Drama pendek Kota Impian ini adalah karya Preva (Siswa kelas Bahasa chapter II -hehehe) yang berhasil memenangkan Lomba Penulisan Naskah Drama Balai Bahasa Yogyakarta tingkat SMA tahun 2008 (juara III). Terima kasih buat Preva yang memberikan naskahnya utk dimuat di blog ini sebagai sarana belajar-mengajar. Tampaknya drama Persimpangan cukup membekas dalam batinnya sehingga banyak memberi warna dalam proses kreatif penciptaan naskah ini. Atau karena Persimpangan itu pulalah yang membuatnya ingin mengulang di chapter II hm.... (kalau yg ini tanya sendiri pada bersangkutan-saya nggak ikut-ikut lho...) Terima kasih juga buat Toga (wow... sastra Indonesia UGM nih...) yang telah berbaik berbaik hati meng-email-kan naskah ini.
Kota Impian
Pemain :
1. Pengembara 1
2. Pengembara 2
3. Pengembara 3
4. Pengembara 4
5. Petani 1
6. Petani 2
7. Petani 3
8. Petani 4
1. Pengembara 1
2. Pengembara 2
3. Pengembara 3
4. Pengembara 4
5. Petani 1
6. Petani 2
7. Petani 3
8. Petani 4
Empat orang sedang berjalan menyusuri padang rumput yang tak berujung. Entah mereka sudah sampai di negeri mana. Mereka telah berjalan berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tujuan mereka hanya satu, Kota Impian.
Matahari terasa sangat panas. Padang rumput itu terasa sangat lengang, seakan-akan padang rumput itu tiada berujung. Hembusan angin sesekali terasa sangat menyejukan. Empat pengembara itu terasa sangat kelelahan berjalan.
Seting panggung minimalis. Hanya ada beberapa batu besar untuk duduk. Lampu sorot diarahkan ke tengah. Hanya ada satu lampu yang menyala. Sementara ada satu orang yang membaca prolog.
Bumi. Bumi adalah karya agung dari sang pencipta. Maha karya yang maha dahsyat. Alam raya diciptakan lengkap dan saling berkaitan, supaya ada keseimbangan antar alam. Alam bicara dan hidup dengan caranya sendiri. Cara yang kadang tidak pernah di pahami oleh manusia, yang katanya makhluk Tuhan yang paling sempurna.
Inilah awal dari sebuah kehancuran. Inilah awal dari segala malapetaka. Manusia telah mengkhianati tugasnya. Mereka bukan lagi bertindak sebagai penjaga alam, mereka malah menjadi pemerkosa alam. Rakus, egois, acuh, individualis adalah sifat yang terus dikembangkan manusia. Mereka lupa untuk apa mereka hidup. Mereka lupa pada ibu yang memberi mereka air, makanan, dan semua yang dibutuhkan. Alam dirusak, tatanan masyarakat dirombak.
Keadaan ini membuat hati gerah, gelisah, dan haus akan kedamaian. Rindu akan kasih sayang, rindu akan kebijakan, dan rindu akan raa kekeluargaan. Untuk itulah, empat orang pengembara melakukan perjalanan panjang. Perjalanan menuju sebuah kota yang konon menjanjikan kedamaian, kesejahteraan, rasa aman dan nyaman, serta rasa saling kekeluargaan. Mereka bersumpah akan meninggalkan kehidupan jaman yang blingsatan. Inilah KOTA IMPIAN.
(pemain naik ke panggung, lampu dinyalakan, dan musik mulai dimainkan)
Adegan I
1. Pengembara 1 :
Saudara, masih berapa lama lagi kita harus berjalan?
2. Pengembara 3 :
Menurut peta, desa terdekat masih sekitar dua kilometer lagi.
3. Pengembara 2 :
Dan… masih berapa jauhkan Kota Impian itu?
4. Pengembara 3 :
Menurut peta, masih sekitar 1000 kilometer lagi.
