya sastra adalah fiksi. Oleh Karena itu, akan menyesatkan jika kita memperlakukan karya sastra sebagai karya jurnalistik atau karya sejarah. Bahwa karya itu memotret peri kehidupan manusia, potret itu sendiri sudah dibaluri wama; membuang yang dianggap tak penting dan menambahkan sesuatu agar menarik hati dan menggugah emosi.
Mengangkat makna karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, artinya kita mengungkapkan nilai karya itu dalam kaitannya dengan fungsinya yang mendidik. "Didactic heresy" kata Edgar Allan Poe atau "duice et utile" menurut gagasan Horatio; sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Mengingat karya sastra lahir dari pemikiran manusia yang mengungkapkan masalah manusia dan diwartakan untuk manusia, maka ia sesungguhnya mengajak manusia untuk berpihak pada moralitas dan hati nurani kemanusiaan. Ia juga mengajak kita untuk peduli dan memikirkan alam dan lingkungan di sekitar kita.
Menempatkan karya sastra secara proporsional, artinya kita mengembalikan hakikat karya itu sebagai sebuah teks yang mengungkapkan fakta yang terimajinasi. Fakta dalam karya sastra adalah fiksi. Oleh Karena itu, akan menyesatkan jika kita memperlakukan karya sastra sebagai karya jurnalistik atau karya sejarah. Bahwa karya itu memotret peri kehidupan manusia, potret itu sendiri sudah dibaluri wama; membuang yang dianggap tak penting dan menambahkan sesuatu agar menarik hati dan menggugah emosi.
Mengangkat makna karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, artinya kita mengungkapkan nilai karya itu dalam kaitannya dengan fungsinya yang mendidik. "Didactic heresy" kata Edgar Allan Poe atau "duice et utile" menurut gagasan Horatio; sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Mengingat karya sastra lahir dari pemikiran manusia yang mengungkapkan masalah manusia dan diwartakan untuk manusia, maka ia sesungguhnya mengajak manusia untuk berpihak pada moralitas dan hati nurani kemanusiaan. Ia juga mengajak kita untuk peduli dan memikirkan alam dan lingkungan di sekitar kita.
Esai sastra seyogianya mengungkapkan itu, Ia hendaknya tidak mengangkat masalah dirinya sendiri dan disampaikan untuk kalangan sendiri. Esai sastra yang dimuat di media massa pada dasarnya bersifat publik. Ia disampaikan untuk masyarakat luas. Mengingat begitu beragamnya tingkat apresiasi masyarakat, mesti diandaikan pembacanya adalah anak sekolah, guru, sastrawan, peminat sastra, kritikus, budayawan dan kaum intelektual. Ringkasnya, pembacanya adalah masyarakat yang baru mengenal dunia sastra sampai masyarakat yang hidup dan menghidupi kesusastraan. Oleh karena itu, tidak perlu ia berbicara dengan bahasa yang aneh-aneh tanpa jelas juntrungannya. Ia cukup disampaikan dengan bahasa yang jemih dan sederhana, namun jelas apa yang hendak disampaikannya. Dengan cara itu, pembaca awam akan mendapat penjelasan yang sepatutnya mengenai sastra dengan berbagai aspeknya, sastrawan akan memperoleh masukan mengenai karyanya; dan kalangan akademi atau kaum intelektual akan ikut terpancing menggali lebih jauh, meluruskan jika terjadi kekeliruan, dan memancing yang lain untuk menyemarakkannya serta merangsang sastrawan agar berkarya lebih baik lagi.
***
Esai sastra yang termasuk kritik sastra umum, boleh saja ditulis setiap orang, apapun latar belakang pendidikannya. Hasilnya baik atau tidak, sah-sah saja adanya. Namun, perlu diingat, bahwa kritik sastra umum hakikatnya mengangkat dan mengungkapkan nilai lewat penyajiannya yang populer. Istilah-istilah teknis, teori-teori canggih, dan metodologi yang jlimet, terpaksalah kita tanggalkan karena ia disajikan untuk umum; masyarakat luas. Ia juga bukan karya ilmiah yang menuntut pertanggungjawabannya berdasarkan prinsip keilmuan. Jadi, cukuplah ia disajikan secara sederhana agar masyarakat umum dapat memahaminya. Begitulah, nilai itu akan bermakna jika pembicaraannya tidak ngawur. Bahkan, lebih daripada itu, maknanya akan menjadi sebuah monument jika banyak pihak dapat menikmati manfaatnya.
