Tembang Zaman
Cerpen Sapardi Djoko Damono
Cerpen Sapardi Djoko Damono
amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
ewuh aya ing pambudi
(R. Ng. Ronggowarsito, 1802-1873)
Aku suka terkenang akan suatu peristiwa kecil yang terjadi di rumah ketika aku masih duduk di kelas pertama SMA. Waktu itu kami baru pindah dari pusat kota yang sibuk ke pinggir kota. Kami lama-lama terbiasa dengan suasana yang sama sekali berbeda. Gerisik rumpun bambu, suara air sungai di sebelah rumah kalau malam tiba, dan lampu teplok.
Malam itu akan ada tamu, seorang laki-laki sebaya ayahku. Ayah selalu memanggil beliau Kamas Sastro. Aku sengaja menunda tidurku, ingin mendengarkan tamu itu menembang. Suaranya pernah kudengar, luar biasa! Tembang itu biasanya didiskusikan dengan asyik oleh keduanya, biasanya sampai larut malam. Maka, setelah basa-basi sekedarnya, tamu itu menyeruput kopi, terus nembang. Sebagai pemuda Jawa yang pernah belajar di sekolah khusus untuk priayi, aku kenal benar larik-larik itu. Dari Kalatidha, karya pujangga Jawa terakhir.
Malam itu akan ada tamu, seorang laki-laki sebaya ayahku. Ayah selalu memanggil beliau Kamas Sastro. Aku sengaja menunda tidurku, ingin mendengarkan tamu itu menembang. Suaranya pernah kudengar, luar biasa! Tembang itu biasanya didiskusikan dengan asyik oleh keduanya, biasanya sampai larut malam. Maka, setelah basa-basi sekedarnya, tamu itu menyeruput kopi, terus nembang. Sebagai pemuda Jawa yang pernah belajar di sekolah khusus untuk priayi, aku kenal benar larik-larik itu. Dari Kalatidha, karya pujangga Jawa terakhir.
Beberapa ayat yang indah selesai ditembangkan, sungguh memesona. Maka ayah dan tamunya pun bergantian menyeruput kopi, cangkir kedua yang dihidangkan ibu, yang ginasthel manis, panas, dan kental. Seruputan demi seruputan luar biasa indah bunyinya.
"Lha, ya, Kamas. Karya itu diciptakan seratus tahun lalu, tapi masih sesuai untuk kita di zaman sekarang," ayah membuka diskusi. "Apa memang semua zaman sama saja atau bagaimana?"
"Begini, Dimas. Pujangga itu weruh sadurunge winarah, tahu yang belum terjadi. Beliau memang menulis untuk zaman kita ini."
"Tapi katanya karyanya itu juga menyindir zamannya."
"Benar, bahkan juga menyidir masa yang telah berlalu."
"Jadi, adakah zaman yang tidak edan?"
"Wah, pertanyaan Dimas itu aneh. Zaman itu tetap tetapi berubah, berubah tetapi tetap."
"Siapa yang menjadikan zaman berubah tetapi tetap edan, Kamas?"
Diskusi itu berlanjut entah sampai jam berapa. Aku tertidur, bermimpi menjadi Ronggowarsito.***
0 comments:
Post a Comment