5. Pengembara 4 :
Jujur aku sangat lelah melakukan perjalanan ini. Selain itu sebenarnya aku juga tidak yakin kalau kita akan sampai di Kota Impian itu.
Saudara, masih berapa lama lagi kita harus berjalan?
2. Pengembara 3 :
Menurut peta, desa terdekat masih sekitar dua kilometer lagi.
3. Pengembara 2 :
Dan… masih berapa jauhkan Kota Impian itu?
4. Pengembara 3 :
Menurut peta, masih sekitar 1000 kilometer lagi.
5. Pengembara 4 :
Jujur aku sangat lelah melakukan perjalanan ini. Selain itu sebenarnya aku juga tidak yakin kalau kita akan sampai di Kota Impian itu.
6. Pengembara 2 :
Saudara, kita tidak boleh menyerah. Kita harus tetap berusaha agar kita bisa sampai pada tujuan kita.
7. Pengembara 1 :
Itu benar saudara. Kita semua merasa lelah, tapi kita harus tetap yakin kalau kita pasti akan sampai di kota itu.
8. Pengembara 3 :
Tepat sekali. Lagi pula menurut peta ini, Kota Impian sudah tidak jauh lagi. Paling lambat, sepuluh tahun lagi kita pasit akan sampai di kota itu.
9. Pengembara 4 :
Sepuluh tahun lagi? Tidak adakah waktu yang lebih cepat untuk mendapatkan kebahagiaan?
10. Pengembara 2 :
perlu perjuangan saudara. Menggapai mimpi itu tidak mudah, perlu banyak perjuangan, kerja keras, dan kesabaran.
11. Pengembara 4 :
Ya… semoga saja apa yang kita yakini itu benar. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.
12. Semua : Ayo…!!
(Lampu dimatikan. Seting diubah. Empat pengembara itu masih di panggung)
Adegan II
13. Pengembara 4 :
Saudara, bisakah kita berhenti sejenak? Aku sangat kelelahan. Aku tak sanggup lagi untuk berjalan.
14. Pengembara 1 :
Ya… aku juga sangat kelelahan.
15. Pengembara 3 :
Baiklah, kita putuskan untuk beristirahat sejenak.
(Tiba-tiba datang segerombolan petani yang sedang membawa ternaknya)
16. Pengembara 2 :
Permisi pak, numpang tanya. Desa terdekat dari sini masih jauh tidak pak?
17. Petani 1 :
Desa terdekat masih sekitar dua kilometer lagi saudara.
18. Petani 3 :
Bukan dua kilometer, tapi empat.
19. Petani 2 :
Tidak, tidak sejauh itu. Jaraknya yang benar adalah tiga kilometer.
20. Petani 4 :
Wah, nampaknya kami kurang tau betul jarak yang sebenarnya saudara. Tapi yang pasti sudah tidak jauh dari sini.
21. Pengembara 1 :
Bisa kah kami ikut berjalan bersama bapak ke desa tersebut?
22. Petani 2 :
Ya tidak apa-apa. Tapi kami di jalan nanti akan banyak berhenti, sebab kami harus mencari rumput untuk ternak kami.
23. Pengembara 4 :
Ah, itu bukan masalah bagi kami. Kami akan mengikuti jalan yang bapak jalani.
24. Pengembara 3 :
Ya… mari kita lanjutkan perjalanan kita.
(Lampu mati. Musik dimainkan untuk mengiringi perjalanan itu. Seting diubah menjadi sebuah desa.)
25. Petani 1 :
Akhirnya sampai juga.
26. Petani 3 :
Saudara-saudara, inilah desa kami. Desa yang kecil, namun sangat damai.tanpa penguasa, tanpa pajak atau upeti. Tidak ada hukum, yang ada hanya norma yang sudah kami pahami masing-masing.
