Catatan Perjalanan
(Cerpenis Joni Ariadinata)
Oleh Endry Sulistyo
(Cerpenis Joni Ariadinata)
Oleh Endry Sulistyo
Sebuah karya sastra tentu tidak dapat dilepaskan dari pengarangnya. Sebelum karya itu sampai kepada pembaca, terlebih dahulu melewati suatu proses panjang. Proses yang seringkali tidak diketahui oleh pembaca awam dan sering pula dianggap sepele oleh para penelaah sastra, mulai dari munculnya dorongan pertama untuk menulis, pengendapan ide (ilham), penggarapan, sampai akhirnya tercipta sebuah karya yang siap untuk dibaca oleh publik.
Proses kreatif Joni Ariadinata sebagai penulis cerpen terwujud dalam berbagai pilihan tema antara lain: tema fisik yang berupa tubuh, tema organik yang berupa kekerasan dan penyimpangan seksual, tema sosial yang berupa politik, ekonomi, moral kemanusiaan, dan keluarga atau rumah tangga, tema egoik yang berupa profesi, dan tema religius yang berupa agama dan dunia mistik, takhayul, atau dongeng terdapat dalam ketiga antologi cerpennya. Tema-tema tersebut oleh Joni Ariadinata lebih ditekankan pada setting kehidupan masyarakat miskin (grass root).
Pria kelahiran Majalengka pada tahun 1966 ini mengaku baru mengawali menulis cerpen pada tahun 1993. Namun secara mengejutkan, pada tahun 1994, cerpennya yang berjudul “Lampor” terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas. Kehidupan sosial yang pernah ia alami saat tinggal dengan masyarakat kumuh itulah yang -diakui beberapa sastrawan, kritikus sastra, dan dirinya sendiri- sampai saat ini banyak memberi inspirasi dalam penggarapan tema-tema cerpennya. Berikut ini adalah sepenggal obrolan saya dengan Joni Ariadinata:
Sabtu, 19 Oktober 2002
Rumah Joni Ariadinata
(T) Sejak kapan dan apa yang melatarbelakangi Anda mulai menulis cerpen?
(J) Saya belajar menulis cerpen baru pada tahun 1993 dengan mengandalkan intuisi saja. Saya mulai menulis karena saran teman saja yang juga seorang penyair bernama Ismet N. M. Haris. Pada waktu itu saya masih bekerja sebagai buruh serabutan yang tinggal di lingkungan kumuh Kali Gajah Wong. Ismetlah yang menyarankan saya untuk mencoba menulis dan bukannya bekerja hanya dengan mengandalkan otot semata. Ismet pula yang mengenalkan Zaenal A. Thoha yang bersedia meminjamkan buku-bukunya untuk saya baca agar keinginan saya menjadi penulis cerpen cepat terwujud.
(T) Mengapa Anda memilih menulis cerpen dan bukan menulis yang lain?
(J) Saya pernah mencoba menulis puisi tetapi tidak merasa nyaman. Saya lantas memutuskan menulis cerpen karena dalam pandangan saya waktu itu, menulis cerpen hanyalah sekedar bercerita, jadi akan lebih mudah. Lagi pula banyak media (koran dan majalah) yang menyediakan kolom untuk cerpen dibanding puisi. Dari segi honor, honor cerpen juga lebih besar. Jadi, banyak pertimbangan praktis yang menjadikan saya untuk lebih memilih menulis cerpen daripada menulis puisi atau karya sastra yang lain.
(T) Apa yang anda harapkan dari pekerjaan menulis cerpen pada saat itu?
(J) Saat menulis cerpen harapan saya cuma satu, yaitu dimuat di media dan mendapat uang. Waktu itu upah saya sebagai buruh ditambah dengan hasil ngamen belum cukup, padahal saya telah menghabiskan banyak tenaga untuk itu. Ketika memutuskan untuk menulis cerpen, maka tujuan saya hanyalah menemukan cara termudah dan tercepat dalam menghasilkan banyak uang.