Esai yang ditulis H.B. Jassin yang dihimpun dalam Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei adalah contoh esai sastra yang baik. Dalam buku itu, Jassin lebih banyak mengenalkan pengarangnya; mengungkapkan dan meletakkan posisi karyanya, dan menggali makna karya bersangkutan. Tak ada caci-maki di dalamnya. Dengan begitu, pembaca umum akan tertarik pada karya yang dibicarkannya, dan terpancing untuk membaca karya yang bersangkutan secara langsung. Pengarang juga memperoleh manfaat, karena dari tulisan Jassin itu, ia dapat introspeksi; menyadari kelemahannya, mengetahui kelebihannya, sangat mungkin kemudian berusaha memperdalam kemampuannya dan memaksimalkan kelebihannya.
Sementara itu, mengingat apa yang diungkapkan Jassin selalu berdasarkan data yang relative lengkap berdasarkan kedekatan dengan pribadi pengarangnya, maka esai-esai Jassin juga banyak dimanfaatkan oleh para peneliti. Periksalah, dalam banyak skripsi, tesis atau disertasi yang membicarakan kesusastraan Indonesia, buku Jassin hampir selalu menjadi salah satu sumber rujukannya. Satu petunjuk betapa esai yang ditulis H.B. Jassin secara sederhana dan bersifat umum itu menjadi sebuah 'monumen'.
Esai sastra yang ditulis di surat-surat kabar atau majalah, sepatutnya ditulis dengan penyajian yang sederhana, gagasan yang jemih dan kemungkinan jangkauannya yang luas. Dengan cara itu, amat mungkin masyarakat makin akrab dengan dunia sastra, dan tidak sebaliknya. Boleh jadi keprihatinan banyak pihak, bahwa kesusastraan kita terpencil dari masyarakatnya dan pelajaran sastra di sekolah tidak menekankan apresiasinya, lebih disebabkan oleh kurangnya esai-esai sastra dan kritik sastra umum yang sehat dan menyehatkan.
Masalahnya, esai sastra atau kritik sastra umum yang ditulis secara ngawur, tidak hanya akan membuat sastrawannya sendiri bingung —karena tidak tahu lagi di mana kelebihan dan kekurangan karya-karya yang telah dihasilkannya— melainkan juga akan menjauhkan dunia sastra dari masyarakat. Kesusastraan jadi seolah-olah dunia yang eksklusif; dinikmati dan dibicarakan hanya dalam lingkungannya sendiri.
Mengingat esai sastra atau kritik sastra umum langsung berhadapan dengan masyarakat, maka pengaruhnya jauh lebih luas dibandingkan dengan kritik sastra ilmiah yang pembicaannya terbatas dalam lingkungan akademi. Oleh karena itu, esai sastra sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mengakrabkan masyarakat dengan dunia sastra. Ia juga berperan tidak hanya untuk menyemarakkan kehidupan kesusastraan dan mendorong sastrawannya untuk berkarya lebih baik lagi, tetapi juga menggairahkan masyarakat agar ikut memberikan apresiasinya terhadap karya sastra. Tentu saja jika esai sastra dan kritik sastra umum itu juga ditulis secara sehat dan menyehatkan. Oleh karena itu perlu kritik sastra yang sehat, menyehatkan dan apresiatif. Untuk menghasilkan esai atau kritik seperti itu, diperlukan sejumlah syarat sebagai berikut:
Pertama, berangkat dari apresiasi sastra. Membaca karyanya dan memberi penghargaan dan nilai terhadapnya. Jadi, langkah pertama adalah membaca karyanya itu sendiri.
Kedua, serba sedikit mempunyai pemahaman atau pengenalan sejumlah konsep dasar pengetahuan kesusastraan. Tetapi jangan menempatkan teori sebagai titik berangkatnya. Jika itu dilakukan, maka esai atau kritik itu cenderung mengandung pemaksaan teoretis.
Ketiga, membaca sebanyak-banyaknya karya sastra sebelumnya atau karya sastra sezamannya. Cara ini dapat memberi dasar bagi kita untuk menempatkan karya sastra dalam konteks sejarahnya. Apakah karya itu temanya benar-benar baru atau mengulang saja. Pertanyaan; di mana pula tempat karya tersebut dibandingkan dengan karya yang terbit sebelumnya?
Keempat, bersikap adil. Jika kita mengungkapkan kelemahan atau kekurangan karya sastra, maka kita perlu mengungkapkan kelebihannya. Dan yang penting lagi, adalah melihat prospek masa depan pengarangnya.
Kelima, mengingat esai sastra dapat dianggap sebagai kritik sastra umum, maka pembacanya juga masyarakat umum. Oleh karena itu, cara penyajian dan gaya bahasa yang digunakan, seyogianya sederhana saja, lugas, tidak perlu menggunakan istilah-istilah asing.***
Esai yang ditulis H.B. Jassin yang dihimpun dalam Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei adalah contoh esai sastra yang baik. Dalam buku itu, Jassin lebih banyak mengenalkan pengarangnya; mengungkapkan dan meletakkan posisi karyanya, dan menggali makna karya bersangkutan. Tak ada caci-maki di dalamnya. Dengan begitu, pembaca umum akan tertarik pada karya yang dibicarkannya, dan terpancing untuk membaca karya yang bersangkutan secara langsung. Pengarang juga memperoleh manfaat, karena dari tulisan Jassin itu, ia dapat introspeksi; menyadari kelemahannya, mengetahui kelebihannya, sangat mungkin kemudian berusaha memperdalam kemampuannya dan memaksimalkan kelebihannya.