27. Pengembara 3 :
Akhirnya kita bisa sampai juga. Oh iya pak, apa di sini ada penginapan?
28. Petani 4 :
Wah, sayang sekali saudara. Desa kami ini sangat jarang dikunjungi, jadi maklumlah kalau tidak ada penginapan di sini.
29. Petani 2 :
Tapi jangan takut. Saudara-saudara bisa menginap digubug kosong ini.
30. Pengembara 2 :
Memangnya gubuk ini tidak ada yang menempati pak?
31. Petani 2 :
Dulu memang ada yang menempati, tapi sekarang sudah tidak lagi.
32. Pengembara 4 :
Memangnya yang punya gubuk ini ada di mana pak?
33. Petani 3 :
Orangnya sudah meninggal dua tahun yang lalu.
34. Pengembara 1 :
Baiklah kalau begitu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk bapak-bapak semua.
35. Petani 1 :
Sama-sama. Kami juga senang bisa membantu saudara semua.
36. Petani 4 :
Kalau begitu kami mohon diri. Hari sudah gelap. Kami masih harus memberi makan ternak kami. Permisi…
37. Pengembara :
Mari….
38. Pengembara 3 :
Tidak disangka, kita bisa mendapat tempat menginap malam ini. Sudah lama aku tidak tidur di dalam rumah. Sudah sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak kita memutuskan untuk mengadakan perjalanan ini.
39. Pengembara 1 :
Ya… Semoga kemujuran ini tidak datang hanya hari ini saja.
40. Pengembara 4 :
Kau ini, mengharapkan sesuatu yang tidak pasti.
41. Pengembara 1 :
Loh, ini bukan mustahil terjadi. Siapa tau besok kita mampir di kota yang penuh wanitanya. Sudah lama aku tidak melihat wanita.
42. Pengembara 4 :
Loh loh loh… kok saudara ini malah berpikir tentang wanita? Apa saudara sudah lupa dengan komitmen kita dulu sebelum mengadakan perjalanan ini?
43. Pengembara 1 :
Tentu aku ingat. Aku kan hanya bernostalgia sejenak dengan masa laluku. Apa itu juga tidak boleh?
44. Pengembara 4 :
Bukan tidak boleh, tapi jangan sampai khayalan itu malah membuat kita lupa diri dan menimbulkan tujuan-tujuan semu. Tujuan kita hanya satu. Kota Impian.
45. Pengembara 2 :
Sudah, jangan bertengkar. Lebih baik sekarang kita istirahat. Kita harus melanjutkan perjalanan panjang kita besok.
46. Pengembara 3 :
Jujur saja, aku bosan dengan kehidupanku yang sekarang ini.
47. Pengembara 4 :
Saudara ini ternyata juga sudah tertular wabah kebosanan. Lebih baik sekarang kita berdoa saja agar hati kita dikuatkan, dan supaya kita bisa terus berteguh pada tujuan awal kita.
(Pengembara berdoa. Musik dimainkan dan lampu mulai dipadamkan. Seting tidak berubah. Musik hanya memberi jeda pergantian malam ke pagi.)
48. Pengembara 2 :
Saudara-saudara ayo bangun. Hari sudah siang. Mari berkemas. Kita harus melanjutkan perjalanan kita.
49. Pengembara 3 :
Kenapa hari berganti begitu cepat? Belum sempat aku mimpi indah, sudah harus bangun gara-gara matahari yang sudah bersinar terang.
50. Pengembara 1 :
Saudara, kira-kira apa yang mungkin kita temui pada perjalanan kita hari ini?
51. Pengembara 4 :
Entahlah. Mungkin jalan pintas menuju Kota Impian, atau mungkin ajal akan menjemput salah satu diantara kita. Siapa yang tau.
52. Pengembara 2 :
Sudahlah. Tidak usah menerka-nerka. Mari kita berkemas, lalu kita berpamitan dengan warga desa kemarin yang telah memberi kita tempat tinggal.
