Calon Presiden
SEORANG lelaki tampan, dengan pakaian hitam-hitam, rambut agak gondrong, tinggi langsing, kulit sawo matang, berusia sekitar 40 tahun, datang menemui saya. Wajahnya begitu khas. Wajah yang mengesankan milik keturunan ningrat atau keraton. Sebelumnya, sekretaris redaksi di kantor tempat saya bekerja memberitahu saya, ada tamu istimewa ingin menemui saya. Ketika saya tanya, siapa namanya, ia kembali menegaskan; tamu istimewa! Tidak lebih dari itu.
Dan tamu istimewa itu kini sudah ada di ruangan saya. Ia menyalami saya dengan ramah, lalu duduk berhadapan. Saya merasakan kharismanya yang menakjubkan.
"Anda siapa?" tanya saya."Bukan siapa-siapa," sahutnya pendek.
"Maksud saya, nama Anda?"
"Sebut saja nama yang Anda inginkan, itulah nama saya."
"Anda tidak punya nama?"
"Entahlah. Saya sendiri lupa lagi nama saya. Mungkin Wisnu, mungkin Surya, mungkin Yudistira, mungkin Manikmaya, mungkin Bisma, mungkin Kresna, mungkin Sadewa, mungkin Aradea, mungkin juga Arjuna."
"Jadi saya mesti memanggil Anda dengan sebutan apa?""Kan sudah saya bilang, apapun yang Anda sebut, itulah nama saya. Suka-suka Anda."
"Anda dari mana?"
"Saya baru turun gunung. Lima tahun lamanya saya semedi di puncak sebuah gunung."
"Semedi lima tahun? Buat apa?"
"Buat meyakinkan diri, apakah pantas atau tidak kalau saya mencalonkan diri jadi presiden."
"Mencalonkan diri jadi presiden?"
"Saya sudah bisa menduga, Anda pasti tidak akan percaya."
"Maksud saya, jadi calon presiden itu kan mesti melalui partai yang signifikan jumlah suaranya. Nah, partai Anda apa?"
"Saya tak perlu partai."
"Tanpa partai Anda tak akan bisa mencalonkan diri jadi presiden."
"Itu kan peraturan masa sekarang. Bagi saya tidak berlaku, sebab saya datang dari masa lampau. Saya tidak kena peraturan itu. Saya turun gunung karena mendapatkan wangsit untuk memimpin negeri ini."
"Wangsit dari siapa?"
"Dari sekian banyak leluhur saya. Sebut saja nama leluhur yang Anda kenal, itulah leluhur saya. Mungkin Sri Baduga Maharaja, mungkin Walangsungsang, mungkin Wastukancana, mungkin Mandi Minyak, mungkin Sang Manarah, mungkin Bagus Rangin, mungkin Geusan Ulun, mungkin Suryakancana, semua serba mungkin."
"Tapi kata seorang paranormal, yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan, berasal dari Jawa."
"Ya, mungkin saja saya. Saya kan tidak tahu persis, apakah saya ini orang Jawa, Sunda, atau orang Indonesia Timur. Anda buka lagi sejarah, dulu yang sangat dikenal itu kan Sunda Besar dan Sunda Kecil."
"Lalu, apa maksud kedatangan Anda ke sini?"
"Saya butuh publikasi. Koran yang Anda pimpin adalah koran harian terkemuka yang beroplah besar dan sangat disegani. Tolong Anda wawancarai saya, dan tulislah tentang saya. Biar masyarakat tahu, calon pemimpin yang selama ini mereka dambakan telah datang dan siap memimpin negeri ini."
Saya termangu sesaat. Tamu istimewa itu sepertinya memahami kebingungan saya.
"Saya bisa merasakan kebingungan Anda. Tapi yakinlah, kalau Anda menulis tentang saya, pasti banyak pembaca yang ingin tahu. Bahkan tidak mustahil, oplah koran Anda akan meningkat. Saya datang dari masa lampau, dan saya hanya butuh ditampilkan melalui koran Anda."
"Dengan cara apa Anda bisa memimpin negeri ini?"
"Saya bisa menjadi insipirasi bagi siapapun yang mau memimpin negeri ini dengan tulus, dengan pengabdian, dan bukan untuk menguasai jabatan lalu mengumpulkan kekayaan. Seorang pemimpin sejati adalah pemimpin yang rela menderita untuk kesejahteraan rakyatnya. Bukan sebaliknya, menikmati kesenangan diatas penderitaan rakyatnya. Negeri ini negeri makmur. Dan adil makmur baru bisa terwujud, bila para pemimpin negeri ini selalu mengabdi pada kepentingan rakyat, dengan mewujudkan kedamaian dalam perbedaan, kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan."
Saya terdiam sesaat. Memang aneh, meskipun saya berhadapan dengan orang yang benar-benar membingungkan, tapi saya begitu menikmati ucapan-ucapannya. Bahkan sama sekali saya tidak merasakan dan tidak punya anggapan bahwa tamu istimewa yang saya hadapi ini punya kelainan jiwa, misalnya. Ia telah menyihir saya untuk terus mendengarkan dan bertanya, malah tanpa terasa melakukan apapun keinginannya.
"Saya tahu, Anda masih meragukan saya," katanya. "Tapi saya juga tahu, Anda tidak menyepelekan kehadiran saya."
"Boleh saya tahu alamat Anda? Pekerjaan Anda? Keluarga Anda?"
Ia tersenyum.
"Saya datang dan pergi, saya ada dan tiada, saya hidup tanpa bekerja, saya sendirian. Alamat saya, jauh di masa lampau."
"Apakah itu zaman Pajajaran?"
"Anda kenal zaman Pajajaran?"
"Saya pernah membacanya."
