Pertemuan Sunyi
Cerpen Adek Alwi
IA tahu tak ada yang abadi dan segala sesuatu tak akan persis seperti dulu lagi. Namun ia pergi juga ke masjid tua itu, ditarik kekuatan yang amat kuat. Ia lihat anak-anak berdiri bergerombol juga berlarian di halaman masjid, berselempang sarung dan berkopiah; tak ubahnya dia dan teman-temannya puluhan tahun lalu, di hari-hari bulan Ramadhan seperti ini juga. Dan ketika ceramah-pengajian diawali buya-buya tersohor, seperti Buya Haji Kasim atau Buya Nawawi Arif, mereka akan bergeduru memasuki masjid. Berebut pula kembali ke tempat wudu, usai ceramah-pengajian sekitar pukul setengah delapan. Lalu shalat Isya berjamaah, dilanjutkan dengan tarawih.
Dinihari sehabis sahur pun begitu. Bedanya, pengajian pagi hari dimulai seusai Subuh dan berakhir pukul enam lewat. Ajaibnya, kantuk tidak datang-datang. Sekolah libur selama bulan puasa dan hari-hari diisi dengan bermain apa saja, mandi-mandi di batang-air, ke tempat penyewaan buku; melahap komik terbitan Medan dan cerita silat cina karangan Kho Ping Hoo ataupun OKT. Dan kantuk baru datang menjelang atau sesudah Lohor. Serangannya begitu hebat memberatkan mata, sehingga badan rasanya melayang saja dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Eh, eh, jangan kau langsung tidur." Ibu menegur. "sembahyang dulu!"
"Sudah, di Masjid Jambatan Basi!"
"Kalau begitu cuci mukamu. Tangan, kaki. Habis itu ganti baju. Bau!"
Ia menarik napas, tersenyum mengenang. Ia teruskan langkah mendekati pintu masjid. Dari luar dilihatnya garin tengah bersiap-siap di dalam. Meletakkan pengeras suara di meja dekat tirai putih pembatas jamaah lelaki dan perempuan. Ditaruh garin pula segelas teh di meja. Tirai pun telah dia rendahkan, sehingga jamaah wanita dapat melihat buya berceramah dan si buya pun leluasa melepas pandang ke seluruh hadirin, terutama jamaah lelaki yang duduk menyebar dan sebagian bersandar ke dinding serta ke tiang masjid.
Ingatannya terus melayang ke masa-masa yang jauh itu. Seolah dia lihat Buya Kasim tua sekarang duduk di kursi pasangan meja kecil, berceramah dengan suaranya yang khas, agak serak namun jelas intonasinya. Kajinya mudah dipahami, menyentuh pula. Ah, tahun berapakah buya yang arif serta luas ilmunya itu wafat? Juga Buya Nawawi Arif, ayah temannya si Farouk? Saat dia sudah merantau? Atau masih berada di kota itu? Meskipun bersekolah di kota kelahirannya itu sampai tamat SMA tetapi di masa remaja ia tak lagi serajin masa-masa kecil pergi ke masjid mendengar pengajian dan sembahyang berjamaah, walau tak pernah absen shalat Jumat. Dengan begitu dia pun tak berperhatian benar lagi kepada kedua buya tua itu.
Tetapi bukan hanya buya-buya tua itu saja yang kini sudah tiada. Orang-orang tua lainnya pun tiada lagi, bagai juga ayahnya, yang wafat 11 tahun lalu. Kemarin sore sebelum berbuka sengaja ia berjalan-jalan ke pusat kota, ke pasar, namun tak satu pun lagi wajah-wajah tua yang dulu akrab dengan matanya ia jumpai. Bagaikan daun-daun mereka telah digantikan daun muda dan segar, yang pada gilirannya pun akan jadi tua, menguning, lalu luruh-jatuh menyatu dengan tanah. Lenyap, sirna.