(mereka semua berkemas. Lalu bangkit berdiri dan keluar dari gubuk itu..)
53. Pengembara 1 :
Kenapa desa ini kelihatan sepi sekali? Kemana para penduduknya?
54. Pengembara 3 :
Aku tidak tau. Mungkin mereka pagi-pagi buta sudah pergi mencari rumput untuk ternak mereka.
55. Pengembara 2 :
Padahal, aku belum sempat mengucapkan terima kasih untuk mereka.
56. Pengembara 4 :
Sudahlah, mungkin kita memang tidak berjodoh dengan mereka. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.
57. Pengembara 1 :
Ya… siapa tau di depan memang sudah menunggu sebuah kota yang penuh dengan wanita.
58. Pengembara 4 :
Ssstttt… jangan berpikir yang tidak-tidak.
(Lampu dimatikan. Musik dibunyikan. Seting berubah menjadi sebuah padang yang gersang. Panas, dan sangat menguras keringat.)
Adegan III
59. Pengembara 2 :
Saudara, bisakan kita berhenti sejenak untuk beristirahat?
60. Pengembara 4 :
Kapan kita mau sampai kalau dari tadi hanya berhenti melulu.
61. Pengembara 2 :
Hei saudara, kenapa nada bicara saudara begitu tinggi. Aku hanya meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Salahkah itu?
62. Pengembara 4 :
Aku kesal dengan saudara yang daritadi hanya berhenti melulu. Apa niat sudara sudah mulai luntur? Apa semangat saudara untuk menuju Kota Impiyan sudah buyar?
63. Pengembara 2 :
Ah, saudara ini kenapa menjadi sok pemimpin seperti ini. Niatku tidak luntur, semangatku pun tidak buyar. Aku hanya lelah melakukan perjalanan yang tak berujung ini. Berjalan menuju tempat yang belum pasti keberadaannya. Kita sudah sepuluh tahun berjalan, tapi belum ada tanda-tanda kalau kita akan sampai pada tujuan kita.
64. Pengembara 4 :
Itulah yang namanya ketidakyakinan. Saudara sudah mengingkari apa yang dulu telah kita sumpahkan. Saudara tidak ada bedanya dengan seorang pecundang yang hanya bisa merengek dan menyerah pada keadaan.
65. Pengembara 2 :
Aku tidak menyerah pada keadaan, tapi apa yang dulu kita pikirkan ternyata salah. Kita tidak mungkin lari dari kenyataan ini. Jaman kita adalah jaman yang gila. Kita pergi meninggalkan kehidupan kota yang semakin gila untuk mencari sebuah ketenangan. Tapi apa yang kita alami sekarang ini jauh lebih gila. Kita terlalu naif. Kita terlalu jauh berkhayal tentang Kota Impian yang penuh dengan kedamaian itu. Kita tidak tau pasti apakah kota itu ada atau tidak…
66. Pengembara 4 :
Justru itu… Kita semua tidak tau kebenarannya sebelum kita sampai pada kota itu. Dan satu hal yang mesti saudara ingat, perjalanan ini adalah jalan yang terbaik. Lebih baik menambatkan diri pada tujuan dan harapan yang tidak pasti daripada hidup di tengah masyarakat yang blingsatan. Mengikuti arus dimana akan membawa kita larut semakin jauh pada kegilaan. Lebih baik…
67. Pengembara 1 :
Sudahlah… Diam kalian berdua. Kenapa kalian jadi bertengkar satu sama lain. Kita di sini adalah satu, tujuan kita juga satu. Dengan bersatu, kita menjadi lebih baik.
68. Pengembara 2 :
Tidak. Kita sekarang tidak lagi satu. Tujuan kita telah berbeda. Aku tidak mau lagi hidup di dalam bayang-bayang semu tentang kedamaian. Iya kalau benar semua itu ada, kalau tidak, malah membuat kita semakin putus asa. Aku akan pergi mencari Kota Impianku sendiri. Aku sudah tidak mau meneruskan perjalanan ini.