"Saya tahu, di sini kalau bicara masa lampau selalu identik dengan Pajajaran, dengan Prabu Siliwangi. Anda punya kebanggaan pada masa lampau leluhur Anda. Sama seperti saya."
"Kalau Anda ingin dimuat dalam koran saya, Anda harus sebutkan nama Anda. Seperti kata Anda, saya bisa bebas memilih nama Anda, tapi saya lebih suka kalau nama itu disebut oleh Anda."
"Kalau Anda peka, sesungguhnya nama saya sudah banyak disebut. Bahkan saya berani memastikan, bahwa inisial huruf presiden yang akan datang adalah huruf A, M, W dan S.
"Singkatan dari nama apa?"
"A itu Adikarya, nama saya. M itu Mahakarya, juga nama saya. W. itu Wisnukarya, masih nama saya." Ia berhenti sesaat. Saya langsung bertanya.
"Lalu, S-nya singkatan nama apa?"
"Satria Piningit."
"Satria Piningit?"
"Pasti Anda pernah mendengarnya. Karena kata paranormal, dialah yang diharapkan bisa tampil sebagai pemimpin negeri ini, dialah yang diharapkan bisa mewujudkan harapan rakyat negeri ini. Dan saya datang memenuhi harapan rakyat negeri ini."
"Anda Satria Piningit?"
"Ya, sayalah orangnya."
Saya terdiam lagi. Ia menatap saya, lalu tersenyum.
"Saya tahu, Anda masih meragukan saya."
"Saya benar-benar bingung."
"Semua orang sekarang ini sedang bingung. Bingung memilih calon presiden yang sesuai dengan dambaan hati nuraninya, sebab kalau salah pilih, ia juga akan menanggung akibatnya. Maka sekarang inilah saat yang tepat untuk kehadiran saya. Tolong tulis dalam koran Anda, bahwa calon pemimpin yang didambakan sudah datang! Satria Piningit telah muncul!"
"Apakah rakyat akan percaya? Bukankah nama Anda tidak terdaftar dalam bursa calon presiden?"
"Yang namanya Satria Piningit itu justru muncul diluar dugaan. Bukan dimunculkan sebagai hasil koalisi dua partai, atau dirancang dan dicalonkan dari partai besar atau hasil konvensi. Saya pasti akan menyita perhatian, sebab saya muncul diluar daftar calon presiden."
"Saya makin bingung."
"Nanti Anda akan paham dan Anda akan menghargai kehadiran saya di sini. Boleh saya minta sesuatu dari Anda?"
"Apa?"
"Panggil fotografer koran Anda. Tolong foto saya di ruangan ini bersama Anda. Biar Anda yakin, bahwa Anda bersama calon presiden yang datang dari masa lampau."
Saya benar-benar seperti kena hipnotis. Tangan saya langsung memijit nomor telepon. Memanggil salah seorang fotografer. Kemudian seperti permintaannya, saya dipotret dengan dia di ruangan kerja saya.
Tanpa terasa, saya ngobrol dengan dia menghabiskan waktu tiga jam lebih. Ketika hendak meninggalkan ruangan saya, dia sempat berkata.
"Jangan salah memilih, sebab masa depan negeri ini sangat tergantung dari pemimpin hasil pilihan Anda."
Besoknya saya sudah menyiapkan tulisan tentang dia, dan saya beri judul "Calon Presiden, Satria Piningit Sudah Datang". Sesungguhnya saya juga tidak begitu yakin dengan tulisan itu, sebab siapa tahu presiden yang terpilih nanti adalah seorang wanita bukan seorang satria. Tapi yang sangat mengagetkan, justru setelah saya melihat hasil foto saya dengan Satria Piningit di ruangan kerja saya. Dalam foto itu begitu jelas sosok saya, tapi sosok Satria Piningit justru agak kabur, dan hanya berupa penampakan seorang satria tampan bermahkota yang wajahnya sama persis dengan dia. Jangan-jangan seperti yang dia ucapkan; saya datang dari masa lampau. Lalu saya mencoba merenung, apakah saya sedang menyaksikan Dunia Lain?
Percaya tidak percaya, akhirnya tulisan dan foto itu saya muat juga. Dan benar seperti apa yang dikatakannya, tulisan dan fotonya membuat heboh dan terus-menerus jadi bahan gunjingan. Tiras koran meningkat deras. Saya terpaksa menuliskan lagi tentang pertemuan dengan Satria Piningit itu lebih fantastis, atas permintaan pembaca. Tapi yang membuat saya kaget, sewaktu suatu hari saya menerima SMS misterius. Bunyi kalimatnya seperti ini: "Saya sangat mencintai negeri ini, dan kalau Anda mencintai negeri ini, jangan salah pilih. Anda tahu kriteria calon pemimpin yang bisa menyelamatkan negeri ini, kan? Sayalah calon presiden yang Anda dambakan!"
Dan di layar HP saya, lalu muncul sosok dalam gambar yang buram. Sosok yang sama persis dengan foto penampakan Satria Piningit yang datang ke kantor saya.
Tiba-tiba telefon di meja kerja saya berdering. Saya segera mengangkatnya. Terdengar suara seseorang.
"Bolehkah saya bertemu dengan Anda?"
"Anda siapa?"
"Calon Presiden."
"Calon Presiden?"
"Ya."
"Satria Piningitkah?"
Tidak terdengar jawaban.
Saya termangu sesaat. Tiba-tiba pandangan saya tertuju ke arah pintu ruangan. Pintu bergerak seperti ada yang membuka. Tapi tak ada siapa-siapa. Tak ada penampakan Calon Presiden. ***
Cerita Pendek Eddy D. Iskandar
0 comments:
Post a Comment