Ya, jangankan orang-orangtua itu ia sendiri pun kini dalam proses menguning. Orang-orang yang bicara dengannya di pusat kota, seperti para pedagang, sopir angkot ataupun tukang cukur, semua memanggil ia "Pak"; pertanda harinya sudah menjelang senja. "Mak Hasan?" balas tukang cukur yang merapikan kumisnya kemarin.
"Nama dia saja saya tahu, Pak. Jumpa tak sempat. Saya lahir setelah beliau wafat, Pak."
Mak Hasan tukang cukur beken di kota kecil itu, langganan ayahnya. Sebelum salon-salon bermunculan dan memberikan layanan massage terutama saat creambath, tukang cukur itu sudah memberi layanan itu kepada pelanggannya. Tetapi tidak untuk anak-anak. Mak Hasan berpura tidak mendengar bila dia minta dipijat. Kalau didesak, tukang cukur itu berucap, "Eh, tak elok anak kecil dipijat. Urat-uratmu masih segar."
Ia tersenyum. Bila bersua dengannya sekarang tentu Mak Hasan mau memberi layanan pijat pada tengkuk serta bahunya, yang belakangan sering terasa pegal. Dan, matanya tentu pula akan meram-melek seperti ayahnya dulu setiap kali dipijat Mak Hasan. Tapi, tukang cukur legendaris itu pun kini telah tiada, sudah lama meninggal dunia.
* * *
DENGAN mengucap nama Tuhan, dia melangkah memasuki masjid. Terus ke arah depan agak ke pojok, lalu shalat sunat dua rakaat. Berbeda dengan masjid-masjid lain masjid itu masih mempertahankan lantainya yang lama, lantai papan dengan jenis kayu dari kualitas kelas satu; karena udara kota pegunungan itu selalu dingin dan akan semakin dingin kalau lantai dilapis ubin. Dan dia sujud di lantai papan beralas karpet itu, seperti dulu, puluhan tahun yang silam, pada masa kanak-kanaknya yang jauh.
Ia akhiri shalat sunatnya dengan mendoakan ayah dan ibunya, saudara-saudara serta guru-guru termasuk buya-buya tua yang sudah tiada itu, juga kawan-kawan yang telah pulang lebih dulu ke alam baka. Pas saat doanya berakhir seorang buya berjalan ke meja dekat tirai, duduk di kursi yang sudah disediakan, memulai pengajian. Orang-orang, bak dulu juga, memerhatikan dengan takzim. Buya itu masih tergolong muda, barangkali belum 40 atau sepantar adiknya yang bungsu, namun tak dikenalnya.
Ia toleh lambat-lambat ke kiri dan kanan, juga tidak terlihat wajah-wajah yang dikenalnya. Ai, sudah begitu tuakah dia? Sebersit rasa aneh menyelinap di hatinya; ia seolah-olah berada di tempat asing, bersama orang-orang yang juga asing, padahal di kota kelahirannya dan bahkan di masjid yang sungguh akrab dengan dirinya di waktu kecil. Tapi, tak ada yang dia kenal, tidak ada yang mengenalnya.
Namun dia memang jarang pulang. Kalaupun pulang, sesekali, bersama anak-anak, istri, atau sendiri seperti sekarang ini, kawan-kawan lama itu pun tidak banyak lagi yang dijumpainya. Seperti dia kebanyakan kawannya juga merantau dan sesekali saja pulang ke kota mereka. Kehidupan memencarkan mereka ke mana-mana.
"Si Syawal?" balas Mawardi ketika dia bertanya. "O, di Dumai dia merantau. "Lebaran lalu ada ia pulang, tapi tak lama. Maklumlah, sibuk dia. Am Unyuk menetap di Rumbai. Si Acin, di Batam. Tetapi tidak pernah pulang-pulang. Ibunya juga sudah lama pindah ke situ. Entah masih hidup atau sudah tiada beliau sekarang. Tak jelas."
"Rusdi di Padang kini." Amrul menambahkan. "Dulu ia di Lubuak Sikapiang. Eh, si Bulek dan Lin kan di Tangerang. Ada kau jumpa mereka di Jakarta?"