69. Pengembara 3 :
Baiklah, kalau itu keputusan saudara. Gelang ini adalah tanda kalau kita satu. Sekarang saudara tidak lagi satu dengan kami, maka tolong saudara lepas gelang itu dan silahkan pergi menuju ketidakpastian yang saudara pikirkan itu.
70. Pengembara 2 :
Hahaha… ketidakpastian. Sebenarnya, siapa yang hidup di dalamnya. Ini gelangmu. Sekarang aku akan pergi menuju kedamaianku sendiri.
71. Semua :
Silahkan…!!!
(Suasana menjadi hening. Terlihat ekspresi penyesalan pada raut wajah ketiga pengembara itu. Sekarang mereka tinggal bertiga. Satu bagian dari mereka telah hilang)
72. Pengembara 3 :
Saudara-saudara, hendaknya yang barusan terjadi bisa menjadi pelajaran untuk kita. Perjalanan kita memang masih jauh. Kita tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas, jika kita terus berteguh pada tujuan awal kita, maka kita akan terus bersama, karena tujuan itulah yang menyatukan kita di sini.
73. Pengembara 1 :
Sayang sekali rekan kita tadi telah kehilangan jati dirinya. Tujuan sesaat yang muncul membuatnya goyah dan meninggalkan tujuan hidupnya.
74. Pengembara 4 :
Sudahlah, tidak usah dipikir lagi. Yang terjadi, biarlah berlalu. Biarkan itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita.
75. Pengembara 1 :
Mari kita lanjutkan perjalanan kita.
76. Semua :
Mari..!!
(Pengembara 3 samar-samar melihat pantulan cahaya dari arah barat. Dia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Maka dia bertanya pada rekannya untuk meminta pendapat.)
77. Pengembara 3 :
Saudara, apa saudara melihat cahaya dari arah barat sana?
78. Pengembara 4 :
Yang mana yang saudara maksud?
79. Pengembara 3 :
Itu yang di sana. Yang memantulkan cahaya itu.
80. Pengembara 1 :
Ya, aku bisa melihatnya. Bagaimana kalau kita berjalan ke situ sebentar untuk mengetahui cahaya apa itu sebenarnya.
81. Pengembara 4 :
Tapi… bila kita ke sana, itu berarti kita melenceng dari arah menuju Kota Impian.
82. Pengembara 1 :
Kita tidak akan berlama-lama di sana. Setelah kita mengetahui apa yang ada di sana, kita kembali melanjutkan perjalanan kita. Bagaimana? Setuju?
83. Pengembara 4 :
Baiklah. Apa salahnya kita coba.
84. Pengembara 1 :
Bagaimana saudara?
85. Pengembara 3 :
Baik. Aku juga ikut.
(Musik dibunyikan. Cahaya meredup. Pengembara-pengembara itu berjalan pelan menuju arah cahaya yang bersinar itu. Setelah mereka sampai, mereka sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat. Sebuah kota yang mirip dengan kota dimana tempat mereka berasal.)
86. Pengembara 4 :
Kenapa di tempat seperti ini ada kota yang begitu gemerlap.
87. Pengembara 3 :
Kota apa ini sebenarnya?
88. Pengembara 1 :
Entahlah, yang jelas suasana ini sangat berbeda dengan yang biasa kita rasakan. Kota ini sangat mirip dengan apa yang aku bayangkan semalam. Menjanjikan kesenangan dan benar-benar tempat yang pas untuk melepas kebosanan.
89. Pengembara 4 :
Jangan bilang kalau saudara mau berkeliling di kota ini.
90. Pengembara 1 :
Ya… tepat sekali. Aku memang ingin berjalan-jalan di kota ini.
91. Pengembara 3 :
Tapi tadi kita telah sepakat akan meninggalkan tempat ini setelah kita mengetahui apa yang kita lihat dari kejauhan tadi.
