Dari Sebuah Sajak Rendra
Catatan Pinggir Gunawan Mohammad
FantastisDi satu Minggu siang yang panasDi gereja yang penuh orangnyaSeorang padri muda berdiri di mimbarWajahnya molek dan suciMatanya manis seperti mata kelinciDan ia mengangkat kedua tangannyaYang bersih dan halus bagai leliLalu berkata :“Sekarang kita bubaran.Hari ini khotbah tak ada"
DEMIKIANLAH bermula sebuah sajak yang sangat bagus. Penulisnya Rendra. Dalam kumpulan Blues untuk Bonnie (terbit 1971), sajak yang panjang itu terbentang 6 halaman: sebuah puisi yang juga sebuah cerita pendek, sebuah kisah surealistis yang memesonakan tentang satu misa yang berakhir dengan buas.
Sang padri muda telah mengatakan, hari itu khotbah tak ada. Ia ingin kembali ke biara, untuk “merenungkan keindahan ilahi”. Tapi orang-orang, gerombolan hadirin itu, tak beranjak. Mereka tetap duduk berdesak-desak. Atau berdiri. Suara mereka mendesah. Mata mereka menatap, bertanya-tanya. Mulut mereka menganga. Mereka berhenti berdoa. Mereka ingin mendengar. Mereka sangat butuh mendengar.
Dan melihat itu, dan mendengar desah mereka, dan menghirup bau mulut mereka yang keras, sang padri muda pun terpekik : “Orang-orang ini minta pedoman. Astaga. Tuhanku, kenapa di saat ini Kau tinggalkan daku.”
“Sebagai sekelompok serigala yang malas dan laparmereka mengangakan mulut mereka.Udara panas. Dan aku terkencing di celana.Bapak. Bapak. Kenapa kau tingalkan daku”
Meski ngeri seperti Isa Almasih di kayu salib, sang padri memilih untuk tinggal. Ia memuaskan mereka yang menghasratkan khotbah. Setengah jatuh kasihan, setengah jijik kepada jemaat yang berkeringat dan busuk itu, padri muda itu akhirnya bicara.
Apa yang dibicarakannya tak teramat penting sebenarnya. Rumusan-rumusan kearifan bercampur kata-kata tanpa arti. Petuah berselang-seling dengan nonsens. Tapi massa itu tak perduli. Mereka senang, terbuai. Mereka terangsang. Nafsu mereka, kelaparan mereka, terimbangi. Mereka ikut berseru. Mereka bergerak, saling menggosokkan tubuh. Suara mereka menggigil ganjil, melengking serempak, tiap kali sang pengkhotbah mengucapkan kata-kata yang hangat.
Akhirnya adalah suatu proses penghancuran.Sebagai binatang orang-orang bersorak:Grr-grrr-hura. Hura.Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.Mereka copoti daun-daun jendela.Mereka ambil semua isi gereja.Seluruh gereja pun rontok. Tapi ini belumlah klimaks. Kegilaan itu mencapai puncaknya ketika sang padri muda yang elok itu mereka perkosa ramai-ramai, mereka cincang - lalu mereka makan dagingnya, mereka minum darahnya, dan mereka hisap sumsum tulangnya.Fantastis.
Apakah “massa” sebenarnya? Dalam kamus politik revolusioner ia berada di tempat yang dasar, sekaligus luhur. Ia berarti rakyat jelata yang banyak, sumber pembenaran utama. Karena itu Mao Zedong tak terdengar seperti orang kesepian ketika ia berkata: “Saya sendirian, bersama massa” - lalu meledakkan Revolusi Kebudayaan.
Dalam kamus lain, massa sudah tentu tidak selamanya berupa mereka yang tertindas. Gerombolan orang kulit putih yang suka menggantung orang hitam di Amerika Serikat bagian Selatan juga sebuah “massa”. Dalam pengertian inilah Ortega y’ Gasset berbicara tentang Amerika sebagai “surganya massa”. Ia sedih dan juga ngeri.
Sang padri, dalam sajak Rendra, juga sedih, juga ngeri. Ia mencoba mengelak. “Biarkan aku menjaga sukmaku. Silakan bubar.” Tapi bila ia kemudian memilih untuk jadi korban, mungkin karena ada semacam kenikmatan yang aneh dalam pertemuan itu. Tapi mungkin juga: sebuah kemuliaan yang sederhana.
23 Agustus 1980
Download caping ini KLIK di sini
2 comments:
ulasan yang menggairahkan sum sum tulangku. salut, mas.
mantap dan sedap!
Post a Comment