Sabtu, 2 November 2002
Rumah Joni Ariadinata
(T) Mengapa Anda cenderung memilih cerpen dengan mengangkat tema-tema sosial?
(J) Tidak juga. Cerpen saya banyak juga yang mengangkat tema-tema lainnya. Memang dalam antologi Kali Mati cerpen saya lebih bicara tentang persoalan sosial. Namun, pada antologi berikutnya saya berusaha untuk mengangkat tema-tema yang lain pula. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada awalnya saya menulis hanya berdasarkan intuisi semata, sehingga cerpen-cerpen yang muncul adalah hasil pengalaman, apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan sewaktu hidup bersama masyarakat kumuh di Kali Gajah Wong.
(T) Apa yang melatarbelakangi Anda dalam menulis cerpen dengan tema-tema religius?
(J) Saya rasa semua orang mempunyai religiusitas, dan apa yang saya utarakan dalam cerpen adalah apa yang saya rasakan tentang sifat-sifat Ketuhanan yang dapat saya pahami. Semasa kecil, di Majalengka, saya terbiasa (karena perintah ayahnya. Red.) untuk mengaji di salah satu surau dekat rumah. Ayah selalu mengajarkan agama secara ketat dan disiplin. Seringkali saya mendapatkan hukuman atas ketidakmampuan dan ketidakdisiplinan yang saya perbuat. Masyarakat di kampung saya memang cenderung religius, tetapi juga sangat kental dengan dunia mistik atau alam gaib. Di kampung, status sebagai seorang ulama adalah sangat dihormati, disanjung dan dianggap sebagai sumber kebenaran. Apa yang saya tulis dalam cerpen, adalah kritik bagi masyarakat saya sendiri dan juga kritik bagi masyarakat di berbagai daerah yang saya yakin masih kental dengan kultur tersebut.
(T) Mengapa Anda cenderung menggunakan kata atau kalimat yang pendek-pendek dan cenderung menyimpang dari aturan yang ada?
(J) Saya tidak yakin bahwa bahasa yang sudah diatur (sesuai dengan EYD) dapat mengungkapkan maksud yang saya inginkan dalam cerpen. Oleh karena itu saya menggunakan bahasa dalam cerpen yang menurut saya tepat untuk menghadirkan peristiwa yang saya maksud. Bahasa yang cenderung pendek-pendek tersebut memang sengaja saya lakukan karena saya tidak ingin terjebak pada penggunaan bahasa yang “bergenit-genit”, dipanjang-panjangkan, dan mengandung banyak eufimisme. Bagi saya hal tersebut justru akan membuat penulis menjadi tidak jujur dengan apa yang ingin ditampilkan dalam tulisannya. Saya menganggap kata atau kalimat yang pendek mewakili apa yang saya maksud dan inginkan, maka saya menggunakannya.
Jumat, 14 November 2002
Rumah Joni Ariadinata
(T) Bagaimanakah Anda menemukan ide atau inspirasi untuk dijadikan cerpen?
(J) Saya orang yang selalu percaya bahwa ide atau insiparasi untuk menulis itu diusahakan dan bukannya ditunggu. Ide atau inspirasi itu ada di sekitar kita, tinggal bagaimana kita memungut dan mengolahnya. Kalau saya sendiri paling sering mendapatkan inspirasi justru ketika saya sedang melakukan perjalanan atau ketika sedang berada di sungai. Ketika ide atau inspirasi itu datang, maka saya harus cepat-cepat menuliskannya atau minimial mencatatnya.
(T) Bagaimanakah proses penuangan ide atau inspirasi itu ke dalam bentuk tulisan?
(J) Penuangan ide atau inspirasi bagi saya berbeda-beda waktunya. Ada ide yang membutuhkan waktu lama untuk diendapkan, tetapi ada kalanya ketika ide itu muncul saya harus cepat-cepat menuangkannya dan langsung jadi. Ketika memutuskan untuk menggarap sebuah ide menjadi bentuk cerpen maka saya harus berusaha semaksimal mungkin agar cerpen itu jadi. Selama ini, proses menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan selalu saya lakukan di rumah. Beberapa kali saya mencoba menulis cerpen bukan di rumah, seringkali saya gagal. Ketika dalam perjalanan ide itu datang, maka saya harus segera pulang atau minimal mencatatnya terlebih dahulu.
