TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG
Roman karya Sutan Takdir Alisyahbana ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka tahun 1929. Roman ini berkisah tentang sebuah keluarga yang selalu dirundung kemalangan. Novel yang bersetting daerah Bengkulu ini secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut.
Kehidupan Syahbudin dengan dua anaknya selalu tak berkecukupan. Mereka sangat miskin. Kemiskinan itu semakin menjadi-jadi ketika rumah yang mereka tinggali bersama istri dan dua anaknya Mansur (8 tahun) dan Laminah (7 tahun) terbakar. Karena tak tahan menanggung penderitaan, istri Syahbudin meninggal. Mereka bertiga lalu membanting tulang dari pagi hingga petang untuk mencari pengisi perut. Mata pencahariannya kini adalah mencari durian dan ranting-ranting kayu yang lalu dijualnya ke kota.
Beberapa bulan kemudian kemalangan pun menimpa kedua kakak beradik itu lagi. Dengan tak disangka-sangka sama sekali, ayahnya jatuh, sehingga mengantarkannya ke alam baka. Sesudah ayahnya meninggal kedua anak itu diasuh oleh bibinya. Mula-mula suami bibinya amat sayang kepada mereka berdua. Namun tak lama. Malang, pamannya berubah sifatnya, sehingga kedua anak itu selalu menerima caci maki dan sumpah serapah.
Kehidupan Syahbudin dengan dua anaknya selalu tak berkecukupan. Mereka sangat miskin. Kemiskinan itu semakin menjadi-jadi ketika rumah yang mereka tinggali bersama istri dan dua anaknya Mansur (8 tahun) dan Laminah (7 tahun) terbakar. Karena tak tahan menanggung penderitaan, istri Syahbudin meninggal. Mereka bertiga lalu membanting tulang dari pagi hingga petang untuk mencari pengisi perut. Mata pencahariannya kini adalah mencari durian dan ranting-ranting kayu yang lalu dijualnya ke kota.
Beberapa bulan kemudian kemalangan pun menimpa kedua kakak beradik itu lagi. Dengan tak disangka-sangka sama sekali, ayahnya jatuh, sehingga mengantarkannya ke alam baka. Sesudah ayahnya meninggal kedua anak itu diasuh oleh bibinya. Mula-mula suami bibinya amat sayang kepada mereka berdua. Namun tak lama. Malang, pamannya berubah sifatnya, sehingga kedua anak itu selalu menerima caci maki dan sumpah serapah.
Untuk melepaskan diri dari kekangan paman yang sudah mulai ganas itu, Mansur dan adiknya pergi ke Bangkahulu. Mereka mencari pekerjaan. Mereka berfikir, bagaimana pun juga kehidupan mereka tak hendak digantungkannya kepada orang lain. Akhirnya di kota itu mereka mendapat pekerjaan di sebuah toko roti.
Tak berapa lama mereka menjalankan kewajibannya, kemalangan datang pula, menimpa mereka. Laminah mendapat gangguan dan hinaan dari teman kerjanya. Mereka terpaksa keluar dari toko itu untuk mencari pekerjaan lain.
Setelah berusaha dengan susah payah, Mansur mendapat pekerjaan juga di sebuah toko Jepang. Di sana temyata tidak lama bekerja. Sebab ia dituduh mencuri uang majikannya. Atas putusan hakim Mansur yang tak bersalah dijatuhi hukuman dan harus menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan.
Berita yang menyedihkan itu sampai juga ke telinga Darwis yang mempunyai niat jahat kepada Laminah di toko roti dulu. Dengan paksaan dan ancaman yang keras, Laminah digagahinya. Hilanglah kini mahkota yang selama ini dipertahankannya. Akibat malu dan takut kalau hal itu terdengar kakaknya, malam itu juga Laminah menceburkan diri ke laut, tepat pada saat ombak dan badai sambung-menyambung.
Mansur sudah bebas dari hukumannya. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya tak terbukti. Kabar tentang adiknya memang telah sampai kepadanya, namun belum jelas baginya. Agaknya dia sudah merasa putus asa dan bosan hidup tak henti-hentinya dirundung malang itu. Ia ingin juga menceburkan diri ke tengah laut, meniru dan mengejar adiknya yang kini telah tenang di alam baka.
Pada waktu kapal yang ditumpanginya akan berangkat, sesudah muatan-muatan berangkat semua, tak disangka-sangka sama sekali, kakinya tergelincir. Dan jatuhlah ia berguling-guling masuk ke dasar lautan. Tak perlu pertolongan baginya, sebab Mansur sudah hilang ditelan keganasan ombak yang deras.***
0 comments:
Post a Comment