Sementara itu, mengingat apa yang diungkapkan Jassin selalu berdasarkan data yang relative lengkap berdasarkan kedekatan dengan pribadi pengarangnya, maka esai-esai Jassin juga banyak dimanfaatkan oleh para peneliti. Periksalah, dalam banyak skripsi, tesis atau disertasi yang membicarakan kesusastraan Indonesia, buku Jassin hampir selalu menjadi salah satu sumber rujukannya. Satu petunjuk betapa esai yang ditulis H.B. Jassin secara sederhana dan bersifat umum itu menjadi sebuah 'monumen'.
Esai sastra yang ditulis di surat-surat kabar atau majalah, sepatutnya ditulis dengan penyajian yang sederhana, gagasan yang jemih dan kemungkinan jangkauannya yang luas. Dengan cara itu, amat mungkin masyarakat makin akrab dengan dunia sastra, dan tidak sebaliknya. Boleh jadi keprihatinan banyak pihak, bahwa kesusastraan kita terpencil dari masyarakatnya dan pelajaran sastra di sekolah tidak menekankan apresiasinya, lebih disebabkan oleh kurangnya esai-esai sastra dan kritik sastra umum yang sehat dan menyehatkan.
Masalahnya, esai sastra atau kritik sastra umum yang ditulis secara ngawur, tidak hanya akan membuat sastrawannya sendiri bingung —karena tidak tahu lagi di mana kelebihan dan kekurangan karya-karya yang telah dihasilkannya— melainkan juga akan menjauhkan dunia sastra dari masyarakat. Kesusastraan jadi seolah-olah dunia yang eksklusif; dinikmati dan dibicarakan hanya dalam lingkungannya sendiri.
Mengingat esai sastra atau kritik sastra umum langsung berhadapan dengan masyarakat, maka pengaruhnya jauh lebih luas dibandingkan dengan kritik sastra ilmiah yang pembicaannya terbatas dalam lingkungan akademi. Oleh karena itu, esai sastra sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mengakrabkan masyarakat dengan dunia sastra. Ia juga berperan tidak hanya untuk menyemarakkan kehidupan kesusastraan dan mendorong sastrawannya untuk berkarya lebih baik lagi, tetapi juga menggairahkan masyarakat agar ikut memberikan apresiasinya terhadap karya sastra. Tentu saja jika esai sastra dan kritik sastra umum itu juga ditulis secara sehat dan menyehatkan. Oleh karena itu perlu kritik sastra yang sehat, menyehatkan dan apresiatif. Untuk menghasilkan esai atau kritik seperti itu, diperlukan sejumlah syarat sebagai berikut:
Pertama, berangkat dari apresiasi sastra. Membaca karyanya dan memberi penghargaan dan nilai terhadapnya. Jadi, langkah pertama adalah membaca karyanya itu sendiri.
Kedua, serba sedikit mempunyai pemahaman atau pengenalan sejumlah konsep dasar pengetahuan kesusastraan. Tetapi jangan menempatkan teori sebagai titik berangkatnya. Jika itu dilakukan, maka esai atau kritik itu cenderung mengandung pemaksaan teoretis.
Ketiga, membaca sebanyak-banyaknya karya sastra sebelumnya atau karya sastra sezamannya. Cara ini dapat memberi dasar bagi kita untuk menempatkan karya sastra dalam konteks sejarahnya. Apakah karya itu temanya benar-benar baru atau mengulang saja. Pertanyaan; di mana pula tempat karya tersebut dibandingkan dengan karya yang terbit sebelumnya?
Keempat, bersikap adil. Jika kita mengungkapkan kelemahan atau kekurangan karya sastra, maka kita perlu mengungkapkan kelebihannya. Dan yang penting lagi, adalah melihat prospek masa depan pengarangnya.
Kelima, mengingat esai sastra dapat dianggap sebagai kritik sastra umum, maka pembacanya juga masyarakat umum. Oleh karena itu, cara penyajian dan gaya bahasa yang digunakan, seyogianya sederhana saja, lugas, tidak perlu menggunakan istilah-istilah asing.***
Maman S. Mahayana, kritikus sastra dan staf pengajar
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.
Diambil dari Kakilangit 36 Januari 2000 (sisipan Majalah Horison)
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.
Diambil dari Kakilangit 36 Januari 2000 (sisipan Majalah Horison)
digunakan sebagai materi pelajaran sastra.
0 comments:
Post a Comment