92. Pengembara 1 :
Kau benar. Tapi kita belum mengetahui apa saja yang ada di dalam sana. Mungkin ada wanita dengan pakaian seksi, atau ada sebuah klub malam dimana kita bisa berjoget-joget.
93. Pengembara 4 :
Saudara, apa saudara juga telah mengingkari apa yang sudah kita sepakati?
94. Pengembara 1 :
Aku tidak mengingkarinya. Aku hanya ingin melepaskan kebosananku sebentar saja.
95. Pengembara 4 :
Tapi dulu kita telah berjanji bahwa kita tidak akan ikut menikmati godaan duniawi.
96. Pengembara 1 :
Yang berjanji adalah saudara. Aku tidak pernah merasa berjanji pada siapapun.
97. Pengembara 3 :
Tapi saudara telah meneteskan darah saudara sendiri sebagai bukti bahwa janji itu telah disepakati.
98. Pengembara 1 :
Oh… itu hanya sebagai bentuk dari solidaritas saja. Tidak mungkinkan aku tidak ikut melakukan ritual itu sementara kalian semua melakukannya.
99. Pengembara 4 :
Saudara sudah kelewatan. saudara sudah mengingkari janji yang dulu pernah kita buat.
100. Pengembara 3 :
Ya… saudara juga telah kembali terjerumus oleh nafsu manusia yang jahanam itu.
101. Pengembara 1 :
Apa kalian tau, aku sudah muak dengan perjalanan yang telah kita lakukan. Aku muak dengan harapan-harapan semu dari Kota Impian itu. Sebuah hal yang belum pasti kebenarannya namun dicoba untuk dipercayai. Aku bosan. Aku jengah dengan semua itu.
102. Pengembara 3 :
Baiklah. Nampaknya sekarang kita sudah berbeda. Jadi apa yang saudara kehendaki sekarang?
103. Pengembara 1 :
Aku akan tetap tinggal di sini dan mengubur keinginanku untuk pergi ke Kota Impian itu.
104. Pengembara 4 :
Sungguh mulia keputusanmu itu. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan saudara. Saudara sama saja telah menghisap air liur yang sudah saudara ludahkan sendiri.
105. Pengembara 1 :
Terserah apa kata saudara. Ini gelangmu. Aku sudah tidak memerlukannya lagi. Kehidupanku adalah di sini. Aku tidak mau lagi hanyut dalam pengharapan. Aku lebih senang hidup di dalam realitas kehidupan, walaupun itu akan menjerumuskanku. Jaman telah berubah. Seperti inilah kehidupan manusia jaman sekarang. Kita tidak bisa menghindar darinya. Mau tidak mau, kita harus mengikuti arusnya.
106. Pengembara 3 :
Kita sekarang memang benar-benar berbeda. Saudara telah menjadi budak jaman. Sebuah komponen untuk menjalankan roda sistem konsumeristis. Selamat bergabung di dalamnya. Selamat terlena olehnya. Selamat tinggal saudara.
107. Pengembara 4 :
Selamat tinggal saudara. Cukup sampai di sini kami mengenal saudara.
108. Pengembara 1 :
Suatu saat kalian akan membuktikan sendiri dari perubahan jaman yang sudah merata itu. Sudah tak ada tempat bagi kebenaran. Bahkan secuil pun tidak. Kalian terlalu naif menyandarkan harapan kalian yang semu itu pada sebuah kota impian. Sesuatu yang belum tentu benar. Suatu saat kalian juga akan mengerti.
109. Pengembara 3 :
Setidaknya kami masih punya harapan. Tidak sepertimu yang hanya bisa menyerah pada keadaan. Tidak ada daya juang. Tak ada gairah untuk menuju perubahan.
