Aku Bukan Cina
(Sebuah cerpen reflektif)
Diambil dari http://carock-roro.blog.friendster.com/2007/09/aku-bukan-cina-sebuah-cerpen-reflektif/
(Sebuah cerpen reflektif)
Diambil dari http://carock-roro.blog.friendster.com/2007/09/aku-bukan-cina-sebuah-cerpen-reflektif/
Di formulir pendaftaran masuk universitas swasta itu aku melihat sebuah kolom kecil. Sebuah kolom yang berisikan tiga pilihan kewarganegaraan, yaitu WNI Asli, WNI Keturunan, dan WNA.
Untuk sesaat aku tertegun, bingung. Akupun mulai mengingat-ingat identitas diriku, orang tuaku, kakek-nenekku, sampai buyut-buyutku. Aku teringat kata-kata orang tuaku, paman-bibiku, dan nenekku, mereka bilang kami termasuk aku adalah orang Cina. Akupun menjadi bertambah bingung.
Di tengah-tengah kebingunganku, aku mengambil akta kelahiranku dan selembar surat yang menerangkan kewarganegaraanku. Di akta kelahiranku tertulis sebuah nama yang sama sekali jauh dari bahasa dan budaya Cina, bahkan kalau boleh aku bilang lebih dekat dengan bahasa dan budaya Barat. Di akta itu juga jelas-jelas tertulis Surabaya sebagai tempat kelahiranku, sebuah kota yang terletak di propinsi Jawa Timur, yang kalau aku tidak salah ingat dan kalau masih belum ada perubahan kebijakan adalah wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu di lembar surat kewarganegaraanku tertulis bukan Cina, bukan Amerika, tetapi Indonesia. Untuk memperkuat, akupun mengambil akta kelahiran dan surat kewarganegaraan kedua orang tuaku. Hal yang sama aku temukan, hanya saja nama kedua orang tuaku lebih dekat dengan bahasa dan budaya Jawa, walaupun dalam sehari-hari panggilan mereka adalah panggilan yang berbau Cina.
Untuk sesaat aku tertegun, bingung. Akupun mulai mengingat-ingat identitas diriku, orang tuaku, kakek-nenekku, sampai buyut-buyutku. Aku teringat kata-kata orang tuaku, paman-bibiku, dan nenekku, mereka bilang kami termasuk aku adalah orang Cina. Akupun menjadi bertambah bingung.
Di tengah-tengah kebingunganku, aku mengambil akta kelahiranku dan selembar surat yang menerangkan kewarganegaraanku. Di akta kelahiranku tertulis sebuah nama yang sama sekali jauh dari bahasa dan budaya Cina, bahkan kalau boleh aku bilang lebih dekat dengan bahasa dan budaya Barat. Di akta itu juga jelas-jelas tertulis Surabaya sebagai tempat kelahiranku, sebuah kota yang terletak di propinsi Jawa Timur, yang kalau aku tidak salah ingat dan kalau masih belum ada perubahan kebijakan adalah wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu di lembar surat kewarganegaraanku tertulis bukan Cina, bukan Amerika, tetapi Indonesia. Untuk memperkuat, akupun mengambil akta kelahiran dan surat kewarganegaraan kedua orang tuaku. Hal yang sama aku temukan, hanya saja nama kedua orang tuaku lebih dekat dengan bahasa dan budaya Jawa, walaupun dalam sehari-hari panggilan mereka adalah panggilan yang berbau Cina.
Akupun mendatangi ibuku dan bertanya padanya. Aku tanyakan sebenarnya dia itu orang apa, dia menjawab bahwa dia adalah orang tenglang (Cina). Akupun bertanya lagi dimana dia lahir dan besar, dia menjawab bahwa dia lahir dan besar di Surabaya. Sampai disitu otakku mulai tergelitik. “Lho, Mama bilang Mama lahir di Surabaya, kenapa Mama bilang Mama orang tenglang? Bukankah seharusnya Mama ini orang Indonesia, orang Surabaya?” tanyaku kepadanya. Serta merta dia menolehkan pandangannya dari wajan ke wajahku, matanya menyipit, dan sesaat kemudian dia tersenyum. “Nak, memang Mama lahir di Surabaya tapi Mama bukan orang Indonesia. Mama orang Surabaya itu memang benar karena Mama lahir di sini, tapi Mama dan Papa adalah orang tenglang, sama seperti Engkong dan Emakmu, dan kamu juga.”
Akupun menjadi semakin bingung. “Ma, secara logika Surabaya adalah bagian dari propinsi Jawa Timur, dan Jawa Timur adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi secara logika antropologis Mama, Papa, Engkong, Emak, dan aku adalah orang Indonesia. Bagaimana mungkin orang yang lahir dan besar di Surabaya yang jelas-jelas bagian dari suatu negara yang bernama Indonesia mengaku kalau dirinya adalah orang tenglang??? Itukan tidak nalar namanya.” Kali ini pandangan mamaku terlihat lebih tajam, kompor dia matikan, dan wajan dia tinggalkan. “Nak, negara Indonesia hanyalah sebuah negara, itu saja. Sedangkan kita, kita hanya lahir dan besar di sini, itu saja. Kita tidak akan pernah menjadi orang Indonesia karena memang di darah kita tidak pernah ada darah Indonesia, yang ada adalah darah Tionghoa, darah Cina. Orang Indonesia adalah orang pribumi, orang Jawa yang kulitnya sawo matang dan bermata lebar, orang Ambon yang kulitnya hitam dan berambut keriting, orang Batak yang kulitnya juga sawo matang tetapi berlogat Batak, dan lainnya. Sedangkan kita, kita jelas-jelas berbeda. Kulit kita putih kekuning-kuningngan, mata kita sipit, dan rambut kita hitam lurus persis seperti orang Cina asli. Jadi jelas kita adalah orang Cina bukan orang Indonesia.”