"Yah, tinggal kami berlima yang tak beranjak dari kota ini, Darius. Aku, Can, Amrul, Zainal, Dasril Angin Berembus," kata Mawardi.
Ia tak dapat menilai mana yang lebih baik. Apakah dia dan kawan-kawan yang pergi merantau, atau teman-temannya yang tak beranjak dari kota mereka. Atau, boleh jadi keduanya sama saja, karena sama-sama tidak mampu mengabadikan yang pernah dialami, dijalani.
Tahun-tahun sesudah itu, pada kesempatan pulang ke kota kecil itu, dia seperti terkejut-kejut mendengar tuturan teman-teman lama itu. "Ini cucuku," ujar Can ketika mereka berkumpul di rumah kawan itu. "Sudah tiga cucuku sekarang."
"Cucuku dua," sambut Zainal.
Aneh juga rasanya mendengar kawan-kawan itu punya cucu. Tetapi barangkali pula tidak. Toh tahun demi tahun terus berlalu dan bagai daun-daun warna mereka tak lagi hijau-segar. Waktu telah mengubahnya pelahan-lahan namun pasti menjadi hijau-tua, yang dari saat ke saat semakin pekat. Dan kini, ya, kini, tengah berproses menjadi kuning. Makanya, dua-tiga tahun lalu ketika terakhir pulang dia termangu-mangu saat kawan-kawan itu mengatakan, "Eh, si Johar telah mendahului kita. Sudah almarhum dia."
"Juga si Biju," sambung Amrul.
"Edy Potek malah sudah lama. Di Jambi dia meninggal."
Dan kawan-kawan masa kecil itu terus mengingat dan menyebut teman-teman yang sudah tiada, pulang ke Negeri Abadi. Ia terpana, termangu-mangu saja.
* * *
BUYA yang masih tergolong muda itu masih berceramah, tentang kesingkatan atau kefanaan hidup di dunia. Tapi meski hidup ini singkat, dia bilang, manusia masih diberi Tuhan kesempatan menghimpun bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan yang abadi di kampung akhirat kelak. "Salah satu di antara kesempatan itu ialah pada bulan Ramadhan ini, pada bulan yang penuh berkah dan magfirah ini."
Sekalipun belum sefasih Buya Kasim, ataupun Buya Nawawi Arif, sejuk juga mendengar kaji buya muda itu. Seperti dulu, puluhan tahun lalu, ia merasa diingatkan lagi bahwa hidup hanyalah sementara dan dunia tak lebih dari tempat singgah sejenak. Sebutlah halte di dalam perjalanan. Ada tempat tujuan, tempat akhir perjalanan yang dituju, yang baka atawa abadi. Dan semua berproses ke sana. Karenanya, ibarat daun-daun tidak aneh bila warna usia yang semula hijau-muda dan segar berupa pucuk, dari waktu ke waktu berubah pekat dan gelap. Dan, pada gilirannya malah berubah kuning. Semua adalah keniscayaan, tak dapat ditolak, tak ada kekuatan yang dapat menahan.
Ia menarik napas, serasa bertemu kembali dengan semua yang pernah ia kenali dan alami. Ia rasakan kesegaran merayap dalam sunyi. Usai tarawih nanti, setelah tiba di rumah orang tuanya yang kini ditempati adiknya, tempat ia tinggal setiap pulang ke kota kecil itu, akan ia telepon istri dan juga anak-anaknya di Jakarta. Akan ia katakan bahwa saat ini ia sungguh sangat berbahagia.
"Ayah baru saja pulang tarawih di masjid tempat mengaji masa kecil. Memang tak banyak lagi orang yang kukenal di sini, seperti kalian khawatirkan. Namun justru dalam sunyi tak dikenal dan mengenal banyak orang, Ayah menemukan sesuatu yang melegakan. Bagaimana kalau Ayah tetap di sini dua-tiga hari lagi? Boleh, tidak?"
Ia tersenyum mengingat-ingat yang akan ia katakan nanti pada keluarganya.
***
Jakarta, 4 September 2008
Download cerpen ini KLIK di sini
0 comments:
Post a Comment