110. Pengembara 1 :
Perubahan? Memang apa yang bisa kalian lakukan untuk merubah keadaan? Konsumerisme dan individualistis sudah bersenyawa dengan jaman. Dia sudah menjadi akar dari jaman. Kau tidak akan menemukan yang kalian khayalkan itu.
111. Pengembara 4 :
Bagaimana kita bisa mengetahui sebuah hasil kalau kita belum berusaha? Kami bukan tipe orang yang mudah menyerah. Kami bukan orang yang mudah goyah keyakinannya. Dan kami bukan orang yang mudah berpaling haluan idealismenya.
112. Pengembara 1 :
Persetan dengan apa yang saudara katakan. Saudara akan membuktikan sendiri perubahan jaman yang menuju sebuah kehancuran ini. Selamat berdiam diri dalam harapan semu kalian.
113. Pengembara 3 & 4 :
Diam Kau…!!!
(Lagu sendu dinyanyikan mengiringi kepergian dua pengembara itu. Lampu meredup dan akhirnya mati. Seting berubah menjadi sebuah jalan dengan gerbang yang bertuliskan DREAM CITY.)
Adegan IV
114. Pengembara 4 :
Saudara, akhirnya kita sampai juga di Kota Impian.
115. Pengembara 3 :
Perjalanan kita tidak sia-sia saudara.
116. Pengembara 4 :
Ya… mereka pasti menyesal karena telah berpaling dari komitmennya. Mari kita masuk saudara.
(Mengiringi pengembara masuk, musik disko dibunyikan)
Dua pengembara itu sangat heran dengan apa yang mereka lihat. Ternyata Kota Impian tidak ada bedanya dengan kota sebelumnya dan kota tempat asal mereka. Mereka menjadi sangat kecewa.
117. Pengembara 3 :
Ternyata Kota Impian memang tidak ada. Dia hanya ada dalam bayangan dan khayalan kita belaka. Jaman memang sudah berubah. Sudah tidak ada lagi kedamaian dan ketenangan yang kita cari.
118. Pengembara 4 :
Manusia telah sampai pada puncak prestasinya untuk menelurkan kedamaian, ketenangan, saling mengasihi dan saling mencintai. Manusia telah bergerak menurut emosi dan instingnya belaka.
119. Pengembara 3 :
Saudara. Kita telah menyaksikan sendiri sebuah kenyataan dari kehidupan manusia. Apa yang harus kita lakukan. Ikut di dalamnya, atau melawannya dengan mengakhiri hidup kita.
120. Pengembara 4 :
Menurutku keduanya bukanlah jalan keluar. Jika kita ikut di dalamnya, itu berarti kita mengingkari janji kita, komitmen kita dan sumpah kita. Namun apabila kita mengakhiri hidup kita, itu berarti kita sama halnya dengan pecundang yang hanya bisa lari dari kenyataan.
121. Pengembara 3 :
Lalu… apa yang harus kita perbuat sekarang?
122. Pengembara 4 :
Kita harus belajar menerima kenyataan ini. Ini adalah bagian dari hidup kita. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kehidupan kita bukan cuma sekedar seonggol tunggul yang diam. Kita harus bisa bersikap. Kita harus pandai memilah hal mana yang perlu kita lakukan dan yang tak perlu kita lakukan.
123. Pengembara 3 :
Ya… menurutku juga memang demikian baiknya. Mari kita kembali ke kota kita dan menjalani kehidupan kita yang baru. Kota impian memang hanya sekedar khayalan, kedamaian letaknya di dalam hati, bukan di sebuah kota yang tenang.
124. Pengembara 4 :
Kita terlalu naif memikirkan semua itu.
125. Pengembara 3 :
Kedamain. Masih adakah engkau di dunia ini?
(Lampu perlahan mati bersamaan dengan dimainkannya musik.)
***Selesai***
Download naskah drama ini KLIK di sini
1 comments:
terimakasih naskahnya,,,,jadi buat bakal tugas nie....
Post a Comment