Tiba-tiba saja darah dalam tubuhku mendidih, aku seperti mau meledak rasanya. Aku mundur sedikit dari hadapan ibuku, sambil tetap menatap matanya. “Waktu kecil ketika aku bermain dengan teman-teman sekampung, mereka selalu memanggil aku dengan sebutan Cina Sipit. Waktu itu aku tidak mengerti dan aku mengacuhkannya saja sembari tetap bermain. Aku pikir ketika itu, sebutan itu hanyalah sebuah bahan bercanda saja karena memang perawakanku yang mirip dengan orang-orang Cina yang ada di TV. Bahkan sampai aku besar sekarang aku tetap menganggap sebutan itu hanya sebagai bahan bercanda saja. Karena bagiku aku adalah orang Indonesia. Kalaupun Papa, Mama, Engkong, dan Emak berkata kepadaku kalau aku adalah orang tenglang aku anggap itu sebagai salah satu suku dari banyak suku yang ada di Indonesia seperti halnya suku Jawa, suku Ambon, suku Batak, dan lainnya. Namaku bukan Wong Fei Hung, bukan Lee Kwan Yue, dan bukan Liem Soe Liong. Dalam namaku tidak ada satupun kata yang menunjukkan kalau aku adalah orang Cina. Bahkan dalam surat kewarganegaraan Papa, Mama, dan milikku jelas-jelas tertulis bahwa kita adalah warganegara Indonesia bukan warganegara Cina. Di akta kelahiran Papa, Mama, dan milikku jelas-jelas tertulis bahwa kita lahir di Surabaya, bukan di Beijing atau Guangzhao. Bahkan pada saat ini juga kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Cina. Seingatku kita juga belum pernah menginjak negara yang namanya Cina itu. Cina hanya kita tahu dari cerita, dari TV, dan dari koran. Bagaimana mungkin kita mengaku-ngaku sebagai orang Cina, padahal kita tidak pernah menginjakkan kaki di sana, dan bahkan tidak pernah sekalipun kita berbicara menggunakan bahasa Cina??? Itu mimpi namanya Ma, khayal, tidak logis dan jelas-jelas tidak realistis!!!”
Pada saat itu juga wajah ibuku memerah, sekejap saja sebuah tamparan mendarat di pipiku. “Dasar anak tidak tahu diri, tidak tahu di untung orang tua!!! Orang Indonesia itu hina, goblok, kere, koruptor, dan maling. Beda dengan kita orang Cina, kita tidak akan pernah jadi orang Indonesia. Orang Indonesia bisanya hanya mencuri uang kita, menginjak-injak, dan mendiskriminasi kita. Mereka iri karena kita bisa kaya melalui usaha kita sendiri dan mereka tetap kere walaupun sudah berusaha keras sampai mulutnya berbusa-busa!!! Jadi tahu, kita, kamu bukan orang Indonesia, kita orang Cina!!!”
Kuangkat wajahku kembali menatap mata ibuku, jari telunjukku menatap ke lantai. “Mama tahu siapa yang lebih hina?? Orang yang tidak bisa menerima keberadaan dan hakekat dirinya sendiri, orang yang hidup dalam utopianya sendiri tanpa mau menerima realita yang ada pada dirinya, seorang pesakitan yang menyangkal dirinya sendiri. Mama tahu siapa yang lebih goblok dan kere?? Orang yang tidak menyadari potensi dirinya, orang yang mau merendahkan dirinya sendiri demi sebuah uang, orang yang mau memberikan dirinya diperalat orang goblok dan kere lainnya demi sebuah jabatan dan prestise semu. Mama tahu siapa yang lebih korup dan maling?? Orang yang tidak mempunyai otak dan iman. Orang yang egois, yang tidak pernah mau mempedulikan sesamanya yang kesusahan. Orang yang maunya hanya menyelamatkan pantatnya sendiri, seorang pengecut yang lari sampai terkencing-kencing, seorang yang tidak mempunyai malu dan perasaan bersalah. Sampai-sampai hanya setan saja yang bisa menyamainya.” Kutundukkan wajahku sebentar, kuangkat kembali menatap mata ibuku, kuarahkan telunjukku pada dadaku. “AKU ORANG INDONESIA!!! Dan aku tidak hina, tidak goblok dan kere, aku bukan koruptor, dan aku bukan maling. Aku lahir di Indonesia, aku besar di Indonesia, dan jika Tuhan ijinkan aku akan dengan senang hati mati di tanah air ini, dikuburkan di sini, di tanah Indonesia.”
Dalam kebingungan dan barangkali kemarahan yang amat sangat, kutinggalkan ibuku sendirian di dapur. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya hening dan helaan nafas yang panjang sesekali pendek. Kurasa dia shock melihat sikap anak kesayangannya. Namun, aku tidak ambil pusing. Aku segera kembali menuju ke formulir pendaftaran masukku. Di kolom kewarganegaraan tersebut aku lingkari WNI Asli dengan mencoret kata ASLI untuk subkolom calon mahasiswa. Sedangkan untuk subkolom orang tua/wali calon mahasiswa aku lingkari WNA. Aku tidak mau terjebak dalam arus kepicikan ini.
0 comments:
Post a Comment