Surat Pendek
dari Gudang Peluru Dayeuh Kolot
Sutan Iwan Soekri Munaf
Masih kurasakan dengus malam
dalam cahya matamu, Neng.
Berdendang dengan angin dan selendang mayang
tentang negeri yang terbakar dendam
“Harus diselamatkan, Neng. Harus diselamatkan!”
Suara sendiri menggaung dalam subuh
tentu engkau rasakan
langit hitam negeri ini akan luruh,
sebentar nanti langit perak gemerlapan
akan tumbuh, Neng, akan tumbuh...
Perlahan sekali, subuh kutembus
antara percakapan rumput-rumput dan angin
antara bayang-bayang dan selendang mayang di leherku
dan wajah bunda pertiwi dalam dada,
Langkahku semakin tertuju ke Gudang Peluru
Tentu engkau mengerti,
langkah demi langkah berbagi antara kau dan bunda pertiwi
Perlahan sekali, kawat berduri kutembus
antara kantuk serdadu-serdadu penjaga
dan nafsu ingin segera kembali padamu.
Dadaku semakin busung ketika menangkap senyummu mampir menggoda
dan bunda pertiwi bertanya-tanya dalam ruang dada
tentang arti gelora dalam perjalanan sejarah mendatang.
Perlahan sekali, merayap sunyi sambil kugenggam granat
dan menikmati harum rambutmu masih terasa dalam selendang mayang
berjalan menyusur pagi yang hampir tiba
: Adakah engkau di sana mendengarkan kisahku, Neng?
Detik demi detik: Waktu berjalan
Dalam sudut kepastian dengan granat di tangan panas kugenggam
dan picu telah dilepas. Ketika ini semilir bayangmu makin menggo da
Ingin saja kukembali dari gudang peluru dan datang padamu
untuk mengajuk waktu-waktu tersisa
“Tidak, Neng.
Kita tebus kemerdekaan dengan menggadaikan cinta kita
pada ladang-ladang mesiu musuh!”
Dan kita tanam kemerdekaan dalam dada atas setiap jengkal negri ini
dan kita siram dengan darah dan keringat,
agar tumbuh, Neng, agar selamat...
Lambaian tanganmu, ketika melepasku pergi
perlahan terasa.
Mungkin juga seribu pemuda merasa
ketika berpisah: Mengosongkan Bandung!
Dan granat ini semakin mesra bercanda, Neng
sambil sayup-sayup membakar tanah selatan
“Selamat tinggal, Neng, semua ini untukmu!
Aku rela...”
Tanganku perlahan
tapi penuh kepastian
dan tenaga. Granat itu kulepas
Granat itu melayang di udara
Berhasil kulempar!
Granat itu lepas!
Granat itu melayang dengan anggunnya. Menembus subuh
menerkam sasaran!
Mataku tak pernah lupa
Granat itu meledak!
Bunga api di pinggir subuh di sisi pagi
di tepi Bandung Selatan
Mataku tak pernah lupa
Granat itu meledak!
Gudang peluru itu musnah! Gudang peluru itu musnah!
Bergelegar suaranya di Bandung Selatan.
Aku puas, Neng, aku puas sekali...
Tidakkah engkau lihat semua itu dalam senyumku?
Sekarang aku ingin segera kembali padamu, Neng
Ingin kutuliskan kisahku, ingin kuceritakan pengalamanku
dengan selendang mayangmu dalam wangi rambutmu
dengan seluruh getar jiwaku menatap untukmu, Neng
Dan langkahku semakin ringan, Neng, semakin ringan
berjalan menujumu. Dan, O, siapa yang terbaring itu?
Wajahnya hancur, tubuhnya luluh tak dapat dikenal
Darah berhamburan di sana-sini
Tapi aku kenal selendang itu, bukankah selendangmu, Neng
Bukankah selendangmu yang kupakai, yang melingkar
di leher tubuh itu?
Langkahku semakin ringan dan semakin kasat
Sekali terbang dan sekali terbenam
Dari balik mentari
Kusimpan salam untukmu, Neng
Bandung, 1983
Diambil dari Horison online
Download puisi ini KLIK DI SINI
0 comments:
Post a Comment