(T) Bagaimanakah kondisi atau suasana yang menurut Anda kondusif ketika akan mulai menulis cerpen?
(J) Sebelum menulis cerpen, keadaan di sekitar saya harus bersih. Terkadang saya harus merapikan baju dan tempat tidur, bahkan sering mengepel lantai kamar terlebih dahulu sebelum menulis. Saya akan merasa tidak nyaman dan konsentrasi jadi terganggu bila ada sesuatu hal yang membuat saya risih.
Sabtu, 21 Desember 2002
Rumah Joni Ariadinata
(T) Siapa sajakah orang yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Ayah dan Ibu saya. Kenangan waktu kecil terus membekas dalam hati. Saya ingat bahwa ayah mendidik dengan keras. Seringkali saya dipukul dan dikurung dalam kamar jika melakukan suatu kesalahan sekecil apapun. Mungkin perlakuan itu membuat saya mampu bertahan dari kerasnya hidup. Ibu saya justru memberikan kenangan sebaliknya. Ibu selalu membela dan melindungi saya sewaktu ayah menghukum. Sampai sekarang saya selalu merindukan ibu. Ibu yang menjadikan saya peka dan tidak pernah tega berbuat kasar atau menyakiti orang lain. Motivasi saya sampai sekarang adalah ingin membalas segala kebaikan ibu. Ketika merantau sampai Bali dan hidup menggelandang, karena teringat ibu, maka saya kemudian hijrah ke Yogyakarta dan bertahan hidup sampai sekarang.
(T) Dari lingkungan sosial, apa yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Kehidupan di Majalengka jelas tetap menjadi kenangan tersendiri, karena tempat itu adalah tanah kelahiran saya. Kenangan hidup bersama masyarakat kumuh di Kali Gajah Wong juga menjadi motivasi saya untuk menulis cerpen, termasuk (pada waktu itu) keinginan cepat terbebas dari tempat kumuh dan mencari kehidupan yang lebih baik.
(T) Dari lingkungan fisik, apakah yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Jika rumah adalah tempat paling nyaman bagi saya untuk menulis, maka sungai merupakan tempat mencari dan mengendapkan ide atau inspirasi, serta tempat ketika saya sedang merasa jenuh dengan suatu persoalan. Bagi saya, sungai adalah tempat yang tenang, damai, dan sejuk. Dulu ketika berpindah-pindah kontrak rumah, saya selalu mencari rumah yang dekat dengan sungai.
(T) Dari lingkungan rumah tangga Anda, siapakah yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Sebenarnya sewaktu saya masih belum menjadi penulis cerpen dan tinggal di daerah Kali Gajah Wong, saya pernah menikah dengan seorang perempuan tetapi mengalami perceraian. Hal itu masih membekas dalam hati karena saya benar-benar sakit hati. Alhamdulillah, kemudian saya dapat berumah tangga kembali. Kini saya bahagia dengan kehidupan saya bersama seorang istri dan dua orang anak. Keluarga saya sekarang benar-benar mengerti tentang apa yang saya lakukan.
Kamis, 9 Januari 2003
Rumah Joni Ariadinata
(T) Kepada siapa Anda ingin berterima kasih atas apa yang Anda capai sekarang ini?
(J) Kepada orang tua saya, teman-teman yang ikut memotivasi saya untuk menulis cerpen, terutama Ismet dan Zaenal, teman-teman di Kali Gajah Wong, istri dan kedua anak saya, dan orang-orang yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
(T) Dalam bidang sastra, apa yang akan Anda lakukan ke depan?
(J) Saya akan tetap menulis, karena ini adalah profesi saya.
diambil dari http://joniariadinata.wordpress.com/catatan-perjalanan/
0 comments:
Post a Comment